Saban
kali masa jabatan ketua Rukun Tetangga (RT) di lingkungan tempat tinggal
berakhir, kami saling dorong siapa yang mau dicalonkan sebagai ketua RT periode
berikutnya. Nyaris tak ada warga yang bersedia, apalagi proaktif, mencalonkan
diri di laga berdurasi tiga tahunan itu.
Sampai
kemudian muncul semacam ‘konsensus’ penggiliran warga yang maju ke pencalonan.
Ilustrasi sederhananya, di tempat tinggal kami terdapat empat blok rumah, maka
periode 2005-2008 jatah warga Blok A, lalu periode 2008-2011 giliran warga Blok
B, 2011-2014 warga Blok C yang kebagian kursi ketua RT, dan seterusnya. Kendati
sekarang ada insentif sebesar Rp300 ribu per bulan, tetap saja tak ada warga
yang bersedia dicalonkan dan mencalonkan diri. Sampai-sampai warga mau
mengangkat dan memperpanjang masa bakti Pak RT yang sekarang. Hanya sebuah
pengabdian saja bagi siapa yang bersedia duduk di kursi Ketua RT. Begitu yang
menancap kuat di benak warga.
Bila di
perumahan kami di pinggiran Kota Bekasi, warga enggan maju ke arena pemilihan
ketua RT, maka tidak demikian dengan warga kampung di sebelah perumahan tempat
kami tinggal. Ketika pemilihan dihelat beberapa waktu lalu, kampung itu sempat
dipenuhi spanduk calon-calon ketua RT. Terlihat ada empat calon yang maju dalam
pesta demokrasi tingkat komunitas masyarakat paling dasar itu. Ada calon incumbent yang telah 20 tahun menjabat,
ada seorang kepala keamanan cluster
yang mengusung modal sekitar Rp20 juta, ada seorang pengojek yang mengaku cuma ingin
meramaikan, dan seorang calon lagi yang juga sekadar memecah suara agar tidak
mengumpul di calon petahana. Benar-benar marak.
Tibalah
hari H pencoblosan. Warga kampung pun ramai-ramai menuju tempat pemungutan
suara yang didirikan di taman kuburan wakaf. Setelah dilakukan penghitungan,
kemenangan berpihak ke calon seorang kepala keamanan cluster yang telah susah-payah mengeluarkan ongkos politik. Warga
merasa lega, ketua RT yang telah 20 tahun memimpin mereka berhasil
dilengserkan.
Mengapa
warga lega? Kabar burung yang beredar, ketua RT incumbent sudah terlalu lama duduk di kursi nyaman dan menikmati tip-tip
warga yang ada urusan dengan surat pengantar dan tanda tangan ketua RT. Dari
kabar burung pula, majunya beberapa orang pengojek mencalonkan diri tidak lain
agar calon incumbent tidak mudah
melakukan penekanan ke warga. Dan, seorang pemodal berani memberikan ongkos
politik agar suara lari calon-calon non-incumbent.
Dengan demikian, walau calon incumbent
juga mengeluarkan ongkos politik namun kalah besar dibandingkan ongkos politik
hasil ‘sinergi’ tiga calon lain. Tampaknya sudah ada adu strategi di sini.
Betul-betul
marak pencalonan ketua RT di kampung itu. Rupanya banyak warga kampung ingin
menjadi ketua RT. Karena, selain ada insentif Rp300 ribu per bulan tadi, warga
yang jadi ketua RT bebas-bebas saja menyorongkan kotak tip setiap kali ada
warga yang mengurus surat perpanjangan KTP. Bahkan, tidak jarang mereka meminta
fee setiap kali ada transaksi
jual-beli tanah di kampung. Tidaklah mengherankan bila kemudian ada seorang
kepala keamanan ‘rela’ mengeluarkan Rp20 juta untuk memenangi kursi ketua RT. Dana
politik sebesar itu, antara lain, digunakan untuk membayar calon-calon boneka
dan membeli suara. Benarkah? Hanya warga kampung itu yang tahu persis. (BN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar