ad

Minggu, 14 Juli 2013

Dana Itu Ada di Tangan Umat



Suatu kali saya bertandang ke desa sentra bawang di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Sebagaimana galibnya, saban kali orang pusat datang ke daerah, mereka yang ada di daerah siap menyodorkan sejumlah proposal, siap meminta bantuan dana. Bahkan, dalam sesi tatap muka, ada yang meminta fasilitas komputer buat kelengkapan kesekretariatan.
Saya berusaha menanggapi secara bijak. Tidak serta merta memanjakan mereka dengan langsung setuju menggelontorkan dana buat beli komputer. Berapa saja yang kalian butuhkan, saya katakan, akan tercukupi bila kalian dengan berpikir cerdas dan bekerja keras. Kalian harus menyadari bahwa dana itu berada di tangan umat, tidak terkecuali di tangan warga desa penghasil bawang merah ini.
Lalu saya melihat ada satu masjid megah di tengah desa yang dihuni sekitar 400 kepala keluarga (KK) itu. Rupanya mereka berhasil membangun secara swadaya masjid bernilai Rp1 miliar selama empat tahun. Artinya, warga desa yang sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani bawah merah itu mampu menyisihkan sekitar Rp250 juta per tahun demi terwujudnya sebuah masjid yang kini menjadi kebanggaan desa. Dan, warga desa tersebut merasa tabu meminta bantuan dana pada warga desa lain dan pejabat pemerintah.
Saya melihat cara yang mereka tempuh simpel-simpel saja. Dimulai dari kumpul warga lalu memilih beberapa orang untuk melakukan pendataan seputar seberapa banyak warga desa yang mampu, setengah mampu dan miskin. Termasuk pula mendata apa saja pekerjaan mereka.
Setelah data lengkap, melalui sebuah musyawarah mufakat-bulat, mereka lantas memilih tiga orang untuk bertugas mengoleksi infak dari warga yang mampu, antara lain petani bawang, pegawai negeri, karyawan swasta, wirausahawan dan pedagang. Tiga orang kolektor itu secara rutin menagih infak kepada orang-orang berpunya, tidak sembarang mendatangi rumah warga desa. Mereka menjadi juru pengingat orang-orang yang di dalam hartanya masih ada hak orang lain. Bahkan, ketika musim panen bawang merah, ketiga orang kolektor itu diamanahi membuka posko di sekitar lokasi panen. Mereka langsung menarik infak dan zakat dalam bentuk barang (bawang merah), tidak menunggu dulu sampai bawah merah laku jual. Sampai kemudian terkumpul dana yang cukup buat membangu masjid. 
Dari kegiatan ini, saya langsung meminta warga setempat meneruskan aktivitas ini dengan mengangkat tiga kolektor zakat, infak dan sedekah (ZIS) sebagai sumber dana umat yang dapat dipergunakan untuk kepentingan umat pula. Pada tiga bulan pertama, tiga orang itu diupah secara layak oleh pemrakarsa mobilisasi dana umat desa itu. Selanjutnya, dari dana yang terus terkumpul, ketiga orang kolektor itu pun beroleh alokasi upah dari hasil pengumpulan ZIS.
Dengan kemampuan menghimpun dan mendistribusikan ZIS rata-rata Rp7 juta sampai Rp8 juta per bulan, mereka pun mampu membeli perangkat komputer, memberikan bantuan dana bergulir pada petani dan wirausaha desa, menyantuni anak yatim, dan mendistribusikan zakat kepada yang berhak menerima.
Sekali lagi saya tekankan kepada mereka bahwa dana itu berada di tangan umat, bukan di pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Sungguh langkah yang tidak mudah. Saya juga mengajarkan bagaimana pertanggung-jawaban penghimpunan dan pendistribusian ZIS itu. Sederhana saja. Saya minta pengurus pengumpulan ZIS mengundang para muzakki pada gelaran kegiatan santunan anak yatim, pemberian bea sekolah siswa berprestasi, dan penyaluran dana bergulir wirausaha kecil-kecilan di desa. Selain itu, menempelkan pula laporan tertulis alur pemasukan-penyaluran ZIS di tempat-tempat yang mudah dibaca oleh warga desa.
Kini desa itu tidak lagi berteriak-teriak minta sumbangan dana. Desa sentra produksi bawang merah itu benar-benar mandiri. Saya berharap kiat penghimpunan dan penditribusian ZIS dari desa bawang ini dapat dicontoh oleh desa-desa lain. Dengan begitu tidak akan ada lagi desa miskin dan orang miskin di desa. Semoga. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar