ad

Senin, 22 Juli 2013

PENANGANAN MASALAH PAPUA DARI SEGI KAMTIBMAS

Latar Belakang Permasalahan Keamanan di Papua
Papua memang paradoksal. Bumi yang kaya namun penduduknya miskin, negeri yang damai namun mematikan. Dalam satu bulan terakhir, setidaknya tiga polisi tewas dibunuh. Trauma militerisme selama tiga dasawarsa terakhir rupanya begitu mencekam sehingga publik kini belum juga rela berpihak kepada polisi yang selama Orde Baru adalah bagian dari militer. Dengan demikian kekerasan dan pembunuhan terhadap polisi dianggap wajar sedangkan kekerasan petugas terhadap warga dianggap pelanggaran HAM. Betulkah? Apakah masyarakat yang terlalu berprasangka yang membuat segalanya menjadi serba salah? Ataukah kita yang belum berhasil berubah dari paramiliterisme yang senantiasa menyelesaikan masalah dengan senjata dan kekerasan? Ataukah keduanya?  
Untuk memahami Papua tidak cukup hanya dengan empati dan ide-ide. Papua adalah sebuah realitas yang mungkin berbeda, yang mungkin membutuhkan pemahaman, empati, ide-ide dan kejujuran. Bagaimana kata-kata menyatu dengan perbuatan yang dilakukan. Elite demokrasi kita berhasil membuat kita berpikir bahwa kita sudah merdeka. Namun kita lah yang belum berhasil memikirkan makna kemerdekaan yang kita raih. Juga makna kemerdekaan bagi Papua dalam naungan Sang Burung Garuda dan Pancasila dengan segala konsekuensinya.
Mari kita mulai bicarakan Papua. Bicara yang harus mengejewantahkan menjadi ide-ide yang harus menjelma menjadi realita. Realita yang diwarnai dengan kejujuran yang akan dibawakan dalam perilaku karena jika tidak, maka sia-sialah segala usaha kita selama ini.

Rekomendasi PP Polri dalam Penanganan Masalah Papua ditinjau dari Segi Kamtibmas
Berbicara masalah keamanandi bumi Papua adalah berbicara masalah image atau kesan yang seolah-olah bahwa Papua merupakan wilayah rawan dan penuh dengan potensi friksi/konflik baik yang bersifat horizontal (kekerasan antar suku) dan yang bersifat vertikal (antara masyarakat dengan aparatur negara baik aparatur keamanan maupun Pemerintah Daerah). Kondisi seperti ini diperkuat dengan fakta terjadinya berbagai konflik yang belakangan ini terjadi, mulai dari perang antar suku, penembakan terhadap aparatur keamanan, dan terakhi yang masih segar dalam ingatan adalah konflik antara serikat pekerja dengan PT. Freeport di Timika yang berimbas pada masalah Kamtibmas.
Ditinjau dari sisi pengelolaan negara, sesungguhnya potensi-potensi konflik tersebut juga terjadi di daerah lain seperti isu unjuk rasa di Jawa, isu kejadian di Mesuji Lampung, kerusuhan di Ambon, dan masih banyak lagi. Namun image mengenai masalah Papua ini menjadi berbeda mengingat Papua adalah wilayah strategis yang rawan terhadap intervensi karena adanya kepentingan politik baik nasional maupun internasiona terutama ditinjau dari sisi:
a.       Sejarah bergabungnya wilayah Irian Barat ke NKRI, masih ada yang menganggap cacat hukum dan dipermasalahkan oleh pihak tertentu;
b.      Masyarakat Papua merasa bukan termasuk rumpun Melayu tetapi termasuk ke dalam rumpun Melanesia (kita sering menyebut bangsa Indonesia adalah rumpun Melayu);
c.       Masyarakat Papua menganggap tindakan Polri lebih mengutamakan tindakan represif sehingga menjauhakan hubungan emosional kemitraan Polri dengan masyarakat semakin jauh, lebih ekstrim lagi masyarakat menganggap Polri adalah bagaikan musuh dalam selimut;
d.      Perasaan masyarakat Papua yang menganggap ada perlakuan diskriminatif walaupun sudah banyak program yang diperuntukkan bagi masyarakat Papua;
e.       Tidak tuntasnya penanganan kasus-kasus yang ditengarai terjadi pelanggaran HAM berat sehingga sering dijadikan isu politik yang berdampak pada masalah keamanan;
f.       Kebijakan pelaksanaan otonomi khusus sesuai UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otonomi Khusus Papua tidak berjalan efektif karena kendala regulasi (Perdasi dan Perdasus), kelembagaan, aparatur, pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan serta pemekaran daerah yang dipaksakan.
Faktor-faktor di atas diduga menjadi pendorong bagi semua pihak untuk selalu memantau dan memanfaatkan peluangg sesuai dengan kepentingannya. Karena  kondisi rawan intervensi politik tersebut, maka peristiwa-peristiwa kriminal maupun politik yang terjadi di Papua menjadi berita yang mudah untuk diekspos secara nasional maupun internasional yang dapat merugikan citra pemerintah RI khususnya Polri.
Dilihat dari berbagai bentuk peristiwa yang terjadi di Papua, sebenarnya merupakan peristiwa kriminal biasa, jumlahnya relatif kecil tidak sebanding dengan image dan gaung pemberitaannya dan pada dasarnya dapat diselesaikan secara yuridis. Namun mengingat posisi Papua yang sangat rawan dengan berbagai intervensi dan dimanfaatkan oleh berbagai pihak, maka dalam menangani permasalahan yang muncul di Papua Polri tidak boleh menganggap sebagai masalah biasa dan diselesaikan secara yuridis melalui pendekatan keamanan semata tetapi diselesaikan melalui pendekatan sosiologis (agama, budaya dan adat) dan dikomunikasikan dengan menggunakan hati nurani bukan kekuasaan. Di sinilah pentingnya, melalui diskusi panel yang diselenggarakan oleh PP Polri ini berusaha untuk merumuskan solusi konstruktif dan komprehensif untuk mencari jalan keluar terhadap masalah pembinaan keamanan di Papua. Langkah konkret yang dapat direkomendasikan antara lain:
1.      Bidang Operasional
a.       Komunikasi konstruktif antara Polri dengan instansi terkait dan Polri dengan masyarakat
Komunikasi konstruktif di sini adalah proses penyamaan persepsi yang lebih bersumber pada hati nurani daripada kekuasaan atau lebih tegasnya egosentris kekuasaan terhadap berbagai masalah keamanan yang terjadi melalui pelibatan lembaga adat, keagamaan, organisasi kemasyarakatan (ormas), dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta berbagai forum komunikasi yang ada seperti Komite Intelijen Daerah, Forum Kerukunan Umat Beragama, Forum Pembauran Masyarakat dan lain-lain sehingga sumbatan komunikasi khususnya antara aparatur negara dengan “masyarakat asli” Papua dapat terbuka.
b.      Penegakan hukum
Penerapan Restorative Justice yang tidak melanggar UU Otonomi Khusus (Otsus) untuk peradilan adat, sebagai alternatif penegakan hukum. Penereapan di sini tidak hanya dilakukan oleh Polri dan para pihak yang terlibat, tetapi dengan melibatkan unsur penegak hukum (criminal justice system), di mana penyelesaian peristiwa pidana di luar pengadilan oleh Polri harus sepengetahuan Jaksa dan mendapat persetujuan Hakim (Pengadilan).
Penerapan Restorative Justice di wilayah Papua dipandang tepat karena restorative justice memperhatikan repon yang lentur terhadap kejahatan, orientasi pada kepentingan program, responsif terhadap perilaku kejahatan, kesempatan kepada pelaku dan korban untuk bertemu dan bersepakat menyelesaikan masalah, dampak stigmasi terhadap pelaku, keseimbangan yang harmonis, pelibatan anggota masyarakat, solusi terbaik, serta dampak kerugian dan kebutuhan korban.
c.       Penanganan unjuk rasa yang tidak melanggar nilai-nilai HAM
Salah satu panelis mengingatkan bahwa negara-negara Eropa Timur jatuh karena buruh, negara-negara Amerika Latin dan Thailand jatuh karena militer, dan pengalaman yang sudah terjadi di Indonesi, pemerintah jatuh karena mahasiswa. Pengalaman ini menunjukkan bahwa penanganan unjuk rasa pada umumnya khususnya terhadap unjuk rasa mahasiswa secara umum (bukan hanya di Papua) harus dikelola dengan cermat, jangan sampai karena salah penanganan maka justru Polri yang dianggap menjadi pemicu berkembangnya unjuk rasa. Harus disadari, bahwa ditinjau dari psikologi massa, kegiatan unjuk rasa cenderung mudah terjebak pada tindakan anarkis. Jika tindakan anarkis ini dihadapi dengan respon yang berlebihan dari aparat keamanan maka akan mengakibatkan tindakan yang semakin tidak terkendali yang berpuncak pada situasi chaos, yang tanpa disadari akan terjadinya pelanggaran HAM oleh aparat keamanan yang pada akhirnya justru menjadi pemicu terjadinya unjuk rasa yang lebih besar dan lebih anarkis.
2.      Bidang Pembinaan
a.       Pembinaan personel Polda Papua
Sesuai dengan UU Otsus, beberapa hal harus dipedomani dalam hal:
1.      Penerimaan Bintara dan Perwira Polri
Memberikan kuota tertentu pada masyarakat asli Papua untuk menjadi Bintara dan Perwira Polri. Kebijaksanaan dalam seleksi penerimaan memperhatikan sistem hukum yang berlaku di Papua, budaya dan adat istiadat serta Kebijaksanaan Gubernur Papua.
2.      Pendidikan
Kurikulum Pendidikan Dasar dan pelatihan Bintara Polri harus memasukkan muatan lokal. Muatan lokal ini menjadi sangat bermanfaat bagi para Bintara Polri dalam melaksanakan tugasnya, mengingat masyarakat asli Papua terdiri dari ratusan suku bangsa dengan adat istiadat yang berbeda pula.
3.      Penempatan Bintara dan Perwira Polri dari Luar Papua
Penempatan personel polisi tidak hanya memperhatikan aspek profesional kepolisian saja, tetapi harus dibekali pengetahuan tentang sistem hukum yang berlaku di Papua, adat istiadat dan budaya di masyarakat Papua. Dalam hal ini secara berkelanjutan Polda Papua wajib memberikan penyegaran dan pencerahan. Di samping hal tersebut di atas, penempatan personel di Papua juga harus mampu menghilangkan image atau kesan bahwa SDM Polri yang ditempatkan di Papua adalah SDM bermasalah dan salah satu penyebab permasalahan di Papua adalah bersumber dari SDM Polri yang ditugaskan di Papua. Untuk unsur pimpinan agar melalui seleksi khusus dan ada kejelasan tentang perjalanan karirnya.
b.      Penugasa personel Brigade Mobil (Brimob)
Untuk menunjang keberhasilan personel Brimob dalam menjalankan tugas di Papua, maka personel Brimob di samping memiliki kompetensi harus diberi pembekalan tentang sistem hukum yang berlaku di Papua, adat istiadat masyarakat Papua, dan pemahaman mengenai dampak dari risiko kegagalan tugas yang bersumber dari perilaku yang melanggar nilai HAM dan nilai budaya setempat.
c.       Kepemimpinan Polri di Papua
Mengingat masyarakat Papua sebagian besar beragama Nasrani, maka pimpinan Polri khususnya dan penegak hukum lainnya seyogyanya dipilih personel yang memiliki kemampuan beradaptasi dengan kelompok masyarakat yang beragama asrani. Untuk mendukung kebijakan ini, pejabat Polri pada semua level organisasi seyogyanya senantiasa ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan agama khususnya peringatan hari-hari besar agama Nasrani.

Otonomi Khusus di Papua dalam Rangka Mendukung Kamtibmas yang Kondusif
Makna otonomi khusus bagi Papua adalah kewenangan khusus bagi Pemda Provinsi Papua Barat untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang0undangan dalam kerangka NKRI. Makna lainnya adalah Pemda Provinsi Papua Barat memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan kinerja penyelenggaraan Pemda dan mengelola kekayaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Papua. Pelaksanaan otsus sendiri di Papua selama ini belum efektif, ada kendala dalam aspek regulasi, kelembagaan, aparatur, pemberdayaan masyarakat, manajemen pemerintahan dan pemekaran daerah.
Perdasus tentang pembagian dana otsus antara Provinsi dengan Kabupaten/Kota hingga saat ini belum selesai. Pelaksanaan pembagian dana otsus masih berpedoman pada peraturan gubernur Papua sehingga sebagian masyarakat menilai belum transparan dan belum menyentuh kebutuhan dasar masyarakat asli Papua. Tersendatnya penyelesaian Perdasus tentang pemilihan gubernur dan wakil gubernur turut menjadi tinjauan aspek regulasi. Sedangkan dari aspek kelembagaan adalah kurang harmonisnya hubungan antara Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat (DPRPB), dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Keberadaan MRP selama ini belum optimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai representasi kultural yang memperjuangkan kepentingan masyarakat adat, perempuan, dan agama.
Dari aspek aparatur Pemda, meskipun telah dilakukan langkah-langkah pengembangan kapasitas aparatur Pemda, namun belum memadai dalam mendukung peningkatan kinerja Pemda. Perlu disusun secara komperhensif program pengembangan kapasitas aparatur pemda dalam bentuk “program diklat” yang disertai “program pemagangan” dalam rangka meningkatkan kemampuan aparatur pemda Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Upaya pengembangan kapasitas aparatur Pemda semakin penting dilakukan, karena adanya peningkatan jumlah aparatur sejalan dengan bertambahnya daerah otonom baru, yang sejak era reformasi telah bertambah menjadi 40 Kab/Kota, yang semula hanya 9 Kab/Kota. Hingga saat ini masyarakat asli Papua belum terjangkau secara memadai dalam pelayanan kesehatan, pendidikan, dan perekonomian, serta terbatasnya penyediaan prasarana dan sarana publik, sehingga masih rendahnya tingkat kesejahteraan sebagian masyarakat asli Papua. Masyarakat asli Papua merasa terisolasi, terbelakang, dan tertinggal dibandingkan dengan masyarakat Indonesia pada umumnya, baik yang berdomisili di Papua maupun di wilayah lainnya.
Menurut aspek manajemen pemerintahan daerah, belum terwujudnya sinergi program antara program pemda provinsi dengan program pemda kabupaten/kotakarena belum efektifnya koordinasi perencanaan. Belum dilaksanakan secara efektif juga program-program pembangunan yang diamanatkan di dalam UU No. 21 Tahun 2001 khususnya pada bidang pendidikan, kesehatan, sosial, lingkungan hidup, serta kependudukan dan ketenagakerjaan yang belum banyak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat asli Papua. Dari aspek pemekaran daerah, kebijakan moratorium pemekaran daerah mulai berlaku sejak tanggal 3 Agustus 2009. Namun, usulan pemekaran daerah di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sampai saat ini masih terus bertambah. Berdasarkan data yang ada saat ini, terdapat 54 usulan pembentukan DOB yang terdiri dari 7 usulan pembentukan provinsi, 43 usulan pembentukan kabupaten, dan 4 usulan pembentukan kota. Hingga saat ini, usuan tersebut belum ditindaklanjuti.

Upaya Pemerintah untuk Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua
Sejak berlakunya otsus Papua, pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan otsus Papua. Upaya yang dilakukan pemerintah, antara lain:
·           Penyelesaian regulasi sesuai amanat UU Otsus Papua, yakni:
1.      PP No. 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua (diubah dengan PP No. 64 Tahun 2008)
2.      PP No. 19 Tahun 2010 tentang Gubernur sebagai wakil pemerintah (diubah dengan PP No. 23 Tahun 2011) yang berlaku secara umum termasuk di Papua.
·           Fasilitasi penyusunan Perdasi dan Perdasus
1.      Perdasi: 6 Perdasi sudah selesai dan 16 Perdasi belum selesai
2.      Perdasus: 3 Perdasus sudah selesai dan 10 Perdasus belum selesai
3.      Upaya Fasilitasi: Provinsi Papua telah berkonsultasi dengan Kemendagri 4 rancangan Perdasus dan 2 rancangan Perdasi, sedangkan Provinsi Papua Barat telah berkonsultasi 1 rancangan Perdasus dan 1 rancangan Perdasi
4.      Kemendagri mendorong Pemda Papua dan Papua Barat agar segera menyelesaikan Perdasi dan Perdasus
·           Fasilitasi penataan kelembagaan khususnya untuk pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP)
1.      Telah diterbitkan PP No. 54 Tahun 2004 tentang MRP. Pemerintah juga telah memfasilitasi pengisian anggota MRP periode 2005-2010.
2.      Untuk pengisian anggota MRP 2011-2016, telah ditetapkan Kepmendagri No. 161-223 Tahun 2011 tanggal 31 Maret 2011 dan telah dipisahkan antara MRP Provinsi Papua dan MRP Provinsi Papua Barat serta telah terpilih pimpinan masing-masing MRP.
3.      Pengangkatan anggota DPR Papua (11 orang) juga telah difasilitasi sebagai pelaksanaan putusan MK Nomor 116/PUU-VII/2009 melalui fasilitasi penyusunan Perdasus yang hingga saat ini masih dalam proses di daerah.
4.      Penyelesaian Perdasi pembentukan sekretariat MRP Provinsi Papua Barat juga turut difasilitasi.
5.      Penguatan kelembagaan MRP Provinsi Papua dan Papua Barat melalui program pengembangan kapasitas terutama untuk meningkatkan pemahaman mengenai wewenang, tugas dan fungsi MRP.
·           Pengembangan kapasitas aparatur pemda
1.      Untuk meningkatkan kompetisi aparatur Pemda dalam penyelenggaraan pemerintahan, telah dilakukan kegiatan-kegiatan seperti Diklat, seminar, workshop, studi banding, dan lain-lain.
2.      Mendirikan IPDN di kota Jayapura yang diresmikan pada 9-10 Desember 2011 oleh Mendagri. Kuota siswa/i IPDN tersebut masyoritas terdiri dari orang asli Papua sebanyak 167 siswa.i. pada kesempatan tersebut dilakukan penandatanganan MoU untuk kerja sama pengembangan kapasitas aparatur Pemda antara pemerintah pusat dengan pemda Provinsi Papua.
·           Pengelolaan dana otsus untuk pembangunan Papua
1.      Pada APBD Provinsi Papua dan Papua Barat, kontribusi dana otsus terhadap total pendapatan yaitu Papua 49,39% dan Papua Barat 61,65%.
2.      Bila dibandingkan dengan Provinsi lain yang memiliki jumlah penduduk yang hampir sama, perbandingan antara APBD Papua dengan Sulawesi Tenggara pada tahun 2011 sebesar 459,61%, sedangkan perbandingan antara APBD Papua Barat dengan Maluku Utara pada tahun 2011 sebesar 467,24%.
3.      Tren alokasi dana otsus di Papua dan Papua Barat dibandingkan dengan provinsi lain menunjukkan bahwa kedua provinsi tersebut mendapat perhatian lebih.
4.      Dana otsus yang telah diberikan pemerintah jauh lebih besar (Rp 28,927 Trilliun) daripada hasil yang diberikan Papua dan Papua Barat (Rp 18 Trilliun).
·           Penataan daerah atau pemekaran daerah
1.      Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, telah dibentuk daerah otonom baru yang semula 9 kabupaten/kota menjadi 40 kabupaten/kota (29 di Papua dan 11 di Papua Barat).
2.      Saat ini masih dalam tahap pengkajian atas usulan pembentukan daerah otonom baru yang berjumlah 7 provinsi dan 47 kabupaten/kota yang pelaksanaannya masih menunggu selesainyarevisi UU No. 32 Tahun 2004 yang juga mengatur mengenai pokok-pokok desain besar penataan daerah (desertada).

Tindak Lanjut untuk Efektivitas Pelaksanaan Otsus Papua
Ada sembilan langkah tindak lanjut untuk efektivitas pelaksanaan otsus Papua yang dapat dilakukan. Pertama adalah dengan meningkatkan kemampuan jajaran Pemda, DPRP/PB, dan MRP Provinsi Papua dan Papua Barat dalam penyeenggaran pemerintahan daerah. Kedua dapat juga dilakukan dengan memfasilitasi proses penyelesaian Perdasus dan Perdasi termasuk Perdasus pembagian dana otsus antara provinsi dengan kabupaten/kota. Kemudian ketiga perlu pula dilakukan penjajakan kemungkinan adanya PNS dari Papua dan Papua Barat untuk dalam waktu tertentu diperkerjakan di pemerintah pusat (kementerian/lembaga) atau provinsi lain, atau sebaliknya menempatkan PNS pusat untuk peendampingan dalam hal tertentu di Provinsi Papua dan Papua Barat. Keempat, memfasilitasi percepatan proses pemilihan gubernur dan wakil gubernur Provinsi Papua. Kelima adalah melakukan evaluasi tahunan pelaksanaan otsus secara komprehensif. Untuk tahun 2011 hasilnya dilaporkan pada akhir Desember 2011 dan selanjutnya akan dijadikan bahan penyempurnaan instrumen evaluasi dan solusi kebijakan untuk efektivitas pelaksanaan otsus Papua ke depan. Keenam, bersama instansi terkait melakukan sosialisasi keberadaan Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B). Ketujuh, membentuk tim asistensi Kemendagri dalam rangka melakukan pengawalan dan pendampingan pelaksanaan pembangunan dan pengembangan kapasitas pemda yang mulai bertugas pada awal tahun 2012. Kedelapan, melakukan pembinaan intensif atas penyelenggaraan pemda pada daerah otonom baru. Terakhir, kesembillan, melakukan kajian administratif dan teknis atas usulan pembentukan daerah otonom baru khususnya pembentukan provinsi.

Perkembangan Terakhir Papua dan Papua Barat
Akhir-akhir ini stabilitas keamanan di Papua kurang kondusif akibat terjadinya beberapa peristiwa seperti perampokan, perampasana, penyanderaan, peperangan antar suku, penembakan di puncak mulia dan di PT. Freeport, pembunuhan, dan konggres II yang berlanjut rusuk merupakan penyebab terganggunya stabilitas keamanan di Papua. Akar masalah yang terjadi di Papua antara lain penggunaan dana otonomi khusus yang beelum dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat asli Papua, lebarnya kesenjangan sosial ekonomi, dan tingginya dinamika politik dalam pelaksanaan Pilkada. Melalui koordinasi dengan instansi terkait dan pemda, Kemendagri terus melakukan langkah-langkah penanganan masalah kamtibmas di Papua.

Rekomendasi Terkait dengan Pembangunan
Terkait pembangunan, rekomendasi yang bisa diberikan adalah melakukan evaluasi pelaksanaan otsus sesuai hasil yang dicapai. Percepatan pembangunan Papua perlu menjadi prioritas utama bagi pemerintah Indonesia. Perlu dilakukan dialog yang konstruktif dengan para tokoh Papua untuk mendapatkan informasi atau aspirasi terkait dengan penyelesaian konflik di Papua. Pembangunan tanah papua harus melibatkan masyarakat, tokoh agama, dan tokoh adat. Perlu juga menempatkan putra daerah Papua untuk berkompetisi dalam berbagai bidang kegiatan pembangunan di luar Papua. Tokoh agama, tokoh adat, tokoh ormas/LSM dapat dirangkul untuk dapat menyatukan persepsi dalam membangun dan memajukan Papua dan Papua Barat.

Rekomendasi Terkait dengan Ketenteraman dan Ketertiban Papua
Rekomendasi yang diberikan untuk ketenteraman dan ketertiban di Papua adalah meningkatkan kerja sama yang harmonis antara APKAM dengan pemerintah dan masyarakat dalam memelihara ketenteraman dan ketertiban di daerah masing-masing. Perlu juga mengutamakan dialog dalam penyelesaian setiap masalah dan meningkatkan peran pemda dalam menyelenggarakan stabilitas keamanan nasional di daerah. Adanya kembali kegiatan siskamling serta penyelenggaraan kewaspadaan dini, deteksi dini, cegah dini, dan lapor cepat (kominda, FKDM) juga dapat menjadi rekomendasi. Rekomendasi lainnya adalah membangun jati diri bangsa melalui giat cinta tanah air dan wawasan kebangsaan serta perlunya kerja sama antara FKDM yang dibentuk oleh Kemendagri dengan ormas kepolisian dalam melakukan deteksi dini.

Partisipasi Tokoh Papua dalam Mendukung Kamtibmas
Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian mengamanatkan bahwa fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan tujuan adanya kepolisian negara adalah untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).
Fungsi sebagaimana disebutkan dalam UU No. 2 Tahun 2002 tersebut tentunya sudah diterjemahkan dalam kebijakan dan protap pelaksanaan operasional di lapangan oleh seluruh jajaran kepolisian termasuk oleh Kepolisian Daerah Papua. Namun demikian, dalam tataran operasionalisasi fungsi kepolisian di lapangan sering terjadi benturan. Benturan ini bisa terjadi karena persaingan kepentingan, atau karena kepentingan pribadi yang mengorbankan kepentingan umum atau bahkan kepentingan kelompok yang mempengaruhi fungsi Kepolisian.
Saya melihat kepolisian di Papua belum melaksanakan fungsi kepolisiannya secara benar dan profesional. Pola penanganan Kamtibmas di Papua bernuansa represif, sehingga hubungan emosional ataupun kemitraan aparat kepolisian dengan masyarakat semakin jauh. Masyarakat memandang polisi sebagai musuh dalam selimut sehingga enggan melapor ke polisi apabila menemukan suatu masalah di lingkungannya. Represifme pola penanganan Kamtibmas di Papua dapat dilihat dalam menghadapi setiap gerakan aksi masyarakat di mana aparat yang bertugas lebih menunjukkan arogansi, akhirnya menimbulkan kekisruhan keadaan, lalu terjadi huru hara yang sulit terkendali, dan bahkan menimbulkan korban yang sulit dipertanggungjawabkan siapa pelakunya.
Dalam undang-undang No. 2 Tahun 2001 tentang otonomi khusus Papua diamanatkan bahwa kepolisian daerah Papua dalam melaksanakan tugasnya harus memperhatikan sistem hukum, budaya, adat istiadat di daerah penugasan. Demikian pula dalam penempatan baru atau relokasi satuan Kepolisisan terkoordinasi dengan Gubernur. Dan juga dalam hal untuk menjadi Perwira, Bintara, Tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di provinsi Papua dengan memperhatikan sistem hukum, budaya, adat istiadat yang diselaraskan dengan kebijakan Gubernur Provinsi Papua, diberi kurikulum muatan lokal dan lulusannya diutamakan untuk penugasan di Provinsi Papua. Disinilah perlu dilibatkan peran tokoh Papua untuk ikut berpartisipasi memberikan pandangan tentang sistem dan nilai-nilai kearifan lokal kepada para Calon Perwira, Bintara, Tamtama Polri yang nantinya bertugas di Papua.
Sudah seharusnya kepolisian di Papua bertugas secara profesional, memahami fungsinya sebagai pelindung, pengayom masyarakat dan sebagai penegak hukum serta keadilan. Aparat Kepolisian sebaiknya lebih terkonsentrasi pada tugas pokoknya melindungi dan pengamanan dalam kota dari potensi ancaman dan gangguan kriminal, terorisme, penyebaran narkoba, ilegal logging, ilegal minning, dan lain-lain. Tidak terjebak dalam kepentingan sempit yang mengorbankan kepentingan umum. Jika kepolisian Papua bertugas pada tataran yang jelas dengan pendekatan yang save power, maka akan memudahkan partisipasi peran tokoh untuk ikut memperkuat sistem kamtibmas semakin nyata, tetapi kondisi di Papua saat ini sangat sulit keteribatan peran para tokoh Papua. Hal ini karena kelompok masyarakat yang dirugikan oleh aparat kepolisian semakin banyak, sehingga sangat sulit posisi para tokoh Papua untuk berbicara kebenaran yang hakiki kepada masyarakat. Apalagi dengan penambahan personel kepolisian dari luar Papua, semakin membuat kisruh psikologi keamanan masyarakat Papua. Rakyat Papua menjadi trauma ketika melihat semakin banyak aparat bersenjata hadir di lingkunganya karena kehadirannya pasti akan menimbulkan situasi ketidaknyamanan. Dengan kondisi seperti itu sebaiknya Pimpinan Polri harus mengubah kebijakan, jangan lagi menambah kekuatan Polri dari luar Papua, tetapi lebih dioptimalkan personel Polri dari Papua sendiri.

Pelaksanaan Teritorial dalam mendukung Kamtibmas di Papua demi Kedaulatan NKRI
Doktrin teritorial nusantara (dokternus) terdiri dari pembinaan wilayah dan pembinaan teritorial. Pembinaan wilayah menghasilkan prosperity, sedangkan pembinaan teritorial menghasilkan security. Sehingga ketika keduanya disatukan akan menghasilkan strong national resilience. Pembinaan teritorial (binter) menggunakan sistem senjata teknik (sistek) dan sistem senjata sosial (sissos), yang tujuannya adalah membentuk kesiapan tempur dan ketahanan mental. Binter terdiri dari operasi teritorial (opster) dan kegiatan-kegiatan teritorial (giatter). Opster berhubungan dengan potensi pertahanan dan bertujuan mengembalikan atau memelihara kewibawaan pemerintah, sementara giatter berhubungan denga organ TNI, Polri dan masyarakat untuk memelihara kekuasaan pemerintah tak terikat waktu dan ruang.
Pulau Papua terbagi menjadi dua, bagian barat provinsi Papua, Indonesia dan bagian timur wilayah Negara Papua New Guinea. Papua bagian barat dijajah oleh Belanda, sedangkan bagian timur dijajah oleh Inggris dan Portugis. Belannda dengan politik adu domba dan Inggris denga politik Commonwealth.
Menurut Soedjati Djiwandono (1999), would we prefer to have a single nationa-state out of this huge but almost unmanageable archipelago. Marked by abject poverty among the majority of people, by continued injustice, continous tension and conflicts because of seemingly irreconcilable differences in ethnic, religious and cultural terms? Or at the risk of being dubbed “blusphemous”, to split peacefully into 2, 3, 4, or even 5 smaller nation-states with a greater chance and hope for peace, greater prosperity, equality and justice for all?
Usulan yang diberikan Kodam XVII/Trikora adalah dengan pembentukan brigade infanteri khusus, satuan tugas tempur laut, 1 flight tempur taktis dan 1 flight tempur strategis, serta satuan radar kohanudnas.
Isu yang berkembang di awal abad XXI adalah perihal globalisasi, hak asasi manusia, demokrasi, dan lingkungan hidup. Kesemuanya ini bersentuhan langsung dengan masyarakat dan masyarakat perlu tahu persis bagaimana menghadapi isu tersebut.

Kebijakan Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat
Sejak awal integrasi Papua ke dalam NKRI, harus diakui ada setitik persoalan yang tertinggal, yaitu sejarah integrasi itu sendiri. Namun, apabila ditelusuri dan ditera dengan akal budi dan pikiran sehat, sebenarnya hal tersebut bermula darii latar belakang sejarah penjajahan Belanda dan keberadaan Hindia Belanda. Apapun, sejarah juga menyatakan bahwa resolusi PBB tahun 2505 telah menempatkan Papua dalam kedaulatan NKRI. Kalaupun kemudian di awal integrasi muncul ketidakpuasana sebagian masyarakat Papua, hal itu manusiawi. Tetapi mengangkat senjata untuk melakukan protes merupakan pengingkaran terhadap demokrasi, apalagi diukur dengan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Yang menjadi persoalan adalah mengapa perlawanan yang tadinya hanya dilakukan oleh TPN/OPM tertransformasi menjadi perlawanan masyarakat? Pasti ada perlakuan yang salah selama lebih dari 45 tahun Papua dalam administrasi pemerintahan NKRI. Transformasi ideologi merdeka dapat digambarkan dengan:
ORDE BARU

                                                                            PEMBANGUNAN

                                                                                                REFORMASI
 
1963                                                                     1998                            2011
                                                                                                                                    OPM
                                                                                                                                    +
                                                                                                                                    MSYRKT



Beberapa fenomena yang kerap terjadi saat itu adalah sebagai berikut. Perbedaan tajam tentang permaslahan Papua di antara fraksi yang ada. Keterlibatan pimpinan keagamaan yang meluas dalam dinamika politik di Papua. Perbedaan tajam perspektif sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI. Kekerasan negara dan pelanggaran HAM. Pengembangan image kegagalan dan pengembalian otsus Papua. Marjinalisasi dan ketidakberpihakan terhadap OAP. Hak dan Tanah Ulayat. Stigmatisasi sparatisme terhadap OAP. Ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan keamanan di Papua. Realita penghormatan dan penegakan HAM. Rendahnya pelayanan kesehatan dan pendidikan. Image pembangunan yang hanya berorientasi ke Jakarta. Isu depopulasi OAP dan pembatasan arus migrasi ke Papua. Perjuangan di fora internasional. Keseluruhan fenomena tersebut di atas menghasilkan ketidakpercayaan di masyarakat (public distrust).
Kondisi integrasi di Papua sendiri tidaklah cukup baik. Akibat inkonsistensi implementasi otsus dan kontroversi pelanggaran HAM muncullah masalah pada integrasi sosial. Masalah ini akan menjadi ancaman karena 1969 integrasi teritori Papua ke dalam NKRI usai. Mengapa usai? Karena dalam sidang umum yang menghasilkan Resolusi PBB 1825 dihadiri 111 negara di mana 80 negara setuju integrasi ke dalam NKRI dan 31 negara abstain sedangkan tidak ada negara tidak setuju.
Kebijakan dan program pemerintah yang dilakukan secara sistematis, terencana, terukur, dan sinergis dengan berbagai upaya yang dilakukan swasta dan masyarakat untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat di Tanah Papua.
Percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dan Papua Barat. Pelaksanaannya adalah melalui peningkatan koordinasi, sinergi dan sinkronisasi perencanaan, serta pengendalian pelaksanaan program dan kegiatan yang berasal dari berbagai sumber pendanaan dan pelaku pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara. Percepatan pembangunan ini mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional tahun 2010-2014 dan RPJM Provinsi Papua dan Papua Barat serta memperhatikan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) pada koridor ekonomi Papua-Kepulauan Maluku. Strategi pendekatan yang dapat dilakukan adalah pendekatan pembangunan sosial ekonomi dan sosial politik dan budaya. Dari sosial ekonomi dilakukan melalui peningkatan hasil guna dan daya guna pelayanan publik di bidang ketahanan pangan, penanggulangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, transportasi terpadu, infrastruktur dasar, dan pengembangan ekonomi rakyat. Sementara itu dari sosial politik dan budaya dilakukan melalui pembangunan komunikasi yang konstruktif antara pemerintah dan masyarakat Papua dan Papua Barat.
Percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat bidang sosial ekonomi dapat dilakukan dengan menyusun prioritas. Untuk ketahanan pangan, prioritaskan ketahanan pangan pada daerah rawan pangan melalui pengembangan tanaman pangan lokal di kawasan pedesaan dan kawasan terisolir. Sedangkan untuk penanggulangan kemiskinan, prioritaskan pada pemberian bantuan jaminan sosial, pengembangan kapasitas dan pemberian modal usaha bagimasyarakat tertinggal. Prioritaskan juga pengembangan kelompok usaha tani, nelayan, perdagangan, serta usaha mikro untuk melembagakan kegiatan produktif dan meningkatkan pendapatan warga di tingkat kampung. Dari segi infrastruktur dasar, prioritas dapat diberikan pada dukungan pelayan transportasi terpadu, energi, telekomunikasi, serta air bersih dan sanitasi melalui pendekatan kawasan. Prioritas lainnya perlu diadakan pada peningkatan pelayanan posyandu, puskesmas pembantu, puskesmas tingkat distrik, serta peningkatan kemampuan masyarakat dalam pelayanan poskes tingkat kampung. Peningkatan pelayanan pendidikan dasar terutama untuk memastikan kegiatan belajar dapat berjalan di seluruh wilayah kampung dengan fasilitas dan jumlah guru yang memadai serta perlu menyiapkan pendidikan kejuruan. Affrimative action yang dapat diambil adalah dengan program peningkatan khusus bagi pengembangan kualitas SDM putra putri Papua dan Papua Barat baik di sektor pemerintahan daerah maupun sektor swasta.
Percepatan bidang sosial politik dan budaya dapat dilakukan dengan beberapa usaha. Pertama, pemetaan masalah yang menjadi sumber perbedaan (konflik) antara Pemerintah dan masyarakat Papua baik dari aspek politik maupun pendekatan hukum dan HAM. Kedua, pemetaan dan pendekatan terhadap kelompok-kelompok strategis di dalam masyarakat Papua dalam rangka membangun kesepahaman tentang masalah politik dan budaya antara masyarakat Papua dan pemerintah. Ketiga, merumuskan rencana kebijakan politik yang memperhatikan budaya lokal dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah. Keempat, mempersiapkan mekanisme dan substansi komunikasi konstruktif antara wakil-wakil masyarakat Papua dan pemerintah dalam rangka menyepakati penyelesaian bersama masalah-masalah sosial politik dan sosial budaya dalam kerangka NKRI.
Terdapat program-program yang menjadi kebijakan pendukung percepatan dan pembangunan Papua dan Papua Barat. Program pertama adalah program penguatan dan pengendalian pemanfaatan ruang serta pengelolaan pertahanan dengan memprioritaskan pada percepatan penyusunan RT/RW, Provinsi, Kabupaten, dan Kota, serta pengelolaan administrasi pertahanan yang terkait dengan hak ulayat. Program berikutnya adalah program peningkatan stabilitas keamanan dan ketertiban terutama di daerah rawan kejahatan dan berpotensi konflik antar kelompok masyarakat. Program lainnya adalah program penguatan kapasitas kelembagaan dan aparatur pemerintahan daerah dan penyusunan Perdasi dan Perdasus serta pencegahan dan pemberantasan korupsi dan penegakan hukum.
Percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat menjadi tanggung jawab Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Tugas dari UP4B ini adalah membantu Presiden dalam melakukan dukungan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan, fasilitasi, serta pengendalian pelaksanaan percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Dukungan yang dimaksud adalah berupa koordinasi, sinkronisasi dan fasilitasi perencanaan program P4B. Koordinasi dan sinkronisasi juga dilakukan pada pendanaan program P4B. Seain itu, perlu juga pengendalian dan evaluasi pelaksanaan program P4B serta peningkatan kapasitas kelembagaan dan aparatur pemerintah daerah dan peningkatan komunikasi konstruktif. UP4B memiliki kewenangan dalam melaksanakan koordinasi dengan menteri, pimpinan LNK, lembaga lain, dan kepala pemerintahan daerah dalam merencanakan rencana aksi. Kewenangan lainnya adalah mendapatkan informasi dan dukungan teknis dalam pelaksanaan tugasnya dari kementerian, LNK, pemerintah daerah dan pihak terkait lainnya. Kemudian UP4B juga berwenang memonitor, menyarankan penyelarasan program dan kegiatan serta memperbaiki kinerja pelaksanaan kegiatan terkait dengan upaya UP4B. Memberikan alternatif solusi jika terjadi ketidaksepakatan dalam penetapan program dan kegiatan antara rencana kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
UP4B bekerja dengan visi mewujudkan masyarakat Papua dan Papua Barat yang bermartabat dan bangga menjadi bagian integral bangsa Indonesia. Untuk mencapai visi tersebut, UP4B membawa misi melaksanakan percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat untuk mengembalikan public trust, meletakkan landasan pembangunan yang berkelanjutan dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, memberikanrekognisi dan pemihakan kepada masyarakat Papua dan Papua Barat dalam rangka optimalisasi keberhasilan UU Otsus Papua.
Konsep yang dikembangkan oleh UP4B adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat Papua dan Papua Barat dengan mendorong dan memastikan percepatan pembangunan yang mengutamakan pendekatan kesejahteraan baik melalui pembangunan di bidang sosial ekonomi maupun sosial politik dan budaya secara serasi dan seimbang dengan memproritaskan wilayah pegunungan tengah dan daerah terisolir lainnya. Pendekatan pembangunan dibidang sosial ekonomi dilaksanakan dengan mengkoordinasikan, mensinergiskan, mendorong dan memastikasn serta mengendalikan dan mengevaluasi pelaksanaan pembangunan baik APBN dan APBD serta program quick wins, serta mendoron, mengkoordinasi dan memfasilitasi program pembangunan inisiatif yang melibatkan masyarakat Indonesia khususnya di bidang pelayanan kesehatan dan pendidikan di distrik-distrik terpilih kawasan pegunungan tengah dan daerah terisolir lainnya. Pendekatan pembangunan di bidang sosial politik dan budaya diutamakan untuk menumbuhkembangkan dialog yang konstruktif dengan seluruh komponen masyarakat dalam rangka membangun ownership masyarakat baik dalam konteks NKRI maupun masyarakat bangsa Indonesia.

Dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya, UP4B memiliki prioritas di masing-masing aspek kehidupan masyarakat Papua dan Papua Barat. Dalam tata kelola pemerintahan, prioriatas diberikan untuk mendorong dan memastikan good governance dapat dijalankan. Dalam pembangunan infrastruktur, diprioritaskan mendorong dan memastikan bahwa program pembangunan infrastruktur dasar dan jalan di wilayah Asmat untuk membuka wilayah tengah dapat berjalan. Dalam program pemihakan, mendorong dan memastikanaffirmative action dapat berjalan baik di sektor pemerintahan maupun swasta. Dalam bidang hukum dan HAM, mendorong dan memastikan penghormatan dan penegakkan HAM dapat dilaksanakan, korupsi dapat dicegah dan diserahkan kepada pihak yang berwenang. Dalam bidang pendidikan, mendorong dan memastikan program pendidikan dasar berjalan di tingkat kampung dan pendidikan menengah berjalan di tingkat distrik. Dalam bidang kesehatan, mendorong dan memastikan program pelayanan Pos Kesehatan Kampung, Puskesmas Pembantu dan Puskesmas di tingkat distrik dapat berjalan. Dalam bidang politik, memastikan implementasi UU No. 21 Tahun 2001 termasuk terwujudnya Perdasus dan Perdasi; format komunikasi konstruktif terbenutk dan menghasilkan komitmen bersama dalam membangun Papua dan Papua Barat. Dalam bidang ekonomi, mendorong dan memastikan bahwa relasi-relasi sosial masyarakat dapat berfungsi dan berjalan dengan bail. Dalam bidang budaya, mendorong dan memastikan penghormatan terhadap hak ulayat dan hukum adat dalam kehidupan bermasyarakat di Papua. Dalam bidang keamanan, mendorong dan memastikan pengelolaan kamtibmas di Papua berjalan proporsional. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar