ad

Senin, 15 Juli 2013

Kekerasan Massa dan Tugas Polisi



Oleh Prof. Dr. Ronny Rachman Nitibraskara

Polisi merupakan profesi yang dikatakan Hartjen dengan kutipan “Damn if you do, damn if you don’t” yang kurang lebih artinya “berbuat salah, tidak berbuat salah”. Polisi senantiasa dihadapkan pada pilihan serba salah. Sedangkan menurut Skolnick (1966), polisi diharapkan bisa menjadi penegak peraturan, ayah, kawan, pelayan masyarakat, moralis, petarung jalanan, pemberi arah, dan pejabat hukum. Tentu ditambah dengan perannya yang utama yaitu sebagai crime hunter.

Patut diingat, mereka juga manusia biasa yang terkadang menjalankan tugasnya dalam kondisi lelah, penuh tekanan dan keadaan yang tidak pasti. Semua itu akan mengkristal dalam penurunan kemampuan mengontrol diri yang berujung pada menurunnya kemampuan profesional dalam melakukan tindakan diskresi.
Dengan slogan “serve and protect”, polisi selaku salah satu garda terdepan penegakan hukum di Indonesia, memiliki tugas dan tanggung jawab yang berat. Untuk mewujudkan motto di atas, polisi kerap dihadapkan pada pilihan yang sulit. Misalnya kondisi emosional dan tekanan yang terjadi di saat bertugas.

Polisi dan Masyarakat

Sebagaimana diketahui, pola pengamanan kejahatan khususnya oleh polisi masih menggunakan pendekatan keamanan. Belum menggunakan pendekatan sosiologis sebagaimana pendekatan community policing. Pada contoh kasus-kasus kekerasan yang dilakukan masyarakat terhadap polisi, menunjukkan polisi kurang dekat dengan masyarakat. Masyarakat sendiri juga memiliki stigma negatif pada polisi akibat ulah-ulah tidak terpuji beberapa oknumnya.

Dekatnya polisi dengan masyarakat merupakan salah satu syarat profesionalitas polisi sebagaimana diuraikan David C. Couper M.A., seorang mantan Kepala Kepolisisan Wisconsin yang telah bertugas 30 tahun. Ia menyatakan untuk mencapai profesionalitas harus ada benih yang ditanam sebagai berikut:
·         The Seed of Leadership
Kepolisian harus melahirkan pimpinan yang tidak hanya ditakuti tetapi juga pimpinan yang lebih bisa mendengar, melatih dan memberi dorongan (listening, coachingm and fostering) kepada bawahannya.
·         The Seed of Knowledge
Polisi harus dibekali ilmu pengetahuan yang cukup agar dapat menjalankan tugasnya dengan lebih baik.
·         The Seed of Creativity
Kreativitas harus dilatih dan dikembangkan untuk semua jajarannya.
·         The Seed of Problem Solving
Polisi harus memiliki kemampuan pemecahan masalah agar kekuasaan diskresi dalam penegakan hukum yang dimilikinya dapat dijalankan. Benih ini hendaknya ditebar pada setiap tingkat kepangkatan.
·         The Seed of Diversity
Personel kepolisian harus berasal dari multi etnis dan bbudaya yang terdapat di negara yang bersangkutan.
·         The Seed of Force Control
Polisi senantiasa dilatih mengendalikan kekuatan yang dimilikinya. The use of deadly force only to save a human life.  
·         The Seed of Community Policing
Polisi senantiasa dilatih untuk dekat dengan masyarakat. The police must get closer to the people they serve. Distance is danger, closer is safer. (FBI Law Enforcement, Buletin, March, 1994).

Meskipun merupakan kesatuan terorganisir dan terlatih, polisi tak luput juga diliputi hal-hal insaniah. Tatkala secara kelompok dilanda kemarahan hebat, kesadaran individual termasuk komandan yang memimpin di lapangan, menyatu dengan gemuruh jiwa batin kelompok. Rasionalitas individu lebur dalam kesadaran kelompok. Keadaan makin diperparah dengan adanya stimuli-provokasi dari luar yang makin kencang yang akan membuat personil yang paling sadar pun terpancing turut emosional.

Apabila dalam menjalankan tugasnya, khususnya dalam menangani aksi kekerasan massa, banyak petugas yang terpancing situasi non-kondusif tersebut, patut dicermati bahwa kekerasan polisi yang dilakukan secara kolektif itu todak terlepas dari beberapa faktor determinan yang disampaikan Neil Smelser (Theory Collective Behaviour, 1963) sebagai berikut:
·         Structural Conduciveness
Faktor kondusivitas struktural ini tentu bagi polisi cukup tinggi, karena mereka terikat dalam organisasi yang cukup kuat unsur komandonya.
·         Structural Strain
Faktor ketegangan-ketegangan struktural ini di dalam kepolisian rendah, karena organisasi kepolisian bersifat linier. Elemen struktural mempunyai pengaruh signifikan bagi mobilitas pelaku pada saat tindak kekerasan kolektif polisii dilakukan. Begitu komandan melakukan pembiaran atas terjadinya kekerasan, tindakan ini segera menjadi kolektif, dilakukan oleh banyak lagi anggota dari kesatuan yang sama.
·         Growth and Spread of Generalized Belief
Faktor ini bertalian dengan perkembangan dan penyebaran hal-hal yang dipercayai secara umum, seperti pemahaman polisi atas perubahan sikap masyarakat terhadap kekerasan yang dilakukan polisi, atau pemahaman atas tindak kekerasan dalam pelaksanaan tugas.
·         Precipating Factors
Ini adalah faktor-faktor yang menjadi pemicu lahirnya tindakan kolektif.
·         Mobilization of Participants for Action
Dalam agresi polisi, mobilisasi terjadi berdasarkan struktur.
·         The Operation of Social Control
Sering terjadinya kekerasan polisi secara kolektif, bisa jadi karena faktor sosial terhadap polisi kurang berfungsi.

Kesemua faktor di atas satu sama lain saling mempengaruhi bentuk kekerasan kolektif polisi. Yang patut dicermati adalah orientasi polisi pada saat peristiwa yang menyebabkan mereka secara individu maupun kelompok, memanfaatkan kewenangan diskresi dan bertindak menurut penilaiannya sendiri.

Kekerasan vis a vis tugas

Kekerasan yang terjadi antara masyarakat dan polisi, baik itu dilakukan massa terhadap polisi maupun sebaliknya, selalu terjadi di Negara manapun. Sebagai contoh, di Inggris dan Amerika Serikat. Pada tahun 1981 di Inggris, polisi setempat yang kebetulan berkulit putih pernah bertindak brutal dan diskriminatif pada kelompok minoritas kulit hitam. Di AS juga pernah terjadi peristiwa kekerasan polisi terhadap minoritas kulit hitam, dikenal dengan peristiwa Rodney King. Fenomena ini juga terjadi di Timur Tengah seperti di Mesir, Suriah, Libya dan Irak (menjelang kejatuhan kedua pemimpinnya).

Perilaku destruktif massa dan polisi selalu berhubungan. Masyarakat tidak akan melakukan kekerasan bila polisi tidak memancingnya. Begitu pula sebaliknya, polisi tidak akan melakukan kekerasan apabila tidak terpancing oleh masyarakat. Biasanya kekerasan polisi terjadi apabila simbol korps dilukai. Masyarakat juga menganggap demikian, tatkala simbol korps masyarakat dilukai oleh perilaku oknum polisi, mereka akan terpancing melakukan kekerasan.

Berbagai penyebab kekerasan kolektif dalam masyarakat dapat pula berupa kesenjangan sosial ekonomi, antipati terhadap kemapanan, SARA yang sangat peka, higga karena tersumbatnya saluran sosial politis (Herlianto, 1997). Charles Tillu sendiri membagi kekerasan kolektif sebagai berikut: kekerasan kolektif primitif, reaksioner, dan modern (Tilly, 1966).

Kekerasan kolektif primitif pada umumnya bersifat non politis. Ruang lingkupnya terbatas pada suatu komunitas lokal. Kekerasan kolektif reaksioner umumnya merupakan reaksi terhadap penguasa. Pelaku dan pendukungnya tidak semata-mata berasal dari suatu komunitas lokal melainkan siapa saja yang merasa berkepentingan dengan tujuan kolektif yang menentang suatu kebijakan atau sistem yang dianggap tidak adil dan jujur. Sedangkan kekerasan kolektif modern merupakan alat untuk mencapai tujuan ekonomis dan politis dari suatu organisasi yang tersusun dan terorganisir dengan baik.

Dalam berbagai kasus kekerasan massa, setiap mass violence dan police brutality selalu berkaitan dengan ketegangan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Termasuk pada masyarakat yang melakukan tindak kekerasan itu sendiri. Tindakan kekerasan kolektif ini, terkadang berujung pada kerusuhan.
Khalayak tentu masih ingat aksi kekerasan daat melakukan unjuk rasa menolak kenaikan BBM beberapa bulan lalu. Bentrokan antara pendemo dan petugas keamanan membuahkan dirusaknya sejumlah fasilitas, mobil polisi dan pos polisi oleh demonstran. Belum setahun kejadian tersebut berselang, baru-baru ini kembali terjadi aksi serupa di Abepura Papua yang dipicu tewasnya Wakil Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Maco Tabuni, yang tertembak aparat keamanan. Pemicu kedua contoh kekerasan di atas selalu sama, yaitu berupa suatu insiden yang dirasakan melukai masyarakat. Kenyataan tersebut diperparaj dengan situasi dan kondisi perekonomian masyarakat yang memprihatinkan.

Kejadian di atas memiliki hubunga erat dengan ketegangan sosial berdasarkan tahapan-tahapan berikut ini:
Adanya suatu insiden yang dirasakan begitu buruk oleh suatu kelompok masyarakat, sehingga peristiwa itu dijadikan katalisator kemarahan. Kelompok masyarakat itu mulai resah dan tegang sehingga secara perlahan keresahan turut dirasakan kelompok-kelompok lain di masyarakat.

Dalam kondisi di atas, terdapat segolongan kecil orang dari kelompok yang marah, bersifat sangat keras dan cenderung melakukan kekerasan, memancing timbulnya kekerasan. lantas, mengumpulkan massa dengan slogan bombastis yang dapat membangkitkan kemarahan dan fanatisme kelompok.

Massa yang telah dihimpun dan terbakar emosinya, kemudian diberi contoh oleh kelompok kecil tersebut tentang bagaimana seharusnya bertindak. Karena, masing-masing individu telah hanyut dan menyatu dengan emosi kelompok. Dalam kondisi kejiwaan semacam ini, mereka mudah mengikuti conroh yang dilakukan kelompok kecil tadi. Selanjutnya, tanpa memerlukan contoh lagi, massa akan bertindak anarkis dengan sendirinya, melakukan perusakan, pembakaran, penyerangan, penganiayaan bahkan pembunuhan.

Jatuhnya korban jiwa dapat memancing simpati dan emosi kelompok lain yang semula mampu mengendalikan diri untuk turun ke gelanggang amuk massa.
Keterlambatan penanganan aparat keamanan akan mengakibatkan kekacauan meluas dan konflik menjadi sulit dihentikan.

Untuk menanggulangi tindak kekerasan massa agar tidak menjadi kerusuhan yang meluas, sebagaimana dikatakan De Jong (1994), “effective preparation in fact, the best of prevention”, perlu persiapan yang lebih baik oleh aparat keamanan. Hal tersebut merupakan langkah penting satu-satunya yang berada sepenuhnya di dalam kendali aparat keamanan sesuai dengan peran dan tugasnya. Dengan adanya persiapan yang baik, setiap gangguan keamanan kecil (small disturbance) tidak sempat tumbuh menjadi besar.

Dalam “persiapan” ini, ada beberapa faktor penting yang kesemuanya itu telah dikuasai oleh setiap aparat kepolisian RI, yaitu personel, perencanaan operasional, dan analisa kelompok massa seperti dijelaskan di bawah ini.
Personel merupakan sumber daya terbesar yang memerlukan manajeman serius. Karena faktor ini paling menentukan berhasil tidaknya operasi yang dijalankan. Permasalahan yang harus diperhatikan mulai dari jumlah, kesiapan, kemampuan, hingga penempatan mereka di kala keadaan tidak menentu. Tolok ukur yang digunakan bagi kesiapan personel adalah pada tahap ketika kerusuhan berkecamuk.

Untuk menanggulangi ketegangan sosial yang membuahkan tindak kekerasan massa seperti diuraikan sebelumnya, perlu dibuat perencanaan operasional khusus. Meliputi perencanaan personel yang akan diterjunkan, jumlah dan kesatuan, sistem komando, persenjataan dan logistik, langkah-langkah taktis, dan lainnya.

Yang perlu diperhatikan dalam perencanaan ini adalah elastisitas. Karena, dalam situasi krisis perubahan berjalan dengan sangat cepat. Aparat keamanan dituntut mampu mengkaji ulang dan memperbaharui rencananya sendiri. Pada saat ini, semuatindakan aparat dituntut cepat dan akurat dalam arti tepat waktu, tepat cara dan tepat tempat. Mungkin di saat inilah kemampuan diskresi amat diperlukan. Selama tidak bertentangan dengan hukum dan undang-undang. Sebab, musuh terbesar pada situsi krisis tersebut adalah waktu.

Analisa kelompok massa dilakukan berdasarkan pada ketegangan sosial yang tengah berlangsung di masyarakat. Yang hasilnya dapat digunakan untuk memetakan kelompok masyarakat mana yang akan berpotensi besar memicu timbulnya kekacauan. Serta, memetakan kemungkinan yang akan terjadi. Analisa ini diperlukan untuk merumuskan tindakan pengamanan.

Tidak berhenti di situ saja, di saat tindak kekerasan massa semakin meluas, perlu diperhatikan 4 aspek penting lainnya, yaitu Containment, Communication, Coordination, dan Control (De Jong, 1994).
·         Containment atau pemblokiran bertujuan untuk melokalisir tindakan kekerasan massa atau kerusuhan agar tidak meluas. Untuk menciptakan ruang gerak bagi aparat guna mengantisipasi keseluruhan peristiwa dan arah perkembangan.
·         Communication atau komunikasi harus dilakukan secara efektif baik sebelum, ketika, maupun sesudah tindak kekerasan massa terjadi. Komunikasi ini harus cepat dan efektif dari petugas lapangan ke pusat komando begitu pula sebaliknya. Informasi yang disampaikan ke pusat komando harus segera dicermati untuk memperhitungkan berbagai hal yang terkait dengan situasi. Termasuk prediksi situasi tersebut. Maka, pusat komando juga harus dapat bertindak sebagai pusat intelejen. Komunikasi ini juga dilakukan berupa koordinasi dengan rumah sakit, dinas kebakaran, militer, maupun dinas lain yang dapat membantu menangani tindak kekerasan massa.
·         Coordination akan lebih mudah dilakukan apabila komunikasi sudah berjalan dengan baik. Karena, keberhasilan koordinasi amat bergantung pada terpeliharanya komunikasi. Koordinasi ini merupakan masalah vital, apabila ada kesatuan yang tidak terkoordinir, kemudian melakukan tindakan di luar komando, akan membahayakan seluruh operasi. Hal ini dapat mengakibatkan kerusuhan semakin meluas.
·         Aspek Control adalah pengawasan segala unsur operasional penanggulangan civil disorder. Setiap tindakan terhadap personel dalam melaksanakan tugas di dalam keadaan segenting apapun harus dapat dikontrol oleh para komandan. Perintah yang diberikan pada kesatuan harus benar-benar akurat, sepenuhnya dimengerti dan dapat diterjemahkan ke dalam tindakan sebagaimana mestinya.

Perhatian serius pada kesemua faktor dan aspek di atas harus dipandang sebagai upaya untuk mengantisipasi tindak kekerasan massa. Keseimbangan antara melaksanakan tugas tanpa terpancing kondisi lapangan dengan bijak, mutlak diperlukan. Karena, ketidakseimbangan atas keduanya akan menghasilkan lenturnya pencegahan dan penegakan hukum terhadap pelaku yang melakukan tindak kekerasan massa, dan mempercepat proses terwujudnya masyarakat yang roboh (collapse society) dan masyarakat kejahatan (society of crime). ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar