Kawasan wisata Gunung Kemukus merupakan sebuah
bukit dengan ketinggian sekitar 300 meter di atas permukaan laut yang menjorok
ke tengah Waduk Kedung Ombo, Sragen. Di sini terdapat komplek makam Pangeran
Samudro yang ramai diziarahi setiap malam Jumat Pon (dalam penanggalan Jawa).
Secara geografis, kawasan wisata Gunung Kemukus
terletak sekitar 29 Km di sebelah utara kota Solo. Dari Sragen berjarak sekitar
34 Km ke arah utara. Jarak tersebut bisa dicapai dengan menggunakan kendaraan
pribadi maupun kendaraan umum. Dari kota Sragen dapat ditempuh selama sekitar 45
menit dengan kendaraan bermotor melewati jalan Sragen – Pungkruk/Sidoharjo –
Tanon – Sumberlawang/Gemolong – Gunung Kemukus. Sedangkan dari kota Solo dapat dicapai
menggunakan kendaraan bermotor selama 30 menit, melewati jalan Solo – Purwodadi
turun di Barong kemudian menuju Gunung Kemukus dengan perahu menyeberangi Waduk
Kedung Ombo.
Komplek makam Pangeran Samudro terdiri dari bangunan
utama berbentuk rumah joglo dengan dinding batu bata dan bagian atas berdinding
kayu papan. Di dalamnya terdapat tiga makam: satu makam besar yang ditutupi
kain selambu sebagai makam Pangeran Samudro dan R.Ay. Ontrowulan; dan dua makam
lainnya adalah makam dua abdi setia Pangeran Samudro.
Kemudian di sebelah kanan makam terdapat sendang
(sumber air) yang bernama “Sendang Ontrowulan”. Sendang tersebut merupakan
tempat bersuci R.Ay. Ontrowulan ketika akan menemui puteranya yang sudah
meninggal. Air sendang tersebut dikenal tidak pernah habis, sekalipun di musim kemarau.
Sejarah
Pangeran Samudro dan pengikutnya sebenarnya sangat
diharapkan untuk kembali ke Kesultanan Demak oleh Sultan Demak. Namun, ajal
terlebih dulu menjemput Pangeran Samudro. Sultan Demak mengatakan, “Menurut
hematku bahwa sakitnya Si Samudro itu sudah tidak bisa diharapkan untuk membaik
dan jauh kemungkinan untuk sampai ke Demak. Kiranya jika memang sudah menjadi
suratan Yang Maha Kuasa bahwasanya sampai di situ saja riwayatnya, maka saya
memberi petunjuk jika Si Samudro sudah sampai ajalnya, maka kebumikanlah
jasadnya pada suatu tempat di bukit arah barat laut dari tempat Pangeran
Samudro meninggal. Sebab, boleh jadi kelak di sekitar tempat itu akan menjadi
ramai sehingga dijadikan teladan orang-orang di sana.”
Pada mulanya keadaan di lokasi Makam Pangeran
Samudro sangatlah sepi dan jarang dijamah orang karena letaknya di tengah hutan
belantara, serta banyak dihuni oleh binatang-binatang buas. Namun, sedikit demi
sedikit keadaan berubah setelah daerah tersebut dihuni penduduk.
Konon di atas bukit tempat Pangeran Samudro
dimakamkan, apabila menjelang musim hujan ataupun kemarau tampaklah kabut-kabut
hitam seperti asap (kukus). Karena hal itulah, penduduk setempat menyebut bukit
itu “Gunung Kemukus” sampai dengan saat ini.
Setelah menerima kabar dari abdi dalem Pangeran
Samudro, Sultan Demak lalu menyampaikan berita meninggalnya Pangeran Samudro
tersebut kepada ibu Pangeran Samudro, R.Ay. Ontrowulan. Terkejutlah beliau
mendengar berita tersebut dan memutuskan untuk menyusul ke tempat Pangeran
Samudro dimakamkan. Kepergian ibunda Pangeran Samudro ke makam puteranya
diantar oleh abdi Pangeran Samudro yang setia. Ibunda Pangeran Samudro berniat
untuk bermukim di dekat Makam Pangeran Samudro dan merawat makam puteranya
tersebut.
Setelah tiba di pemakaman, ibunda Pangeran Samudro
langsung merebahkan badannya sambil merangkul pusara putera satu-satunya yang
amat dicintainya. Sampai pada suatu ketika ia merasa bertemu kembali dengan puteranya
serta dapat bertatap muka dan berdialog secara gaib: “Oh Ananda begitu sampai
hati meninggalkan aku dan siapa lagi yang kutunjuk sebagai gantimu, hanya
engkau satu-satunya putraku dan aku tidak dapat berpisah denganmu”.
Pangeran Samudro menjawab: “Oh Ibunda, Bunda tentu
tidak dapat berkumpul dengan Ananda, sebab ibunda masih berbadan jasmani dan
selama belum melepas raga, untuk itu harus bersuci terlebih dahulu di sebuah ‘sendang’
yang letaknya tidak jauh dari tempat ini.”
Setelah terbangun dan tersadar dari pertemuan
dengan puteranya, ibunda bangkit dan pergi ke sendang yang dikatakan puteranya
untuk bersuci. Setelah itu, rambutnya yang sudah terurai dikibas-kibaskan dan
jatuhlah bunga-bunga penghias rambutnya. Konon bunga-bunga tersebut tumbuh
mekar menjadi pepohonan “Nagasari” yang dapat dijumpai di sekitar lokasi hingga
kini.
Lantaran tebalnya rasa kepercayaan ibunda Pangeran
Samudro yang melampaui batas keprihatinan, ibunda akhirnya dapat mencapai muksa
secara gaib sampai badan jasmaninya. Tak seorang pun tahu ke mana perginya
R.Ay. Ontrowulan atau dengan kata lain ibunda Pangeran Samudro hilang tak tentu
rimbanya. Untuk mengenang peristiwa bersuci R.Ay. Ontrowulan, lalu diberi nama
“Sendang Ontrowulan”.
Sampai kini, pemakaman Pangeran Samudro nyaris tak
pernah sepi peziarah. Setiap hari selalu ada peziarah kendati tidak banyak.
Beberapa di antara mereka bahkan ada yang melakukan suatu pantangan/sesirih tertentu,
misalnya melakukan pati geni selama beberapa hari di sana. Biasanya setiap
Kamis malam Jum’at jumlah pengunjung lebih banyak daripada hari-hari biasa. Dan setiap Kamis malam Jumat Pon dan Kamis
malam Jumat Kliwon merupakan puncak kunjungan wisatawan/peziarah. Tidak kurang
dari 10.000 pengunjung dari berbagai daerah di Jawa dan luar Jawa datang untuk
berziarah di tempat ini.
Puncak kunjungan peziarah terjadi setiap malam
Jumat Pon di bulan Suro (kalender Jawa). Di bulan Suro, pengunjung malam Jumat
Pon mencapai 15.000 orang dan pada malam Jumat Kliwon mencapai 7.000 orang.
Pada hari pertama di bulan Suro diadakan ritual pencucian selambu makam
Pangeran Samudro, yang biasa disebut dengan ritual Larab Slambu/Larab Langse,
yang dilanjutkan dengan pentas wayang kulit semalam suntuk sebagai acara rutin
tahunan di obyek wisata ini.
Mengapa puncak di malam Jumat Pon? Menurut tradisi
dan literatur yang ada, hal ini bertolak dari kisah pada zaman kerajaan Demak. Pada
suatu ketika di hari Jumat Pon, setelah Sultan Demak melaksanakan shalat
berjamaah (Jum’atan), beliau melayangkan pandangannya ke atas dan dilihatnya
sebuah bingkisan. Kejadian tersebut tidak diketahui oleh seorang pun kecuali
oleh Sultan sendiri. Bingkisan tersebut lalu diambil dan di dalamnya terdapat
kain putih yang bertuliskan “Ini adalah pakaian untuk bekel (Senopati) Tanah
Jawa”. Sebuah benda berbentuk “Kotang Ontokusumo”. Kemudian menurut adat,
pakaian ini dikenakan oleh orang yang akan memangku jabatan Pangeran Pali.
Kejadian itu lalu dijadikan sebagai ketentuan
dengan para wali. Ketentuan di mana apabila Sultan Demak berkenan mengadakan
pertemuan dengan para wali, maka waktunya ditentukan tepat pada hari Jumat Pon
untuk memperingati peristiwa penemuan Pusaka Kotang Ontokusumo.
Berdasarkan pada cerita tersebut, masyarakat
sekitar kantas menjadikan malam Jumat Pon sebagai puncak tahlilan/do’a bersama.
Sampai saat ini, pada setiap malam Jumat Pon banyak orang berduyun-duyun datang
untuk berziarah ke Makam Pangeran Samudro di Gunung Kemukus.
Inti
ziarah
Di kalangan orang Jawa sempat berkembang ihwal
makna ziarah dalam mencapai sebuah cita-cita. “Sing sopo duwe panjongko marang
samubarang kang dikarepke bisane kelakon iku kudu sarono pawitan temen, mantep,
ati kang suci, ojo slewang-sleweng, kudu mindeng marang kang katuju, cedhakno
dhemene kaya dene yen arep nekani marang panggonane dhemenane” (Kadjawen, Yogyakarta: Oktober 1934)
Petikan naskah atau wacana tersebut memang dapat
ditafsirkan keliru, khususnya oleh masyarakat awam. Ada pendapat yang keliru
yang mengatakan bahwa apabila berziarah ke Makam Pangeran Samudro harus seperti
ke tempat kekasih/dhemenan. Dalam
pengertian bahwa berziarah ke sana harus membawa isteri simpanan atau teman
kumpul kebo serta melakukan hubungan seksual dengan bukan isteri atau suami
yang sah.. Parahnya, pendapat tersebut telah diterima oleh sebagian besar
masyarakat.
Munculnya pendapat tersebut bermula dari penafsiran
pengertian kata “dhemenan”.
Pengertian kata “dhemenan” dalam
bahasa Jawa diartikan kekasih lain yang bukan isteri/suami sah (pasangan kumpul
kebo), kekasih gelap, isteri/suami simpanan. Sehingga, pengertiannya menjadi
apabila ziarah ke Makam Pangeran Samudro harus membawa dhemenan. Dan inilah yang kemudian menjadi semacam pesona miring
Gunung Kemukus.
Arti sesungguhnya dari kata “dhemenan” dalam konteks naskah dalam bahasa Jawa tersebut adalah
keinginan yang diidam-idamkan, cita-cita yang ingin segera terwujud/tercapai
seperti seakan-akan ingin menemui kekasih. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa inti ziarah di Makam Pangeran Samudro di Gunung Kemukus adalah apabila
punya kemauan, cita-cita yang ingin dicapai atau apabila menghadapi rintangan
yang menghalangi jalan untuk mencapai cita-cita/tujuan tersebut harus dilakukan
dengan cara sungguh-sungguh, hati yang bersih suci dan konsentrasi pada
cita-cita dan tujuan yang akan dicapai/dituju. Dengan demikian, terbukalah
jalan untuk mencapai cita-cita dan tujuan tersebut dengan mudah.
Masih
saja miring
Suatu malam Jumat Pon, sebagaimana dilansir koran Jawa Pos, tempat peziarahan Gunung
Kemukus penuh sesak para pengunjung. Meskipun lokasinya kini sudah terpisah
dengan daratan Kecamatan Sumberlawang, akibat genangan air proyek waduk raksasa
Kedung Ombo beberapa tahun lewat, namun minat para peziarah yang berdatangan
dari berbagai daerah nyaris tak pernah surut.
Dengan menggunakan sampan, mereka dengan sabar
meniti perairan Kedung Ombo untuk bisa mencapai lokasi Gunung Kemukus. Ini
merupakan satu-satunya cara menuju tempat itu, setelah jembatan beton
penghubung antara Kecamatan Sumberlawang dan Gunung Kemukus lenyap ditelan
genangan air waduk.
Ongkos menuju ke sana memang menjadi lebih mahal
sejak hubungan darat terputus oleh genangan waduk. Sebab, selain harus membayar
retribusi, parkir mobil/sepeda motor, membeli seperangkat alat berziarah
seperti kembang, minyak wangi, dan kemenyan madu, para peziarah sekarang juga
harus membayar ongkos penyeberangan yang cukup mahal. “Tapi kalau pas musim
kemarau panjang, biasanya debit air waduk turun drastis. Pada saat itulah
jembatan beton tampil lagi ke permukaan, sehingga para peziarah bisa ke Gunung
Kemukus lewat darat,” tutur Paryanto, seorang nelayan setempat yang juga
bertindak sebagai penyedia jasa penyeberangan perahu.
Apalah artinya ongkos mahal dibandingkan dengan
berkah yang bakal di bawa pulang para peziarah? Setidaknya ada dua alasan,
mengapa banyak orang dari berbagai penjuru daerah masih suka berbondong-bondong
untuk ngalap berkah (mengais rezeki) ke
makam Pangeran Samodro, yang punden-nya
berada tepat di puncak Gunung Kemukus? Pertama, tentu tak lepas dari rezeki.
Sedang yang kedua berkaitan erat dengan birahi.
Konon, bagi kaum perempuan, berziarah ke makam
Pangeran Samodro, diyakini bisa mendatangkan banyak rezeki. Itu sebabnya,
perempuan-perempuan yang berziarah ke sana sebagian besar berprofesi sebagai
pengusaha. Baik pengusaha penggilingan padi, pengusaha rumah makan, pedagang
pasar, dan lain sebagainya.
Celakanya, apabila keinginan mereka ingin cepat
terkabul, konon selepas melakukan ritual peziarahan yang diawali dengan mandi
di sendang serta melantunkan doa-doa khusus yang dibimbing seorang juru kunci
makam Pangeran Samodro, para peziarah perempuan harus menjalani ritual lainnya,
yaitu mandi birahi dengan lelaki yang bukan suaminya.
Bagaimana mereka bisa saling berjodoh dalam
petualangan yang terkesan liar itu? Sejak Kamis Pahing (siang hari), rombongan
peziarah --baik laki-laki maupun perempuan-- yang belum saling kenal sering
kali bercanda terlebih dulu. Bagi yang sudah paham, bahwa memburu berkah ke
Gunung Kemukus seseorang harus berani bercinta dengan lawan jenis yang bukan
muhrimnya, biasanya lantas mengikat janji.
Bilamana janji sudah disepakati, maka pada malam
Jumat Pon seusai menjalani prosesi ziarah di makam Pangeran Samodro, berpasang-pasang
kekasih dadakan tadi bebas melakukan apa saja, termasuk berhubungan intim
layaknya suami-isteri. Terus di mana mereka harus bersebadan?
Di masa lalu, ketika segala sesuatu masih gampang
ditutup dengan uang, adegan seks bebas bisa dengan aman dilakukan di
semak-semak atau di balik rerimbunan pohon sekitar kompleks makam. Mereka
begitu santai dan tidak merasa risih walau di sela-sela rerimbunan pohon ada
sepasang mata yang mengintipnya.
Karena adegan demi adegan orang dewasa saat itu
bisa dipertontonkan secara vulgar, maka Gunung Kemukus pun di cap masyarakat
luas sebagai tempat peziarahan paling mesum di Indonesia. Atas tudingan ini,
Pemerintah Kabupaten Sragen sempat kebakaran jenggot. Operasi yang melarang
perbuatan mesum di sekitar makam Pangeran Samodro pun digelar saban malam Jumat
Pon. Namun operasi itu terkesan setengah hati. Pemkab tidak berani menutup sama
sekali tempat peziarahan tersebut, lantaran sumbangan yang diberikan untuk
memacu Pendapatan Asli Daerah (PAD), tergolong besar. (dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar