Saban tahun selalu saja kabut asap menyelimuti
Sumatera dan Kalimantan. Sepertinya tidak ada tindakan tegas terhadap pelaku
pembakar hutan yang jadi pangkal sebab kabut asap yang kiat pekat. Saatnya
penegak hukum tegas.
=============
Pembakaran hutan tahunan mencapai titik kritis. Pemerintah
berusaha tegas terhadap para pembakar hutan yang mengakibatkan langit
Kalimantan dan Sumatera disesaki asap yang mengganggu penerbangan dan kesehatan.
Kepolisian pun menetapkan 133 orang dan
tujuh perusahaan sebagai tersangka pembakar hutan/lahan. Ketujuh perusahaan
tersebut beroperasi di Sumatra Selatan dan Kalimantan Tengah. Adakah sanksi
tegas dan menjerakan terhadap para tersangka?
“Secara keseluruhan kami telah menetapkan 140 tersangka,
tujuh di antaranya adalah korporasi. Tadi pagi juga sudah ada yang ditangkap,”
kata Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Badrodin Haiti dalam
konferensi pers di Kantor Presiden, Jakarta, pertengahan pekan lalu.
Ketujuh perusahaan itu masing-masing PT RPP di Sumatera Selatan,
PT BMH di Sumsel, PT RPS di Sumsel, PT LIH di Riau, PT GAP di Kalimantan
Tengah, PT MBA di Kalimantan Tengah, dan PT ASP di Kalteng. Selain menetapkan
ketujuh perusahaan itu sebagai tersangka, Badrodin mengatakan ada 20 perusahaan
lainnya yang berada dalam proses penyidikan.
Yang menjadi dasar hukum dalam proses penyidikan adalah
Undang-Undang Perkebunan 39 tahun 2014 pasal 108, Undang-Undang Kehutanan Nomor
41 tahun 1999 pasal 78, dan UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 116.
“Saya menyarankan agar pemerintah selaku regulator
memberikan sanksi tambahan bagi perusahaan-perusahaan yang tidak beriktikad
baik ini dengan memberikan blacklist sehingga ke depan permohonan
perizinan usaha yang sama bisa ditolak,” ujar Badrodin.
Hal senada disampaikan Menteri Kehutanan dan Lingkungan
Hidup, Siti Nurbaya. Ia mengatakan harus
ada penegakan hukum paralel. Arti kata, suatu pihak yang dijadikan tersangka
oleh kepolisian dalam ranah pidana, bisa dikenai sanksi administratif dan
gugatan perdata oleh pemerintah.
“Karena itu, ada sembilan gugatan perdata yang tengah kami
persiapkan. Kami juga siapkan sanksi administratif dengan menyesuaikan data kepolisian.
Tidak lama itu, sebulan ini kami selesaikan,” kata Siti Nurbaya pekan lalu. Sanksi
administratif berupa tiga macam, yakni paksaan penghentian kegiatan, membekukan
izin usaha, hingga pencabutan izin usaha.
Aktivis lingkungan menilai kelemahan aparat hukum dalam
menangani isu lingkungan serta sanksi hukuman yang relatif ringan sebagai
penyebab berulangnya kasus pembakaran hutan dari tahun ke tahun. Bahkan, kini
semakin banyak kasus pembakaran hutan.
Aktivis koalisi pemantau pengrusakan hutan (Eyes on the
forest) di Provinsi Riau, Afdhal Mahyuddin, mengatakan, dirinya menyambut
baik niat pemerintah untuk menindak tegas perusahaan-perusahaan yang terbukti
membakar hutan, tapi dia skeptis upaya itu dapat membuat efek jera.
Direktur Eksekutif lembaga Wahana Lingkungan Hidup (Walhi)
di Provinsi Riau, Rico Kurniawan, juga mengatakan sanksi selama ini berhenti
pada pernyataan dan tanpa tindak lanjut konkret.
"Ada tiga perusahaan di Riau yang dikenai vonis.
Meskipun vonisnya ringan, tapi titik api berkurang jauh di lahan konsesi
perusahaan-perusahaan itu. Namun, perusahaan yang dinyatakan sebagai tersangka
pada 2013 dan 2014, tahun ini mereka membakar lagi. Artinya, vonis harus
diterapkan dan bukan sekadar pepesan kosong," kata Rico.
Pencabutan izin perusahaan pembakar lahan, menurutnya, akan
memberikan efek sekaligus mematahkan anggapan bahwa izin diberikan pada
perusahaan yang memiliki 'bekingan'.
"Diduga kuat bahwa penerbitan izin itu penuh dengan
bekingan. Ini harus diterobos. Kita mengharapkan Kementerian Kehutanan dan
Lingkungan Hidup berani bertindak," tambahnya.
Sanksi harus benar-benar tegas dan membuat jera. Pembakaran
hutan tidak hanya mengakibatkan kabut asap yang mengakibatkan ribuan warga
Sumatera dan Kalimantan menderita penyakit infeksi saluran pernafasan akut.
Pembakaran hutan pun merusak kesuburan tanah.
“Penegak hukum banyak yang hanya mengandalkan bukti
materiil. Kesulitan yang dihadapi adalah ketika menjawab konter dari pembela
perusahaan pembakar hutan, soal dampak kerusakan terhadap lingkungan dan
kualitas tanah,” kata seorang peneliti pertanahan di Institut Pertanian Bogor.
Repotnya, Indonesia belum memiliki pengadilan khusus untuk
menangani perkara kejahatan lingkungan. Ambil contoh, ketika pihak Kementerian
Kehutanan (kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) merumuskan dan
menghitung denda tinggi bagi pembakar hutan. Salah satu alasan adalah dampak
kerusakan top soil (lapisan tanah teratas) sebagai akibat dari
kebakaran.
“Pengadilan akan bertanya, bagaimana membuktikan bahwa
lapisan tanah itu masih bagus, subur, atau sudah rusak sebelum kebakaran
terjadi?”
Ini yang membuat banyak dakwaan pidana hanya mentok di
hukuman penjara bulanan dan denda ringan di bawah Rp 10 miliar. Yang kena pun
bukan pemilik perusahaan.
Sebab itu, kita pantas bergembira ketika Mahmakah Agung (MA)
akhirnya menolak kasasi perusahaan kelapa sawit, PT Kallista Alam, terkait
pembakaran lahan seluas 1.000 hektar di “Rawa Tripa” Kabupaten Nagan Raya,
Aceh. Perusahaan itu harus membayar ganti pemulihan lahan senilai Rp366 miliar.
Direktur Penyelesaian Sengketa di Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, Ragil, mengatakan pihaknya belum menerima putusan final
tersebut, tapi informasi bahwa MA menolak kasasi PT Kallista Alam tersebut
sudah benar adanya.
“Kami sedang mempersiapkan langkah eksekusi terhadap ganti
rugi sebesar Rp366 miliar lebih itu, ada juga mekanisme bahwa pengadilan akan
memanggil para pihak untuk menyelesaikannya, tapi kami akan pelajari lagi
karena terkait masalah lahan yang tidak boleh digarap,” kata Ragil kepada pers,
Sabtu (12/9).
Kita tentu berharap kerja keras Kepolisian yang menyeret 133
orang dan 7 perusahaan menjadi tersangka pembakar hutan dibarengi dengan proses
peradilan yang fair dan tegas. Peradilan yang komprehensif, tidak sebatas
melihat pembakaran hutan hanya berefek kabut asap tapi juga bencana lingkungan
pertanahan. (NB)
Boks:
Sanksi Ringan Bagi Pembakar Hutan
Pasal 108 UU Nomor 39/2014 tentang Perkebunan:
Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang membuka dan/atau
mengolah lahan dengan cara membakar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar
Pasal 78 UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan:
Pelaku pembakar hutan dikenai hukuman beragam dari satu
hingga 15 tahun penjara dengan denda Rp50 juta sampai Rp1,5 miliar.
Pasal 116 UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup:
(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh,
untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan
kepada:
badan usaha; dan/atauorang yang memberi perintah untuk
melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin
kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja
atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha,
sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak
pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara
sendiri atau bersama-sama. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar