"Saudara-saudara. Penjaga di sini nggak bisa apa-apa. Anda bisa saja lari.
Tapi, maafkan kami kalau kami salah menembak. Yang kami tembak biasanya kaki,
tetapi kenanya selalu kepala."
Demikianlah pidato ritual sipir penjara di Pulau
Nusakambangan, setiap kali menyambut serombongan narapidana yang baru datang.
Kata-kata yang diucapkan dengan nada yang ramah itu diingat benar oleh Nanggo
Kromen alias Bernard Timong, ketika dia datang ke Nusakambangan pada tahun 1981.
Kini Nanggo berusia senja dan menjadi preman di
Terminal Kampungrambutan, Jakarta, setelah bisa meloloskan diri dari Nusakambangan.
Bang Timong, demikian nama ngetopnya, sangat dikenal di seantero terminal.
Pokoknya, bila seseorang dikenal sebagai saudara atau teman Bang Timong,
niscaya dia bisa naik bus dari Kampungrambutan ke kota mana pun, tanpa bayar.
Dan, Bang Timong menceritakan pengalamannya lari dari Nusakambangan, yang
secara tidak sengaja dia menjadi teman sepelarian Johny Indo.
Nanggo, terpidana 10 tahun karena pembunuhan,
sudah berniat kabur sejak semula. Pasalnya, laki-laki berperawakan sedang,
berambut keriting dan berkulit legam itu berjanji kepada teman-temannya di
Lembaga Pemasyarakatan Cipinang --penjaranya sejak 1976 sebelum dia dipindah ke
Nusakambangan-- untuk sebentar saja di Nusakambangan.
Menurut Nanggo, semua hal di Nusakambangan membuat
orang ingin kabur. "Makanan membuat orang memberontak, lari dari
Nusakambangan," kata Nanggo. Para napi seharusnya memperoleh 3,5 ons
sehari, tapi dikurangi oleh penjaga. Ketika napi memprotes soal makanan, sipir
memberi pemberat pada timbangannya, sehingga jumlah makanan tetap seperti
seharusnya. "Mereka juga berjanji memperbaiki, tapi sayur kangkungnya
tetap saja hitam sekotor comberan," kata Nanggo.
Setelah delapan bulan di penjara, Nanggo mulai
bersiasat untuk kabur. Tapi pria kelahiran Flores itu tidak merencanakannya
sendirian. Masih ada tujuh orang yang terlibat dalam rencana pelarian.
Komunikasi mereka lakukan saat bekerja di ladang atau melalui kurir. Mereka
"mempekerjakan" Guto, napi asal Semarang sebagai kurir. Bila berita
bocor, si kurir itu yang akan dibunuh.
Selama tiga bulan, para napi yang akan kabur itu
merapikan strategi. Adalah Sugeng, salah satu napi, yang bertugas menghitung
kapan harus kabur berdasar primbon. Akhirnya, ketemu tanggal 20 Mei 1982,
antara pukul 12.00 dan 18.00. "Lebih dari waktu itu akan sial," kata
Nanggo. "Hari itu adalah Kenaikan Yesus, itu angka baik buat lari,"
tambahnya.
Tepat di hari H, semua napi sudah bersiap-siap
(semuanya berjumlah 13 orang), tapi kesempatan tak kunjung tiba. Nanggo tak
berhenti berdoa dengan rosarionya. Akhirnya, mereka melihat seorang napi yang
baru pulang dari ladang, membawa sepikul buah kelapa. Saat si napi masuk, pintu
gerbang akan terbuka dalam waktu yang cukup lama karena pikulan yang dipakai si
napi memang cukup panjang.
Saat pintu mulai terbuka, seorang napi loncat
keluar dan memukul kepala seorang sipir hingga pingsan. Lalu, napi lainnya
berhamburan keluar dari persembunyian, ada juga yang mencari empat orang sipir
di sekitar pintu gerbang.
Nah, saat Nanggo akan melarikan diri, dia bertemu
dengan Johny Indo yang sedang buang air kecil. Sebenarnya, Johny tidak masuk
dalam "tim", tapi karena kebetulan bertemu, Nanggo mengajaknya kabur.
Dalam pikiran Nanggo, akan berguna mengajak Johny karena laki-laki berwajah Indo
itu punya organisasi, bila tertangkap tidak ditembak. "Saya, alamat pun
tidak punya," kata Nanggo.
Di pos penjagaan, mereka menemukan tiga pistol
tanpa peluru dan sebuah senapan panjang berisi lima peluru. Senapan itu
diserahkan ke Johny Indo, yang paling mahir menembak. Kabel-kabel telepon yang
menghubungkan Penjara Permisan dengan tempat lain diputuskan. Sebelum pergi,
Johny menembakkan satu peluru ke arah penjara, agar penjaganya tidak mengejar.
Setelah keluar dari penjara, mereka harus memilih
untuk belok ke kiri, menyusuri tepian Laut Indonesia, atau ke kanan, ke Kampung
Laut. Lalu, mereka memilih ke kiri. Jumlah pelarian ternyata membengkak menjadi
34 orang.
Bagian yang paling berat adalah cara mengisi perut
34 orang. Pada hari pertama, Johny Indo berhasil menembak seekor monyet. Hari
kedua, mereka berhasil menemukan sebuah pohon kelapa, yang diambil semua
buahnya, lalu pohonnya ditebang dan diambil isi perutnya yang putih. Mereka
juga minum air rotan. Pada hari ketiga dan keempat, mereka hanya menemukan
siput untuk dimakan. Mansur, seorang teman mereka yang punya penyakit maag
akut, sudah mulai lemas, jalannya harus dibantu.
Pada hari kelima, rombongan pelarian melewati
bukit batu. Ketika mengitari bukit, mereka terpisah menjadi dua kelompok,
masing-masing mengitari bukit dari sisi yang berbeda. Salah satu rombongan
bertemu dengan sepasukan tentara dari Kodam Diponegoro. Sejumlah 13 orang tewas
di tempat.
Setelah itu, tinggal tujuh orang yang bertahan.
Ada yang jelas-jelas mati dibunuh tentara, ada yang tertinggal. Johny Indo juga
sudah tidak ada di antara rombongan (ternyata dia sudah menyerahkan diri).
Sementara itu, sakit maag Mansur makin berat saja, dan mereka hanya bisa
menemukan buah-buahan yang masih muda untuk dimakan. Akhirnya, Mansur
meninggal. Dia ditinggalkan begitu saja karena tak ada waktu untuk menguburnya.
Hari keenam, mereka sudah sampai di tepi pantai,
di seberang Kali Pucang. Inilah jalan masuk ke Cilacap. Hanya bertiga: Nanggo,
Tasman Amri, dan Budi yang bertahan. Lalu mereka memutuskan membuat rakit dari
pohon pisang liar. Mereka menebang enam pohon pisang, lalu diikat dengan tali
kulit pohon waru. Mereka mencoba menyeberangi arus berputar yang deras.
Nanggo, yang terbiasa berenang, mencoba menarik
rakit yang dinaiki Tasman ke seberang. Sayang, ketika rakit hampir sampai ke
seberang, pegangan tangan Nanggo di rakit terlepas, hingga rakit meluncur
bersama air deras. Tapi mereka bertiga berhasil selamat.
Hari ketujuh, mereka berhasil masuk kampung. Nah,
saat minta makan ke penduduk, mereka tertangkap. Untungnya, tentara yang
menangkap diberi perintah untuk menangkap hidup-hidup. Bahkan, sebelum dibawa,
kami diizinkan makan oleh tentara. "Itulah nasi piring pertama yang saya
makan dalam enam hari. Biarlah setelah itu mati, asal saya kenyang," kata
Nanggo, yang pada saat itu terkena pukul popor senapan di tengkuknya. Setelah
itu, Nanggo harus menjalani sisa hukuman hingga 1986, tanpa memperoleh remisi.
(sumber:
majalah.tempointeraktif.com/Juli 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar