ad

Sabtu, 14 Januari 2017

EKSISTENSI KEJAHATAN NARKOTIKA SEBAGAI KEJAHATAN TERORGANISASI DI INDONESIA DILIHAT DARI SUDUT PANDANG EKONOMI

I.                   PENDAHULUAN
Masalah kejahatan menurut Durkheim adalah gejala yang normal pada masyarakat.[1] Oleh sebab itu kejahatan bukan lagi merupakan pembahasan yang baru, khususnya dalam kajian sosiologis dan kriminologis yang melihat kejahatan merupakan bagian dari fenomena sosial. Kejahatan tentu saja tidak hanya sebatas pada kejahatan jalanan seperti pencurian, pembunuhan, dan lain sebagainya. Kejahatan juga tidak hanya dapat dilakukan oleh individu, melainkan juga dapat dilakukan secara terorganisasi.
Kejahatan yang dilakukan secara terorganisasi atau yang selanjutnya akan disebut kejahatan terorganisasi memiliki banyak definisi, diantaranya adalah definisi yang dikemukakan oleh Joseph Albini yang menyatakan kejahatan terorganisasi adalah  setiap kejahatan yang melibatkan dua atau lebih individu, khusus atau tidak khusus, yang menggunakan beberapa bentuk struktur sosial, dengan beberapa macam kepemimpinan, menggunakan mode operasi tertentu, di mana tujuan utama organisasinya dapat dilihat pada usaha dari kelompok partikular tersebut.
Definisi lain yang penulis rasa cukup baik dalam menggambarkan kejahatan terorganisasi diantaranya adalah seperti yang dikemukakan oleh Albanese yang menyatakan bahwa kejahatan terorganisasi adalah perusahaan kriminal yang berlanjut yang secara rasional bekerja untuk mendapatkan profit dari kegiatan terlarang yang sering diminati. Hal ini dilanjutkan dan dipertahankan melalui penggunaan kekuatan, ancaman, kontrol monopoli, dan/atau korupsi pejabat publik. Kejahatan terorganisasi digunakan dalam pengertian generik untuk menyebut kejahatan kelompok dan mencakup banyak sistem perilaku kriminal dan “usaha haram” yang mungkin lebih tepat dilabeli sebagai perilaku kejahatan professional, okupasional, korporat, atau konvensional. Definisi kriminologi yang lebih spesifik mengacu pada kelompok yang (a) menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, (b) memberikan barang haram yang diminta publik, dan (c) memastikan imunitas operator mereka melalui korupsi dan enforcement.[2] Tidak hanya itu, pada umumnya selain menggunakan usaha yang haram dalam hal mendapatkan keuntungan, mereka juga memiliki “usaha-usaha yang tidak haram” yang berfungsi untuk “mencuci” uang haram mereka.
Bisnis kejahatan terorganisasi pada umumnya menyediakan barang dan jasa yang illegal.[3] Menurut The Task Force On Organized Crime, inti dari aktivitas organisasi kejahatan adalah memasok barang dan jasa illegal - perjudian, loansharking, narkotika, dan bentuk lain- kepada masyarakat yang menjadi pelanggan.[4] Dilihat dari bentuk-bentuk kejahatannya, kejahatan terorganisasi dapat muncul dalam berbagai bentuk, diantaranya adalah kejahatan yang berkaitan dengan narkotika, perdagangan gelap tanaman dan satwa liar yang dilindungi, perdagangan manusia, pasar gelap, dan perdagangan senjata illegal.
Di Indonesia sendiri, kejahatan narkotika merupakan salah satu permasalahan yang sangat memprihatinkan dan memiliki angka kejadian yang cukup tinggi. Pada tahun 2011 angka penyalahgunaan narkoba mencapai 2,2 persen atau 4,2 juta orang yang terdiri dari pengguna coba pakai, teratur pakai, dan pecandu.[5] Dari data yang dirilis BNN, diketahui bahwa jumlah pelaku kejahatan narkoba yang ditangkap pada tahun 2010 berjumlah 26.678 orang, tahun 2011 berjumlah 29.796 orang, pada tahun 2012 berjumlah 28.727 orang, dan  tahun 2013 berjumlah 28.784 orang (Jurnal P4GN BNN Tahun 2014). Artinya, jumlah pelaku yang ditangkap tidak mencerminkan terjadinya penurunan. Dengan fakta bahwa sebagian besar pelaku kejahatan narkotika tetap melakukan kejahatan narkotika dari dalam penjara, maka pelaku kejahatan narkotika terus mengalami peningkatan.
Dilihat dari definisi, penjelasan, serta contoh dari kejahatan terorganisasi yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat kita lihat bahwa  pada umumnya salah satu tujuan utama dari adanya kejahatan terorganisir tersebut adalah untuk mendapatkan keuntungan. Melalui bisnis-bisnis illegal dan kegiatan penunjang lainnya, dapat kita katakan bahwa uang dan keuntungan merupakan tujuan utama dari munculnya kejahatan organisasi tersebut. Teori-teori ekonomi terkait dengan kejahatan juga didasarkan pada hipotesis bahwa penjahat termotivasi oleh kepentingan diri yang rasional dan bahwa mereka memperkirakan usaha dan keuntungan dari perilaku kriminal.[6] Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa dalam menyelisik kejahatan terorganisasi, kita juga perlu menyelediki lebih lanjut faktor ekonomi yang melatarbelakangi eksistensi dari kejahatan terorganisir tersebut. Dalam tulisan kali ini, penulis mencoba untuk melihat dari sudut pandang ekonomi bagaimana eksistensi kejahatan narkotika sebagai kejahatan terorganisasi yang terjadi di Indonesia.
Sebelum masuk ke dalam pembahasan, penulis memiliki hipotesis bahwasanya faktor ekonomi, terutama yang terkait dengan pengambilan keuntungan sebesar-besarnya, merupakan salah satu faktor utama yang melanggengkan eksistensi kejahatan narkotika sebagai kejahatan terorganisasi di Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia yang memiliki populasi yang besar, penegakan hukum dan penjagaan yang lemah, angka pengguna narkoba yang tinggi, serta kondisi masyarakat yang tidak sejahtera menyebabkan Indonesia dilirik sebagai pasar yang sangat potensial dan menggiurkan bagi sindikat narkoba internasional.




II.                PEMBAHASAN
Terdapat dua model ekonomi yang dapat menjelaskan muncul dan berkembangnya kejahatan terorganisasi. Yang pertama adalah market model, model ini menjelaskan tentang permintaan pasar dan sifat pasar pidana; yang kedua adalah tentang cara criminal enterprise berperilaku di criminal market.[7] Kedua model tersebut menekankan pada motif profit dan pertimbangan ekonomi yang bertentangan dengan kondisi politik.
Model pertama berfokus pada dinamika penawaran dan permintaan di pasar illegal lokal ataupun global. Sebuah pasar illegal didefinisikan sebagai "tempat atau situasi di mana ada pertukaran yang konstan antara barang dan jaga, yang produksi, pemasaran, dan konsumsi dilarang secara hukum atau sangat dibatasi oleh mayoritas negara. Selain itu, kegiatan pasar illegal secara sosial ataupun institusional mengutuk sebagai ancaman terhadap martabat manusia dan kepentingan publik. Tipikal pasar dalam hal ini diantaranya termasuk obat-obatan keras, penjualan senjata illegal, perdagangan budak, modal yang berasal dair aktivitas kriminal, dan kesepakatan yang melibatkan informasi rahasia dan intelijen.
Model ekonomi kedua dimulai dari gagasan bahwa kelompok kejahatan terorganisir pada dasarnya merupakan perusahaan dengan penekanan pada dimensi bisnis daripada kejahatan. Ada sebuah kontinum perusahaan bisnis dari perusahaan sah yang terlibat hanya dalam bisnis halal, melalui perusahaan legal yang kadang-kadang bertindak dengan cara-cara yang illegal, menjadi perusahaan perusahaan terlarang yang beroperasi di pasar illegal dan memberikan barang dan jasa yang dilarang atau sangat diatur. Criminal enterprise akan bertindak dengan cara yang mirip dengan perusahaan yang legal dan akan mencari produk, untuk melindungi dan memaksimalkan keuntungan.
Indonesia bukanlah negara yang terbebas dari ancaman kejahatan terorganisasi. Hal ini dikarenakan dari segi ekonomi, Indonesia merupakan negara yang dapat menjadi pasar potensial untuk memperdagangkan barang-barang illegal. Selain itu, kesenjangan ekonomi yang ada di masyarakat Indonesia masih kerap terjadi. Kesenjangan ekonomi adalah terjadinya ketimpangan dalam distribusi antara kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi dan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.[8] Sehingga dapat dikatakan bahwa kondisi ekonomi di Indonesia didominasi oleh masalah-masalah kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. Dengan situasi ekonomi yang sulit, banyaknya pengangguran, dan tidak tercukupinya kebutuhan karena minimnya penghasilan menyebabkan tidak sedikit masyarakat yang memutuskan untuk terlibat dalam kegiatan illegal demi mendapatkan keuntungan yang besar, cepat, dan mudah meskipun beresiko, salah satunya adalah dengan terlibat dalam peredaran narkotika.
Salah satu contoh kasus narkotika yang berhasil ditangani oleh BNN diantaranya adalah kasus yang melibatkan Edy dan kakaknya yang terjadi pada tahun 2014 silam.[9] Edy dan kakaknya ditangkap petugas karena terlibat kasus peredaran narkoba dan pencucian uang. Keduanya menjalankan bisnis properti dari hasil keuntungan narkoba. Edy memiliki beberapa rumah yang beratasnamakan adiknya, Murdani. Setelah diselidiki, ternyata semua tempat tinggal tersebut ternyata merupakan hasil pencucian uang dari keuntungan yang didapat dari penjualan narkotika.  Tidak hanya itu, setelah menyita enam rekening tabungan milik Edy ditemukan bahwa keenam tabungan tersebut beratasnamanakan orang yang berbeda-beda. Dari keenam tabungan tersebut, total uang yang masuk ke dalam rekeningnya sebesar 179,3 Miliar. Menurut Kepala BNN Komisaris Jenderal Polisi Anang Iskandar, berdasarkan pengakuan Edy ia telah menjalani bisnis narkoba sejak tahun 2007. Narkoba jenis sabu itu ia dapatkan dari bandar besar asal Malaysia yang bernama Mun dan A. Dari hasil penjualan narkoba tersebut, Edy menyetorkan kepada bandar besar di Malaysia, sementara keuntungannya dibagi dua dengan Murdani dan diputar untuk bisnis properti, dan bisnis properti tersebut diduga bertujuan untuk menghilangkan jejak pidana aslinya, yaitu narkoba.
Dengan total penduduk sekitar 270 juta jiwa, Indonesia adalah pasar besar bagi pengedar narkoba. Perdagangan narkotika juga dapat dikatakan merupakan salah satu bisnis yang mudah masuk di Indonesia dan hanya membutuhkan sumber dan dana. Ada berbagai kelompok yang bekerja untuk memperdagangkan narkoba, terutama geng jalanan di banyak daerah perkotaan. Pedagang ini memiliki kontak langsung dengan para addict-dealer yang merupakan tulang punggung dari perdagangan narkoba.
Secara ekonomi, bisnis gelap narkoba sangat menggiurkan. Berdasarkan hasil wawancara dengan seorang bandar narkoba dari Sulawesi Selatan yang dilansir selasar.com pada tahun 2014, alasan keuntungan yang besar dan cepat adalah alasan utama.[10] Dalam waktu satu minggu, bandar tersebut dapat menjual sabu minimal total 1 kg. Keuntungan bersih per kg adalah 400 juta. Dengan penjualan minimum per 50gr seharga 50-52 juta. Sedangkan harga per 1 kg sabu di Tawau, Malaysia adalah 500juta. Menurut pengakuannya, menyelundupkan sabu dari Tawau ke Sulawesi Selatan cukup mudah karena adanya kapal penumpang secara langsung dari Nunukan tujuan Pare-Pare. Selain itu, karena terdapat oknum aparat, baik di Indonesia ataupun di Malaysia, yang dapat "bekerja sama" dan dapat disuap jika sewaktu-waktu sabu miliknya terkena razia.
Hingga saat ini, bisa dikatakan bahwa Indonesia sekarang telah menjadi salah satu jalur utama dalam perdagangan obat-obat terlarang. Banyak obat-obat terlarang diperdagangkan dan diselundupkan oleh sindikat internasional yang terorganisasi, terutama karena ada permintaan yang cukup tinggi dan Indonesia punya populasi muda yang besar dan menjadi pasar narkoba yang besar juga.[11] Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Kepala Bagian Humas BNN Komisaris Besar Sumirat Dwiyanto yang menyatakan bahwa Indonesia dilirik oleh sindikat internasional karena Indonesia dianggap sebagai great market and good price.[12] Ia menjelaskan, hal tersebut terungkap saat BNN melakukan pemeriksaan terhadap seorang tersangka sindikat narkoba yang ditangkap di Thailand. Tersangka itu menyampaikan, Indonesia adalah pasar yang besar dan memiliki harga yang tinggi untuk perdagangan narkotika.[13] Hal ini sejalan dengan pemberitaan yang dilansir selasar.com yang menyatakan bahwa harga sabu di Indonesia memang fantastis yaitu dua kali lipat dari harga di Malaysia dan Tiongkok. Dengan kondisi geografis Indonesia yang sangat terbuka, maka Indonesia kini secara perlahan tapi pasti juga mengalami pergeseran yang semula tempat transit, kini menjadi negara tujuan, bahkan bisa bertambah peran yaitu menjadi "gudang" atas narkoba dengan tujuan Australia. Hal tersebut karena harga sabu di Australia dua kali lipat lebih mahal dari Indonesia. Di antara pemain utama di Australia saat ini berasal dari Vietnam, dan dengan alasan disparitas harga yang besar dan letak posisi geografis Indonesia sebagai negara besar terdekat dengan Australia, maka jaringan narkotika Indonesia mempunyai peluang lebih dalam penyelundupan narkotika ke Australia.[14]
Berdasarkan kasus dan pemaparan di atas dapat kita lihat bahwa kondisi perekonomian Indonesia yang tidak stabil, besarnya populasi di Indonesia, pendapatan yang minim, serta kondisi yang memicu keutamaan mencapai kesejahteraan ekonomi merupakan salah satu faktor utama banyak orang yang terlibat dalam kasus peredaran narkotika. Keuntungan mengedarkan narkotika sangat menggiurkan menyebabkan banyak orang yang mengabaikan resiko-resiko yang mungkin ia hadapi. Jika dilihat dari model ekonomi dalam melihat kejahatan terorganisasi, maka dapat dikatakan bahwa kasus peredaran narkotika yang dilakukan oleh sindikat narkoba internasional merupakan salah satu contoh dari market model, dimana di Indonesia terdapat permintaan pasar yang tinggi akan narkoba.
Uang adalah alasan keberadaan sindikat kejahatan besar dan uang juga merupakan sumber kekuatan mereka.[15]Banyak negara yang telah memperketat hukumnya untuk menjebak pihak-pihak yang melakukan pencucian uang. Namun, beberapa hukum tersebut tetap tidak bekerja. Para pelaku pencucian uang juga sulit dituntut di sebagian besar negara tanpa bukti bahwa ia mengatahui bahwa ia telah melakukan pencucian terhadap uang hasil transaksi jual beli narkotika, serta bukti bahwa uang tersebut berasal dari transaksi jual beli narkoba. Hal ini hampir mustahil untuk menghasilkan bukti yang akan dibawa ke pengadilan. Meskipun pengedar narkoba dan obat-obatan yang mereka jual dapat disita dan ditahan, para pelaku pencucian uang hampir, tanpa pengecualian, sulit untuk ditahan.[16] Selain itu pada umumnya bank juga hanya bertanggung jawab untuk mengetahui siapa customer mereka, bukan siapa yang berada di balik mereka.
Masih dari segi ekonomi, selain menjadi salah satu penyebab utama dari eksistensi kejahatan narkotika sebagai kejahatan terorganisasi, kejahatan narkotika juga memiliki kontribusi yang besar terhadap ketidakstabilan ekonomi dan kerugian negara, sebab negara juga harus memberikan anggaran yang cukup besar khususnya untuk sector kesehatan dan keamanan. 

III.      PENUTUP
     Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya dapat kita lihat bahwa di Indonesia, peredasaran narkoba merupakan salah satu bentuk kejahatan terorganisasi yang sangat memprihatinkan. Hal ini dapat kita lihat dari tingginya angka penggunaan dan pengedaran narkotika yang ada di Indonesia. Kondisi ekonomi Indonesia yang cenderung tidak stabil memberikan kontribusi yang besar terhadap tingginya angka kejahatan narkotika.
Selain itu, jika dilihat dari pendekatan ekonomi dalam melihat kejahatan terorganisasi, eksistensi kejahatan terorganisasi dalam sektor narkotika dapat dikategorikan dalam market model dimana terdapat permintaan yang tinggi terhadap narkotba, sehingga Indonesia dilirik sebagai pasar yang sangat potensial untuk perdagangan narkotika, baik oleh sindikat narkotika yang ada di dalam negeri maupun sindikat narkoba internasional.
Pemaparan yang penulis sampaikan pada bagian sebelumnya membuktikan hipotesis yang telah penulis ajukan di bagian awal, bahwasanya faktor ekonomi merupakan salah satu faktor utama yang melanggengkan eksistensi kejahatan narkotika sebagai kejahatan terorganisasi di Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia yang memiliki populasi yang besar, penegakan hukum dan penjagaan yang lemah khususnya di daerah-daerah perbatasan, kondisi masyarakat yang tidak sejahtera, pendapatan yang dinilai tidak cukup, serta angka pengguna narkoba yang tinggi yang berujung pada tingginya permintaan terhadap narkotika
Penulis juga memproyeksikan bahwa apabila kondisi ekonomi Indonesia masih kerap tidak stabil ditambah dengan lemahnya penegakan hukum terkait dengan kejahatan narkotika serta pencucian uang dari hasil perdagangan narkotika, maka sindikat narkotika dalam maupun luar negeri akan tetap eksis atau bahkan akan semakin berkembang. Upaya-upaya yang sekiranya dapat dilakukan oleh pemerintah untuk meminimalisir atau menghapuskan sindikat perdagangan narkoba di Indonesia diantaranya adalah dengan menekan jumlah pengguna narkoba sehingga permintaan akan narkoba akan menurun yang dapat dilakukan dengan berbagai upaya seperti sosialisasi terhadap masyarakat, selain itu pemerintah juga seharusnya melakukan penegakan hukum khususnya di daerah-daerah yang rawan seperti daerah perbatasan, hal ini bertujuan untuk membatasi dan meminimalisir ruang gerak dari sindikat narkoba tersebut. Selain itu hal penting lain yang dapat dilakukan oleh pemerinta adalah dengan menjerat para pelaku kejahatan narkoba dengan UU Tindak Pencucian Uang.
(http://trissadiva.blogspot.co.id/2016/01/eksistensi-kejahatan-narkotika-sebagai.html)


[1] Muhammad Mustofa. 2010. Kriminologi – Kajian Sosiologis Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan Pelanggaran Hukum. Bekasi: Sari Ilmu Pratama Hlm. 95
[2] Frank E. Hagan. 2013. Pengantar Kriminologi: Teori, Metode, dan Perilaku Kriminal.  Jakarta: Kencana Hlm.558
[3] Howard Abadinsky. 1990. Organized Crime 3rd Ed. Chicago: Nelson-Hall Inc. Hlm. 267
[4] Ibid.
[6]Cathy Buchanan; Peter R. Hartly. 1992.  The Economic Theory of Crime and Its Implication for Crime Control. Australia: The Centre for Independent Student Hlm. 3
[7] Phil Williams; Roy Godson. 2002. Crime, Law & Social Change – Anticipating Organized and Transnational Crime. Netherland: Kluwer Academic Publishers Hlm.322
[10] https://www.selasar.com/politik/indonesia-darurat-narkoba  diakses pada Sabtu 6 Juni 2015 pk. 00.04
[13] Ibid.
[14] https://www.selasar.com/politik/indonesia-darurat-narkoba  diakses pada Sabtu 6 Juni 2015 pk. 00.04
[15] Claire Sterling. 1994. Crime Without Frontiers.London: Little, Brown and Company Hlm. 197
[16] Ibid. Hlm.207

Tidak ada komentar:

Posting Komentar