Kendati Majelis Kehormatan Hakim hanya
merekomendasikan teguran tertulis karena terbukti melanggar kode etik, Jumat
(11/2), Arsyad Sanusi memilih mundur dari jabatannya sebagai hakim konstitusi.
Arsyad memilih mundur demi menjaga keluhuran, kehormatan, kewibawaan, sekaligus
kepercayaan publik kepada Mahkamah Konstitusi (MK) (Kompas, 12/2).
Boleh
dikatakan selama ini tinggal MK yang masih sedikit dipercaya publik. Lembaga
penegak hukum lainnya –kepolisian, kejaksaan dan pengadilan—telah jatuh
citranya di mata publik. Bahkan, KPK yang diharapkan mampu menjadi motor
penegakan hukum juga sempat mengalami penurunan kepercayaan, terutama setelah
tertangkap dan diadilinya penyidik KPK Ajun Komisaris Suparman pada awal 2008.
Kepada siapa
lagi kita menaruh kepercayaan dalam penegakan hukum? Bagaimana upaya agar
kepercayaan itu dapat ditumbuhkan kembali? Hemat penulis, sudah saatnya kita
melakukan akreditasi terhadap lembaga-lembaga penegak hukum di negeri ini. Akreditasi
dapat dipahami sebagai sebuah pengakuan terhadap lembaga yang diberikan oleh
badan yang berwenang setelah dinilai bahwa lembaga itu memenuhi syarat kebakuan
atau kriteria tertentu. Di bidang pendidikan tinggi kita telah mengenal Badan
Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) yang melakukan akreditasi
terhadap lembaga pendidikan tinggi. Terlepas dari kekurangan yang ada, hasil
akreditasi BAN PT cukup dapat diandalkan. Sebuah lembaga pendidikan yang
memperoleh akreditasi A misalkan, sejauh ini, memiliki citra cukup baik dan
memperoleh kepercayaan publik.
Lalu,
bagaimana akreditasi terhadap lembaga penegak hukum? Mari sebentar kita menegok
pengalaman Amerika Serikat. Negeri Paman Sam ini telah lama memiliki Komisi
Akreditasi Lembaga-lembaga Penegak Hukum. Komisi ini bekerja untuk meningkatkan
dan menjaga mutu, efisiensi, dan profesionalisme pada lembaga-lembaga penegak
hukum. Dalam rentang waktu 1990-1993, lebih dari 912 lembaga penegak hukum di
AS, Kanada dan Kepulauan Karibia dan Pasifik dalam tahap program akreditasi.
Sekitar tahun 1995, 244 di antaranya
sudah terakreditasi.
Standar akreditasi
lembaga penegak hukum, menurut Pakar Administrasi Peradilan Kriminal dari
Central Missouri State University Joseph B. Vaughn (1995), meliputi enam
penegakan hukum utama, yaitu (1) peran, tanggung jawab dan hubungan dengan
lembaga-lembaga lain; (2) organisasi, manajemen, dan administrasi; (3)
administrasi personalia; (4) operasi penegak hukum dan dukungan operasional;
(5) layanan tahanan dan yang berhubungan dengan pengadilan; serta (6) pelayanan
bantuan dan teknis. Standar tersebut terlebih dulu menjalani pengonsepan dan
pengulasan secara ekstensif sebelum disetujui. Dan, yang telah disetujui oleh
komisi kemudian dibagikan kepada lembaga-lembaga penegak hukum dan
individu-individu untuk diperiksa dan dikomentari. Standar itu dirancang
sedemikian rupa sehingga pemenuhannya dapat diraih dan bukan sebagai beban yang
tidak rasional pada setiap lembaga penegak hukum yang dikelola secara baik dan
sistematis.
Hasil dari
proses akreditasi, masih menurut Joseph B. Vaughn, terklasifikasi ke dalam lima
kategori. Pertama, Terakreditasi. Artinya
lembaga tersebut memenuhi semua standar wajib yang dapat diterapkan dan dengan
persyaratan persentase tertentu dari standar yang dapat diterapkan selain yang
wajib. Kedua, Terakreditasi dengan sebuah batasan waktu. Lembaga yang
bersangkutan belum mendapatkan pemenuhan syarat yang diperlukan dengan standar
yang dapat diterapkan. Ini kemungkinan akibat keadaan di luar antisipasi dan kontrol
cepat dari lembaga. Komisi tetap mengakui status terakreditasi lembaga
tersebut, namun hanya untuk periode tertentu, tidak melebihi sembilan bulan. Selama
rentang waktu itu lembaga tersebut harus memulihkan atau memperbaiki kekurangannya.
Ketiga, Terakreditasi dengan kondisi. Komisi akreditasi menyatakan lembaga
tersebut terakreditasi tapi dengan syarat, lembaga itu harus mengambil langkah
spesifik. Keempat, Akreditasi dihilangkan. Lembaga tersebut
belum mencapai syarat yang ditetapkan sesuai dengan standar yang dapat
diterapkan. Dan kelima, Pengunduran akreditasi. Terpisah dari
keempat hal yang diperoleh atas inisiatif komisi akreditasi tersebut, sebuah
lembaga dapat saja memutuskan untuk tidak meneruskan partisipasinya dalam
program akreditasi. Selanjutnya, kelima klasifikasi tadi bisa dinoktahkan ke
dalam huruf-huruf: A, B, C, D dan E.
Dengan
berkaca pada kasus pengunduran diri hakim konstitusi Arsyad Sanusi, kinilah
saatnya lembaga penegak hukum kita diakreditasi, tidak harus menunggu sampai
ada pihak berperkara yang merasa didzalimi. Arsyad mundur tentu bukan tanpa
alasan, karena beberapa waktu lalu Ketua MK Moh. Mahfud MD sempat melontarkan
ucapan bahwa MK sebagai lembaga penegak hukum yang bersih dan layak dipercaya
publik. Benar Arsyad berusaha menjaga kewibawaan dan kepercayaan publik terhadap
MK.
Soal apakah
kita kemudian membentuk badan atau komisi akreditasi lembaga penegak hukum,
dapat dipikirkan lebih lanjut. Bisa saja, demi efisiensi dan efektivitas, kita mendayagunakan
lembaga/komisi yang telah ada yang selama ini telah bersentuhan dengan kinerja
dan pelayanan lembaga-lembaga penegak hukum. ***
---------------
Penulis adalah seorang kriminolog.
Kontak ponsel: 0813-1509-2050
Tidak ada komentar:
Posting Komentar