ad

Sabtu, 13 Juli 2013

Gerobak Kehidupan dan Mawar Surga*)



(Elegi Seorang Pemulung)


Luluh lantak sudah qalbu Atmo
Mulut pun tiada terucap
Getir terasa perih
Pedih tiada sedih

Kakinya terus melangkah
Menyusuri jalan ramai
Tak hirau hiruk pikuk
Langkah demi langkah

Berselimut sarung kumal
Digendongnya jasad kaku itu
Dengan selempang selendang
Menyilang di dada tak lagi berdaging
Menuju peristirahatan akhir

Lengan satunya menggamit jemari mungil anak lelakinya
yang berbaju lusuh dan kaki penuh luka
terseok-seok mengikuti langkah sang ayah
langkah yang entah di mana bakal berhenti

Dalam hati yang risau dan galau
Pikiran yang kacau menceracau
Atmo membawa-bawa jasad anak bungsunya
yang baru saja berpulang
dengan gerobak kehidupan
gerobak nomad di metropolitan
ibukota yang tak ramah pada kaum papa
saat datang dan ketika pulang

Atmo terus menghela gerobak
Di antara kisi-kisi
Orang-orang kota nihil peduli
Hanya menonton tragedi
Nestapa kaum duafa di panggung tonil
Di tengah deru mobil tak bertepi

Matahari sepenggalah naik
Terlintas di benak Atmo
bawa jasad anaknya
ke kampung halaman
yang masih penuh sapa ramah


Kaki Atmo terhenti di mulut stasiun
Tiada sepeser pun rupiah di kantong
Menatap kereta rakyat
Penumpang sampai atap-atap
Antar Atmo dan jasad anaknya
Ke kampung halaman
Di pinggiran Citayam

Atmo meraih jasad anaknya
yang berselimut sarung kumal
dengan selempang selendang
menyilang di dada tak berdaging
Tinggalkan gerobak kehidupan
Demi kewajiban kifayah

Penarik karcis sinis menghardik1)
Sarat syakwasangka
Buka selempang selendang
Jasad anak kecil pulas  
Nyenyak tak bergerak
Tanpa embusan nafas

Penarik karcis bertanya:
Anak mati mau dibawa ke mana

Atmo menjawab:
Mengubur anak di kampung halaman

Atmo sadar betapa sulit
Mengubur anak manusia di belantara Jakarta
Buat orang-orang tiada KTP “Monas”2)
orang-orang nomad dalam gerobak kehidupan
menggelandang tanpa arah dan tujuan

pun Atmo tahu
betapa mahal mati di metropolitan
bisa jutaan rupiah
(kecuali dikubur dengan nisan tak dikenal)3)
Atmo tak punya apa-apa
Orang dilarang sakit
Dilarang pula mati
Hidup susah mati juga tak mudah
Pulang kepada-Nya pun penuh liku
Jakarta hanya buat orang berduit
Duit tukang mandi jenazah
Duit tukang gali kubur
Duit retribusi kubur
Duit ambulance
Duit tukang doa
Duit liang lahat  ...

Penarik karcis terus menghardik
Menyeret Atmo ke pos polisi
Urusan jadi panjang
Jasad anaknya harus dibawa ke rumah sakit
Dibedah dicari penyebab kematiannya

Atmo tercenung di pintu kamar jenazah
Tak tega lihat jasad anaknya dibedah
Jadi obyek percobaan calon-calon dokter

Niat Atmo sederhana saja
Ingin menguburkan jasad anaknya
di tanah gembur kampung Citayam

Atmo tak habis pikir
mengapa harus berputar-putar
di antara nasib dan takdir
rangkaian jalan yang mengular

***

Di mulut kamar mayat Atmo terdiam
Hatinya tersayat sembilu
Air matanya mengering
Atmo dalam kesendirian
Ditemani anak lakinya yang belum berbenak
Tak tahu harus berbuat apa
Kala kepedulian sirna

Atmo masih tergeming
Menerawang ke masa silam
Saat masih bersama sang isteri
Cita-citanya sangat sederhana
Sesederhana cara hidupnya
Hidup bersama sang isteri
Di rumah kecil di pinggir kali
Sekadar hidup bersahaja
Lengkap kehadiran dua anak
Buah cintanya dengan sang isteri

Terkenang dua buah hatinya
Bermain kecipak air kali
Penuh canda ria
Penuh curahan kasih Atmo dan isteri
Dalam biduk yang teramat sederhana
Ya, Atmo hanya buruh tani
sekolah cuma sampai angka tiga
Hidup pun bersandar pada pemilik sawah

Atmo harus banting tulang
Demi sepiring nasi
‘Tuk melanjutkan kehidupan
di gubuk kecil di pinggir kali
dapur dan tempat tidur menyatu
yang bukan miliknya

Kehidupan di desa tak seperti masa lalu
Lahan sawah luas membentang
Kini sawah terus menciut
Berganti perumahan dan kawasan industri
Petani kian terjepit
Jual sawah lalu berdagang

Atmo kehilangan lapangan penghidupan
Kebisaannya cuma mencangkul
Sawah terus menyusut
Buruh tani bertambah-tambah

Atmo terdesak
Kebutuhan hidup membubung
Dua anaknya kerap merengek
Menahan perut keroncongan
Hidup begitu sulit

Nun jauh di kota terus menggoda
Mencari uang lebih gampang
Atmo mengambil keputusan
Meninggalkan desa nan tenteram
Menuju kota tanpa asa

***

Tekadnya membatu
Gubuk kecil di pinggir kali ditinggalkan
Bawa uang alakadar
Berharap berkembang di kota nanti
Isteri dan dua anaknya dibawa serta

Atmo tak tahu hendak tinggal di mana
Tak punya kerabat di kota
Untuk menumpang barang sejenak

Menuju pinggir Ciliwung
Gubuk sepetak untuk berempat
Milik Ibu Sri di daerah berjejal
Panorama air kali coklat
kadang hitam pekat
Tiada tempat bermain anak

Atmo ingat pesan mertua:
Bekerjalah sebagai wujud rasa syukur
Tapi, dia tak punya bekal ijazah
buat kerja kantoran
Jadi buruh bangunan pun tak lagi kuat

Kata orang:
Di kota apa saja bisa dijual
gelas mineral bisa jadi duit
bungkus tivi jadi fulus
asal mau tahan malu
Atmo lalu kumpulkan barang bekas
yang terbuang tak berguna
Memungut dari bak sampah
Mengambil di sepanjang jalan
Dari rumah ke rumah
Dari gang ke gang
Memulung
Memasukkan ke keranjang di punggung
Sejak fajar sampai mentari tergulung

Tiada pilihan lain
Cuma memulung barang bekas
Tanpa mesti terampil
Mudah dan cepat datangkan duit
Meski kadang ada caci
maki orang yang terganggu
Kaki pemulung di subuh hari

Atmo ikhlas menerima
Ditanggalkannya buruh tani
Dilepaskan pula cangkul
Berganti gancu
dan gerobak kehidupan 

Sang isteri tampak gelisah
Hasil jualan barang bekas tak pernah cukup4)
Ingin rasanya membantu suami
Khawatir anak terlantar
Apa daya
cuma bisa berkeluh-kesah

Gubuk sepetak di pinggir Ciliwung habis kontrak
Atmo termenung
Hasil sehari habis buat makan
Suara tagihan selalu terdengar
Mengusik ketenteraman hati
Tak tahan selalu didesak
Atmo memilih hengkang
Hidup nomad
dengan gerobak kehidupan

Atmo, isteri dan dua anaknya
berumah di gerobak kehidupan
Saat kantuk menggelayut
Gerobak jadi tempat tidur
beratap langit lepas
Kala siang kepanasan
Saat hujan pun kehujanan
Tak kenal mandi-cuci-kakus
Kadang makan kadang puasa

Setiap hari Atmo menghela gerobak kehidupan5)
Sesekali berhenti tatkala lelah mendera
Sambil memulung
Mengumpulkan barang bekas
Gerobak sarat tumpukan kertas
Dua anaknya berkasur kardus
Atmo di depan menarik gerobak
Isteri mengawasi di belakang
Membelah deru-debu metropolitan
Pagi
Siang
Malam

Jelang tengah malam
Atmo mencari lokasi
Kadang di pinggir jalan protokol
Gerobak di parkir di trotoar

Atmo duduk di sebelah gerobak
Dua anaknya masih bermain di dalam gerobak
Kadang turun dari gerobak mencari ibunya
Bercengkerama
Sang isteri berada di sebelah Atmo
Berempat mereka menikmati nasi bungkus
Tak ada kerat daging atau paha ayam
Mengusir lapar semalaman

Larut malam
Mobil-motor masih antre panjang
Bergegas pulang ke pinggiran kota
Mesin dan klakson membuat bising
Atmo kosong memandang
Mobil-mobil lalu-lalang

Tak ada yang peduli
Mobil-mobil miliaran
Dengan penumpang bersandang rapi
Dalam renyah raut bahagia

Tak ada yang peduli
pada Atmo beranak-pinak
dalam gerobak kehidupan
Hanya tontonan di pinggir jalan
Sekali toleh setelah itu lupa

Atmo memandang
Orang-orang baru keluar dari rumah makan
bergambar daging di tengah roti bundar
yang tampak kekenyangan
Tak ada yang peduli pada Atmo
pada gerobak kehidupan
orang-orang pinggiran
yang tersingkir

***

Atmo terus memutari gerobak kehidupan
Isterinya tak kuat menahan nestapa
mulai lelah mendampingi
berjalan setiap hari tanpa harap
Di tengah sengat mentari
Kadang diguyur hujan
dibekap embun dinihari

Hari ini makan
Esok belum tentu

Sang isteri bergelut kebimbangan
Di batas sabar, ia berkata:
“Aku ingin mencari penghidupan lain
Atmo tak ingin berpisah
Dia ingin tetap sehidup-semati

Sampai suatu malam
Tatkala Atmo dan dua anaknya lelap
Diam tanpa pesan
si isteri meninggalkannya
Atmo mencari-cari
Nihil jejak
di rimba belantara kota

Atmo cuma pasrah
Hatinya menangis
Dia lumatkan sumpah serapah
Percuma menyesali diri
Dua buah cintanya lebih utama

Bertiga mereka menelan duka
Sirna kasih ibu memang terasa
Kosongan dari asih ibu
buat puteri bungsunya

Dalam gelimang kehidupan nan kotor
Puterinya diserang diare
Tergeletak tiada daya
Di atas tumpukan kardus
Atmo berlari-lari kecil
Cari-cari sekadar bantuan
Di kantong hanya ada selembar sepuluh ribu
Tak cukup sekadar buat berobat ke Puskesmas
Cukup sekali dibawa berobat
Setelah itu ...

Puteri bungsunya semakin lemah
”Pak ... ,” panggilnya nyaris tanpa suara
”Ya, Nak ... nanti kita ke rumah sakit,” sahut lembut Atmo
Atmo tergeming

Puterinya tak lagi bergerak
Matanya terkatup rapat
”Nak ... nak ...,” Atmo memeluk erat
Agaknya malaikat maut telah datang
Inna lilah wa inna ilaihi rojiun
Atmo menyesali dalam-dalam
Tak bisa berbuat apa-apa
Sekadar membahagiakan puterinya
barang sekejap

Teringat senyum si puteri
Terkenang rengekannya
menangis
tertawa
bermain
tidur
yang tak bakal kembali

***

Di mulut kamar jenasah
Atmo raih kembali jasad puterinya
Dipeluknya jasad itu
Dibawanya keluar
Dengan selempang selendang
di dadanya yang tirus

Di rembang petang
Elegi Atmo tersebar
Gerobak kehidupan selendang kematian
Tersiar ke sudut-sudut kota
Ke telinga pedagang asongan
juru parkir, penjual buah, pengamen
Mereka ikut iba
Dalam keterhimpitan
mereka rela
menyelisipkan recehan
di tangan Atmo

Belum cukup untuk menyewa ambulan6)
Sopir bajaj ingin mengantar
ke mana Atmo berkehendak
Mentari memasuki peraduan
Mustahil Atmo berjalan jauh
ke kampung halaman
untuk mengubur puterinya

Jasad anaknya mesti dikuburkan segera
Atmo kembali ke gubuk pinggir Ciliwung
Dengan bajaj pasti berlalu
Atmo memeluk jasad puterinya
dan menggamit lengan anak lakinya

Atmo berkeluh-kesah
pada Ibu Sri
tentang jasad puterinya
yang terlunta-lunta

Elegi tersebar ke tetangga
Sesama orang miskin
Mereka peduli
Ingat pada kewajiban kifayah
mengurus jenazah
Sekejap dalam kebersamaan
Jasad puteri Atmo
dimandikan
dikafankan
dishalatkan
lengkap mawar dan melati
harum mewangi
Diantar beramai-ramai
sesama orang miskin
Atmo menggendong
jasad berkafan putih
ke peristirahatan akhir

Hari telah gelap
Jasad masuk liang lahat
Adzan berkumandang
Syahdu merindu
Panggilan shalat
Bersama panggilan maut

Terdengar iqomah
Seruan segera mendirikan shalat
Bermunajat pada Ilahi Rabbi
Dalam tulus dan ikhlas

Atmo menitikkan air mata
Jasad kecil berkain kafan ditutup papan
Tanah-tanah berhamburan
Menggunung dengan nisan
“Mawar binti Atmo”
Ditaburi kembang setaman7)

Hari benar-benar gelap
Satu per satu pengiring pergi
Atmo masih terpekur di kubur
Berdoa dalam hati
Ditatapnya nisan kayu

Terdengar adzan isya
Atmo bersyukur
Atmo yakin
Mawar surga telah tenang di alam sana.....


----------------------
*)Puisi ini diilhami oleh kisah pilu Supriono (38), seorang pemulung asal Kampung Kramat, Bogor, Jawa Barat, yang harus menggendong mayat anak, Khaerunisa (3), berjalan kaki dari ‘rumahnya’ di kawasan Manggarai ke Stasiun Tebet (Jakarta Selatan) untuk menumpang KRL lalu menguburkan jenasah anaknya di kampung halaman Kramat, pada 5 Juni 2009.

1)Dalam kisah Supriono, saat memasuki Stasiun Tebet, dia dicegah oleh petugas Stasiun lalu si petugas menyerahkannya ke polisi karena kematian anaknya diduga ada faktor celaka atau kriminal. Dia pun harus melewati administrasi proses otopsi di RSCM Jakarta. Tapi kemudian, Supriono tak ingin anaknya dibedah, petugas RSCM memberikan surat pengeluaran jenasah tanpa terlebih dulu diotopsi.

2) Pemerintah DKI Jakarta memang menyediakan pelayanan gratis bagi orang yang tidak mampu. Dengan syarat meminta surat keterangan tidak mampu dari RT/RW di mana si ahli jenasah berdomisili. Asisten Bagian Kesejahteraan Masyarakat Sekda DKI Jakarta, Rohana Manggala berharap kisah pilu Supriono tidak terjadi lagi, dia berharap pengurusan RT aktif melakukan sosialisasi soal ini. Sementara, Supriono tinggal nomaden antara Manggarai dan Salemba. Ke mana mesti mengurus surat keterangan tidak mampu?

3) Kepala Administrasi RSCM, Ade, menuturkan, secara prosedural mayat tak dikenal yang masuk ke RSCM tidak langsung diotopsi, terlebih dulu menunggu apakah ada pihak keluarga yang melapor atau tidak. Setelah ditunggu 3 hingga 4 hari belum ada pihak orang yang melapor kehilangan anggota keluarganya, jenasah diotopsi untuk diketahui penyebab kematiannya. Kemudian, apabila dalam waktu seminggu belum ada keluarga yang melapor, maka akan dikuburkan oleh Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI. Seluruh hasil otopsi itu disimpan oleh RSCM dan diserahkan pula ke pihak kepolisian sebagai pemohon otopsi. Setiap bulan, Dinas Pertamanan dan Pemakaman meanguburkan sekitar 60 mayat tak dikenal di TPU Pondok Ranggon (Jaktim), TPU Tegal Alur (Jakbar) dan TPU Srengseng Sawah (Jakarta Selatan).

4) Penghasilan pemulung di Jakarta tidak menentu. Sebagaimana penuturan Supriono, kadang dia dapatkan Rp20.000, kadang Rp10.000 dan sering pula Rp0 (karena tidak ada barang hasil pulungan yang bernilai rupiah).

5)Bagi pemulung yang tidak mampu mengontrak gubuk di pinggiran Kali Ciliwung, mereka memanfaatkan gerobaknya untuk tidur dan bermalam di mana saja, saat kantuk menggelayut pelupuk mata di malam hari. Maka mereka menyebutnya sebagai gerobak kehidupan. Seperti pemulung Supriono yang mondar-mandir Manggarai-Salemba, ketika malam tiba, dia memarkir gerobaknya di kolong perlintasan rel KA di Cikini, Jakarta Pusat.

6)Sejak sekitar tahun 2005, banyak organisasi masyarakat, LSM, partai politik dan perorangan yang menyediakan ambulan gratis yang siap mengantar penguburan si ahli jenasah. Namun, banyak warga masyarakat seperti pemulung merasa gamang dan ragu apakah benar-benar gratis.

7)Seperti kisah pilu Supriono dan Khaerunisa, jasad si anak akhirnya dapat dikuburkan di sebuah TPU di wilayah Jakarta Selatan berkat kepedulian orang-orang pinggiran.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar