ad

Jumat, 21 Desember 2012

Pesona “Miring” Gunung Kemukus


Kawasan wisata Gunung Kemukus merupakan sebuah bukit dengan ketinggian sekitar 300 meter di atas permukaan laut yang menjorok ke tengah Waduk Kedung Ombo, Sragen. Di sini terdapat komplek makam Pangeran Samudro yang ramai diziarahi setiap malam Jumat Pon (dalam penanggalan Jawa).

Secara geografis, kawasan wisata Gunung Kemukus terletak sekitar 29 Km di sebelah utara kota Solo. Dari Sragen berjarak sekitar 34 Km ke arah utara. Jarak tersebut bisa dicapai dengan menggunakan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Dari kota Sragen dapat ditempuh selama sekitar 45 menit dengan kendaraan bermotor melewati jalan Sragen – Pungkruk/Sidoharjo – Tanon – Sumberlawang/Gemolong – Gunung Kemukus. Sedangkan dari kota Solo dapat dicapai menggunakan kendaraan bermotor selama 30 menit, melewati jalan Solo – Purwodadi turun di Barong kemudian menuju Gunung Kemukus dengan perahu menyeberangi Waduk Kedung Ombo.

Komplek makam Pangeran Samudro terdiri dari bangunan utama berbentuk rumah joglo dengan dinding batu bata dan bagian atas berdinding kayu papan. Di dalamnya terdapat tiga makam: satu makam besar yang ditutupi kain selambu sebagai makam Pangeran Samudro dan R.Ay. Ontrowulan; dan dua makam lainnya adalah makam dua abdi setia Pangeran Samudro.

Kemudian di sebelah kanan makam terdapat sendang (sumber air) yang bernama “Sendang Ontrowulan”. Sendang tersebut merupakan tempat bersuci R.Ay. Ontrowulan ketika akan menemui puteranya yang sudah meninggal. Air sendang tersebut dikenal tidak pernah habis, sekalipun di musim kemarau.

Sejarah

Pangeran Samudro dan pengikutnya sebenarnya sangat diharapkan untuk kembali ke Kesultanan Demak oleh Sultan Demak. Namun, ajal terlebih dulu menjemput Pangeran Samudro. Sultan Demak mengatakan, “Menurut hematku bahwa sakitnya Si Samudro itu sudah tidak bisa diharapkan untuk membaik dan jauh kemungkinan untuk sampai ke Demak. Kiranya jika memang sudah menjadi suratan Yang Maha Kuasa bahwasanya sampai di situ saja riwayatnya, maka saya memberi petunjuk jika Si Samudro sudah sampai ajalnya, maka kebumikanlah jasadnya pada suatu tempat di bukit arah barat laut dari tempat Pangeran Samudro meninggal. Sebab, boleh jadi kelak di sekitar tempat itu akan menjadi ramai sehingga dijadikan teladan orang-orang di sana.”

Pada mulanya keadaan di lokasi Makam Pangeran Samudro sangatlah sepi dan jarang dijamah orang karena letaknya di tengah hutan belantara, serta banyak dihuni oleh binatang-binatang buas. Namun, sedikit demi sedikit keadaan berubah setelah daerah tersebut dihuni penduduk.

Konon di atas bukit tempat Pangeran Samudro dimakamkan, apabila menjelang musim hujan ataupun kemarau tampaklah kabut-kabut hitam seperti asap (kukus). Karena hal itulah, penduduk setempat menyebut bukit itu “Gunung Kemukus” sampai dengan saat ini.

Setelah menerima kabar dari abdi dalem Pangeran Samudro, Sultan Demak lalu menyampaikan berita meninggalnya Pangeran Samudro tersebut kepada ibu Pangeran Samudro, R.Ay. Ontrowulan. Terkejutlah beliau mendengar berita tersebut dan memutuskan untuk menyusul ke tempat Pangeran Samudro dimakamkan. Kepergian ibunda Pangeran Samudro ke makam puteranya diantar oleh abdi Pangeran Samudro yang setia. Ibunda Pangeran Samudro berniat untuk bermukim di dekat Makam Pangeran Samudro dan merawat makam puteranya tersebut.

Setelah tiba di pemakaman, ibunda Pangeran Samudro langsung merebahkan badannya sambil merangkul pusara putera satu-satunya yang amat dicintainya. Sampai pada suatu ketika ia merasa bertemu kembali dengan puteranya serta dapat bertatap muka dan berdialog secara gaib: “Oh Ananda begitu sampai hati meninggalkan aku dan siapa lagi yang kutunjuk sebagai gantimu, hanya engkau satu-satunya putraku dan aku tidak dapat berpisah denganmu”.

Pangeran Samudro menjawab: “Oh Ibunda, Bunda tentu tidak dapat berkumpul dengan Ananda, sebab ibunda masih berbadan jasmani dan selama belum melepas raga, untuk itu harus bersuci terlebih dahulu di sebuah ‘sendang’ yang letaknya tidak jauh dari tempat ini.”

Setelah terbangun dan tersadar dari pertemuan dengan puteranya, ibunda bangkit dan pergi ke sendang yang dikatakan puteranya untuk bersuci. Setelah itu, rambutnya yang sudah terurai dikibas-kibaskan dan jatuhlah bunga-bunga penghias rambutnya. Konon bunga-bunga tersebut tumbuh mekar menjadi pepohonan “Nagasari” yang dapat dijumpai di sekitar lokasi hingga kini.

Lantaran tebalnya rasa kepercayaan ibunda Pangeran Samudro yang melampaui batas keprihatinan, ibunda akhirnya dapat mencapai muksa secara gaib sampai badan jasmaninya. Tak seorang pun tahu ke mana perginya R.Ay. Ontrowulan atau dengan kata lain ibunda Pangeran Samudro hilang tak tentu rimbanya. Untuk mengenang peristiwa bersuci R.Ay. Ontrowulan, lalu diberi nama “Sendang Ontrowulan”.

Sampai kini, pemakaman Pangeran Samudro nyaris tak pernah sepi peziarah. Setiap hari selalu ada peziarah kendati tidak banyak. Beberapa di antara mereka bahkan ada yang melakukan suatu pantangan/sesirih tertentu, misalnya melakukan pati geni selama beberapa hari di sana. Biasanya setiap Kamis malam Jum’at jumlah pengunjung lebih banyak daripada hari-hari biasa.  Dan setiap Kamis malam Jumat Pon dan Kamis malam Jumat Kliwon merupakan puncak kunjungan wisatawan/peziarah. Tidak kurang dari 10.000 pengunjung dari berbagai daerah di Jawa dan luar Jawa datang untuk berziarah di tempat ini.

Puncak kunjungan peziarah terjadi setiap malam Jumat Pon di bulan Suro (kalender Jawa). Di bulan Suro, pengunjung malam Jumat Pon mencapai 15.000 orang dan pada malam Jumat Kliwon mencapai 7.000 orang. Pada hari pertama di bulan Suro diadakan ritual pencucian selambu makam Pangeran Samudro, yang biasa disebut dengan ritual Larab Slambu/Larab Langse, yang dilanjutkan dengan pentas wayang kulit semalam suntuk sebagai acara rutin tahunan di obyek wisata ini.

Mengapa puncak di malam Jumat Pon? Menurut tradisi dan literatur yang ada, hal ini bertolak dari kisah pada zaman kerajaan Demak. Pada suatu ketika di hari Jumat Pon, setelah Sultan Demak melaksanakan shalat berjamaah (Jum’atan), beliau melayangkan pandangannya ke atas dan dilihatnya sebuah bingkisan. Kejadian tersebut tidak diketahui oleh seorang pun kecuali oleh Sultan sendiri. Bingkisan tersebut lalu diambil dan di dalamnya terdapat kain putih yang bertuliskan “Ini adalah pakaian untuk bekel (Senopati) Tanah Jawa”. Sebuah benda berbentuk “Kotang Ontokusumo”. Kemudian menurut adat, pakaian ini dikenakan oleh orang yang akan memangku jabatan Pangeran Pali.

Kejadian itu lalu dijadikan sebagai ketentuan dengan para wali. Ketentuan di mana apabila Sultan Demak berkenan mengadakan pertemuan dengan para wali, maka waktunya ditentukan tepat pada hari Jumat Pon untuk memperingati peristiwa penemuan Pusaka Kotang Ontokusumo.

Berdasarkan pada cerita tersebut, masyarakat sekitar kantas menjadikan malam Jumat Pon sebagai puncak tahlilan/do’a bersama. Sampai saat ini, pada setiap malam Jumat Pon banyak orang berduyun-duyun datang untuk berziarah ke Makam Pangeran Samudro di Gunung Kemukus.

Inti ziarah

Di kalangan orang Jawa sempat berkembang ihwal makna ziarah dalam mencapai sebuah cita-cita. “Sing sopo duwe panjongko marang samubarang kang dikarepke bisane kelakon iku kudu sarono pawitan temen, mantep, ati kang suci, ojo slewang-sleweng, kudu mindeng marang kang katuju, cedhakno dhemene kaya dene yen arep nekani marang panggonane dhemenane” (Kadjawen, Yogyakarta: Oktober 1934)
Petikan naskah atau wacana tersebut memang dapat ditafsirkan keliru, khususnya oleh masyarakat awam. Ada pendapat yang keliru yang mengatakan bahwa apabila berziarah ke Makam Pangeran Samudro harus seperti ke tempat kekasih/dhemenan. Dalam pengertian bahwa berziarah ke sana harus membawa isteri simpanan atau teman kumpul kebo serta melakukan hubungan seksual dengan bukan isteri atau suami yang sah.. Parahnya, pendapat tersebut telah diterima oleh sebagian besar masyarakat.

Munculnya pendapat tersebut bermula dari penafsiran pengertian kata “dhemenan”. Pengertian kata “dhemenan” dalam bahasa Jawa diartikan kekasih lain yang bukan isteri/suami sah (pasangan kumpul kebo), kekasih gelap, isteri/suami simpanan. Sehingga, pengertiannya menjadi apabila ziarah ke Makam Pangeran Samudro harus membawa dhemenan. Dan inilah yang kemudian menjadi semacam pesona miring Gunung Kemukus.

Arti sesungguhnya dari kata “dhemenan” dalam konteks naskah dalam bahasa Jawa tersebut adalah keinginan yang diidam-idamkan, cita-cita yang ingin segera terwujud/tercapai seperti seakan-akan ingin menemui kekasih. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa inti ziarah di Makam Pangeran Samudro di Gunung Kemukus adalah apabila punya kemauan, cita-cita yang ingin dicapai atau apabila menghadapi rintangan yang menghalangi jalan untuk mencapai cita-cita/tujuan tersebut harus dilakukan dengan cara sungguh-sungguh, hati yang bersih suci dan konsentrasi pada cita-cita dan tujuan yang akan dicapai/dituju. Dengan demikian, terbukalah jalan untuk mencapai cita-cita dan tujuan tersebut dengan mudah.

Masih saja miring

Suatu malam Jumat Pon, sebagaimana dilansir koran Jawa Pos, tempat peziarahan Gunung Kemukus penuh sesak para pengunjung. Meskipun lokasinya kini sudah terpisah dengan daratan Kecamatan Sumberlawang, akibat genangan air proyek waduk raksasa Kedung Ombo beberapa tahun lewat, namun minat para peziarah yang berdatangan dari berbagai daerah nyaris tak pernah surut.

Dengan menggunakan sampan, mereka dengan sabar meniti perairan Kedung Ombo untuk bisa mencapai lokasi Gunung Kemukus. Ini merupakan satu-satunya cara menuju tempat itu, setelah jembatan beton penghubung antara Kecamatan Sumberlawang dan Gunung Kemukus lenyap ditelan genangan air waduk.

Ongkos menuju ke sana memang menjadi lebih mahal sejak hubungan darat terputus oleh genangan waduk. Sebab, selain harus membayar retribusi, parkir mobil/sepeda motor, membeli seperangkat alat berziarah seperti kembang, minyak wangi, dan kemenyan madu, para peziarah sekarang juga harus membayar ongkos penyeberangan yang cukup mahal. “Tapi kalau pas musim kemarau panjang, biasanya debit air waduk turun drastis. Pada saat itulah jembatan beton tampil lagi ke permukaan, sehingga para peziarah bisa ke Gunung Kemukus lewat darat,” tutur Paryanto, seorang nelayan setempat yang juga bertindak sebagai penyedia jasa penyeberangan perahu.

Apalah artinya ongkos mahal dibandingkan dengan berkah yang bakal di bawa pulang para peziarah? Setidaknya ada dua alasan, mengapa banyak orang dari berbagai penjuru daerah masih suka berbondong-bondong untuk ngalap berkah (mengais rezeki) ke makam Pangeran Samodro, yang punden-nya berada tepat di puncak Gunung Kemukus? Pertama, tentu tak lepas dari rezeki. Sedang yang kedua berkaitan erat dengan birahi.

Konon, bagi kaum perempuan, berziarah ke makam Pangeran Samodro, diyakini bisa mendatangkan banyak rezeki. Itu sebabnya, perempuan-perempuan yang berziarah ke sana sebagian besar berprofesi sebagai pengusaha. Baik pengusaha penggilingan padi, pengusaha rumah makan, pedagang pasar, dan lain sebagainya.

Celakanya, apabila keinginan mereka ingin cepat terkabul, konon selepas melakukan ritual peziarahan yang diawali dengan mandi di sendang serta melantunkan doa-doa khusus yang dibimbing seorang juru kunci makam Pangeran Samodro, para peziarah perempuan harus menjalani ritual lainnya, yaitu mandi birahi dengan lelaki yang bukan suaminya.

Bagaimana mereka bisa saling berjodoh dalam petualangan yang terkesan liar itu? Sejak Kamis Pahing (siang hari), rombongan peziarah --baik laki-laki maupun perempuan-- yang belum saling kenal sering kali bercanda terlebih dulu. Bagi yang sudah paham, bahwa memburu berkah ke Gunung Kemukus seseorang harus berani bercinta dengan lawan jenis yang bukan muhrimnya, biasanya lantas mengikat janji.
Bilamana janji sudah disepakati, maka pada malam Jumat Pon seusai menjalani prosesi ziarah di makam Pangeran Samodro, berpasang-pasang kekasih dadakan tadi bebas melakukan apa saja, termasuk berhubungan intim layaknya suami-isteri. Terus di mana mereka harus bersebadan?

Di masa lalu, ketika segala sesuatu masih gampang ditutup dengan uang, adegan seks bebas bisa dengan aman dilakukan di semak-semak atau di balik rerimbunan pohon sekitar kompleks makam. Mereka begitu santai dan tidak merasa risih walau di sela-sela rerimbunan pohon ada sepasang mata yang mengintipnya.

Karena adegan demi adegan orang dewasa saat itu bisa dipertontonkan secara vulgar, maka Gunung Kemukus pun di cap masyarakat luas sebagai tempat peziarahan paling mesum di Indonesia. Atas tudingan ini, Pemerintah Kabupaten Sragen sempat kebakaran jenggot. Operasi yang melarang perbuatan mesum di sekitar makam Pangeran Samodro pun digelar saban malam Jumat Pon. Namun operasi itu terkesan setengah hati. Pemkab tidak berani menutup sama sekali tempat peziarahan tersebut, lantaran sumbangan yang diberikan untuk memacu Pendapatan Asli Daerah (PAD), tergolong besar. (dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar