ad

Minggu, 01 Juni 2014

Advokat Bersih, Mungkinkah?

Salah satu hambatan terbesar untuk memerangi praktik mafia hukum di indonesia adalah miskinnya pemahaman kita terhadap para advokat. Pertanyaanya kemudian adalah kenapa advokat ? Untuk menjelaskan hal tersebut saya mau memulai dengan sebuah anekdote yang dilontarkan oleh prof. Jimly Asshidiqie dalam sebuah diskusi tentang pembaharuan KUHAP ini di kantor Wantimpres waktu itu.

“Setiap orang mendapatkan sesuatu dari proses peradilan. Polisi adalah ‘pemeras’ dan ia mendapatkan ‘sesuatu’ dari perkara yang ditangani, namun ini masih lebih kecil. karena waktu memeras polisi lebih pendek dari waktu yang dimiliki oleh jaksa. Masuk ke peradilan orang bilang bahwa si tersangka dan terdakwa sudah hanya tinggal tulang, tak ada lagi yang bisa diperas oleh hakim. namun jangan salah masih ada sumsum bagi para hakim. lalu siapa yang bisa mendapatkan semuanya? jawabannya advokat lah orangnya.”

Sudah menjadi rahasia umum, advokat menjadi bagian yang berkontribusi besar dalam menumbuhsuburkan praktik mafia peradilan. Anekdot dan cemoohan publik yang menggerus dan mencampakkan kedudukan advokat dari posisi yang mulia menjadi yang hina tidak juga mampu menggugah asosiasi advokat untuk mengambil langkah-langkah progressif untuk ambil bagian dalam pemberantasan pratik mafia hukum.
Para advokat turut serta menyuburkan praktik mafia hukum dimulai dari hal-hal yang paling sederhana seperti memberikan tips dan suap kecil-kecilan dalam hal-hal yang menyangkut birokrasi peradilan, sampai pada kong-kalikong besar-besaran yang melibatkan polisi, jaksa dan hakim, seperti yang kita saksikan dalam kasus Gayus dan mafia pajak. 
Praktik ini terus terjadi dan dilakukan setiap hari oleh para advokat. Semua mungkin diawali oleh hal sederhana, yakni keenganan untuk bersusah-susah menghadapai birokrasi peradilan yang menyita waktu, namun juga sebagain untuk menjaga relasi. Suap dengan nilai mulai dari Rp. 50.000 ini dimulai dari proses pendaftaran surat kuasa, biaya extra untuk mempercepat pendaftaran gugatan, pendaftaran permohonan eksekusi, dan masih banyak pos-pos adminsitrasi lainnya. Demikian lah para advokat berkontribusi menyuburkan budaya korupsi di dunia peradilan. kini dan kedepan pantaslah kiranya kita sebut mereka sebagai pengacara buruk. Para pengacara buruk ini bukan saja telah membangun image dirinya yang buruk namun juga telah menghancurkan kredibilitas profesi advokat secara keseluruhan. 
Memang masih ada dan mungkin sebagian kecil advokat yang menolak semua praktik ini. tentunya dengan risiko kesulitan yang akan dihadapi selama proses peradilan berlangsung. Bagi para advokat yang juga aktivis bantuan hukum di LBH mungkin sudah terbiasa dengan hal ini, dan para birokrat korup pun biasanya menghindari “membuat masalah” dengan para advokat pro bono ini. Akan tetapi yang kita inginkan, bukan saja mereka menghindari membuat masalah dengan para advokat LBH, namun juga mereka menghindari membuat masalah dengan para advokat pada umumnya. Hal ini tentu hanya akan terjadi jika para advokat mau dan berkehendak kuat untuk menolak praktik-praktik suap kecil-kecilan ini dan “berani mempermasalahkan” jika terus mengalami pemerasan kecil-kecilan oleh para birokrasi peradilan. Dalam konteks ini, disinilah peran Asosiasi advokat untuk memproteksi anggotanya dibutuhkan, bukan membela mereka yang jutru terlibat dalam jerat simpul mafia hukum.
Sejak kelahiran UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, diharapkan para advokat dapat menyelesaikan beberapa agenda penting advokat Indonesia yakni diantaranya 1) membangun profesi advokat yang kredibel dan berkualitas ; 2) mendorong akses atas keadilan yang seluas-luasnya yang akan diterima semua kalangan khususnya masyarakat miskin. Dengan demikian, kepada dua tujuan itulah tentunya arah reformasi advokat seharusnya kini dan kedepan dijalankan.
Agenda pertama untuk membangun profesi advokat yang kredibel dan berkualitas sebagian memang sudah dijalankan oleh Peradi, misalkan dengan membuat sistem perekrutan advokat yang lebih ketat dimulai dengan pendidikan, ujian, sistem magang yang relatif berjalan baik. hal yang lain juga misalkan dengan disahkannya kode etik advokat dan berdirinya dewan kehormatan advokat.
Namun masalah muncul ketika pengawasan tidak berjalan dengan baik dan tidak juga didukung oleh sistem dan mekanisme yang memadai. berdasarkan pasal 26 ayat (4) UU advokat, pengawasan atas pelaksanaan kode etik advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat. Ketentuan ini menjadikan pengawasan atas advokat hanya bersifat internal. Ia tidak mengatur mengenai pengawasan ekseternal. Hal ini juga semakin tidak memadai karena pengawasan internal ini tidak menjelaskan bagaimana mekanisme pengawasan itu dijalankan sebelum dibawa ke Majelis Kehormatan Advokat untuk ditindak.
Agenda kedua dari UU advokat adalah mendorong access to justice. Mendorong dan memenuhi akses atas keadilan ini diwujudkan dengan kontribusi advokat terhadap pemberian pelayanan bantuan hukum Cuma-Cuma. Untuk pemenuhan agenda kedua ini, bahkan Asosiasi advokat kalah tangkas dari pemerintah. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah menganai bantuan hukum melalui PP No. 83 tahun 2008 mengenai Bantuan Hukum. Sebagai konsekuensinya Peradi pun membentuk Pusat Bantuan Hukum (PBH) Peradi. Namun sayangnya hingga saat ini belum juga kita mendengar bagaimana mekanisme untuk mengimplementasikan PP tersebut.
Asosiasi Advokat perlu serius mendorong akses atas keadilan dengan membuat mekanisme bagi advokat untuk memenuhi kewajiban kewajiban menjalankan bantuan hukum Cuma-cuma. Dibeberapa belahan dunia seperti di Eropa Timur, terbukti secara signifikan mengurangi praktik mafia hukum, kolusi antara Advokat dengan polisi dan jaksa dan mengurangi praktik penyiksaan dan tindakan sewenang-wenang lainnya dari kepolisian dan kejaksaan.
 
Pengawasan dan Akuntabilitas advokat
Satu agenda reformasi advokat kedepan yang paling penting menurut hemat saya adalah bagaimana membangun dan memperkuat sistem pengawasan kode etik advokat yang lebih mumpuni dan lebih luas membangun akuntabilitas advokat.
Akuntabilitas ini misalnya dapat ditempuh dengan cara memberikan laporan kepada publik mengenai kinerja Orgnaisai, kinerja Dewan Kehormatan Advokat, termasuk didalamnya dengan mengumumkan kepada publik berapa banyak kasus yang dibawa ke dan diputus oleh Dewan Kehormatan Advokat, dan lebih jauh mengumumkan siapa-siapa saja advokat nakal yang telah dijatuhi hukuman.
Laporan ini penting dan akan bermanfaat bagi publik, karena publik dapat melakukan eksaminasi dan bahkan apresiasi atas kinerja Peradi berikut dewan kehormatan nya. Bahkan ketika advokat yang telah dijatuhi hukuman Dewan kehormatan advokat ini berpindah ke organisasi advokat lain untuk menyelamatkan diri dan menghindari sanksi, efe jera akan tetap terjadi karena publik mengetahui kredibilitas advokat yang bersangkutan. bahkan publik akan juga menyangsikan kredibilitas organisasi advokat yang telah menampung si advokat nakal tersebut.
Pengawasan internal juga akan lebih effektif dengan menjemput bola dengan bekerjasama dengan berbagai elemen masyarakat sipil, membuka pos-pos pengaduan advokat nakal, dan menyebarluaskan informasi mengenai keberadaan dewan kehormatan advokat dan mekanisme yang dapat dan mudah dijangkau masyarakat untuk melaporkannya.
Selain memperkuat pengawasan internal, pengawasan ekternal dengan menggandeng seluruh potensi sumber daya hukum di masyarakat juga terbuka. Kendati saya belum berpikir mengenai bentuk atau lembaga yang akan melakukan pengawasan terhadap advokat, seperti halnya komisi yudisial yang mengawasi hakim, namun pengawasan eksternal sepantasnya terbuka untuk advokat. (http://www.trunity.net/)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar