ad

Jumat, 21 Desember 2012

Kisah Orang “Tak Bersalah” di Penjara


“Yusuf berkata: “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku.’” (QS. Yusuf: 33)

Ini sebuah pengakuan seorang mantan napi. Mantan napi itu adalah salah seorang rekan saya. Beliau seorang dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di Jawa Barat. Beliau menjadi korban dari apa yang beliau sebut mafia peradilan.

Beliau semula didakwa dengan kasus penyalahgunaan keuangan atau korupsi pada sebuah proyek. Persidangan demi persidangan beliau lalui dengan sabar. Para teman dan rekan sekolega yang awalnya membela banyak yang berputar haluan memberatkan beliau. Para saksi ini takut karena ditekan oknum jaksa penuntut.

Banyak rekan beliau yang menyarankan untuk memakai jalan pintas agar bebas. Jalan pintas itu adalah menyuap jaksa agar hukumannya diperingan. Namun beliau tidak melakukannya dan ingin berjalan di jalan yang lurus. Bahkan seorang pemuka agama pernah menyarankan agar dia memikirkan jalan agar tidak dipenjara karena punya amanah keluarga dan pekerjaan. Hebatnya, godaan untuk berbuat itu tidak benar beliau pedulikan dan memilih dipenjara.

Beliau sempat mengajukan banding ke Pengadlilan Tinggi atas putusan hukuman satu tahun kurungan dan denda sejumlah uang. Beliau tetap memakai pengacara namun tidak ingin pengacara memakai cara-cara kotor hanya untuk membuat hukumannya ringan.

Bukti-bukti yang memberatkan beliau sebagai terdakwa penyelewengan uang sebuah proyek di daerah Jawa Barat tidak terbukti. Namun beliau diputus bersalah karena membiarkan penyelewengan terjadi pada proyek yang beliau kerjakan. Hmm, ini kasus yang kesekian kalinya yang saya dengar bahwa hakim mengalihkan dakwaan awal ke dakwaan lainnya agar terdakwa tetap dinyatakan bersalah.

Akhirnya penjara di salah satu kota di Jawa Barat menjadi tempat belajar menemukan pengalaman hidup baru bagi rekan saya yang juga dosen ini. Kehidupan penjara yang begitu mengerikan. Apa yang mengerikan?

1. Adanya penguasa, yaitu napi yang menjadi “penguasa” di penjara. “Penguasa” ini biasanya adalah dari napi yang punya kekuatan fisik atau yang mendapat “dukungan” dari oknum petugas penjara. Tiap kamar ada kepala kamar yang biasanya memeras dan melakukan tindak kekerasan pada napi lemah khususnya pada napi baru. Seharusnya setiap napi ditempatkan di kamar dengan kapasitas orang hingga 20 orang. Namun beberapa napi yang berduit, membayar sejumlah uang baik pada napi penguasa ataupun oknum sipir untuk memperoleh kamar yang nyaman bahkan satu sel sendiri. Ingat kasus Ayin, terdakwa koruptor yang memiliki kamar bak hotel? Ia mengeluarkan puluhan juta untuk bisa menikmati kamar nyaman yang diberikan pada oknum petugas penjara.

2. Kekerasan pada napi “baru”. Setiap ada napi baru, mereka biasanya “disekolahkan” istilah napi yang mengalami penghajaran oleh napi-napi lama. Tujuan kekerasan ini salah satunya untuk meminta sejumlah uang pada yang bersangkutan atau keluarganya dalam arti sederhana adalah pemerasan. Kalau mau hidup aman, mereka harus bayar pada para mafia napi di penjara. Rekan saya menyebutkan bahwa kepala kamar sampai bisa tidur beralaskan uang, saking banyaknya hasil pemerasan dari napi “lemah”. Luar biasa.

3. Peredaran narkoba. Beliau melihat dengan jelas praktik mafia narkoba di penjara ini. Beliau setuju dengan apa yang dilakukan Denny Indrayana melakukan sidak karena penjara memang sangat parah dalam hal peredaran narkoba.

4. Penyitaan barang-barang napi lainnya oleh “penguasa”. Banyak kiriman keluarga yang tidak sampai pada napi yang bersangkutan akibat penyitaan dari “penguasa” penjara ini. Banyak napi akhirnya meminta keluarganya tak usah lagi mengirim makanan atau barang karena hampir selalu tidak sampai. Kalau pun sampai jumlahnya sudah jauh berkurang.

Tuhan memang sayang pada kolega saya ini. Semua ancaman mengerikan di penjara tidak menimpa beliau. Beliau justru dihormati oleh para napi bahkan oleh para penguasa yang beliau sebut “Brengos”. Malah beliau berhasil mengajak beberapa napi untuk bertaubat dengan memperdalam agama. Beliau mengajak shalat berjamaah dan belajar membaca Al Quran.

Masih ingat Ryan sang “Penjagal”? Ya, Ryan pernah satu kamar dengan beliau. Ryan memang sangat ditakuti oleh napi lain karena gelar “penjagal” dianggap berwibawa. Terdakwa pembunuhan berantai yang divonis mati oleh pengadilan sampai bisa membaca Al Quran berkat bimbingannya.

“Saya shalat bisa sampai 100 rakaat sehari. Seingat saya, shalat tahajjud tak pernah lewat satu hari pun selama setahun. Saya khatam Al Quran minimal 3 kali dalam sebulan.”

“Bapak tidak berusaha menulis buku?”

“Bagaimana mau menulis buku, satu kamar saya berisi banyak orang. Kalau yang menulis buku itu yang satu kamar sendiri. Kalau satu kamar sendiri, mereka membayar sejumlah uang. Dan saya tidak mau seperti itu.”

“Banyak napi yang masuk penjara bukannya malah berubah, tapi tambah menjadi-jadi. Tapi ada beberapa napi yang taubat, tapi tidak banyak,” ungkap beliau.

Luar biasa pengalaman rekan saya ini. Allah benar-benar menunjukkan keadilan-Nya lewat kisah beliau. Saya baru terbuka pikiran bahwa tidak semua yang dipenjara itu bersalah. Kita bisa dipenjara kapan saja oleh sebuah kekuatan yang namanya uang dan kekuasaan. Saya jadi teringat ungapakan Nabi Yusuf AS yang diabadikan dalam Al Quran:
“Yusuf berkata: “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku.’” (QS. Yusuf: 33)

Penjara bisa menjadi ujian untuk meningkatkan derajat seseorang, itu seharusnya. Namun penjara justru banyak digunakan oleh terpidana untuk makin menambah kejahatan.

(sumber: achmad siddik/hukum.kompasiana.com/03 Oktober 2012) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar