SISTEM DAN MANAJEMEN PERLINDUNGAN TKI
"Berikan
perhatian yang sangat serius pada masalah tenaga kerja kita. Mereka adalah
bagian dari solusi, pahlawan devisa, wajib hukumnya bagi kita untuk memberikan
perlindungan dan pelayanan bagi saudara-saudara kita itu"
(Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI)
Prahara dan problema Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) di luar negeri sepertinya tidak pernah berhenti. Setiap tahun
terus saja terjadi, bagaikan roda yang terus berputar. Apakah itu terkait
dengan tenaga kerja ilegal, tindak kekerasan yang dialami para TKI ketika
bekerja di negeri orang ataupun berbagai hal yang menyangkut dengan
perlindungan keselamatan terhadap tenaga kerja tersebut. Para TKI yang
disebut-sebut mampu memberikan masukan devisa sekitar Rp60 triliun (2009) ini
belum memperoleh perlindungan yang semestinya.
Dari pengamatan saya, hal ini tak terlepas
dari manajemen penempatan dan perlindungan TKI yang masih amburadul dan jauh
dari praktik-praktik manajemen yang tepat dan taat azaz. Sebenarnya bila kita
mempraktikkan dan mentaati manajemen penempatan dan perlindungan Tki
sebagaimana diatur oleh pasal 1 UU Nomor 39/2004 Tentang Penempatan dan
Perlindungan TKI di Luar Negeri, prahara dan permasalahan TKI di luar dapat
diminimalisir. Soal penempatan misalkan, pasal tersebut menandaskan bahwa
penempatan TKI adalah kegiatan pelayanan untuk mempertemukan TKI sesuai bakat,
minat, dan kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri yang meliputi
keseluruhan proses perekrutan, pengurusan dokumen, pendidikan dan pelatihan,
penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke negara tujuan,
dan pemulangan dari negara tujuan. Sedangkan perlindungan TKI adalah segala
upaya untuk melindungi kepentingan calon TKI/TKI dalam mewujudkan terjaminnya
pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum,
selama maupun sesudah bekerja.
Dalam penyelenggaraan penempatan TKI ke
luar negeri terdapat tiga pihak utama yang terlibat, yaitu pihak pemerintah
(Kemnakertrans, Kemdagri, Kemhukham dan Kemlu), pihak pengusaha (PJTKI atau
PPTKIS), dan calon TKI. Ketiga pihak mempunyai perbedaan dalam perandan
tanggung jawab, juga perbedaan posisi dan kepentingan meskipun berninergi dalam
mendukung berlangsungnya kebijakan pengiriman TKI ke luar negeri.
Pihak pemerintah, terutama Kemnakertrans,
memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis dan dan sangat vital karena
kewenangannya sebagai regulator, fasilitator dan pengawas penempatan TKI ke
luar negeri. Bahkan, pemerintah juga dapat bertindak sebagai pelaksana dalam
proses penempatan TKI melalui pihak ketiga. Kemnakertrans sesuai dengan
tanggung-jawabnya dalam masalah ketenaga-kerjaan berkepentingan agar
kebijaksanaan penempatan TKI di luar negeri dilaksanakan berdasarkan
perundang-undangan yang berlaku.
Pihak pengusaha Pengerah Jasa Tenaga Kerja
Indonesia (PJTKI) atau Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS) sebagai
pelaksana utama pengerahan tenaga kerja ke luar sangat berkepentingan untuk
kelangsungan usahanya. Karena, tersedianya sumber daya manusia yang melimpah
dan meningkatnya peluang pasar global berarti potensial buat perkembangan
bisnis yang menguntungkan.
Kemudian pihak calon TKI berkepentingan
terhadap tersedianya pelayanan jasa yang mudah dan terjangkau. Dengan begitu,
mereka dapat memperoleh pekerjaan dan perlindungan yang memadai di dalam dan di
luar negeri. Namun demikian posisi tawar calon TKI paling lemah dibandingkan
dengan posisi tawar dua pihak lainnya. Akibatnya, mereka cenderung memiliki
risiko lebih besar daripada pihak-pihak yang lebih kuat posisinya.
Kerja sama antara pihak-pihak
penyelenggara penempatan TKI dapat menimbulkan dampak positif dan negatif,
tergantung pada pandangan masing-masing terhadap peran dan posisi TKI, apakah
dianggap sebagai komoditi (obyek) bisnis semata atau sebagai subyek yang
setara. Sebagai subyek yang memiliki hak dan kewajiban dalam memenuhi
kepentingan semua pihak.
Dalam interaksi para pihak-pihak terkait
sangat mungkin terjadi perbenturan kepentingan atau konflik lantaran tidak seimbangnya
peran dan wewenang masing-masing pihak (Kartikasari SN, 2000). Calon TKI
sebagai pihak yang paling lemah sangat potensial menjadi obyek atau sasaran
kepentingan berbagai pihak baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Akibatnya,
calon TKI dengan segala keterbatasan yang dimiliki mudah menjadi korban
eksploitasi dan tindak kekerasan lainnya. Keadaan demikian dapat berlangsung
lama, karena pemerintah kurang serius dalam mengadakan reformasi pembenahan
manajemen penempatan dan perlindungan TKI. Sehingga, fungsi koordinasi dan
pengawasan sangat lemah, bahkan cenderung memanfaatkan celah dari setiap
peraturan untuk kepentingan masing-masing pihak.
***
Saya melihat
pihak-pihak yang terkait dengan penempatan dan perlindungan TKI belum
memperlihatkan kerja sama dan koordinas yang padu guna menerapkan manajemen
penampatan dan perlindungan yang taat azaz. Pemerintah belum mampu
menjalankan peran dan fungsinya –baik sebagai
regulator, fasilitator maupun mengawas. Bahkan, pemerintah terkesan setengah hati dalam mengatur dan memfasilitasi TKI, pemerintah hanya
bersifat reaktif, parsial dan kurang integratif serta dalam melaksanakan
kebijakan cenderung kurang profesional bahkan sering terjadi penyimpangan
sehingga TKI tak terlindungi. Pemerintah sepertinya masih melihat TKI sebelah mata.
Saya berharap pemerintah mampu menjalankan peran dan fungsinya untuk menghentikan perlakuan tak manusiawi terhadap para TKI.
Jika ini dibiarkan maka sangat bertentangan dengan alinea pertama Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa penjajahan harus dihapuskan
karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan perikeadilan. Tataran teknis
pelaksanaan pelayanan penempatan dan perlindungan TKI harus terjalin sesuai
komitmen nasional.
Kita telah memiliki perangkat peraturan
ketenaga-kerjaan yang relatif bagus. Tercatat antara lain Pasal 27 ayat 2
Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Ketenaga-kerjaan (UU Nomor 13 Tahun 2003), Undang-Undang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU Nomor 39 Tahun 2004) dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36
tahun 2002 tentang Ratifikasi Konvensi ILO. Kebijakan nasional tadi telah merumuskan
proporsi peran dan tanggung jawab masing-masing pihak terkait dalam keseluruhan
proses penempatan dan
perlindungan TKI mulai dari proses perekrutan, pengurusan dokumen,
pendidikan dan pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan
sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari negara tujuan.
Namun sayang, penerapan kebijakan
nasional tersebut belum mampu memberikan
perlindungan bagi calon TKI dan TKI. Mengapa? Karena, pihak-pihak terkait seperti Kementerian
Dalam Negeri, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Luar
Negeri dan Pengusaha Jasa TKI (PJTKI) serta pihak terkait lainnya seperti
asuransi dan perhubungan masih berpegang kepada ego sektoral masing-masing. Pelayanan penempatan
dan perlindungan TKI ke Luar Negeri (P3TKI-LN) belum bersifat menyeluruh dan
integratif, masih membedakan antara pekerja sektor informal dan formal. Memang,
TKI sektor informal
kurang mempersiapkan dirinya baik fisik maupun mental, sehingga seringkali
menimbulkan permasalahan tersendiri.
Sebagai salah seorang pelaku sejarah penempatan TKI, saya berharap terjalin
koordinasi dari pihak-pihak terkait sesuai proporsi, peran dan tanggung-jawabnya baik di Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota, PPTKIS/PJTKI dan
sarana pendukung lainnya. Dengan demikian tercipta TKI yang berkualitas dan
bermartabat. Tidak seperti saat ini, seorang TKI berangkat dan bekerja di luar
negeri dengan mempertaruhkan harkat dan martabat manusia Indonesia, Bangsa,
Negara dan Pemerintahan di percaturan internasional.
Seharusnya pemerintah lebih serius menjalankan fungsinya sebagai
regulator, pemerintah harus menjaga dan mengawasi pihak-pihak terkait agar tetap
memperhatikan perlindungan, jaminan sosial, pelatihan, tabungan dan investasi
bagi TKI. Mereka diingatkan dan disadarkan jangan hanya mengejar tujuan
ekonomis (keuntungan) saja, karena para TKI merupakan salah satu sumber
pemasukan devisa dan pendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah serta
membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Secara garis besar, ada beberapa pemikiran
untuk membenahi sistem dan manajemen penempatan dan perlindungan TKI. Dimulai
dari tingkat kebijakan. Untuk mengatasi kelemahan dalam kebijaksanaan dan
peraturan agar dapat mencapai sasaran penegakan hak dan perlindungan bagi buruh
migran diperlukan perangkat kebijakan yang dapat memberi solusi permasalahan
yang dihadapi pihak-pihak terkait dan dapat menjamin perlindungan obyek
intervensi baik di dalam maupun di luar negeri. Untuk itu perlu menentukan
suatu strategi penempatan dan perlindungan TKI yang mempunyai visi dan misi (common platform) yang jelas, sehingga
mengikat semua pihak dalam satu persepsi yang sama. Visi dan misi inilah yang
menjadi acuan dalam setiap kebijakan dan program penempatan tenaga kerja, sehingga
dapat diterima oleh semua stakeholder
terkait.
Selain itu harus ada perubahan paradigma
dari orientasi yang lebih ekonomis/bisnis ke paradigma yang lebih mengedepankan
perlindungan hak azazi manusia (HAM). Hal ini berarti persepsi yang menempatkan
TKI sebagai sumber usaha dan sumber devisa (pahlawan devisa) semata perlu
diubah dengan menempatkan TKI sebagai individu manusia yang memiliki hak-hak
yang layak dihormati oleh semua pihak. Persepsi sebagai sumber usaha atau
devisa memudahkan TKI diperlakukan sebagai komoditas yang patut dikomersialkan.
Dengan paradigma HAM, sistem penempatan akan lebih mengutamakan keselamatan dan
perlindungan terhadap pihak yang lemah posisinya, sejak dari tahap persiapan
sampai dengan kepulangannya kembali ke Tanah Air.
Lihat saja, pada tahap pra-penempatan, seorang calon TKI harus menghadapi perekrutan melalui proses birokrasi
dan sistem yang berbelit dan
rumit. Seorang calon
TKI harus mengurus keterangan
terdaftar ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten/Kota, KTP ke Kelurahan atau Kecamatan, pemeriksaan kesehatan di klinik yang ditunjuk Kementerian
Kesehatan, paspor di Kantor Imigrasi Kementerian Hukum
dan HAM, pengesahan job order dan pembelaan ke Kementerian Luar Negeri melalui perwakilan di negara tujuan
penempatan, urusan angkutan ke Kementerian Perhubungan, dan urusan keamanan ke
Kepolisian Indonesia (Polri).
Panjang dan rumitnya birokrasi membuat perekrutan secara ilegal tumbuh
subur. Perekrutan ilegal dilakukan oleh PPTKIS illegal (tidak memiliki SIUP),
direkrut sponsor untuk dijual kepada PPTKIS resmi, direkrut dan diberangkatkan
oleh calo, direkrut oleh PPTKIS resmi tetapi tidak memiliki job order. Perekrutan ilegal berakibat
terjadinya pemalsuan dokumen seperti KTP, Kartu Keluarga (KK), ijazah, surat ijin keluarga. Sebagian besar TKI berangkat melalui calo.
Untuk mengurangi ketergantungan calon TKI kepada
sponsor dan calo, menurut pemikiran saya, kita harus mereformasi birokrasi
terutama dengan jalan menciptakan kemudahan prosedur pengurusan keberangkatan.
Dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan, calon TKI tidak perlu menggunakan
pihak ketiga dalam mengurus semua dokumen yang diperlukan untuk bekerja ke luar
negeri.
Selain itu, perlunya kejelasan dan fungsi
sponsor atau calo yang merupakan para pialang resmi dari Kemnakertrans atau
keterkaitannya dengan PJTKI. Untuk itu diperlukan langkah seperti identifikasi
sponsor dan pilihan PJTKI sebagai induk usahanya, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan sebagai bagian dari proses rekrutmen. Demikian pula bagi
calo yang masih dimanfaatkan PJTKI, perlu melengkapi diri dengan berbagai
informasi tertulis tentang persyaratan yang harus dipenuhi seperti jenis
pekerjaan, negara tujuan serta biaya yang diperlukan. Hal ini sesuai dengan
peraturan dan ketentuan tata cara penempatan TKI di luar negeri yang masih
berlaku. Informasi ini perlu diketahui baik oleh calon TKI maupun keluarganya,
agar dapat dimanfaatkan untuk mengatasi permasalahan yang mungkin terjadi baik
di dalam maupun di luar negeri
Kemudian perlu partisipasi aktif Pemda dan
organisasi masyarakat dalam kegiatan penyebaran informasi tentang proses
penempatan TKI ke luar negeri, seperti persyaratan yang diperlukan untuk
bekerja di luar negeri, cara dan tempat mendaftar, serta biaya pendaftaran.
Untuk keperluan penyuluhan dapat memanfaatkan berbagai media atau kegiatan
rutin di lokasi, seperti acara keagamaan, kegiatan-kegiatan sosial-budaya,
media cetak dan elektronik yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan kelompok
target dalam menyerap informasi.
Pemerintah harus menyadari permasalahan utama pra-penempatan adalah keberadaan sponsor dan calo yang sangat berperan dalam proses rekutmen
calon TKI. Calon TKI sangat tergantung kepada para sponsor dan calo baik dalam hal
pengurusan dokumen sebagai persyaratan administrasi yang dibutuhkan maupun masalah finansial.
Ketergantungan ini sangat berpotensi terjadinya penipuan, sehingga saya tidak
heran jika para TKI telah menjadi korban penipuan. Bahkan, mereka bukannya
memperoleh uang dari bekerja di luar negeri, malah terjerat rentenir di desa
asal, cukup banyak calon TKI menjadi lebih miskin karena harta benda yang
dimiliki harus dijual untuk membayar hutang.
Sebab itu perlu dicari terobosan untuk kemudahan
memperoleh dana dari bank tertentu bagi calon TKI yang telah mendapat kepastian
untuk bekerja di luar negeri. Bank dimaksud dapat menjadi sentral lalu lintas
keuangan TKI, sehingga biaya untuk keberangkatan calon TKI dan remitan TKI ke daerah
asal dapat disalurkan dan dipertanggung-jawabkan untuk melindungi hak TKI. Hal
ini dapat menghindarkan TKI sebagai obyek pemerasan dari berbagai pihak seperti
dialami selama ini.
Setelah perekrutan lengkap secara administrasi, calon TKI masuk ke penampungan
milik PJTKI atau mengikuti
pelatihan di BLK-LN buat bekal bekerja dan meningkatkan kualitas
diri. Repotnya, pada masa
penampungan ini seringkali dijadikan tempat “stok manusia” untuk “diperjual-belikan” sehingga lebih dikenal sebagai penyekapan
calon TKI. Dalam kondisi tidak memperoleh perlakuan baik, calon TKI tidak bisa
berbuat banyak karena calon TKI terikat kepada perjanjian yang telah ditanda-tanganinya di mana bila calon TKI
membatalkan keberangkatan diwajibkan membayar ganti
rugi. Bahkan lebih jauh, calon TKI juga dikenakan pungutan dan pemotongan gaji
oleh PPTKIS atau Agency di luar negeri.
Pada masa pelatihan (terutama bahasa, budaya dan keterampilan kerja) dan
Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) juga terjadi berbagai penyimpangan. Akomodasi tempat penampungan atau BLK-LN milik
PPTKIS maupun mandiri belum memenuhi standar kelayakan pelatihan, sehingga
pelatihan yang seharusnya dilakukan secara intensif dan aplikatif dalam waktu yang relatif panjang telah dikebiri
menjadi sekadar syarat dan
formalitas saja. Dengan demikian saya tidak heran bila banyak TKI yang tidak mampu memahami isi perjanjian penempatan, perjanjian kerja dan tidak memegang foto copy perjanjian kerja (PK), paspor, serta kartu asuransi.
Calon TKI umumnya tinggal di tempat penampungan milik PJTKI bersangkutan,
sedangkan PJTKI mengurus berbagai keperluan mereka seperti pengurusan dokumen
perjalanan, pelatihan, menandatangani perjanjian kerja. Mereka memiliki masa
tinggal di penampungan berdasarkan aturan maksimal tiga bulan sejak
diperolehnya KITKI (Keterangan identitas TKI).
Untuk menghindari pelatihan formalitas,
sudah saatnya dikembangkan BLK-LN standar sebagai pusat pelatihan semua calon
TKI, baik dengan melakukan reposisi BLK-LN yang sudah ada (milik pemerintah dan
PJTKI), maupun membentuk BLK-LN baru yang memayungi BLK-LN PJTKI sekarang,
khususnya yang menjaga kualitas pelatihan. Beberapa hal yang perlu dilakukan
untuk mendukung pengembangan BLK-LN standar adalah perlunya penerapan manajemen
pengelolaan di bawah kendali badan pengelola independen, penyesuaian kurikulum
pelatihan badan pengelola independen, penyesuaian kurikulum pelatihan dengan
tuntutan pengguna, perlunya dilakukan uji keterampilan dan sertifikasi oleh
BLK-LN standar.
Peninjauan kembali kegiatan Pembekalan Akhir
Pemberangkatan (PAP), terutama apabila ide pembentukan BLK-LN standar dapat
direalisir secepatnya. Dalam hal ini jika setiap PJTKI (tidak ada perkecualian)
secara konsisten melaksanakan pelatihan sesuai dengan ketentuan dan kebutuhan
pengguna tenaga kerja di negara tujuan, maka keberadaan PAP tidak diperlukan
lagi. Namun demikian substansi penyelenggaraan PAP perlu dimasukkan dalam agenda
kegiatan BLK-LN, yaitu melakukan penyegaran materi yang relevan dengan
perlindungan dan pemberdayaan calon TKI di luar negeri pada tahap persiapan akhir
pemberangkatan.
Satu hal yang juga perlu dilakukan adalah upaya
penegakan hukum yang konsisten melalui sanksi yang tegas terhadap PJTKI yang
melakukan pelanggaran dalam pelatihan, misalkan pencabutan akreditasi.
Peningkatan mutu pelatihan dilakukan dengan perbaikan kurikulum dan mekanisme
sertifikasi yang pelaksanaannya dilakukan oleh badan independen.
Kemudian dalam konteks pengurusan dokumen,
pengembangan sistem pelayanan yang terkonsentrasi dapat dilakukan melalui
penguatan peran dan fungsi Badan Koordinasi Penempatan TKI (BKPTKI) dan
memperluas fungsinya sebagai badan pengawas.
Perlu pula dilakukan reformasi birokrasi
dengan menyederhanakan dan memudahkan pengurusan dokumen. Antara lain dengan
cara, pertama, mengurangi
persayaratan pengurusan berantai menjadi sistem yang pararel dengan sistem
pelayanan satu atap. Kedua, membedakan
prosedur pengurusan dokumen antara calon TKI dan TKI yang pernah bekerja
sebelumnya ke luar negeri. Bagi TKI yang memperpanjang dokumen, harus dibedakan
dengan pengurusan dokumen seperti calon TKI baru. Sistem ini selain dapat memberikan pelayanan yang
cepat, juga akan mengurangi praktik KKN dan pemalsuan dokumen.
Setelah semua
persyaratan administrasi dan pelatihan lengkap, sebelum berangkat, calonTKI harus dinyatakan sehat baik
jasmani maupun rohani oleh Kementerian Kesehatan Indonesia. Untuk itu, si calon TKI wajib menjalani
pemeriksaan kesehatan dan psikologi di klinik yang ditunjuk oleh pihak yang
berwenang. Tapi, penyimpangan sering terjadi dalam mengeluarkan
sertifikat hasil pemeriksaan kesehatan. Pemalsuan sertifikat masih banyak
terlihat, banyak calon TKI yang seharusnya belum layak berangkat kerja, dengan
sertifikat aspal (asli tapi palsu) bisa
bersangkat karena telah dinyatakan sehat jasmani dan rohani. Sekali lagi, mesti ada perbaikan birokrasi
klinik-klinik yang ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan.
Para calon TKI dengan berbagai problematikanya di masa pra-penempatan, akhirnya dinyatakan siap
berangkat bekerja di luar negeri dalam kurun waktu tertentu sesuai kontrak atau
perjanjian kerja (masa penempatan). Dalam menjalani masa penempatan, seorang
TKI belum tentu dapat melaluinya dengan mudah dan baik. Kelengkapan dokumen,
kesiapan fisik dan mental menjadi salah satu kunci keberhasilan masa penempatan,
jika tidak maka masa penempatan akan menjadi malapetaka. Seorang TKI terkadang mengalami kenyataan terjebak
menjadi pelacur di daerah transit atau menjalani pekerjaan yang tidak sesuai
dengan perjanjian kerja (PK), diperjual-belikan antar-agency di luar negeri, jam kerja melampaui batas tanpa
uang lembur, dilarang berkomunikasi dengan orang lain dan keluarga, memperoleh
akomodasi dan makanan yang tidak memadai, gaji tidak dibayar, disiksa,
dianiaya, diperkosa dan dipenjara akibat rekayasa tuduhan, bahkan PHK sepihak atau dipulangkan tanpa
diberikan hak-haknya.
Bila seorang TKI mengalami berbagai kejadian seperti di atas tanpa
kesiapan dan kelengkapan dokumen maka si TKI tidak berdaya melawan keadaan. Semua pihak akan
saling melempar tanggung jawab dengan berbagai alasan. Misalkan pihak KBRI/KJRI
beralasan PPTKIS tidak melaporkan/tidak mendaftarkan kedatangan TKI ke KBRI/KJRI, sehingga
KBRI/KJRI yang bersangkutan tidak
bisa memantau keberadaan TKI. Sebenarnya, untuk mengatasi persoalan ini Pemerintah telah
membuat aturan yang mewajibkan setiap TKI diikut-sertakan dalam program
asuransi. Namun, tidaklah mudah mengajukan klaim asuransi TKI.
Saya melihat sistem dan manajemen asuransi perlindungan
TKI di Indonesia belum menyentuh substansi permasalahan. Perusahaan dan broker
asuransinya tidak memiliki ijin usaha di luar negeri. Padahal, pihak pengusaha
PJTKI/PPTKIS telah membayar premi
asuransi selama TKI bekerja di luar negeri. Dan, kondisi ini telah dipertanyakan
oleh PJTKI pada masa Menteri
Tenaga Kerja Transmigrasi Erman Soeparno. Tapi sampai tongkat estafet Menakertrans
diserah-terimakan kepada Muhaimin Iskandar, permasalahan ini belum
mendapat tanggapan.
Sebenarnya sistem dan aturan mengenai asuransi perlindungan TKI sudah gamblang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Mennakertrans) Nomor 104 A/MEN/2002, TKI yang bekerja di luar negeri harus
diasuransikan melalui lembaga asuransi di negara tempat TKI bekerja dan bekerja
sama dengan konsultan hukum di negara TKI bekerja. Peraturan demikian sudah
dipraktikkan oleh Pemerintah Filipina untuk melindungi tenaga kerja migrannya. Pemerintah Filipina melalui kedubesnya menjamin dan melindungi tenaga
kerja migrannya dengan asuransi. Dengan begitu, bila ada masalah dengan tenaga kerjanya, Pemerintah Philipina dengan mudah mengatasinya.
Saya berharap Menkertrans menunjuk perusahaan asuransi TKI benar-benar mempunyai perwakilan
di luar negeri. Jika terjadi permasalahan pada diri TKI, seperti yang terjadi
selama ini, dapat terlindungi oleh
asuransi. Para TKI bermasalah atau meninggal di luar negeri akan secara mudah kepada siapa dia
meminta pertanggung-jawaban. Tidak
seperti selama ini, banyak mayat TKI dipulangkan ke Indonesia tanpa memperoleh
apapun dan siapa yang bertanggung-jawab.
Berbagai penyimpangan atau kejadian saat penempatan disebabkan oleh koordinasi
pihak-pihak terkait
yang tidak berjalan, belum lagi ditambah oleh kelalaian TKI untuk melaporkan
keberadaannya ke kantor perwakilan Indonesia terdekat. Sementara, secara
prosedur setiap penempatan TKI wajib dilaporkan, tetapi banyak kasus bahwa mitra
Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) tidak peduli terhadap
kewajiban melapor. Jika ini dibiarkan terus maka pemerintah melalui kedubesnya
akan mengalami kesulitan monitoring TKI. Pemerintah akan sangat kesulitan dalam
mengatasi permasalahan TKI jika ditambah dengan terjadinya penahanan identitas
TKI, putus komunikasi, dan memperjuangkan hak-hak TKI ketika tidak bisa menyelesaikan
kontrak kerjanya.
Saya tidak habis pikir, permasalahan terus mengikuti TKI mulai berangkat
dari kampung halaman sampai kembali ke kampungnya lagi. Sungguh ironis. Jadi
TKI berjuang mulai akan berangkat hingga pulang. Seharusnya ketika seorang TKI kembali
ke kampung halaman, dia tinggal menikmati hasil kerja kerasnya. Tapi apa yang
terjadi, seorang TKI harus berjuang mempertahankan haknya hingga ke kampung
halaman ketika berakhirnya kontrak kerja (masa purna kerja) atau sebab lainnya.
Mereka seringkali mengalami pemerasan dari oknum-oknum yang tidak bertanggung-jawab. Hal itu terlihat nyata di
fasilitas pemulangan TKI di Terminal IV
Selepajang Bandara Soekarno-Hatta yang
dibangun pemerintah untuk melindungi dan melayani TKI menuju kampung
halamannya.
Sarana dan prasarana pemulangan TKI di Bandara Soekarno-Hatta justru menjadi tempat pemerasan.
Awalnya pembangunan Terminal IV untuk
menjadi tempat perlindungan tapi yang terjadi justru menjadi tempat berlangsungnya
berbagai pelanggaran hukum, aturan, etika, moral bahkan sampai penghilangan
nyawa TKI. Sekali lagi, saya katakan
pemerintah harus lebih mengawasi sepak terjang para jajarannya dalam
menjalankan peraturan dan perundang-undangan. Pemerasan terhadap
TKI di Tanah Air sangat menggugah rasa keadilan, mereka diperas untuk
membayar beban biaya di luar standar seperti penukaran uang, harga tiket, dan
pungutan dalam perjalanan darat selama perjalanan dari Terminal IV Soekarno-Hatta
ke daerah asal.
Sekali lagi, di sini tidak ada koordinasi
antar-instansi terkait dan pengawasan lintas sektoral. Untuk mengatasi
kelemahan koordinasi dan pengawasan lintas sektoral, saya pikir perlu dibentuk badan/forum
independen dengan melibatkan stakeholder
terkait, di bawah koordinasi pihak yang
netral dan memiliki kewenangan mengatur lintas sektoral/stakeholder. Selain fungsi koordinatif, fungsi lain dapat diperluas
sesuai kebutuhan (seperti penyusunan sistem sertifikasi, pengawasan dan
melakukan akuntabilitas publik). Beberapa stakeholder
terkait adalah pihak pemerintah (Kemnakertrans, Kemlu, Kantor Imigrasi, dan Kemkeu),
pengusaha (asosiasi pengusaha, pengusaha), masyarakat (DPR, LSM) dan media
massa/elektronik yang peduli terhadap upaya perlindungan TKI. Pengawasan
terpadu juga dapat diperluas dengan pembentukan pos-pos pengaduan atau kotak
pos di berbagai tempat yang potensial merugikan TKI dalam proses penempatannya
(seperti di kelurahan, di daerah potensial asal TKI, di lokasi BP2TKI, tempat
penampungan PJTKI, Bandara, pelabuhan dan lokasi lain yang relevan).
***
Selain
berbagai pemikiran dan langkah perbaikan sistem dan manajemen penempatan dan
perlindungan TKI yang telah saya sampaikan tadi, saya memandang harus ada konsistensi menjaga dan meningkatkan
kualitas SDM TKI. Harus ada
standarisasi untuk mengukur kesiapan dan kelayakan TKI bekerja ke luar negeri. Tentunya ini harus
ditopang dengan penyelenggaraan sosialisasi, rekrutmen terkontrol, pelatihan dan PAP yang
melibatkan pihak-pihak yang berkompeten. Jika pengusaha melakukan penyimpangan
maka tidak cukup hanya mencabut izin usaha pengusaha PJTKI, perlu ada hukuman
secara pidana untuk memunculkan efek jera.
Sosialisasi kepada calon TKI harus optimal agar kesiapan TKI menjadi tinggi
dan TKI ”melek” akan hak dan kewajibannya. Hal ini perlu disadari bahwa sebagian besar calon TKI berasal
dari pedesaaan dan didominasi kalangan ekonomi lemah dengan tingkat pendidikan
rendah. Jika tidak disadari dan dibenahi kondisi ini akan memicu terjadinya
penyimpangan hak perlindungan bagi TKI dan terjadi di setiap tahapan, yaitu pra
penempatan, saat penempatan dan paska penempatan.
Aneh memang, sudah lebih
dari 30 tahun menempatkan
dan mengirim TKI
ke luar negeri, persoalan bukan berkurang tapi justru semakin kompleks. Berbagai kelengkapan dipenuhi
seperti Lembaga Uji Keterampilan TKI (Luki), konsorsium asuransi perlindungan,
dan on line system, dengan tujuan
memberi perlindungan kepada TKI tak kunjung terlihat tetapi malah membebani
TKI. TKI tidak pernah menikmati kenaikan upah. Sementara itu, tenaga kerja
Filipina, India, Vietnam dan Bangladesh dapat menikmati kenaikan gaji berkala.
Saya telah mengikuti perjalanan
penempatan TKI sejak awal. Kini
Indonesia boleh dikatakan mengalami kemunduran
dalam memberikan perlindungan kepada TKI. Pemerintah Indonesia pernah cukup
solid menerapkan kebijakan, pemerintah, pengusaha, asosiasi dan pihak-pihak terkait
saling bekerja sama. Di
masa Menakertrans Sudomo,
penempatan dan perlindungan TKI terlihat lebih terarah dan tegas. Larangan
atau perintah yang dikeluarkan pemerintah pasti ditaati oleh semua pihak. Pada masa Jacob Nuwawea
sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Pemerintah mempunyai bargaining position yang
kuat. Sementara masa Erman Suparno, pemerintah memiliki komitmen yang kuat
untuk memberikan pelayanan cepat, mudah dan murah.
Sekarang di masa Mankertrans Muhaimin
Iskandar, saya melihat pemerintah hampir-hampir tidak memiliki posisi tawar di mata asing. Jika
presiden berbicara, pihak-pihak terkait seolah tidak mendengar. Pemerintah juga
tidak melibatkan para pengusaha TKI atau kata lain menganggap PJTKI tidak ada.
Pemerintah tidak sadar bahwa mereka sudah malang melintang di dunia usaha jasa penempatan dan pengiriman TKI selama 30 tahun
lebih.
Penglihatan dan pengamatan saya, sistem dan manajemen perlindungan TKI tidak dijadikan syarat
utama dalam proses pengiriman TKI ke luar negeri. Seharusnya pemerintah melakukan, pertama, pembaharuan SIUP Naker (Tenaga
Kerja). Kedua, selesaikan jatah/kendali
alokasi untuk seluruh PJTKI agar terukur calon TKI yang direkrut dan terukur
pula besaran daya tampung BLK/penampungan serta dana yang diperlukan. Ketiga, bentuk sistem/Badan Perlindungan TKI
di luar negeri selain KBRI atau KJRI guna melindungi TKI yang tersebar di
puluhan kota dalam satu negara. Keempat, bentuk Tim Penguji Independen agar pemerintah mengetahui bahwa yang
dikirim adalah TKI berkualitas. Kelima, realisasikan master agreement
antar PJTKI dan PJTKA yang sesuai dengan aturan hukum kedua negara. Keenam, kembalikan Poliklinik Medical Check Up pada Kementerian Kesehatan, dan kewajiban asuransi dikembalikan kepada
Kementerian Keuangan. Jika keenam hal di atas terselesaikan secara proporsional
dan profesional, mudah-mudahan akan membawa hasil yang lebih baik dan
menggembirakan.
Pemerintah harus memberikan ''kompensasi'' yang riil berupa perlindungan
hak-hak jiwa para TKI dari ancaman fisik majikan atas nama pribadi atau
perusahaan yang mempekerjakan. Majikan harus mentaati persyaratan ketat
berkonsekuensi hukum jika melanggar. Dan, para TKI perlu didampingi oleh
penasehat hukum selama proses penyelidikan atau pengadilan agar memperoleh keadilan
hukum tanpa berimplikasi kepada wilayah politik kedua negara. PJTKI harus
mendukung dan melaporkan data TKI yang sebenarnya. Sedangkan Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi dituntut menjalankan atau mengawasi adanya
pendidikan dan pelatihan calon TKI. Sementara itu, Imigrasi juga harus segera
ditertibkan. Pendek kata,
semua pihak kembali kepada peran dan fungsi masing-masing. Dengan begitu,
sistem dan manajemen penempatan dan perlindungan TKI akan berjalan sesuai
dengan kaidah-kaidah manajerial yang apik dan baik.
Pemerintah harus benar-benar sadar bahwa 80% persoalan TKI berada di dalam negeri di
tahap pra-penempatan. Mereka
diatur oleh regulasi atau hukum Indonesia
seperti Kepmen Nomor 138 tahun 2000
tentang Penempatan Tenaga Kerja ke Luar Negeri, Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
serta Undang-Undang No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI
di Luar Negeri (UU PPTKILN). Juga, oleh hukum internasional seperti Konvensi
Wina 1961, Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler, Konvensi PBB tentang
perlindungan hak seluruh buruh migran dan anggota keluarganya, dan instrumen
hukum internasional lainnya yang terkait dengan perlindungan pekerja migran dan
HAM serta hubungan kerjasama bilateral dan subjek hukum negara penempatan.
Indonesia seharusnya mulai menetapkan bahwa perlindungan buruh migran
sebagai salah satu fokus utama politik luar negerinya. Dan memiliki UU Perlindungan Buruh Migran dan membentuk atase perburuhan dan
mendirikan crisis center di
negara-negara penempatan buruh migran. Tidak seperti sekarang, Indonesia hanya fokus pada pengaturan
mekanisme operasional penempatan buruh migran, mulai dari tata cara pendirian
PJTKI, struktur pembiayaan, dan persoalan-persoalan teknis lainnya.
Pemerintah harus mulai mengatur hak-hak dasar TKI yang harus dihormati baik
oleh warga negara penerima TKI maupun aparat penegak hukum. Juga harus membuat ketentuan tentang kesamaan kedudukan
para TKI di depan hukum, layaknya warga setempat. Hak TKI untuk dihormati
martabatnya sebagai manusia dan kehidupan pribadinya. Selain itu, mengatur hak
TKI untuk mendapatkan putusan dari otoritas yang mempunyai kewenangan memeriksa
sengketa kontrak kerja. Namun demikian, upaya perlindungan TKI di luar negeri
tentu harus diiringi dengan pembenahan pengelolaan TKI di dalam negeri.
Dalam upaya memperkuat citra politik, pemerintah perlu
membentuk Badan Penempatan TKI di Luar Negeri (Indonesia Foreign Employment Board) yang diketuai oleh Presiden atau Wakil Presiden. Perlu
dibentuk Atase Perburuhan untuk ikut membantu mengawasi dan mengatasi aneka
masalah TKI di luar negeri sesuai dengan kebutuhan. Dan, TKI diwajibkan mengirimkan
sebagian penghasilannya (dalam persentasi tertentu) kepada keluarga/sanak
saudaranya yang ditunjuk.
Singkat kata, meminjam ungkapan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, “Berikan perhatian yang sangat serius pada masalah
tenaga kerja kita. Mereka adalah bagian dari solusi, pahlawan devisa, wajib
hukumnya bagi kita untuk memberikan perlindungan dan pelayanan bagi
saudara-saudara kita itu.”
Mereka harus memperoleh perhatian
sebaik-baiknya, menyitir pernyataan Perdana Menteri (PM) China Wen Jiabao saat berpidato di depan pekerja migran di
Beijing pada 14 Juni 2010, generasi baru ini ingin memperbaiki
taraf hidupnya sehingga mereka rela meninggalkan desanya. Generasi baru ini
tidak ingin bernasib sama dengan orang tua mereka yang memikul beban hidup
terlalu berat. Wen mengingatkan bahwa
kesejahteraan dan pembangunan kita merupakan hasil jerih payah dan keringat
mereka. Pemerintah dan semua lapisan masyarakat, katanya, seharusnya
memperlakukan buruh migran seperti mereka memperlakukan anak sendiri. ***
Artikel
pendukung:
TKI di Penampungan
Timur Tengah Terus Bertambah
Jumlah
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di penampungan beberapa KBRI negara-negara Timur
Tengah terus bertambah. Selain banyak TKI yang memang habis masa kontraknya,
juga sebagai dampak liburan musim panas.
Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar membenarkan
kondisi tersebut. ''Ternyata, menjelang bulan Agustus, hasil monitoring kami,
jumlah TKI yang minta perlindungan di penampungan terus meningkat,"
ujarnya, Kamis (12/8/2010).
Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans) saat ini sedang melakukan
monitoring penyebab pasti peningkatan penampungan TKI. Pemantauan meliputi
penampungan TKI di KBRI Jordania, Jeddah, Uni Emirat Arab, dan Riyadh.
Meskipun
biasanya menjelang musim libur di berbagai negara menjadi faktor peningkatan
ini, satuan tugas Kemnakertrans tetap mencari tahu korelasi hal tersebut.
Apalagi, dikhawatirkan adanya penambahan TKI yang bermasalah.
Plt
Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta) Kemnakertrans, Malik
Harahap, menjelaskan, jumlah TKI yang ditampung di negara penempatan Timur
Tengah mencapai ribuan. Salah satunya dipicu liburan musim panas. "Dalam
waktu dekat kami akan mencari solusi atas persoalan ini," katanya.
Sementara
itu, kalangan pengusaha yang bergerak di bidang penempatan tenaga kerja Indonesia
(TKI) pesimistis terhadap kinerja pemerintah dalam menyelesaikan kasus TKI
bermasalah di Timur Tengah. Semisal yang diungkapkan Ketua Himpunan Pengusaha
Jasa TKI (Himsataki) Yunus M Yamani yang baru saja kembali dari Arab Saudi.
"Saya masih menyaksikan puluhan WNI, sebagian besar perempuan, terlantar
di bawah jembatan layang di Jeddah. Mereka menanti untuk bisa dipulangkan.
Perwakilan Indonesia di Saudi seperti KBRI Riyadh dan KJRI Jeddah, tidak
berbuat apa-apa," keluhnya.
Namun
demikian, Yunus menaruh apresiasi kalau informasi dan data yang disampaikan
Atase Tenaga Kerja KBRI di Riyadh, Arab Saudi, Mustafa Kamal, yang menyebutkan
98 persen kasus TKI di Arab Saudi selama 2009 berhasil dituntaskan. "Ini
baru satu-satunya atase yang semula dinilai tidak berpengalaman tentang
permasalahan TKI, tetapi kurang dari satu tahun sudah bisa menyelesaikan ribuan
(98 persen) TKI bermasalah," ujarnya.
Jika
kondisi ini benar adanya, juga akan menguntungkan konsorsium asuransi
perlindungan TKI di dalam negeri, karena tidak ada lagi yang kembali ke Tanah
Air dengan membawa masalah. " Jika tidak, maka dia melakukan kebohongan
publik,” cetus Yunus.
Himsataki
banyak menerima pengaduan, baik dari TKI maupun PJTKI, tentang permasalahan
yang dihadapi di Arab Saudi. Biasanya permasalahan itu meliputi kondisi penempatan dan perlindungan TKI. Dari
percakapan dengan sejumlah tokoh Indonesia di Saudi, ujar Yunus, diharapkan
perwakilan Indonesia tidak berpangku tangan dan menyerahkan masalah pemulangan
TKI kepada Pemerintah Arab Saudi. "Kita bangsa bermartabat, punya tanggung
jawab, punya asuransi," tegasnya.
(Sumber: Republika.co.id,
12 Agustus 2010)
7 Perusahaan Penyalur
TKI Diskors
Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi menjatuhkan sanksi skors terhadap tujuh
perusahaan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang
terbukti melakukan pelanggaran dalam proses pemberangkatan TKI. Sanksi itu
berupa penghentian sementara, sebagian, atau seluruh kegiatan penempatan TKI ke
luar negeri.
Demikian
diungkapkan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar di Jakarta,
Minggu (4/4/2010). Ketujuh perusahaan yang dijatuhi sanksi skors itu
masing-masing PT Amanitama Berkah Sejati, PT Aqbal Duta Mandiri, PT Tritama
Megah Abadi, PT Karya Pesona Sumber Rejeki, PT Duta Ampel Mulia, PT Abdi Bela
Persada, dan PT Dasa Graha Utama.
“Sanksi
skors ini merupakan salah satu upaya Kemnakertrans untuk meningkatkan standar
pelayanan dalam perlindungan dan penempatan TKI serta melakukan pengawasan yang
lebih ketat dan selektif terhadap perusahaan PPTKIS,” kata Muhaimin.
Dijelaskan,
sanksi skors dijatuhkan karena perusahaan-perusahaan PPTKIS itu di antaranya
tidak memenuhi standar penampungan yang diatur Peraturan Menakertrans Nomor PER
07/MEN/IV/2005 tentang Standar Tempat Penampungan Calon Tenaga Kerja Indonesia.
Berdasarkan
hasil sidak Satuan Tugas (Satgas) Pemantauan dan Pengawasan Penempatan dan
Perlindungan TKI, beberapa perusahaan bahkan tidak menyediakan tempat
pelatihan, tempat makan, sarana MCK (mandi, cuci, kakus), serta tempat tidur
yang layak.
Ditambahkan,
pelanggaran lain yang dilakukan PPTKIS itu sudah masuk dalam kategori
pelanggaran berat dan memasuki ranah tindakan kriminal. “Beberapa di antaranya terbukti
melakukan pemalsuan tanda tangan pejabat KBRI dalam perjanjian kerja serta
tidak memiliki sertifikat pelatihan calon TKI,” kata Menakertrans.
Untuk
menindak-lanjuti permasalahan ini, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
akan bekerja sama dengan Polri dan aparatur hukum. Sementara untuk meningkatkan
perlindungan dan penempatan TKI, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
telah menetapkan sertifikasi pelatihan CTKI.
Sebelumnya,
Ketua Himpunan Pengusaha TKI (Himsataki) Yunus Moh. Yamani menilai, pemerintah
tidak memiliki komitmen kuat untuk meningkatkan kualitas TKI. Hal itu terkait
menduanya kebijakan pelatihan.
Dia
mengatakan, banyak pihak menyebut 90 persen permasalahan TKI informal berawal
di dalam negeri, di antaranya rendahnya pendidikan dan kurang terlatih. “Kita
setuju. Karena itu kita merancang pelatihan selama 200 jam,” kata Yunus.
Namun,
kini ada indikasi kebijakan itu mulai goyah. Setiap hari organisasi PJTKI
menerima komplain dari anggota bahwa PJTKI tertentu bisa menempatkan tanpa
harus melatih.
“Jika
kondisi demikian terus dibiarkan, maka TKI dan PJTKI dirugikan. Nama Indonesia
juga akan tercemar karena kasus TKI bermasalah di luar negeri tak pernah
berakhir,” katanya.
Bagi
TKI, kata Yunus, jika tak terlatih maka akan menjadi korban. Jika bertemu
majikan yang baik, mereka akan dipulangkan dan jika yang tidak baik, maka akan
disiksa. Sementara bagi PJTKI, kondisi ini akan menimbulkan persaingan yang
tidak sehat karena tak ada sistem penempatan yang bisa dijadikan acuan.
(Sumber: KARIR-UP.com,
5 April 2010)
Dualisme Penempatan
TKI
Harus Diakhiri Karena
Merugikan Tenaga Kerja
Dualisme
dalam penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) diharapkan segera diakhiri karena
merugikan TKI. Dualisme itu tercermin dari pelayanan TKI yang dilakukan Badan
Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2-TKI) dan
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans).
"Kondisi
dualisme seperti sekarang ini membutuhkan perhatian serius dari Komisi IX
DPR," kata Sekjen Apjati Rusdi Basalamah di Jakarta, akhir pekan lalu.
Diharapkan, dualisme dan semua permasalahan TKI dapat dibahas dalam rapat
gabungan semua pemangku kepentingan (stakeholders)
penempatan TKI yang diselenggarakan Komisi IX DPR.
Menurut
Rusdi, dualisme dalam proses penempatan TKI sangat merugikan TKI yang
diberangkatkan ataupun perusahaan penempatan TKI swasta (PPTKIS). Itu karena
pekerja yang dikirim tidak sesuai kualitas yang dibutuhkan dan pelaku usaha
menjadi saling curiga. "Oleh karena itu, pemerintah tidak hanya harus
serius memperhatikan sistem penempatan TKI yang sesuai ketentuan perundangan
yang berlaku tetapi juga menindak tegas jika terjadi pelanggaran,"
katanya.
Kepala
BNP2TKI Jumhur Hidayat juga menginginkan dualisme itu dituntaskan. "Kami
menunggu upaya konkret Panja Komisi IX DPR RI mengatasi dualisme pelayanan TKI
ini," katanya.
Wakil
Ketua Komisi IX DPR Irgan Chairul Mahfiz mengatakan, rapat gabungan semua
pemangku kepentingan dalam penempatan dan perlindungan TKI perlu digelar karena
hingga saat ini tidak ada penyelesian menyeluruh atas berbagai permasalahan
TKI.
"Rapat
gabungan itu sebagai satu upaya untuk mencari solusi terbaik dalam mengatasi
berbagai permasalahan TKI, mulai dari rekrutmen hingga pemulangan TKI ke daerah
asal," katanya. Dikatakan, penempatan TKI sektor formal ataupun informal
perlu perbaikan, sehingga Komisi IX DPR mendesak para pemangku kepentingan,
termasuk PPTKIS, untuk membangun sistem komprehensif dan integratif.
"G to G"
Irgan
mengakui, belakangan ini banyak bermunculan permasalahan TKI, mulai dari
sertifikat kompetensi calon TKI yang asli tetapi palsu hingga pekerja yang
tewas saat mereka bekerja di luar negeri. Rencananya Komisi IX DPR juga akan
membentuk panja (panitia kerja) TKI pada masa sidang III/2010.
Komisi
IX minta agar dikumpulkan semua bukti permasalahan penempatan, mulai dari
proses rekrutmen sertifikasi kompetensi calon TKI hingga masalah asuransi
perlindungan yang merugikan TKI. Menurut Ketua Himpunan Pengusaha TKI
(Himsataki) Yunus M. Yamani, pihaknya secepatnya akan mengumpulkan semua data
mengenai permasalahan TKI kepada anggota dewan agar mereka mengetahui masalah
sebenarnya untuk mencari solusi.
Yunus
juga akan melaporkan kinerja BNP2TKI yang seharusnya hanya melakukan kegiatan
penempatan untuk government to government
(G to G), tetapi pada kenyataannya melegalkan penempatan TKI layaknya yang
dilakukan PPTKIS.
Sementara
itu, Saleh Alwaini, mantan Ketua Umum Apjati, menilai mencari pasar TKI ke luar
negeri juga harus diutamakan agar peluang kerja dapat dimanfaatkan dengan baik
dan benar.
(Sumber: Batavia.co.id, 26
April 2010)
Butuh Konsep Jelas untuk Atasi Masalah TKI
Pemerintah dinilai harus
memiliki konsep yang jelas untuk mengatasi masalah penempatan dan perlindungan
TKI, jika tidak maka kasus yang sama akan terus berulang tanpa penyelesaian
yang komprehensif dan menyeluruh.
Wakil Ketua Asosiasi
Perusahaan Jasa TKI (Apjati) dan Ketua Himpunan Pengusaha Jasa TKI (Himsataki)
Yunus M Yamani di Jakarta, Kamis (3/9/2009), mengatakan pada banyak kasus, lemahnya koordinasi
antar-instansi dan pejabat pemerintah, justru menjadikan
penyelesaian kasus TKI berlarut-larut dan berpotensi menjadi komoditas politik.
Pemerintah yang dimaksud
adalah instansi terkait dalam menangani masalah TKI, seperti Depnakertrans,
BNP2TKI, Deplu, Imigrasi, Depdagri dan Pemerintah Daerah.
Sebelumnya Menakertrans
Erman Suparno mengatakan saat ini terdapat 1.678 TKI dan WNI bermasalah di
sejumlah penampungan di sejumlah KBRI dan KJRI di luar negeri. Di Arab Saudi
terdapat 257 orang TKI dan WNI bermasalah, di Yordania 404 orang, di Kuwait 506
orang, di Qatar 35 orang, di Malaysia 276 orang, di Singapura 113 orang, di
Hongkong 6 orang, di Brunei Darussalam 44 orang, dan di
Taiwan 37 orang.
Meski demikian,
berdasarkan data yang dimiliki Depnakertrans, terjadi penurunan jumlah TKI
bermasalah. Misalnya Data Kepulangan WNI melalui Tarhil (rumah imigrasi di
Jeddah) pada tahun 2007 berjumlah 24.834 orang, tahun 2008 menjadi 23.921
orang, tahun 2009 turun menjadi 13.839 (data per-Juni 2009).
Umumnya, masalah muncul karena
TKI bekerja secara ilegal atau non-prosedural. Hal ini terjadi karena: bekerja dengan
tidak menggunakan visa kerja, yaitu menggunakan visa umrah/haji, visa
kunjungan, visa belajar, impresariat, kabur dari majikan, disalurkan melalui
perusahaan liar, calo dan sponsor.
Erman mengatakan
solusinya, dalam jangka pendek, diperlukan koordinasi dengan lintas instansi,
seperti dengan Deplu, Depkum dan HAM, Polri, Dephub, Depsos dan Kantor Meneg
PP.
Di sisi lain, pemulangan
TKI bermasalah di luar negeri juga sering kali tidak mudah karena terkendala
pada sulitnya mendapat izin keluar (exit
permit) dari pemerintah negara penempatan, seperti yang terjadi di Kuwait,
Arab Saudi, dan Yordania.
Penyebabnya, sebagian
besar TKI yang berada di penampungan KBRI/KJRI memiliki masalah hukum seperti
gaji belum dibayar, penganiayaan, pelecehan seksual, kasus pidana dan lain
sebagainya. Kendala lainnya adalah berupa minimnya anggaran untuk memulangkan para
TKI bermasalah di luar negeri.
Pada jangka panjang,
menurut Menteri, harus ada keputusan politik untuk mencegah warga negara
Indonesia yang akan bekerja ke luar negeri secara non-prosedural dengan cara mempertajam kebijakan di bidang
penempatan dan perlindungan TKI, seperti revisi Undang-Undang 39 tahun 2004.
Upaya lain, meningkatkan
peran dan tanggung jawab Pemerintah Daerah Provinsi dan Kab/Kota sesuai
kewenangannya dalam otonomi daerah, sehingga harus mendata semua warga yang
akan pergi ke luar negeri baik untuk bekerja/magang, kunjungan/wisata, belajar,
umrah/haji maupun untuk misi kebudayaan, dan lainnya.
(Sumber: Media Indonesia, 4 September 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar