ad

Tampilkan postingan dengan label BUI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BUI. Tampilkan semua postingan

Minggu, 28 Desember 2014

PELAKSANAAN PIDANA PENJARA DENGAN SISTEM PEMASYARAKATAN



Pada Tahun 1963, dr. Sahardjo dalam pidato pengukuhan gelar Honoris causa di Universitas Indonesia membuat suatu sejarah baru dalam sistem kepenjaraan Indonesia mengemukakan “Bahwa Narapidana itu adalah orang yang tersesat yang mempunyai waktu dan kesempatan untuk berotobat, yang dalam keberadaannya perlu mendapat pembinaan. Selanjutnya dikatakan tobat tidak dapat dicapai dengan hukuman dan penyiksaan, tetapi dengan bimbingan agar kelak berbahagia didunia dan akhirat” (Barda Nawawi Arief, 1998: 68)
Memahami fungsi lembaga pemasyarakatan yang dilontarkan Sahardjo sejak itu dipakai sistem pemasyarakatan sebagai proses. Dengan dipakainya sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan jelas terjadi perubahan fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang tadinya sebagai tempat pembalasan berganti sebagai tempat pembinaan. Didalam perjalanannya, bentuk pembinaan yang diterapkan bagi Narapidana (Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan 1990, Departemen Kehakiman) meliputi:
    Pembinaan berupa interaksi langsung, bersifat kekeluargaan antara Pembina dan yang dibina.
    Pembinaan yang bersifat persuasif yaitu berusaha merubah tingkah laku melalui keteladanan.
    Pembinaan berencana, terus menerus dan sistematika.
    Pembinaan kepribadian yang meliputi kesadaran beragama, berbangsa dan bernagara, intelektual, kecerdasan, kesadaran hukum, keterampilan, mental spiritual.
Tujuan pembinaan Narapidana selanjutnya dikatakan untuk memperbaiki dan meningkatkan akhlak (budi pekerti) para Narapidana dan anak didik yang berada di dalam LAPAS atau RUTAN.
Pelaksanaan pidana penjara dengan menonjolkan aspek pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan/ Rumah Tahanan Negara, hingga saat ini mengalami hambatan. Hal ini antara lain disebabkan keterbatasan sarana fisik yang memakai bangunan peninggalan Hindia Belanda, untuk dalam berinteraksi dengan penghuni lain sangat dekat sehingga tidak menutup kemungkinan berkumpulnya pelanggar hukum dengan berbagai karakteristik masa pidana yang harus dijalani dan sangat memungkinkan mereka saling bertukar pengalaman mengenai cara-cara melakukan kejahatan yang lebih canggih.
Isu disekitar tukar pengalaman diantara sesama Narapidana, mengisyarakatkan bahwa tingkah laku kriminal itu dipelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi. Bagian penting dari mempelajari tingkah laku kriminal tersebut, termasuk didalamnya teknik melakukan kejahatan dan motivasi atau dorongan. Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas peraturan perundang-undangan, menyukai atau tidak menyukai. Seseorang menjadi deliquent karena penghayatan terhadap peraturan perundang-undangan lebih suka melanggar daripada mentaati.
Memahami teori tersebut, maka tepat kalau LAPAS potensial dan strategis sebagai tempat berinteraksi antara Narapidana berpengalaman dengan Narapidana pemula. Hal ini dimungkinkan pada saat berlangsung suatu acara maupun kegiatan pembinaan. Oleh karena itu, semakin lama berada di penjara semakin mungkin seseorang itu menjadi terpenjara. Hal ini sangat relevan sebagaimana dikemukakan  oleh Muladi (1998:56), bahwa “pertama, sub kultur penjahat yaitu apabila Narapidana mengikuti kehidupan yang ada di penjara. Kedua, sub kultur pencuri yaitu apabila Narapidana menghayati kultur jahat dari luar. Dan ketiga, sub kultur yang benar yaitu apabila Narapidana mengikuti norma yang benar.”
Memahami budaya umum yang berkembang di penjara bertujuan untuk mengetahui proses sosialisasi Narapidana, khususnya hubungan antara apa yang dialami selama menjalani hukuman serta keterkaitan dia dengan dunia luar. Kehendak Narapidana untuk tetap mengikuti pola-pola yang diinginkan oleh Pembina sering berbenturan dengan apa yang dilihat dan dialami selama berinteraksi dengan sesama darapidana.
Dalam hal ini Narapidana yang menjalani hukuman lebih lama, sering memanfaatkan Narapidana yang menjalani pidana lebih singkat untuk dijadikan sahabat yang menguntungkan agar tidak mematuhi peraturan. Hal lain yang memungkinkan LAPAS itu sebagai sekolah kejahatan disebabkan oleh banyaknya bekas Narapidana setelah berada di masyarakat melakukan kembali kejahatan sehingga dicap sebagai residivis.
Dalam hukum pidana kita terdapat jenis pidana yang bersifat menghilangkan kemerdekaan bergerak dari terpidana yaitu pidana penjara. Hal ini terdapat dalam ketentuan pasal 10 KUHP. Tujuan dari pidana penjara sendiri menurut Saharjdo,SH dalam pidato penerimaan gelar doctor honoris causa dalam ilmu hukum dari Universitas Indonesia tanggal 5 Juli 1963 adalah sebagai berikut: “Disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak,membimbing terpidana agar bertobat,mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna. Dengan singkat tujuan pidana adalah kemasyarakatan”. Jadi, di sini jelas bahwa dalam pelaksanaan pidana penjara tidak hanya bertujuan sebagai pembalasan saja melainkan juga harus disertai dengan pembinaan terhadap para terpidana dan pembinaan ini merupakan hal terpenting untuk orientasi ke depan. Sejak tahun 1964 penjara bagi suatu tempat untuk menjalankan pidana penjara sudah diganti dengan istilah Lembaga Pemasyarakatan (LP). Perubahan ini memiliki hubungan dengan gagasan Dr. Saharjo untuk menjadikan LP bukan sebagai suatu tempat yang semata-mata menghukum dan menderitakan orang. Akan tetapi suatu tempat untuk membina atau mendidik orang-orang yang telah berkelakuan menyimpang agar setelah menjalani pembinaan di LP dapat menjadi orang dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat.
Menurut Mohamad Suhardi dalam perspektif sosiologis, kejahatan merupakan tindakan menyimpang individu sebagai hasil dari interaksi menyimpang individu itu di tengah masyarakatnya. Dari perspektif ini perlu dikembangkan sebuah teori pembinaan terhadap narapidana sebagai pelaku kejahatan, yaitu teori penyatuan kembali interaksi narapidana tersebut secara wajar dengan nilai-nilai positif masyarakatnya/reintegrasi social (Nasib Penjara Kita, Kompas 3 Oktober 2005) Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan, tidak hanya ditujukan untuk mengayomi masyarakat dari bahaya kejahatan, melainkan juga orang-orang yang tersesat karena melakukan tindak pidana perlu diayomi dan diberikan bekal hidup sehingga dapat menjadi warga yang berfaedah di dalam masyarakat. Namun dalam kenyataannya sangat tidak mudah mewujudkan tujuan mulia tersebut. Dalam praktek di lapangan banyak menemui kendala dan hambatan diantaranya masih banyak ditemukan berbagai bentuk kekerasan serta diskriminasi di Lembaga Pemasyarakatan. Keadaan tersebut mengakibatkan tujuan pidana penjara di negara kita kurang dapat terwujud secara efektif.
Dalam menjalani pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan, narapidana wajib menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan kepadanya menurut ketentuan pelaksanaan dari Pasal 29 KUHP. Kewajiban bekerja atau menjalankan pekerjaan bagi narapidana penjara dapat juga dilakukan di luar Lembaga Pemasyarakatan, kecuali bagi.
a. Narapidana yang dipidana penjara seumur hidup
b. Narapidan wanita
c. Narapidana yang menurut pemeriksanaan dokter dengan pertimbangan tertentu tidak dapat bekerja di luar Lembaga Pemasyrakatan.
Selain ketentuan tersebut narapidana penjara dapat juga tidak diperbolehkan untuk bekerja di luar tembok Lembaga Pemasyarakatan, yakni jika dalam putusan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu hakim tidak memperbolehkan narapidana untuk bekerja di luar LP.
Secara umum proses pembinaan narapidana dengan Sistem Pemasyarakatan Indonesia terdiri atas 4 (empat) tahap. Dalam tahap pertama lembaga pemasyarakatan melakukan penelitian terhadap hal ikhwal narapidana; sebab dilakukannya suatu pelanggaran. Pembinaan ini dilaksanakan saat yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (sepertiga) masa pidananya. Masa ini juga merupakan masa orientasi berupa masa pengamatan, pengenalan, dan penelitian lingkungan yang dilakukan paling lama satu bulan. Di sini para narapidana mendapatkan pembinaan kepribadian diantaranya :
a. Pembinaan kesadaran beragama
b. pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara
c. pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan)
d. pembinaan kesadaran hukum.
Pada tahap ini, pembinaan dilakukan didalam lembaga pemasyarakatan dengan pengawasan maksimum.
Pada tahap kedua dimana narapidana tersebut dianggap sudah mencapai cukup kemajuan maka kepada narapidana diberikan kebebasan yang lebih banyak dan ditempatkan pada Lembaga Pemasyarakatan dalam pengawasan medium security. Yang dimaksud dengan narapidana telah menunjukkan kemajuan disini adalah dengan terlihatnya keinsyafan, perbaikan diri, disiplin dan patuh pada peraturan tata-tertib yang berlaku di Lembaga. Tahap ini dilakukan setelah narapidana menjalani 1/3 sampai ½ masa pidana. Di sini narapidana mendapatkan pembinaan kepribadian lanjutan serta pembinaan kemandirian antara lain :
a. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri
b. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil
c. Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya masing-masing
d. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri/Pertanian/Perkebunan dengan teknologi madya/ tinggi.
Tahap ketiga selanjutnya ialah tahap asimilasi yang dilakukan setelah menjalani 1/2 dari masa pidana yang sebenarnya. pelaksanaannya terdiri dari 2 bagian yaitu yang pertama waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan 1/2 dari masa pidananya. Pada bagian ini pembinaan masih dilaksanakan di dalam Lapas dengan sistem pengawasan menengah (medium security). Bagian kedua dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 masa pidananya. Dalam bagian lanjutan ini narapidana sudah memasuki tahap asimilasi dan selanjutnya dapat diberikan pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas dengan pengawasan minimum.
Tahap keempat atau tahap akhir dilaksanakan setelah proses pembinaan telah berjalan selama 2/3 masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 bulan. Pembinaan tahap akhir yaitu berupa kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan selesainya masa pidana. Pada tahap ini, bagi narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat. Pembinaan dilakukan diluar Lapas oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang kemudian disebut pembimbingan Klien Pemasyarakatan. Setelah tahap-tahap tersebut narapidana siap untuk dikembalikan ke masyarakat dan diharapkan menjadi manusia yang madiri, tidak melakukan tindak pidana lagi, serta dapat berperan aktif dalam masyarakat. (http://bhallatu.blogspot.com)

Kamis, 25 Desember 2014

Tak Ada Remisi Buat Mantan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Goeltom


Tak Ada Remisi Buat Mantan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Goeltom
DOKUMENTASI TRIBUNNEWS
Mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Miranda S Goeltom mengenakan baju tahanan KPK saat menunggu jalannya sidang perdana dirinya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (24/7/2012). (FOTO: TRIBUNNEWS/DANY PERMANA) 

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengungkapkan, pemerintah tak memberikan remisi kepada terpidana kasus cek pelawat, Miranda Swaray Goeltom. Yasonna memastikan bahwa tak ada koruptor yang mendapat pengurangan hukuman pada hari Natal ini.
"Ibu Miranda diajukan, tetapi tidak ada remisi buat dia," kata Yasonna di Istana Kepresidenan, Rabu (24/12/2014) malam.
Yasonna mengaku sudah memberikan remisi Natal kepada 9.000 narapidana di seluruh Indonesia. Namun, dari 150 permohonan pemberian remisi Natal untuk koruptor, pemerintah tak mengabulkannya.
Yasonna menuturkan bahwa pemerintah berpegangan pada Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Pengetatan Pemberian Remisi untuk Terpidana Kasus Korupsi, Narkoba, dan Terorisme. Di dalam aturan itu, seorang narapidana kasus korupsi, narkoba, dan terorisme harus memenuhi sejumlah syarat untuk bisa mendapatkan remisi.
Syarat-syarat itu, misalnya, menjadi justice collaborator, tidak mengulangi perbuatan yang sama, hingga bersedia mengganti kerugian. Kemenkumham bekerja sama dengan beberapa lembaga penegak hukum untuk memantau persyaratan itu terpenuhi atau tidak dan mengeluarkan surat rekomendasi.
Vonis Miranda
Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan Miranda. Dengan demikian, Miranda tetap dihukum tiga tahun penjara. Majelis hakim MA menilai, putusan pengadilan tingkat pertama dan banding sudah benar serta relevan.
Sebelumnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menjatuhkan pidana penjara tiga tahun kepada Miranda. Dia dianggap terbukti melanggar Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Putusan ini diperkuat pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi Tipikor pada PT DKI Jakarta.
Menurut majelis hakim Pengadilan Tipikor, Miranda terbukti bersama-sama Nunun Nurbaeti menyuap anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004 untuk memuluskan langkahnya menjadi Deputi Gubernur Senior BI pada 2004. Adapun Nunun lebih dulu divonis dua tahun enam bulan penjara dalam kasus ini. Meski pemberian suap tidak dilakukan Miranda secara langsung, majelis hakim menilai ada serangkaian perbuatan Miranda yang menunjukkan keterlibatannya.
Miranda dianggap ikut menyuap karena perbuatannya berhubungan dan berkaitan erat dengan perbuatan aktor lain, seperti Nunun Nurbaeti, serta anggota DPR 1999-2004, Hamka Yamdhu dan Dudhie Makmun Murod. Johan mengatakan, sejak awal, KPK memang berkeyakinan bahwa Miranda terlibat dalam pemberian suap berupa cek perjalanan itu. Lihat di sini juga. (KOMPAS.COM)

Minggu, 21 Desember 2014

Sejarah dari Penjara ke Lapas “Napi Juga Manusia”

Apa yang terlintas di benak kita ketika mendengar kata penjara? Sebuah tempat yang sangat menakutkan bagi nara pidana (napi) karena harus dikungkung dalam jeruji besi sehingga tentu saja tak bisa kemana-mana, seperti yang sering kita saksikan dalam film-film. Sebagaimana nama yang disandang, penjara, konon, berasal dari kata penjera, yang itu berarti tempat untuk membuat orang jera.
Sampai ada sebuah film berjudul The Shawshank Redemption yang menceritakan sekawanan napi yang menyaksikan bus mengeluarkan napi-napi baru, dan mereka bertaruh siapa di antara orang-orang baru itu yang menangis pada malam pertama di penjara. Film adaptasi dari novela yang berjudul Rita Hayworth and the shawshank Redemption karya Stephen King yang terkenal dengan novel-novel horor itu menunjukkan betapa kehidupan di penjara memang amat sangat menakutkan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penjara adalah “bangunan tempat mengurung orang hukuman; bui, lembaga pemasyarakatan (lapas).” Istilah yang terakhir, yaitu lapas, kurang akrab di telinga, tapi kedengarannya tidak seseram dengan penjara. Lapas adalah bangunan tempat mengurung orang yang sudah divonis, sedangkan orang yang belum divonis ditempatkan di rumah tahanan (rutan).
Lapas atau rutan kedudukannya kini dalam kondisi yang paradoks, dimana pada satu sisi harus memperhatikan hak-hak penghuni (baca: napi) dan di sisi lain petugas harus dapat melaksanakan ketertiban dan penegakan hukum. Apalagi sekarang seiring era reformasi bergulir di negeri ini wacana hak asasi manusia begitu gencarnya ditegakkan, baik itu dari lembaga swadaya masyarakat (lsm), praktisi hukum, bahkan sampai pada masyarakat umum dengan penerapan program bernama keluarga sadar hukum (kadarkum).
Napi adalah orang yang melakukan kejahatan sehingga mengharuskan dirinya di kurung dalam penjara. Betapapun, napi adalah manusia, dan sangat wajar kalau mereka tetap ingin diperlakukan sebagai manusia. Sebagaimana pernah ditegaskan DR. Sahardjo SH., tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun ia telah tersesat, tidak boleh ditunjukkan pada narapidana bahwa ia itu penjahat. Sebaliknya, ia harus selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia. Pandangan yang tak jauh berselisih dengan “Rocker juga manusia” yang dipopulerkan oleh grup musik Seurius.
Pandangan ini yang menjadi dasar dari Lambang Pemasyarakatan bagi lembaga pemesyarakatan, yaitu griya winaya jamna miwarga laksa dharmmesti, yang artinya rumah untuk pendidikan manusia yang salah jalan agar patuh kepada hukum dan berbuat baik. Lambang Pemasyarakatan ini ditetapkan dalam Keputusan Menkeh RI No. M.09.KP.10.10 Tahun 1997.
Namun demikian sejarah dari penjara ke lembaga pemasyarakatan tak serta-merta ada begitu saja, tapi ternyata telah melalui proses panjang yang cukup berliku-liku dimulai sejak bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang itu tentu dalam upaya perbaikan terhadap pelanggar hukum baik yang berada dalam penahanan sementara maupun yang sedang menjalani pidana. Upaya tersebut tidak hanya terjadi pada bangsa kita, tapi juga pada bangsa-bangsa lain sejalan dengan pergerakan kemerdekaannya terutama setelah perang dunia kedua.
Tahun-tahun penting yang menjadi tonggak sejarah dunia dalam upaya perbaikan tersebut, yaitu pertama, tahun 1933 ketika The International Penal dan Penitentary Commision (IPPC), sebuah komisi Internasional mengenai pidana dan pelaksanaan pidana itu pada tahap merencanakan. Kemudian, kedua, tahun 1934 dimana IPPC mulai mengajukan untuk disetujui oleh The Asembly of The Leaque of Nation, yaitu rapat umum organisasi bangsa-bangsa. Ketiga, tahun 1955, naskah IPPC yang diperbaiki oleh sekretariat PBB disetujui oleh Kongres PBB, yang dijadikan Standart Minimum Rules (SMR) dalam pembinaan napi. Keempat, tahun 1957, tepatnya tanggal 31 Juli 1957, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (Resolusi No. 663C XXIV) menyetujui dan menganjurkan pada pemerintahan dari setiap negara untuk menerima dan menerapkannya.
Adapun upaya perbaikan di Indonesia diawali tahun 1963, tepatnya 5 Juli 1963, di Istana Negara RI ketika Sahardjo, SH, Menteri Kehakiman mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa bidang hukum dengan pidatonya “Pohon Beringin Pengayoman”; yang antara lain dinyatakan bahwa tujuan dari pidana penjara adalah “Pemasyarakatan” dan juga mengemukakan konsep tentang hukum nasional, yang digambarkan sebuah “Pohon Beringin” untuk melambangkan “Tugas hukum ialah memberi pengayoman agar cita-cita luhur bangsa tercapai dan terpelihara. DR, Sahardjo, SH adalah seorang tokoh yang menancapkan tiang pancang perubahan dalam bidang pemasyarakatan.
Gagasan tentang pemasyarakatan mencapai puncaknya pada 27 April 1964 dalam Konferensi Nasional Kepenjaraan di Grand Hotel Lembang, Bandung. Konferensi yang diikuti oleh direktur penjara seluruh Indonesia ini didahului oleh Amanat Presiden Republik Indonesia, yang dibacakan oleh Astrawinata, SH yang menggantikan kedudukan Almarhum DR. Sahardjo, SH. sebagai Menteri Kehakiman. Nah, istilah kepenjaraan mulai saat itu diganti dengan Pemasyarakatan, dan tanggal 27 April akhirnya ditetapkan sebagai Hari Pemasyarakatan. (http://sejarah.kompasiana.com)

Selasa, 08 Juli 2014

18 Tahanan Kasus Korupsi Coblos di TPS KPK

18 Tahanan Kasus Korupsi Coblos di TPS KPK

Meskipun berada di dalam ruang tahanan, para terdakwa dan tersangka kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap dapat menyalurkan hak pilihnya pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli nanti. 

Para tahanan lembaga antikorupsi yang ditahan di Rumah Tahanan KPK dan Rutan Guntur itu akan mencoblos di tempat pemungutan suara (TPS) KPK. 

"Yang terdaftar akan melakukan pencoblosan untuk Pilpres 9 juli 2014 totalnya 18 orang," kata Juru Bicara KPK Johan Budi SP di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Senin (7/7/2014).

Tahanan KPK, baik yang ditahan di Rutan KPK maupun Rutan Guntur akan mendapat pengawalan saat menyalurkan hak pilihnya. "Di Rutan KPK ada 12 orang di Guntur ada 6 orang pencoblosan sesuai dengan jadwal pemilu, dengan pengawalan mereka akan difasilitasi di TPS kav C1," tuturnya.  (http://pemilu.sindonews.com/)

Kamis, 03 Juli 2014

Tahanan Muslim di India Tak Terima Makanan Sahur


Tahanan Muslim di India Tak Terima Makanan Sahur  
Ratusan muslim di Suriname berpartisipasi dalam sesi doa bersama yang dipimpin oleh Mulana Muhammad Musab dari India, dalam shalat Idul Fitri sebagai tanda berakhirnya bulan Ramadhan di Paramaribo, 19 Agustus 2012. REUTERS/Ranu Abhelakh
Sebagai seorang muslim, terdakwa kasus terorisme yang dipenjara di Maharashtra, Mumbai, tetap ingin melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan. Sayangnya, mereka harus kehilangan hak berpuasa karena hukum yang berlaku dari Pengendalian Kejahatan Terorganisasi Maharashtra (MCOCA) menolak memberikan makanan saat berbuka atau iftar dan sahur.

Dikutip dari On Islam, Selasa, 1 Juli 2014, MCOCA akan tetap memberikan makanan dengan waktu yang telah berlaku dan tidak akan ada penyesuaian selama bulan Ramadan ini. Bahkan, izin menerima makanan iftar dan sahur yang dikirimkan dari keluarga juga dilarang.

"Setiap tahun mereka selalu bisa menikmati makanan berbuka dan sahur. Kami mengharapkan tahun ini para tahanan tetap bisa merasakan hal yang sama, tapi permintaan itu ditolak," kata Sekretaris Jenderal Jamiat Umena-i-Hind, organisasi perlindungan muslim di Maharashtra, Gulza Azmi.

Di lain pihak, 45 tahanan terdakwa teroris bom di Aurangabad pada 2006 diperbolehkan menerima makanan sahur dan iftar setelah kasus mereka diproses oleh pengadilan. Untuk itu, Azmi berinisiatif membawa kasus 19 tahanan lainnya supaya segera diproses di Pengadilan Tinggi agar bisa menerima hak yang sama. 

"Jika Pengadilan Tinggi menolak permohonan kami, maka tahanan itu akan tetap dilarang untuk menerima makanan sahur dan iftar dari luar. Saat ini umat muslim di sana saling berbagi makanan dengan teman-temannya," kata Azmi. (www.tempo.co)

Sabtu, 13 Juli 2013

Tanjung Gusta, Indrayana & Kebencian Pada Koruptor




Rusuh Lembaga Pemasyaratan (LP) Tanjung Gusta di Medan, Sumatera Utara menewaskan lima orang dan membuat kabur 240 penghuni lapas. Kasus serupa mengancam LP lainnya yang memiliki anatomi masalah yang sama.

Kerusuhan di LP Tanjung Gusta, yang terjadi Kamis (11/7/2013) petang, menimbulkan polemik di tengah publik. Terjadi kompleksitas masalah di LP yang dihuni 2.600 narapidana itu.

Anggota Komisi III DPR Ahmad Yani menilai kerusuhan yang terjadi di LP Tanjung Gusta merupakan efek dari aksi Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana yang cenderung over acting. Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012 menjadi pemicu kerusuhan di Tanjung Gusta.

"Kenapa saya berulang kali bahwa jadikanlah lambang permasyarakatan untuk memasyarakatkan orang terpidana itu supaya dia keluar jadi lebih baik," ujar Yani usai Sidang Paripurna DPR, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta

Lebih lanjut politikus PPP ini mengatakan agar pemerintah menciptakan lembaga permasyarakatan yang kondusif serta tidak over kapasitas. "Orang tidak mudah dimasukan ke dalam tahanan dan kedua berikan harapan orang berkelakukan baik. Harapan orang berkelakuan baik itu dengan memberikan haknya untuk remisi, pelepasan bersyarat. Orang kalau berkelakuan baik ada harapan yang ingin ia dapatkan," katanya.

Dalam PP No 99 Tahun 2012 Pasal 34 A disebutkan remisi bagi narapidana tindak pidana korupsi, terosime, narkotika dan prekursor, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, harus memenuhi persyaratan.

Di antara syaratnya bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya. Di samping itu, telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan karena melakukan tindak pidana korupsi.

Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mengatakan PP No 99 Tahun 2012 sebagai pemicu kerusuhan di LP Tanjug Gusta, Medan, Sumatera Utara, baru sebatas dugaan.

"Itu baru dugaan. Yang jelas PP 99 Tahun 2012 ini memberikan pengetatan napi korupsi, terorisme dan narkotika. Kami pandang ini kejahatan serius yang perlu pengetatan dan mungkin saja para napi merasa tidak nyaman," ujar Denny di Kantor Kementerian Hukum dan HAM, Jumat (12/7/2013).

Ia menyebut Napi di Tanjung Gusta tidak masalah, karena dari 2.600 narapidana, hanya 64 narapidana narkotika yang merupakan bandar dan 4 napi korupsi. "Tapi memang saat kejadian ada yang meneriakkan soal PP 99," aku Denny.

Persoalan LP di Indonesia memang cukup kompleks. Mulai masalah penghuni yang melebihi kapasitas, fasilitas yang tidak memadai hingga masalah turunannya. PP No 99 Tahun 2012 bisa saja menjadi pemicu aksi yang terjadi di Tanjung Gusta. Pesan penting dari peristiwa Tanjung Gusta, melawan tindak pidana korupsi, terorisme dan narkoba tidak dengan kebencian. (nasional.inilah.com)

Minggu, 17 Maret 2013

Yang Tersisa dari Penjara Kalisosok


Dindingnya mulai lusuh dan terkupas-kupas. Selain terlihat termakan usia, bangunan bersejarah itu sepertinya sengaja tidak dirawat. Sayang, saya hanya bisa melihat-lihat dari luar dan berfoto di depan pintu gerbannya.

Itulah penjara Kalisosok di Surabaya. Gedung penjara peninggalan Gubernur Jenderal Herman Williams Daendels ini masih berdiri kokoh. Beberapa menara pengawasnya pun masih tampak menjulang. Bagian depannya pun masih menyisakan kemegahan gaya arsitektur kolonial di zamannya. Bangunan bersejarah itu menempati sebuah lahan seluas 3,5 hektar.

Dari cerita seorang teman yang mengantarkan saya, penjara Kalisosok sempat dibongkar oleh tangan-tangan tidak bertanggung-jawab. “Sebuah perusahaan asal Jakarta mau mengubah peninggalan sejarah ini menjadi pusat perbelanjaan,” kata teman tadi.

Setelah saya telusuri di informasinya di internet, ternyata pada April 2010 lalu telah terjadi proses pembongkaran. Diduga proses pembongkaran itu adalah sebuah perusahaan yang berkantor di Sunter, Jakarta, namanya PT Fairco Jaya Dwipa. Pihak Pemkot Surabaya pun akhirnya turun tangan untuk menghentikan pembongkaran.

Padahal, di masa pemerintahan Wali Kota Surabaya, Soenarto Soemoprawiro, sempat keluar keputusan yang menetapkan Kalisosok sebagai cagar budaya. Namun, ada kabar pula yang menyebut bahwa penjara kuno ini sudah beralih-tangan melalui proses tukar-guling dengan PT. Fairco Jaya Dwipa.

***

Menurut catatan sejarah, Kalisosok mulai dibangun oleh Daendels pada masa awal kekuasannya, tepatnya tahun 1808, dengan biaya 8000 gulden. Daendels hanya membutuhkan waktu sembilan bulan untuk menyelesaikan proyek ini.

Sejak itu, seiring dengan pergantian rejim politik di Indonesia, penjara Kalisosok dikenal sebagai penjara paling menyeramkan di Indonesia. Banyak tokoh pergerakan Indonesia pernah merasakan kekejian kolonial di penjara ini.

HOS Tjokroaminoto, tokoh pendiri Sarekat Islam, disebut-sebut pernah mendekam di penjara Kalisosok. Bukan hanya Tjokroaminoto, tokoh pencipta lagu Indonesia Raya, Wage Rudolf Soepratman, juga pernah dipenjara di sini. Doel Arnowo, tokoh marhaenis dan pejuang rakyat Surabaya, juga pernah mendekam selama sembilan bulan di Kalisosok.

Pada saat perjuangan anti-fasisme, penjara Kalisosok juga menjadi saksi penangkapan para aktivis anti-fasis, yang tergabung dalam gerakan rakyat anti-fasis. Diantara tokoh anti-fasis yang tertangkap, antara lain: Pamudji, Sukayat, Sudarta, dan Asmunanto. Bahkan, tokoh utama gerakan anti-fasis saat itu, yaitu Amir Syarifuddin, juga ditangkap dan dipenjara di sini.

Ketika sekutu mendarat di Surabaya, Kalisosok juga pernah menjadi saksi sejarah keberanian rakyat Surabaya melawan pasukan Inggris. Pada 26 oktober 1965, pasukan Inggris dibawah pimpinan Kapten Shaw menyerbu penjara Kalisosok untuk membebaskan seorang perwira Belanda, Kolonel Huiyer.

Di jaman orde baru, penjara Kalisosok juga menjadi saksi kekejian rejim Soeharto terhadap tapol Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya. Banyak diantara mereka, sebelum dibuang ke pulau buru atau nusakambangan, harus mendekam dan mendapatkan penyiksaan di Kalisosok.

Orde baru juga menjadikan LP Kalisosok sebagai tempat pemenjaraan dan penindasan terhadap tapol asal Timor Leste. Bahkan, dua aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), yang saat itu menentang rejim orde baru, juga mendekam dalam penjara Kalisosok, yaitu Coen Husein Pontoh dan Mohamad Soleh.

Penjara ini baru ditutup pada tahun 2000. Tetapi rencana penutupan penjara ini mendapat perlawanan para sipir. Tetapi perlawanan para sipir tidak bisa menghentikan rencana penutupan Kalisosok, dan pemindahan para tahanan ke area penjara baru yang menempati lahan seluas 17 hektare, sejauh 35 kilometer dari lokasi lama.

***

Seangker-angkernya penjara Kalisosok, seketat-ketatnya pengamanan oleh penjaga, tetapi ada juga tahanan yang berhasil meloloskan diri. Saya tidak punya data resmi mengenai berapa orang dan berapa kali kasus pelarian tahanan dari penjara Kalisosok.

Sejak tahun tahun 1968-1969, ada tujuh orang tahanan politik yang berhasil melarikan diri dari penjara berdinding tebal itu. Ketujuh tapol itu adalah Bardi Harsono, Kadarisman, Karmaji, Karyono, Kadis,Tahak, dan Sarman.

Pada tahun 1977, orang digemparkan oleh berita kaburnya sejumlah narapidana dari Kalisosok. Tahanan itu bernama Ronny Siswanto, Asmat, Raharjo dan Lukito. Tiga yang disebut belakangan berhasil ditangkap kembali. Namun, setelah diselidiki, bebasnya para napi itu tidak lepas dari kelihaian mereka menyuap petugas untuk mengurangi masa tahanan.

Penjara Kalisosok juga menyimpan cerita heroik. Kala itu, sekitar oktober 1945, ketika berita kemerdekaan berhasil menyelinap masuk penjara, para tahanan pun membentuk laskar bernama “Laskar Pendjara”. Pimpinan laskar ini adalah seorang tukang becak, namanya mayor Dollah. Sebagaimana ditulis Bung Tomo dalam bukunya, Kisah Perang 10 November, yang terbit tahun 1950, diceritakan bahwa pemberontakan dalam penjara ini berhasil menjebol tembok penjara sisi utara.

***

Begitu besar kisah sejarah yang tersimpan di penjara tua ini, membuat kita seharusnya berfikir untuk membuatnya lapuk dimakan usia, apalagi membiarkannya dibongkar untuk kepentingan modal.

Menunggu Vonis Mati, Gembong Narkoba Ini Nyambi Paranormal dalam Bui


Alih-alih dieksekusi mati karena terbukti bersalah menjadi bandar besar ekstasi se-Asia Tenggara, narapidana Ang Kim Soei ini malah menjadi paranormal di LP Tangerang. Apakah karena dia dianggap membantu sehingga eksekusi belum juga terlaksana?

Hal ini diungkapkan Ketua Mahkamah Agung (MA) RI Hatta Ali usai menjadi pembicara Lokakarya mengenai Justice Collaborator di Hotel Novotel, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (16/3/2013).

Hatta adalah hakim yang memberikan vonis mati kepada ang Kim Soei, pada 13 Januari 2003 lalu. Saat itu Dia masih mengabdi di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, pengadilan yang juga dijuluki sebagai 'Makam' bagi para bandar narkoba saat itu.

"Saya pernah memberikan vonis mati kepada gembong narkoba saat masih di PN Tangerang, tapi belum dieksekusi. Tapi saya pernah lihat dia di televisi dia mengobati orang sakit di dalam LP, mungkin dianggap bermanfaat dan banyak yang sembuh jadi banyak pertimbangan (untuk tidak mengeksekusi)," cerita Hatta, Sabtu (16/3/2013).

Menurut Hatta, setelah majelis hakim persidangan mengetuk palu vonis yang diterima terdakwa, kewenangan eksekusi bukan lagi berada di tangan hakim, namun eksekutor yang ditunjuk sebagai pelaksana eksekusi tersebut.

"Eksekusi bukan urusan pengadilan lagi, bukan urusannya MA, tapi ada eksekutor nya. Makanya saya diam saja, tidak perlu pusing kepala kenapa belum dieksekusi, karena itu bukan kewenangan saya," jelasnya.

Hingga saat ini Ang Kim Soei alias Tommy Wijaya tersebut masih menjadi berada di LP Tangerang. Dia dijatuhi hukuman mati pada 2003 lalu karena terbukti menjadi pemilik pabrik ekstasi di daerah Karawaci, Tangerang. Majelis hakim yang mengadili saat itu adalah M Hatta Ali yang saat ini menjadi ketua MA, Gatot Supramono dan Wahyu Setianingsih.