Salah
satu hambatan terbesar untuk memerangi praktik mafia hukum di indonesia
adalah miskinnya pemahaman kita terhadap para advokat. Pertanyaanya
kemudian adalah kenapa advokat ? Untuk menjelaskan hal tersebut saya mau
memulai dengan sebuah anekdote yang dilontarkan oleh prof. Jimly
Asshidiqie dalam sebuah diskusi tentang pembaharuan KUHAP ini di kantor
Wantimpres waktu itu.
“Setiap
orang mendapatkan sesuatu dari proses peradilan. Polisi adalah
‘pemeras’ dan ia mendapatkan ‘sesuatu’ dari perkara yang ditangani,
namun ini masih lebih kecil. karena waktu memeras polisi lebih pendek
dari waktu yang dimiliki oleh jaksa. Masuk ke peradilan orang bilang
bahwa si tersangka dan terdakwa sudah hanya tinggal tulang, tak ada lagi
yang bisa diperas oleh hakim. namun jangan salah masih ada sumsum bagi
para hakim. lalu siapa yang bisa mendapatkan semuanya? jawabannya
advokat lah orangnya.”
Sudah
menjadi rahasia umum, advokat menjadi bagian yang berkontribusi besar
dalam menumbuhsuburkan praktik mafia peradilan. Anekdot dan cemoohan
publik yang menggerus dan mencampakkan kedudukan advokat dari posisi
yang mulia menjadi yang hina tidak juga mampu menggugah asosiasi advokat
untuk mengambil langkah-langkah progressif untuk ambil bagian dalam
pemberantasan pratik mafia hukum.
Para
advokat turut serta menyuburkan praktik mafia hukum dimulai dari
hal-hal yang paling sederhana seperti memberikan tips dan suap
kecil-kecilan dalam hal-hal yang menyangkut birokrasi peradilan, sampai
pada kong-kalikong besar-besaran yang melibatkan polisi, jaksa dan
hakim, seperti yang kita saksikan dalam kasus Gayus dan mafia pajak.
Praktik
ini terus terjadi dan dilakukan setiap hari oleh para advokat. Semua
mungkin diawali oleh hal sederhana, yakni keenganan untuk bersusah-susah
menghadapai birokrasi peradilan yang menyita waktu, namun juga sebagain
untuk menjaga relasi. Suap dengan nilai mulai dari Rp. 50.000 ini
dimulai dari proses pendaftaran surat kuasa, biaya extra untuk
mempercepat pendaftaran gugatan, pendaftaran permohonan eksekusi, dan
masih banyak pos-pos adminsitrasi lainnya. Demikian lah para advokat
berkontribusi menyuburkan budaya korupsi di dunia peradilan. kini dan
kedepan pantaslah kiranya kita sebut mereka sebagai pengacara buruk.
Para pengacara buruk ini bukan saja telah membangun image dirinya yang
buruk namun juga telah menghancurkan kredibilitas profesi advokat secara
keseluruhan.
Memang
masih ada dan mungkin sebagian kecil advokat yang menolak semua praktik
ini. tentunya dengan risiko kesulitan yang akan dihadapi selama proses
peradilan berlangsung. Bagi para advokat yang juga aktivis bantuan
hukum di LBH mungkin sudah terbiasa dengan hal ini, dan para birokrat
korup pun biasanya menghindari “membuat masalah” dengan para advokat pro bono ini.
Akan tetapi yang kita inginkan, bukan saja mereka menghindari membuat
masalah dengan para advokat LBH, namun juga mereka menghindari membuat
masalah dengan para advokat pada umumnya. Hal ini tentu hanya akan
terjadi jika para advokat mau dan berkehendak kuat untuk menolak
praktik-praktik suap kecil-kecilan ini dan “berani mempermasalahkan”
jika terus mengalami pemerasan kecil-kecilan oleh para birokrasi
peradilan. Dalam konteks ini, disinilah peran Asosiasi advokat untuk
memproteksi anggotanya dibutuhkan, bukan membela mereka yang jutru
terlibat dalam jerat simpul mafia hukum.
Sejak
kelahiran UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, diharapkan para advokat
dapat menyelesaikan beberapa agenda penting advokat Indonesia yakni
diantaranya 1) membangun profesi advokat yang kredibel dan berkualitas ;
2) mendorong akses atas keadilan yang seluas-luasnya yang akan diterima
semua kalangan khususnya masyarakat miskin. Dengan demikian, kepada dua
tujuan itulah tentunya arah reformasi advokat seharusnya kini dan
kedepan dijalankan.
Agenda
pertama untuk membangun profesi advokat yang kredibel dan berkualitas
sebagian memang sudah dijalankan oleh Peradi, misalkan dengan membuat
sistem perekrutan advokat yang lebih ketat dimulai dengan pendidikan,
ujian, sistem magang yang relatif berjalan baik. hal yang lain juga
misalkan dengan disahkannya kode etik advokat dan berdirinya dewan
kehormatan advokat.
Namun
masalah muncul ketika pengawasan tidak berjalan dengan baik dan tidak
juga didukung oleh sistem dan mekanisme yang memadai. berdasarkan pasal
26 ayat (4) UU advokat, pengawasan atas pelaksanaan kode etik advokat
dilakukan oleh Organisasi Advokat. Ketentuan ini menjadikan pengawasan
atas advokat hanya bersifat internal. Ia tidak mengatur mengenai
pengawasan ekseternal. Hal ini juga semakin tidak memadai karena
pengawasan internal ini tidak menjelaskan bagaimana mekanisme pengawasan
itu dijalankan sebelum dibawa ke Majelis Kehormatan Advokat untuk
ditindak.
Agenda kedua dari UU advokat adalah mendorong access to justice.
Mendorong dan memenuhi akses atas keadilan ini diwujudkan dengan
kontribusi advokat terhadap pemberian pelayanan bantuan hukum
Cuma-Cuma. Untuk pemenuhan agenda kedua ini, bahkan Asosiasi advokat
kalah tangkas dari pemerintah. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah menganai bantuan hukum melalui PP No. 83 tahun 2008 mengenai
Bantuan Hukum. Sebagai konsekuensinya Peradi pun membentuk Pusat Bantuan
Hukum (PBH) Peradi. Namun sayangnya hingga saat ini belum juga kita
mendengar bagaimana mekanisme untuk mengimplementasikan PP tersebut.
Asosiasi
Advokat perlu serius mendorong akses atas keadilan dengan membuat
mekanisme bagi advokat untuk memenuhi kewajiban kewajiban menjalankan
bantuan hukum Cuma-cuma. Dibeberapa belahan dunia seperti di Eropa
Timur, terbukti secara signifikan mengurangi praktik mafia hukum, kolusi
antara Advokat dengan polisi dan jaksa dan mengurangi praktik
penyiksaan dan tindakan sewenang-wenang lainnya dari kepolisian dan
kejaksaan.
Pengawasan dan Akuntabilitas advokat
Satu
agenda reformasi advokat kedepan yang paling penting menurut hemat saya
adalah bagaimana membangun dan memperkuat sistem pengawasan kode etik
advokat yang lebih mumpuni dan lebih luas membangun akuntabilitas
advokat.
Akuntabilitas
ini misalnya dapat ditempuh dengan cara memberikan laporan kepada
publik mengenai kinerja Orgnaisai, kinerja Dewan Kehormatan Advokat,
termasuk didalamnya dengan mengumumkan kepada publik berapa banyak kasus
yang dibawa ke dan diputus oleh Dewan Kehormatan Advokat, dan lebih
jauh mengumumkan siapa-siapa saja advokat nakal yang telah dijatuhi
hukuman.
Laporan
ini penting dan akan bermanfaat bagi publik, karena publik dapat
melakukan eksaminasi dan bahkan apresiasi atas kinerja Peradi berikut
dewan kehormatan nya. Bahkan ketika advokat yang telah dijatuhi hukuman
Dewan kehormatan advokat ini berpindah ke organisasi advokat lain untuk
menyelamatkan diri dan menghindari sanksi, efe jera akan tetap terjadi
karena publik mengetahui kredibilitas advokat yang bersangkutan. bahkan
publik akan juga menyangsikan kredibilitas organisasi advokat yang telah
menampung si advokat nakal tersebut.
Pengawasan
internal juga akan lebih effektif dengan menjemput bola dengan
bekerjasama dengan berbagai elemen masyarakat sipil, membuka pos-pos
pengaduan advokat nakal, dan menyebarluaskan informasi mengenai
keberadaan dewan kehormatan advokat dan mekanisme yang dapat dan mudah
dijangkau masyarakat untuk melaporkannya.
Selain
memperkuat pengawasan internal, pengawasan ekternal dengan menggandeng
seluruh potensi sumber daya hukum di masyarakat juga terbuka. Kendati
saya belum berpikir mengenai bentuk atau lembaga yang akan melakukan
pengawasan terhadap advokat, seperti halnya komisi yudisial yang
mengawasi hakim, namun pengawasan eksternal sepantasnya terbuka untuk
advokat. (http://www.trunity.net/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar