“Yusuf
berkata: “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan
mereka kepadaku.’” (QS. Yusuf: 33)
Ini sebuah pengakuan seorang mantan napi. Mantan
napi itu adalah salah seorang rekan saya. Beliau seorang dosen di sebuah
perguruan tinggi negeri di Jawa Barat. Beliau menjadi korban dari apa yang
beliau sebut mafia peradilan.
Beliau semula didakwa dengan kasus penyalahgunaan
keuangan atau korupsi pada sebuah proyek. Persidangan demi persidangan beliau
lalui dengan sabar. Para teman dan rekan sekolega yang awalnya membela banyak
yang berputar haluan memberatkan beliau. Para saksi ini takut karena ditekan
oknum jaksa penuntut.
Banyak rekan beliau yang menyarankan untuk memakai
jalan pintas agar bebas. Jalan pintas itu adalah menyuap jaksa agar hukumannya
diperingan. Namun beliau tidak melakukannya dan ingin berjalan di jalan yang
lurus. Bahkan seorang pemuka agama pernah menyarankan agar dia memikirkan jalan
agar tidak dipenjara karena punya amanah keluarga dan pekerjaan. Hebatnya,
godaan untuk berbuat itu tidak benar beliau pedulikan dan memilih dipenjara.
Beliau sempat mengajukan banding ke Pengadlilan
Tinggi atas putusan hukuman satu tahun kurungan dan denda sejumlah uang. Beliau
tetap memakai pengacara namun tidak ingin pengacara memakai cara-cara kotor
hanya untuk membuat hukumannya ringan.
Bukti-bukti yang memberatkan beliau sebagai terdakwa
penyelewengan uang sebuah proyek di daerah Jawa Barat tidak terbukti. Namun
beliau diputus bersalah karena membiarkan penyelewengan terjadi pada proyek
yang beliau kerjakan. Hmm, ini kasus yang kesekian kalinya yang saya dengar
bahwa hakim mengalihkan dakwaan awal ke dakwaan lainnya agar terdakwa tetap
dinyatakan bersalah.
Akhirnya penjara di salah satu kota di Jawa Barat
menjadi tempat belajar menemukan pengalaman hidup baru bagi rekan saya yang
juga dosen ini. Kehidupan penjara yang begitu mengerikan. Apa yang mengerikan?
1. Adanya penguasa, yaitu napi yang menjadi
“penguasa” di penjara. “Penguasa” ini biasanya adalah dari napi yang punya
kekuatan fisik atau yang mendapat “dukungan” dari oknum petugas penjara. Tiap
kamar ada kepala kamar yang biasanya memeras dan melakukan tindak kekerasan
pada napi lemah khususnya pada napi baru. Seharusnya setiap napi ditempatkan di
kamar dengan kapasitas orang hingga 20 orang. Namun beberapa napi yang berduit,
membayar sejumlah uang baik pada napi penguasa ataupun oknum sipir untuk
memperoleh kamar yang nyaman bahkan satu sel sendiri. Ingat kasus Ayin,
terdakwa koruptor yang memiliki kamar bak hotel? Ia mengeluarkan puluhan juta
untuk bisa menikmati kamar nyaman yang diberikan pada oknum petugas penjara.
2. Kekerasan pada napi “baru”. Setiap ada napi
baru, mereka biasanya “disekolahkan” istilah napi yang mengalami penghajaran
oleh napi-napi lama. Tujuan kekerasan ini salah satunya untuk meminta sejumlah
uang pada yang bersangkutan atau keluarganya dalam arti sederhana adalah
pemerasan. Kalau mau hidup aman, mereka harus bayar pada para mafia napi di
penjara. Rekan saya menyebutkan bahwa kepala kamar sampai bisa tidur beralaskan
uang, saking banyaknya hasil pemerasan dari napi “lemah”. Luar biasa.
3. Peredaran narkoba. Beliau melihat dengan jelas
praktik mafia narkoba di penjara ini. Beliau setuju dengan apa yang dilakukan
Denny Indrayana melakukan sidak karena penjara memang sangat parah dalam hal
peredaran narkoba.
4. Penyitaan barang-barang napi lainnya oleh “penguasa”.
Banyak kiriman keluarga yang tidak sampai pada napi yang bersangkutan akibat
penyitaan dari “penguasa” penjara ini. Banyak napi akhirnya meminta keluarganya
tak usah lagi mengirim makanan atau barang karena hampir selalu tidak sampai.
Kalau pun sampai jumlahnya sudah jauh berkurang.
Tuhan memang sayang pada kolega saya ini. Semua
ancaman mengerikan di penjara tidak menimpa beliau. Beliau justru dihormati
oleh para napi bahkan oleh para penguasa yang beliau sebut “Brengos”. Malah
beliau berhasil mengajak beberapa napi untuk bertaubat dengan memperdalam
agama. Beliau mengajak shalat berjamaah dan belajar membaca Al Quran.
Masih ingat Ryan sang “Penjagal”? Ya, Ryan pernah
satu kamar dengan beliau. Ryan memang sangat ditakuti oleh napi lain karena gelar
“penjagal” dianggap berwibawa. Terdakwa pembunuhan berantai yang divonis mati
oleh pengadilan sampai bisa membaca Al Quran berkat bimbingannya.
“Saya shalat bisa sampai 100 rakaat sehari.
Seingat saya, shalat tahajjud tak pernah lewat satu hari pun selama setahun.
Saya khatam Al Quran minimal 3 kali dalam sebulan.”
“Bapak tidak berusaha menulis buku?”
“Bagaimana mau menulis buku, satu kamar saya
berisi banyak orang. Kalau yang menulis buku itu yang satu kamar sendiri. Kalau
satu kamar sendiri, mereka membayar sejumlah uang. Dan saya tidak mau seperti
itu.”
“Banyak napi yang masuk penjara bukannya malah berubah,
tapi tambah menjadi-jadi. Tapi ada beberapa napi yang taubat, tapi tidak banyak,”
ungkap beliau.
Luar biasa pengalaman rekan saya ini. Allah
benar-benar menunjukkan keadilan-Nya lewat kisah beliau. Saya baru terbuka
pikiran bahwa tidak semua yang dipenjara itu bersalah. Kita bisa dipenjara
kapan saja oleh sebuah kekuatan yang namanya uang dan kekuasaan. Saya jadi
teringat ungapakan Nabi Yusuf AS yang diabadikan dalam Al Quran:
“Yusuf
berkata: “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan
mereka kepadaku.’” (QS. Yusuf: 33)
Penjara bisa menjadi ujian untuk meningkatkan
derajat seseorang, itu seharusnya. Namun penjara justru banyak digunakan oleh
terpidana untuk makin menambah kejahatan.
(sumber: achmad siddik/hukum.kompasiana.com/03 Oktober 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar