GAMBARAN KEPILUAN YANG NYATA:
Banyak Masalah, Penyimpangan dan Mafia Dunia TKI
"Saya sudah
bekerja di keluarga itu selama enam bulan. Selama tiga bulan pertama mereka
baik, tetapi pada tiga bulan terakhir berubah. Beberapa kali saya ditampar dan
akhirnya mereka tidak membayar gaji saya selama tiga bulan.”
Ayu Hayati (23), TKW asal Karawang, bekerja di Iran
Kisah sedih perjalanan TKI/TKW pulang kampung tinggal nama atau cacat
permanen seolah tak pernah kering mewarnai tinta media massa cetak dan membasahi
bibir pembaca berita media massa elektronik. Duka lara Sumiati, TKW asal Dompu,
Nusa Tenggara Barat, yang harus dirawat di satu rumah sakit di Arab Saudi pada
November 2010 karena bibirnya digunting majikannya menggambarkan betapa tindak
kekerasan ada di depan mata para TKI/TKW. Cuma gara-gara mengeluhkan beban
kerja yang kelewat berat, sang majikan perempuan tega melukai bibir dan lidah
Sumiati sampai tak bisa berbicara. Entah apa maksud sang majikan sampai tega berbuat
sedemikian kejam terhadap sesama umat manusia.
Sumiati hanyalah sebuah puncak gunung es kepedihan dan kepiluan para
TKI/TKW yang mengais rezeki di negeri orang. Masih ratusan, bahkan ribuan,
kasus kekerasan terhadap TKI/TKW yang nyaris terlepas dari perhatian publik.
Banyak TKI/TKW yang harus meregang nyawa di arena pancung tanpa ada yang memberikan
pembelaan. Pulang ke Tanah Air pun betul-betul cuma nama, karena jasadnya
dikubur entah di mana rimbanya. Kepedihan dan kepiluan itu benar-benar nyata
adanya. Dan, itu baru gambaran kepiluan tatkala mereka bekerja di manca negara.
Deret kepiluan itu semakin panjang saja bila kita runut dan runtut dengan
kepiluan sejak dari keluar desa sampai pulang kampung.
Sebelum melihat
nestapa ketika mereka masih berstatus calon TKI di dalam negeri, mari coba kita
petakan nestapa dan kepiluan TKI/TKW itu manakala mereka bekerja (berada) di
negeri orang. Pertama, nestapa dan kepiluan
yang bermula dari pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja. Jenis pekerjaan
yang tidak sesuai perjanjian kerja mengakibatkan TKI/TKW mengalami stres dan
depresi. Satu contoh, ada seorang TKI yang dalam perjanjian kontrak kerja akan dipekerjakan sebagai sopir. Tapi,
ternyata dia harus bekerja menggembala kambing. Sudah begitu dia mesti menggiring kambing gembalaannya ke padang gersang dengan iklim yang jauh
berbeda di Indonesia. Terpaan cuaca yang panas menyengat dan kondisi psikis yang tertekan berimplikasi pada hilangnya semangat kerja TKI
tersebut. Ulah PJTKI di luar negeri yang dengan mudahnya melanggar ini perjanjian kontrak
kerja tak mampu dilawan oleh TK/TKWI. Mereka cuma bisa pasrah meratapi nasib.
Kasus-kasus TKI/TKW bekerja
tidak sesuai dengan perjanjian kontrak kerja, tahun 2009 sampai pertengahan
2010, di kawasan Asia
Pasifik tercatat 144 kasus. Seperti di Negara Hongkong 14 kasus, Malaysia
16 kasus, Singapura 32 kasus dan Taiwan 82 kasus. Kemudian di kawasan Timur Tengah
ada 264 kasus. Seperti di negara Bahrain 1 kasus, Jordania 7 kasus, Kuwait 11
kasus, Oman 10 kasus, Qatar 16 kasus, Arab Saudi 177 kasus, Emirat Arab 38 kasus dan
negara lain 4 kasus.
Kedua, tragedi bermula dari
ketidak-mampuan bekerja. Kasus ketidak-mampuan TKI dalam
bekerja lebih disebabkan ulah PJTKI di Tanah Air yang tidak memberikan pendidikan dan
pelatihan/keterampilan yang memadai. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menerbitkan Peraturan
Menakertrans Nomor 23 Tahun 2009 tentang Pendidikan dan Pelatihan bagi Calon
TKI di Luar Negeri. Permenakertrans ini mewajibkan calon TKI mengikuti
pelatihan standar kompetensi pola 200 jam atau selama 21 hari di BLKLN yang
ditunjuk. Ternyata, pelatihan yang
diadakan hanya formalitas dan PJTKI sudah menyiapkan sertifikat palsu
tanda kelulusan pendidikan/pelatihan. Sekadar contoh, TKI sebagai Penata
Laksana Rumah Tangga sebenarnya harus pandai mencuci, menyeterika pakaian,
memasak serta menyiapkan keperluan anak majikan yang hendak pergi ke sekolah.
Kenyataannya, TKI itu tidak mampu melakukan pekerjaan itu dengan baik dan
benar. Majikan pun kecewa. Akibat selanjutnya, rasa ketidak-puasan sang majikan
dilampiaskan dengan kekerasan kecil lalu kekerasan fisik yang lebih berat.
Kasus semacam ini, secara
statistik, di kawasan Asia Pasifik tercatat 61 kasus. Tersebar di Negara Brunei Darussalam
1 kasus, Hongkong 7 kasus, Malaysia 8 kasus, Singapura 13 kasus dan Taiwan 32
kasus. Sedangkan kawasan Timur Tengah ada 142 kasus. Misalnya di negara Bahrain
1 kasus, Jordania 1 kasus, Kuwait 5 kasus, Oman 7 kasus, Qatar 8 kasus, Arab Saudi
94 kasus, Emirat Arab 24 kasus dan negara lain 2 kasus.
Ketiga, nestapa gaji tidak dibayar. Ada satu
sebab yang bisa dijadikan alasan, kenapa banyak gaji TKI/TKW tidak dibayar secara benar. Hal ini berkaitan dengan asuransi. Sekarang, orang di luar negeri sudah mengetahui, bilamana gaji TKI tidak mereka bayar maka diganti oleh klaim asuransi. Sebab itu para majikan di luar
negeri memilih tidak menggaji TKI/TKW. Mereka beranggapan, sekembalinya
TKI/TKW di Tanah Air, nanti mereka dapat penggantian gaji dari klaim asuransi.
Kasus lain yang masih berkaitan dengan gaji adalah kenakalan majikan
yang menyalah-gunakan amanah titipan uang untuk dikirim melalui bank ke keluarga TKI di Indonesia. Ternyata uang itu tidak pernah terkirim ke
Indonesia. Oleh sang majikan, uang itu dipakai
untuk keperluan pribadi. Bentuk kenakalan
lainnya, setiap bulan memang majikan memberikan gaji, tapi si TKI/TKW kemudian menyimpannya di bawah bantal. Lalu, uang itu dipinjam oleh sang majikan. Karena
jumlah peminjaman yang berulang-ulang kali, gaji TKI/TKW pun terkuras hampir habis. Saat TKI/TKW membutuhkan uang itu untuk dikirim ke Indonesia,
sang majikan berdalih tidak punya cukup uang alias tak mampu membayar utang.
Contoh kasus TKI yang tidak dibayar gajinya dapat kita lihat pada TKW bernama Sumasri. TKW asal Blitar, Jawa
Timur, yang bekerja dua tahun di Puchong (Selangor, Malaysia), ini pulang dengan tangan hampa. Yang lebih
mengenaskan lagi, Sumasri mengalami depresi berat akibat
penyiksaan yang dilakukan oleh majikannya. Sekujur tubuhnya penuh bekas luka karena pukulan dan siraman
air panas.
Masih kisah pilu gaji
tak dibayar, di tahun 2009, hati kita diketuk oleh Wasiah binti Toha (26 tahun), TKI asal Karawang, Jawa
Barat, yang direkrut oleh sponsor bernama Saman, lewat jalur PT Trisula Bintang
Mandiri (Jakarta), lalu berangkat ke Abu Dhabi pada tanggal 10
Desember 2008. Selama 8 bulan bekerja, ia bekerja pada keluarga Abdallah Said
Masood Al Mazrooi Nura Said Mansur di Rasal Kaimiyah, Abu Dhabi, dengan gaji
700 dirham per bulan. Sejak awal bekerja, majikannya sudah kerap marah-marah tanpa alasan yang jelas.
Wasiah juga sering ditempeleng dan dipukul, padahal dirinya telah bekerja sesuai dengan keinginan sang majikan. Satu bulan bekerja, majikan tidak
memberinya gaji. Memasuki delapan bulan, gaji pun tak kunjung diterima oleh Wasiah. Lalu, ia
memutuskan untuk minta dipulangkan saja ke Tanah Air. Tiba di Tanah Air, sikap Saman
(sponsor) tidak membantu memfasilitasi Wasiah ke PT Trisula Bintang Mandiri,
agar hak-hak Wasiah bisa didapatkan.
Modus lain lepas dari
tanggung jawab membayar gaji adalah jual beli
TKI/TKW di Kuwait. Praktik seperti ini sudah bertahun-tahun berlangsung dan sudah menjadi sebuah karakter. Praktik ini bermula,
ketika seseorang ingin mendatangkan TKI ke negara Kuwait. Sekadar contoh, calon
majikan membayar US$1.000 untuk mendatangkan TKI/TKW. Setelah
TKI/TKW tiba di Kuwait, sang majikan mempekerjakan TKI/TKW itu selama 3 bulan. Setelah 3 bulan
bekerja, sang majikan tidak membayar gaji TKI/TKW tersebut. Malah, TKI/TKW itu
dipindah-tangan ke orang lain. Begitu seterusnya, hingga akhirnya
TKI/TKW bekerja di majikan manapun tanpa mendapatkan uang sepeser pun.
Praktik semacam ini jelas sangat menguntungkan sang majikan. Sudah
mempekerjakan TKI/TKW selama tiga bulan tanpa membayar sepeser pun, malah
uangnya kembali lebih banyak lagi karena menjual TKI/TKW ke orang lain sebesar US$1.300. Biasanya, TKI/TKW yang
mengalami nasib seperti itu tidak menghubungi agency atau perwakilan PJTKI di
negara setempat.
Selain gaji tak
dibayar, banyak TKI/TKW yang juga harus pasrah menerima suratan tangan gajinya
dipotong. Pemotongan gaji ini terutama terjadi pada TKI yang dikirim ke
negara-negara Asia Pasifik. Pemotonan bisa berlangsung 8-10 bulan masa kerja.
Sungguh diskriminatif. Sebab, TKI/TKW yang diberangkatkan ke negara-negara Timur
Tengah (misalkan Arab Saudi) tidak mengalami pemotongan gaji. Hal ini jelas bertentangan dengan tata peraturan
perundangan –baik Nasional maupun Internasional. Tapi, itulah yang terjadi dan TKI tak mampu mengelak.
Tragisnya, Pemerintah RI terlihat
membiarkan praktik-praktik
seperti pemotongan gaji terhadap TKI/TKW yang
bekerja di negara-negara Asia Pasifik ini. Artinya, ada praktik
pembiaran oleh Pemerintah yang jelas-jelas merampas
hak-hak para TKI/TKW. Pemerintah juga membiarkan
berlangsungnya diskriminasi penggajian yang menimpa pada TKI. Selain pemotongan gaji, para TKI/TKW juga harus menelan
pil pahit diskirminasi penggajian. Para majikan di Arab Saudi misalkan,
bertindak diskriminatif dalam memberikan gaji kepada pekerja asal Indonesia.
Bila kepada pekerja informal asal Filipina, sekadar contoh, sang majikan membayar SR1.000, maka
kepada pekerja asal Indonesia mereka membayar jauh di bawah jumlah SR1.000 per bulan.
Diskriminasi penggajian di Hongkong lebih mencolok lagi. TKI/TKW infomal di sana hanya digaji HK$1.500, sedangkan tenaga kerja asal Filipina digaji
HK$3.600 per bulan. Melihat praktik perbedaan gaji dan
pemotongan TKI/TKW itu sudah seharusnya Pemerintah memperjuangkan
kesamaan gaji di negara penempatan. Bukan justru tutup mata, seakan-akan tidak melihat
praktik-praktik itu berlangsung terus-menerus. Sebab, praktik pemotongan dan kesenjangan gaji jelas-jelas melanggar hukum
internasional. Sudah saatnya, Pemerintah memperjuangkan kesamaan hak-hak
TKI/TKW berdasarkan hukum internasional. Harus ada kemauan kuat dari Pemerintah untuk
memperjuangkan hak-hak TKI/TKW di luar negeri.
Repotnya, tidak
banyak TKI/TKW Indonesia yang mempersoalkan pemotongan dan diskriminasi gaji
ini. Di kawasan Asia Pasifik hanya tercatat 119 kasus. Rinciannya di Brunei Darussalam 3 kasus, Hongkong
5 kasus, Jepang 1 kasus, Macao SAR 2 kasus, Malaysia 45 kasus, Singapura 48
kasus dan Taiwan 15 kasus. Catatan kasus ini kawasan Timur Tengah lumayan banyak, yakni 1.442 kasus. Misalnya di negara Bahrain 19 kasus,
Jordania 38 kasus, Kuwait 162 kasus, Libya 2 kasus, Oman 63 kasus, Qatar 61
kasus, Arabi Saudi 914 kasus, Syria 8 kasus, Emirat
Arab 158 kasus dan negara lain 17 kasus. Entah karena si
TKI/TKW telah menyadari persoalan atau karena demikian banyak konsentrasi
TKI/TKW di kawan Teluk ini.
Keempat, dokumen tidak lengkap. Ketika TKI/TKW berangkat dari Tanah Air biasanya
dokumen-dokumennya lengkap. Ketika bekerja di luar negeri, mereka kerapkali
kehilangan –baik sengaja, tidak sengaja maupun tidak tahu. Ada seorang TKW
misalkan bekerja pada sebuah keluarga di Singapura. Karena merasa tertekan dan
takut terus-menerus dikasari sang majikan, dia lari dari rumah majikan tanpa
membawa selembar pun dokumen –entah paspor, visa atau kartu tenaga kerja luar
negeri. Jadilah di TKW ini sebagai pekerja ilegal, terombang-ambing, dan rentan
dieksploitasi. Kasus semacam ini, di kawasan Asia Pasifik muncul 153 kasus. Dengan rincian Brunei Darussalam 5 kasus, Hongkong 16 kasus, Macao SAR 2 kasus, Malaysia
48 kasus, Singapura 58 kasus dan Taiwan 24 kasus. Kemudian di kawasan Timur Tengah
terjadi 748 kasus. Data agak lengkapnya,
Bahrain 4 kasus, Jordania 10 kasus, Kuwait
34 kasus, Oman 22 kasus, Qatar 19 kasus, Arabi Saudi 527 kasus, Syria 5 kasus,
Uni Emirates Arab 111 kasus, Yaman 2 kasus dan
negara lain 14 kasus.
Kelima, teraniaya di negeri orang. Untuk kasus penganiayaan yang berujung pada kematian, Pemerintah kita
terkesan kurang berani menuntut secara hukum sang majikan. Di Arab Saudi, kasus TKW
disiksa lantas dibunuh seringkali berakhir damai dengan imbalan uang hanya Rp200
juta yang diterima ahli waris. Biasanya untuk kasus ini banyak calo atau makelar yang
bermain. Belum lagi, keluarga korban yang mengaku-ngaku sebagai ahli waris.
Seharusnya, uang dam (ganti rugi) yang diterima ahli
waris Rp1 milyar. Ini untuk memberi shock therapi kepada orang-orang
Arab. Coba, andaikata yang membunuh orang Arab itu TKI/TKW? Sudah pasti hukuman
mati (pancung) menunggu sang TKI/TKW tanpa ditilik
dahulu kronologis mengapa sampai terjadi pembunuhan. Ironisnya, selama ini
tidak ada orang Arab yang dihukum pancung gara-gara membunuh TKI/TKW.
Kasus penganiayaan inilah yang sesungguhnya membuat miris dan sedih kita warga bangsa Indonesia.
Kisah Yani (18 tahun) yang lari dari rumah
majikan sebagai contoh kasus. TKW asal Rembang,
Jawa Tengah, sebagai PRT (Pembantu Rumah Tangga) di
Singapura, ini terpaksa melarikan diri dari rumah majikan
dan meminta perlindungan ke KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia). Yani yang
sudah bekerja 17 bulan mengaku setiap hari dipukul pada bagian kepala dan
wajahnya dengan payung tanpa diketahui akar penyebabnya.
Tahun 2004, bangsa kita pernah dikagetkan kasus Nirmala Bonat, TKW asal
Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Derita luka bakar yang cukup parah
hampir di sekujur tubuh Nirmala, akibat disetrika dan
disiram air panas oleh majikannya. Di Tahun 2005, Nur Miyati TKW asal Sumbawa,
Nusa Tenggara Barat (NTB), menderita gangren di kedua pergelangan
tangan dan ujung-ujung jari kakinya lantaran dianiaya majikannya di Arab Saudi.
Beberapa bagian tubuh Nur Miyati terpaksa harus diamputasi karena lukanya yang sudah
membusuk.
Di tahun 2007, Ceriyati, TKW asal Brebes, Jawa Tengah, melarikan diri
melalui jendela lantai 15 di sebuah apartemen di Kuala Lumpur (Malaysia), gara-gara tidak tahan lagi setiap hari disiksa majikannya. Tubuh Ceriyati dipenuhi luka. Dahi bengkak, leher dan
tangan luka parah. Selanjutnya di tahun 2009, TKW asal Garut, Jawa Barat
bernama Siti Hajar pun mengalami nasib serupa Nirmala Bonat. Setiap hari, ia
disiksa, disiram air panas serta
dipukuli, hingga mengalami luka yang sangat parah pada hampir sekujur tubuhnya.
Selama 34 bulan bekerja di Negeri Jiran Malaysia, Siti Hajar tidak menerima gaji
sepeser pun dari majikannya.
Berikutnya kasus Nurhasanah. TKI asal Brebes, Jawa
Tengah, ini selama tujuh tahun bekerja di Riyadh, Arab Saudi. Ia disiksa majikannya.
Tangan, punggung dan kepalanya penuh luka. Nasib sama juga dialami Sutilah, TKI
asal Demak, Jawa Tengah. Ia disiksa dan upah pun tidak bayar. Bahkan, Sutilah
dibuang di jalan oleh majikannya. Nasib tragis juga menimpa Halimah, TKI asal
Cianjur, Jawa Barat. Ia lama terlunta-lunta di bawah jembatan layang di Jeddah,
Arab Saudi. Sutilah tidak mendapatkan perawatan dokter atas penyakit paru-paru
yang dideritanya. Hingga akhirnya, ajal lebih cepat menjemputnya, sebelum
sempat bertemu keluarganya di Tanah Air.
Perlakuan tidak manusiawi hingga menyebabkan lumpuh dan linglung (lupa
ingatan) dialami Suratminih, TKI asal Indramayu,
Jawa Barat. Akibat siksaan dan penganiayaan majikannya di Arab Saudi, Ratminih
tidak bisa tidur terlentang lantaran bagian belakang tubuhnya masih terdapat
luka dan bekas jahitan. Selain cacat, Ratminih pulang ke Indonesia tanpa
membawa uang sepeser pun, setelah selama enam bulan bekerja di Arab
Saudi.
Dari Rumah Sakit Al Adaan Kuwait, beberapa waktu lalu dikabarkan Sariah (37 tahun) TKI asal
Indramayu, Jawa Barat, meninggal dunia. Lebih dari sepekan Sariah dirawat
di rumah sakit tersebut dalam keadaan tidak sadar, hingga akhirnya maut menjemput. “Kekerasan yang dilakukan majikan Sariah di Kuwait telah menyebabkan luka
memar karena benda tumpul di beberapa titik. Paling parah di bagian leher
kanan, tengkuk belakang dan ada pengentalan darah di batang otak. Yang di otak
itulah yang menjadi penyebab meninggalnya,” papar ahli forensik
RSCM Munim Idris.
Nasib tragis juga dialami Juriyah (19 tahun) TKI asal Lohbener, Indramayu
yang jenazahnya disambut isak tangis oleh keluarganya. Selama bekerja 11 bulan
di Kota Jeddah, Arab Saudi, baru empat bulan gajinya dibayar. Sisanya
tujuh bulan belum dibayar hingga Juriyah menghembuskan nafas terakhir. Juriyah
sempat dirawat di rumah sakit. Diduga, kematian Juriyah akibat penganiayaan
yang dialaminya.
Masih direntang tahun 2009, TKI bernama Mantik Hani (36) disiksa majikannya
di Malaysia. Saat ditemukan polisi Diraja Malaysia di rumah majikannya di
kawasan Taman Sentosa, Klang Selangor, Mantik Hani dalam keadaan tidak sadarkan
diri, dengan kaki dan tangan terikat. Media massa setempat melaporkan bahwa
Mantik Hani digunduli, dipukuli dengan besi dan dipaksa tidur di toilet.
Mantik menderita luka parah, sampai-sampai tulang kakinya terlihat. Diduga,
luka itu akibat pukulan dengan batang besi. Berkat laporan dari seorang wanita,
Mantik berhasil dijemput polisi lalu dibawa ke Rumah Sakit Tengku Ampuan
Rahimah. Polisi setempat juga menahan majikan perempuan Mantik.
Kekerasan fisik,
verbal hingga sikap yang tidak menyenangkan sudah jamak dialami tenaga kerja
asal Indonesia, khususnya perempuan. Secara kuantitatif, kasus-kasus kekerasan
atau penganiayaan terhadap TKI/TKW, di kawasan Asia Pasifik tercatat 195 kasus. Perinciannya Brunei Darussalam 3
kasus, Hongkong 25 kasus, Macao SAR 1 kasus, Malaysia 41 kasus, Singapura 87
kasus dan Taiwan 38 kasus. Sedangkan di kawasan Timur Tengah terjadi 1.684 kasus. Uraiannya di Bahrain 21
kasus, Jordania 49 kasus, Kuwait 157 kasus, Oman 52 kasus, Qatar 108 kasus, Arabi
Saudi 1.060 kasus, Syria 10 kasus, Uni Emirates Arab 212 kasus dan negara lain
15 kasus. Para TKI (terutama
TKW) rentan menjadi korban kekerasan tak lepas dari latar belakang ekonomi,
sosial dan pendidikan mereka. Kendati berada di bawah naungan agen penyalur
resmi dan memperoleh pelatihan khusus sebelum dikirim ke luar negeri, tetap
saja sebagian besar dari mereka mengalami gegar budaya yang berbuntut pada
kekerasan.
Keenam, kasus pelecehan seksual. Kita sudah terlalu banyak diguyur informasi kasus-kasus
TKW diperkosa sampai hamil dan tidak ada lelaki yang bertanggung-jawab. Namun, ada baiknya kita memahami makna
pelecehan seksual atau pemerkosaan di suatu negara. Ambil contoh negara Arab
Saudi. Di Arab Saudi tidak ada orang diperkosa. Yang ada orang berzina. Tapi
oleh kita dipaksakan menjadi kasus pelecehan seksual atau pemerkosaan. Ini kan
tidak sesuai. Jika Pemerintah Indonesia ingin membuat aturan, kan
harus disesuaikan dengan aturan negara yang ingin ditempati TKI. Sehingga,
tidak terjadi pertentangan di negara penempatan.
Nah, kalau ada kasus pelecehan seksual atau pemerkosaan mencuat ke
permukaan, di dalam negeri dihembuskan isu ada asuransi yang diwajibkan membayar
semacam ganti rugi, sekitar Rp25 -100 juta. Itu tidak benar. Saya
menduga, itu hanya cerita dari TKI-nya saja. Secara jujur, saya kasihan sama
asuransi di sini. Karena secara hukum tidak ada pasal pemerkosaan, yang ada
hukum zina. Kalau seorang TKW mengakui melakukan zina maka kedua belah pihak dipancung. Akhirnya dibuat perdamaian. Setelah perdamaian kan ada
imbalan. Setelah mendapat imbalan tidak boleh menuntut asuransi. Seharusnya
begitu. Tapi di sini banyak penipu, banyak kongkalingkong,
tidak bisa membedakan mana yang halalan
thoyiban, yang penting mendapat uang. Apakah pejabat, PPTKIS, PJTKI atau perusahaan asuransi selalu begitu dan tidak akan pernah selesai.
Gambaran haru-biru
kasus penyiksaan dan
pemerkosaan TKW dapat kita lihat
berikut. Tahun 2002, Arsita,
TKI asal Taliwang, Sumbawa, NTB, disiksa dan diperkosa oleh majikannya di
Arab Saudi. Arsita sempat tidak sadarkan diri selama empat bulan dan harus
dirawat di rumah sakit lantaran dicekik saat majikannya berusaha kembali
memerkosanya. Duka diperkosa masih datang dari Indramayu, Jawa
Barat. Sariah, TKI asal Desa Tarsana, Kecamatan Sukagumiwang, meninggal dunia
akibat kekerasan. Berdasarkan hasil otopsi dari RSCM, Sariah dipastikan
meninggal lantaran kekerasan fisik dan seksual. Sariah meninggalkan seorang
suami dan seorang anak.
Tersebut pula Eti Darti (25 tahun), TKI asal Paoman,
Indramayu, Jawa Barat. Bulan kedua bekerja, ia mendapat
perlakuan tidak senonoh berupa perkosaan dan penganiayaan ketika bekerja di
Johor, Malaysia. Akibat perkosaan itu,
Eti hamil. Mengetahui kehamilan Eti, majikannya menyuruh Eti
menggugurkan kandungan. Mirisnya, proses pengguguran kandungan itu dilakukan dengan cara perut Eti
ditendang-tendang, hingga Eti mengalami pendarahan.
Setelah sembuh pendarahan, setiap hari Eti masih dipaksa melayani nafsu
bejat majikannya yang berprofesi sebagai dokter. Akhirnya, dibantu KBRI di
Malaysia dan Pengurus Daerah Serikat Pekerja TKI Luar Negeri (SPTKILN)
Kabupaten Indramayu, Eti dijemput dibawa pulang ke Indramayu. Eti lalu mendapat
perawatan intensif di ruang VIP kamar 3 RSUD Indramayu. Lima hari dirawat
intensif, Eti akhirnya meninggal dunia. Diduga kuat, Eti mengalami infeksi pada
bagian perut. Dan infeksi itu telah menjalar ke organ
tubuh lainnya.
Tak banyak kasus
pelecehan seksual terhadap TKW yang tercatat di kawasan Asia Pasifik, hanya 53 kasus. Dengan perincian Brunei Darussalam 1 kasus, Hongkong 2 kasus, Malaysia 3 kasus, Singapura
18 kasus dan Taiwan 24 kasus. Kasus pelecehan
seksual justru banyak tercatat di Timur Tengah, yakni 1.229 kasus. Misalnya di negara Bahrain 25 kasus,
Jordania 23 kasus, Kuwait 69 kasus, Oman 59 kasus, Qatar 58 kasus, Arabi Saudi
869 kasus, Syria 4 kasus, Uni Emirat Arab 109 kasus, Yaman 1 kasus dan negara
lain 12 kasus.
Ketujuh, kasus-kasus majikan bermasalah. Di antaranya majikan ringan tangan, majikan perempuan cemburu berlebihan,
majikan pembohong, dan majikan meninggal dunia. Di kawasan Asia Pasifik tercatat jumlah 168 kasus: Brunei Darussalam 3
kasus, Hongkong 29 kasus, Macao SAR 1 kasus, Malaysia 22 kasus, Singapura 64
kasus dan Taiwan 49 kasus. Sedangkan kawasan Timur Tengah terdata 753 kasus: Bahrain 7 kasus,
Jordania 6 kasus, Kuwait 66 kasus, Oman 40 kasus, Qatar 38 kasus, Arabi Saudi 480
kasus, Syria 4 kasus, Uni Emirat Arab 109 kasus dan negara lain 6 kasus.
Kedelapan, Kecelakaan Kerja. Saya kerapkali bersuara lantang dan tegas mengenai
kecelakaan kerja di apartemen-apartemen Singapura yang menjulang tinggi. Coba perhatikan mengapa sekarang di Singapura ada ratusan TKI mati dengan cara
yang sama? Jatuh dari lantai 27 atau 30. Dalam 2 tahun terakhir, 412 TKI mati,
semua jatuh dari lantai atas apartemen. Saya katakan pengiriman tenaga
kerja terjelek di seluruh dunia adalah Singapura karena calon TKI tidak dibekali pengetahuan tentang tata cara dan adat kebiasaan
hidup di apartemen.
Kejadian-kejadian TKI tewas karena terjun dari apartemen agaknya tidak direspon secara cepat dan tuntas oleh
Pemerintah. Kalau sudah puluhan orang mati jatuh dari apartemen, mestinya kita mampu memahami agar tidak jatuh korban lebih banyak lagi. Jika ternyata apartemen-apartemen itu
tidak berpagar, bisa saja terjadi para TKI kita jatuh terpeleset karena lantai licin terpercik air sabun ketika
menjemur pakaian. Kalau itu permasalahannya, buatlah kesepakatan dan
pernyataan bahwa semua apartemen yang memperkerjakan TKI
harus dilengkapi pagar. Ini kan tidak pernah diperbuat oleh Pemerintah dalam upaya melindungi TKI yang
bekerja di apartemen-apartemen Singapura.
Kisah lain pahlawan devisa yang memiriskan hati adalah jatuhnya korban
akibat keletihan bekerja. Turinah (29 tahun), TKI asal Indramayu
yang baru bekerja empat hari pada keluarga Muhammad Abdul Nabi Ais Milad di Kuwait
mengalami lemah fisik hingga akhirnya ia terpaksa pulang ke Tanah Air lebih cepat. Turinah sempat
dirawat di RS Polri Jakarta. Namun karena kondisinya kritis, korban
menghembuskan nafas terakhir pada 30 April 2009.
Masih seputar
kecelakaan kerja. Agus Purnomo (31),
TKI asal Desa Banjarejo, Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung, Jawa
Timur, tewas setelah tertimpa gulungan baja di sebuah pabrik pipa di daerah
Sinchu, Taiwan. Rekan-rekan Agus Purnomo sempat membawanya ke rumah sakit
terdekat, untuk mendapat perawatan. Sayangnya, nyawa Agus Purnomo tidak dapat
diselamatkan, setelah dia mengalami pendarahan hebat di bagian
kepala. Jenazah korban tiba di rumah duka Minggu pada 8 November 2009 pagi.
Oleh keluarga, jenazah langsung dishalatkan sebentar dan dimakamkan di tempat
pemakaman umum (TPU) desa setempat (ANTARA
News, Minggu, 8 November 2009)
Berita memilukan datang dari Taiwan pada 31 Oktober
2010. Enam orang TKI tewas karena kecelakaan kerja. Kelima TKI itu
tewas, ketika mereka sedang bekerja di proyek pembangunan jalan tol. Mereka tertimpa runtuhan mesin perancah di
lokasi pembangunan jalan di Nantou County, Taiwan. Keenam TKI itu bernama
Suprapto asal Grobogan (Jawa Tengah), Riyanto asal Tegal (Jawa Tengah), Sunaryo asal Brebes (Jawa Tengah), serta Sutardji dan Sirmanto asal Rembang (Jawa Tengah) dan Ali Mansyur asal
Surabaya (Jawa Timur).
Secara statistik, fakta
kecelakaan kerja TKI di kawasan Asia Pasifik terdata 168 kasus. Misalnya
di Negara Brunei Darussalam 3 kasus, Hongkong 29 kasus, Macao SAR 1 kasus,
Malaysia 22 kasus, Singapura 64 kasus dan Taiwan 49 kasus. Sedangkan kawasan
Timur Tengah ada 753 kasus. Misalnya di negara Bahrain 7 kasus, Jordania 6
kasus, Kuwait 66 kasus, Oman 40 kasus, Qatar 38 kasus, Arabi Saudi 480 kasus,
Syria 4 kasus, Uni Emirat Arab 109 kasus dan negara lain 6 kasus.
***
Masih ada deretan panjang nestapa TKI/TKW di luar
negeri yang rasanya tak mungkin
direntang satu per satu pada lembaran yang amat terbatas ini. Minimal dapat
saya berikan sedikit ilustrasi kualitatif macam-macam keprihatinan yang
dihadapi oleh para TKI/TKW. Di antaranya TKI/TKW bekerja melampaui batas jam kerja tanpa ada upah lembur, mereka dilarang berkomunikasi
dengan orang lain (termasuk keluarga), akomodasi dan makanan
di rumah majikan tidak memadai (bahkan makanan
basi), dilarang menjalankan
ibadah menurut agamanya, dipaksa memasak dan makan makanan haram (daging babi), dipenjara dengan
berbagai rekayasa tuduhan, bunuh diri, dan melakukan tindakan pidana karena merasa putus asa diperperlakukan buruk oleh majikan.
Ada kejadian luar biasa kisah TKW di
Hongkong. Sebagai bangsa yang religius, kebanyakan TKW yang bekerja di Hongkong
tentu beragama Islam. Ketika berangkat ke Hongkong, para TKW memakai kerudung
dan menyandang nama Aminah. Apa lacur, ketika pulang ke Tanah Air, namanya
menjadi Mince, berbusana bikini dan biasanya memakan daging babi. Mereka
berubah menjadi lesbian. Ironis. Sungguh memilukan hati bangsa ini.
Lebih menyedihkan lagi, terkadang baru saja sepekan bekerja di Hongkong,
para TKW beralih profesi menjadi pekerja seks komersial (PSK). Tak mudah dicari akar
penyebabnya. Dijebak, terjebak ataukah justru muncul dari
keinginan mereka sendiri meraup rupiah sebanyak mungkin di
negeri orang. Kasus TKW ini harus menjadi perhatian yang serius bagi
pemerintah, kalangan organisasi keagamaan di Tanah Air. Yang pasti, harus ada
tindakan nyata dari pemerintah untuk menghentikan praktik-praktik penyimpangan
pekerjaan seperti itu.
Semakin mendalami duka
derita TKI/TKW di negeri orang semakin membuat kita mengelus dada. Tengoklah
luka cerita seperti TKI/TKW dipecat secara sepihak dan dipulangkan majikan tanpa diberikan hak-haknya; dipulangkan secara sepihak oleh agency setelah usai
masa pemotongan gaji sehingga tak pernah menerima gaji penuh; penipuan dengan modus rekayasa pemeriksaan medis; mengadu ke polisi tapi
dikembalikan kepada agency/tekong kemudian dipekerjakan
secara ilegal.
Terkadang pula tak sedikit TKI/TKW dideportasi tetapi tidak pernah sampai di
kampung halaman. Mereka ditangkap oleh calo kemudian
diberangkatkan kembali ke luar negeri secara ilegal. Kadang lagi, mereka harus menghadapi sikap aparatur KBRI/Konjen RI yang
tidak mau membela dan justru menelantarkan. Mereka pun mesti menghadapi birokrasi penyelesaian yang
berbelit, rumit dan memakan waktu.
Demikian lekat derita
TKI/TKW ketika mengadu peruntungan di negeri orang. Hal ini tak terlepas dari
persiapan di dalam negeri yang juga bermasalah. Tidak sedikit TKI/TKW yang
merenda sengsara sebelum berangkat ke luar negeri. Mereka terkadang diperas
dengan alasan pemenuhan syarat dokumen, ditelantarkan di tempat penampungan
sementara, dan dikomersialkan demi memenuhi pundi-pundi oknum-oknum di instansi
terkait. Peta kenestapaan di dalam negeri terhampar mulai dari perekrutan, pengurusan kelengkapan dokumen,
pendidikan/pelatihan, penanda-tanganan kontrak kerja, persiapan akhir pemberangkatan sampai pemberangkatan TKI ke luar negeri.
Pertama, perekrutan. Sekadar contoh kisah Ferry Widyantoro (33) dan Sugeng Pratikto (29),
keduanya warga Desa Sidorejo, Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, yang harus
merelakan Rp15,5 juta masuk ke kantong calo TKI Agus
Kurnia (40). Dan September 2010 lalu keduanya harus berputar-putar
di sekitar Terminal Bus Jombang untuk mencari keberadaan Agus Kurnia yang mengaku
bisa membantu memberangkatkan mereka ke Arab
Saudi. Nasib serupa dialami oleh 85 orang calon TKI dari
berbagai daerah yang dijanjikan hendak dipekerjakan di galangan kapal dan
pabrik elektronik di Amerika Serikat. Masing-masing dari mereka sudah menyetor
sekitar Rp15 juta sampai Rp20 juta kepada sebuah perusahaan jasa pengerah TKI
di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Timur (KabariNews.com, September 2009).
Sudah jatuh tertimpa tangga. Gagal berangkat ke luar negeri, utang pun
menumpuk.
Yang lebih memiriskan hati, calon tenaga kerja itu tidak semata-mata ditipu calo tapi mereka dipaksa mengeluarkan uang jutaan rupiah
oleh sponsor. Tak jarang, uang sudah diterima sponsor, namun beberapa minggu
kemudian sponsor itu raib seoalh ditelan
bumi. Kasus lain di seputaran perekrutan, di antaranya, terkadang calon tenaga kerja diperjual-belikan antar-calo atau antar-sponsor. Kalau pun
calon TKI sudah berangkat ke tempat penampungan, oleh PJTKI nakal, si calon TKI hanya dijadikan
stok manusia yang menghuni ruko-ruko. Mereka disekap dengan kondisi ruko yang
tak layak huni serta makanan alakadarnya. Tanpa kepastian kapan mereka diberangkatkan ke luar negeri.
Kedua, derita permainan dokumen. Seharusnya, identitas
atau biodata calon tenaga kerja dibuat sebenar-benarnya. Baik nama, umur,
status perkawinan maupun alamat. Pemalsuan identitas pun kerap
kali terjadi. Seperti, pembuatan Kartu
Tanda Penduduk yang tidak sesuai asal daerahnya beserta Kartu-Keluarganya. Praktik
pemalsuan KTP dan KK yang marak terjadi di berbagai wilayah,
tentu saja karena ketidak-cermatan dan ketidak-mampuan aparatur pemerintah desa
berbuat jujur dalam mengeluarkan KTP dan KK. Ada seorang calon TKI dari NTB dibuatkan KTP dan KK di Sukabumi, Jawa
Barat. Hal ini jelas akan merepotkan manakala di kemudian hari si TKI itu mengalami kematian di luar negeri. Jasad TKI tadi tidak bisa pulang sampai kampung
halamannya. Terombang-ambing di tengah jalan dan terancam menjadi penghuni
kburuan orang-orang tak dikenal.
Masih tentang dokumen,
para calon TKI kerapkali juga terjebak pada permainan pemalsuan Surat Ijin Keluarga/Suami. Seharusnya
calon TKI mengantongi Surat Ijin Orangtua/Suami yang ditandatangani oleh Kepala
Keluarga/Suami. Pemalsuan lain yang nampak sistemik dan tertata apik antara lain menerbitkan Akte Kelahiran dan ijazah asli tapi palsu. Ini jelas-jelas
pemalsuan yang sudah terorganisir dan melibatkan banyak oknum aparaturan instansi terkait yang bermain ’cantik’ hingga saat ini. Sejatinya,
oknum-oknum tersebut secara langsung menjerumuskan calon TKI ke permasalahan-permasalahan yang serius di
kemudian hari.
Ketiga, terjebak dalam kepura-puraan pelatihan/pendidikan yang dimainkan oleh
pihak-pihak yang berkepentingan. Sebelum
diberangkatkan bekerja di luar negeri, calon tenaga kerja diwajibkan terlebih
dulu mengikuti pelatihan/pendidikan pola 200 jam di Balai Latihan Kerja (BLK) yang dipunyai PJTKI atau BLK yang ditunjuk oleh instansi yang berwenang. Selama mengikuti pendidikan/pelatihan, pihak PJTKI harus
merumahkan di tempat yang layak dan sehat. Selama 21 hari (200 jam), calon TKI
akan dididik keterampilan khusus (sesuai job order), misalnya Tata Boga atau
Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) serta bahasa negara tujuan. Untuk menjadi
TKI di Timur Tengah misalkan, minimal harus menguasai 200 kata
dalam bahasa Arab untuk membantu dalam memulai bekerja. Penguasaan bahasa adalah
kunci komunikasi buat mengerti dan memahami perintah kerja secara umum antara
majikan dan TKI.
Dalam masa pelatihan/pendidikan juga diajarkan cara berpakaian yang sopan
sesuai dengan tata cara dan budaya di negara setempat. Misalkan TKI yang akan
ditempatkan di Timur Tengah (Arab Saudi) ketika berada di penampungan
dibiasakan memakai Abaya dan menutup kepala. Calon TKI juga diberitahu adat-istiadat serta
kebiasaan masyarakat Timur Tengah (Arab Saudi). Setelah menjalani masa pelatihan dan pendidikan selama 21
hari, calon TKI akan diberikan sertifikat kelulusan.
Ironisnya, banyak PJTKI yang tidak memberikan pelatihan/pendidikan secara memadai di BLKLN kepada calon TKI yang hendak diberangkatkan ke luar negeri. Tak begitu jelas
mengapa mereka berbuat seperti itu. Bisa jadi karena merasa keberatan biaya
pelatihan yang mencapai Rp1,1 juta per calon TKI. Mereka menempuh jalan pintas kongkalikong
guna mendapatkan
sertifikat kelulusan pendidikan/pelatihan dengan hanya mengikuti satu atau dua hari pelatihan. Apa yang bisa
diharapkan dengan pelatihan yang hanya dua hari? Mengikuti sepenuhnya pola 200
jam saja, banyak calon TKI yang masih tergagap-gagap dan gegar budaya. Hal inilah yang kemudian memicu ketidak-puasan majikan hingga
berakibat penganiayaan atau penyiksaan.
Hal lain yang juga
cukup menyedihkan adalah kondisi penampungan sementara calon TKI yang
alakadarnya. Banyak tempat penampungan sementara PPTKIS yang terlihat kotor, sanitasi buruk dan tanpa dilengkapi tempat tidur. Calon
TKI terpaksa tidur di lantai dengan tikar atau karpet. Makanan sehari-hari yang
disediakan tidak pula memenuhi standar kesehatan dan kelayakan.
Intimidasi, kekerasan fisik, psikis serta pelecehan seksual juga dialami calon
TKI di sini. Selama ditampung, calon TKI kerap kali dipekerjakan
pada rumah pemilik PPTKIS atau rumah perorangan dan tidak dibayar dengan alasan
praktik kerja lapangan (PKL).
Terkadang, karena jadwal penempatan yang tak pasti, bilamana calon TKI ingin
berkirim surat ke keluarganya harus melewati sensor dari karyawan PPTKIS di tempat penampungan. Begitu
pun sebaliknya. Jika ada surat dari keluarga untuk calon TKI, sudah tentu mesti melalui sensor. Ulah
karyawan PPTKIS juga nampak aneh-aneh. Ada denda besar yang
harus dibayar calon TKI jika melakukan kesalahan di penampungan. Calon TKI juga
dipaksa menandatangani surat pernyataan, apabila batal berangkat, harus membayar
ganti rugi yang cukup besar. Inilah pemerasan
terselubung yang dilakukan oleh PPTKIS.
Masih di masa penampungan sementara, ketika calon TKI menderita sakit
kerapkali dibiarkan tanpa perawatan. Calon TKI tidak dirawat selayaknya orang sakit. Bahkan, tak sedikit kasus calon TKI yang
meninggal di penampungan karena sakit yang semakin parah dan tertangani secara wajar. Kalaupun ada TKI
yang berani melaporkan kasus-kasus yang dialami di penampungan, yang terjadi selanjutnya adalah penelantaran atai pembiaran kasus oleh pihak yang berwajib.
Ironis, sekaligus memiriskan hati kita. Aparatur berwajib tidak
menjadi pengayom masyarakat yang baik.
Keempat, penanda-tanganan
perjanjian kontrak kerja secara tergesa-gesa. Karena tergesa-gesa,
banyak calon TKI tidak memahami isi perjanjian kontrak kerja. Kondisi ini seringkali dimanfaatkan PPTKIS/PJTKI nakal
untuk memanipulasi berapa jumlah gaji yang diterima serta hak-hak calon TKI
yang harus diterima. Apalagi jika calon TKI itu buta huruf, praktis tidak tahu
apa-apa isi kontrak kerja. Banyak TKI yang asal
tanda tangan kontrak kerja. Kondisi kekurangan pada diri TKI ini banyak
disalah-gunakan PPTKIS/PJTKI untuk memperpanjang
kontrak kerja tanpa ijin dari keluarga. Pungutan yang tinggi
juga dilakukan oleh agency saat perpanjangan kontrak kerja.
Kelima, penempatan. Ketika calon TKI akan diberangkatkan dan
ditempatkan di negara tujuan, calon TKI diminta menanda-tangani Surat
Perjanjian Kerja dalam situasi yang tergesa-gesa. Calon TKI tidak sempat
membaca dan mempelajari isi perjanjian kontrak kerja itu. Apalagi bagi yang buta huruf
dan angka, hanya pasrah corat-coret di surat perjanjian kontrak kerja tanpa tahu arti
dan kekuatan hukum surat yang ditanda-tanganinya. Tak jarang, tanda tangan calon TKI dipalsukan dalam Surat Perjanjian Kerja oleh oknum PPTKIS/PJTKI.
Ketika berangkat ke luar negeri, perlakuan petugas bandara pun kerap kali sinis. Sebuah perlakuan
buruk di negeri sendiri yang jelas-jelas merendahkan harkat dan martabat sesama
warga negara Indonesia. Ketika calon TKI menuju ke negara penempatan, terkadang, ada skenario dari PPTKIS/PJTKI nakal yang
menjerumuskan calon TKI dijadikan pelacur. Biasanya calon TKI diturunkan di
negara transit lalu dijebak dan dijadikan pelacur. Harapan untuk bekerja di
negara tujuan sesuai kontrak kerja sirna sudah.
Begitulah gambaran
kepiluan yang nyata derita-nestapa anak bangsa yang menjadi TKI/TKW. Ketika di
dalam negeri dilecehkan oleh sesama anak negeri. Ketika di luar negeri, harus
berhadapan dengan majikan yang semula halus tulus lalu tiba-tiba buas-beringas.
Benar kata Ayu Hayati, TKW asal Karawang yang bekerja di Iran, "Saya sudah
bekerja di keluarga itu selama enam bulan. Selama tiga bulan pertama mereka
baik, tetapi pada tiga bulan terakhir berubah. Beberapa kali saya ditampar dan
akhirnya mereka tidak membayar gaji saya selama tiga bulan.” ***
Artikel Pendukung
Bayar Rp 31 Juta Gagal Jadi TKI
Ingin bekerja di luar
negeri sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI), dua warga Desa Sidorejo, Sawahan,
Kabupaten Nganjuk, Ferry Widyantoro (33) dan Sugeng Pratikto, 29, malah kehilangan uang belasan juta
rupiah. Dua pemuda ini diduga ditipu
Agus Kurnia (40) warga Jalan Mastrip, Jombang, yang mengaku bisa membantu
mereka menjadi TKI.
Keduanya mengaku
mengalami kerugian masing-masing Rp15,5 juta. Merasa menjadi korban penipuan,
mereka pun melapor ke Mapolres Jombang.
Kasus dugaan penipuan
yang menimpa kedua pemuda tersebut berawal November 2009 lalu. Saat itu,
melalui seseorang, keduanya diperkenalkan kepada Agus yang mengaku bekerja di
PT Surya Pasific, sebuah perusahaan pengerah jasa TKI di depan Terminal
Jombang.
Hasil pertemuan
tersebut, Ferry dan Sugeng diminta membayar uang muka Rp2,5 juta sebagai
persyaratan administrasi awal. Pada 24 November 2009 lalu, keduanya pun
membayar biaya tersebut.
Setelah melalui
proses administrasi, mereka diminta
kembali oleh Agus melunasi biaya adiministrasi. Total Rp10,5 juta. Kedua
pelapor pun segera melunasi dengan maksud agar segera diberangkatkan menjadi
TKI.
”Katanya untuk
mengurusi visa dan berbagai surat perjalanan selama kami magang,” lanjut
korban, di Mapolres Jombang.
Seusai pelunasan,
Agus ternyata kembali meminta Rp2,5 juta, dengan alasan untuk biaya tes
kesehatan. Dua pemuda tersebut pun menyanggupi.
Tanpa terasa, uang yang sudah disetorkan oleh masing-masing mencapai
Rp15,5 juta, sehingga total Rp31 juta.
Keduanya dijanjikan
berangkat Maret 2010. Namun setelah batas waktu yang telah dijanjikan
terlewatkan, Ferry dan Sugeng tak
kunjung berangkat sebagai TKI. Keduanya
lantas meminta penjelasan kepada terlapor. Tapi setiap kali bertemu, terlapor
hanya memberi janji-janji.
Kasatreskrim Polres
Jombang, AKP Heru Nur Hidayat, ketika dimintai konfirmasi, Senin (20/9/2010),
mengatakan masih mendalami laporan kedua korban. “Untuk sementara, kedua
pelapor kami minta keterangan. Selanjutnya, kami akan memeriksa saksi, dan
memanggil terlapor untuk menjalani pemeriksaan,” jelasnya.
(Sumber: Kompas, 21 September 2010)
Diketahui Tewas Setelah 3 Tahun
Sunaesih binti Kajan
(24), Tenaga Kerja Indonesia asal Cirebon, Jawa Barat, yang bekerja di Uni
Emirat Arab dinyatakan tewas setelah tiga tahun. PT AP, perusahaan penyalur
tenaga kerja, menyebutkan bahwa Sunaesih dinyatakan tewas akibat kecelakaan. Namun,
pihak keluarga dan Serikat Buruh Migran menganggap janggal kematiannya. Pihak
keluarga dan Serikat Buruh Migran juga menilai aneh karena perusahaan
penyalurnya baru memberi tahu tentang kematian Sunaesih tiga tahun berselang setelah
ia meninggal.
PT AP mengabarkan
berita kematian itu pada 12 Agustus 2010. Padahal, kematian Sunaesih tercatat tanggal
18 Juli 2007. ”Keterangan meninggal itu pun keluar atas desakan orang tua
Sunaesih. Orang-tuanya resah karena anak mereka tak ada kabar sejak ia
berangkat ke Arab, 27 Mei 2007,” kata Castra, pendamping keluarga Sunaesih dari
Serikat Buruh Migran Cirebon, Minggu (21/11/2010).
Kejanggalan lain,
lanjutnya, adalah tidak ada bukti yang bisa menunjukkan bahwa Sunaesih memang
tertimpa kecelakaan. PT AP tidak transparan dalam menginformasikan kematian tersebut
kepada keluarga korban. Selain itu, jenazah Sunaesih pun tidak bisa dibawa
pulang dengan alasan sudah dikuburkan sejak tiga tahun lalu.
Kajan, ayah Sunaesih,
juga mengaku mendapatkan santunan 4.000 dollar AS (Rp35,7 juta) dari perusahaan
penyalur dan agennya, ditambah dua bulan gaji Sunaesih sebesar 1.600 dirham.
Santunan itu pun
diberikan karena desakan dari keluarga yang menuntut pencairan asuransi jiwa
Sunaesih. Namun, untuk mendapatkan santunan itu, Kajan diminta menanda-tangani
surat perjanjian yang isinya agar tidak mengungkit-ungkit lagi penyebab
kematian Sunaesih. ”Saya bingung, saya tetap ingin anak saya pulang, bagaimana
pun kondisinya, karena itu saya mengadu ke Serikat Buruh Migran,” ungkap Kajan.
Hingga kini, Kajan
tetap mendesak agar jenazah anaknya bisa dipulangkan ke desanya di Desa
Gembongan, Kecamatan Babakan, Kabupaten Cirebon. Ia meminta agar pemerintah
turut membantu kepulangan jenazah anaknya yang sudah tiga tahun tewas itu.
Serikat Buruh Migran
mendesak agar perusahaan penyalur tenaga kerja bertanggung-jawab terhadap
keluarga Sunaesih. Pertanggung-jawaban itu tidak hanya berupa santunan, tetapi
juga pembuktian penyebab kematian TKI itu dan proses pemulangan jenazahnya ke
Indonesia.
Kisah sedih TKI juga
datang dari Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Kastem binti Rustam (32), TKI asal
Muara Baru, Kecamatan Cilamaya Wetan, dilaporkan mengalami gangguan mental
akibat penyiksaan oleh majikannya di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.
Pihak keluarga korban
mengaku kehilangan kontak sejak Kastem berangkat ke luar negeri, November 2008.
Kabar mengenai kondisi Kastem diceritakan oleh Sunari (30), TKI asal Karawang,
yang berhasil kabur dan kembali ke Indonesia, 19 November 2010.
Sunari bekerja pada
anak majikan Kastem, tetapi terpisah rumah di daerah Sarjah, Abu Dhabi.
Koordinator Camp
Migrant Karawang Boby Anwar Maarif mengatakan, Sunari rutin bertemu dengan
Kastem 2-3 kali sepekan saat majikannya mengunjungi majikan Kastem. Kepada
Sunari, Kastem mengaku sering disakiti majikannya hingga mengalami luka fisik
dan mental.
(Sumber: Kompas, Senin 22 November 2010)
Minta Penambahan
Perwakilan RI di Arab Saudi
Meningkatnya mobolitas WNI di Timur Tengah, terutama di Arab Saudi harus
disikapi dengan menambah jumlah perwakilan Indonesia di negeri itu.
Pemerintah Indonesia selayaknya memiliki dua kantor perwakilan lagi di Arab
Saudi. Ketua Himpunan Pengusaha Jasa TKI (Himsataki) Yunus M Yamani mengatakan
tahun lalu (2009) sebanyak 234.643 TKI ditempatkan ke negara
itu dan sepanjang tahun lalu terdapat 22.035 kasus yang terjadi di sana.
“Rata-rata Indonesia menempatkan 20.000-25.000 TKI ke Saudi. Angka itu terbesar
untuk wilayah Timur Tengah dan hanya bisa dibandingkan dengan
penempatan ke negeri jiran, Malaysia,” kata Yunus.
Saat ini terdapat dua perwakilan Indonesia di Arab Saudi, yakni KBRI di
Riyadh dan KJRI di Jeddah. Menurut Yunus, dengan hanya memiliki dua kantor
perwakilan tersebut maka pelayanan yang diberikan tidak maksimal sementara
penyebaran TKI di sana hampir merata, hingga ke kota-kota di daerah perbatasan.
“Terdapat 42 kota di Arab Saudi yang banyak ditempati TKI. Untuk mengatasi
penyebaran tersebut dibutuhkan, minimal dua perwakilan lagi di Saudi,” kata
Yunus.
Di sisi lain, dia juga mengingatkan KBRI dan KJRI, dengan segala
keterbatasan yang ada, untuk tetap memberi pelayanan yang baik kepada TKI.
“Mereka adalah pahlawan bagi keluarga dan pejuang yang membantu Indonesia
mengatasi pengangguran dengan pengorbanan berpisah dengan sanak keluarga, anak,
suami atau isteri,” jelas Yunus.
Dia mengungkapkan beberapa kasus di mana ketika Perusahaan Jasa TKI (PJTKI)
menyampaikan masalah yang dihadapi TKI-nya, tetapi malah diberi sanksi tidak
mendapatkan pelayanan administrasi hingga PJTKI tersebut menyelesaikan masalah
TKI tersebut. Yunus juga mengungkapkan bahwa banyak kasus TKI yang kadang
berujung pada kematian karena tidak diselesaikan dengan cepat, mengingat
keterbatasan sumber daya manusia dan minimnya kantor perwakilan Indonesia.
Dia mencontohkan kasus Nurhafifah yang meninggal terbunuh sekitar satu
tahun lalu, kasusnya baru diselesaikan saat ini dengan memberikan diat (uang duka cita) sebesar SR60.000 atau sekitar
Rp150 juta. “Himsataki berupaya menyelesaikan pembayaran diat dari majikan TKI itu, karena kasus ini terkatung-katung hampir
setahun, sedangkan majikan yang bersalah dihukum penjara saat ini,” kata Yunus.
Dana tersebut diserahkan Yunus kepada Marullah (kakak kandung almarhumah)
dalam sebuah acara sederhana di Kantor Himsataki di Condet. Nurhafifah binti
Sukari Sarbibni asal Malang dan meninggal dunia di Abha, Arab Saudi. Saat ini
Himsataki juga sudah mengurus uang diat
atas nama TKI Muhsinin Bin Amaq Masei Sirma yang meninggal karena
kecelakaan kerja tahun lalu di Makkah.
(Sumber: Situs Kampung TKI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar