ad

Senin, 28 September 2015

Tujuh Perusahaan Tersangka Pembakar Hutan




Saban tahun selalu saja kabut asap menyelimuti Sumatera dan Kalimantan. Sepertinya tidak ada tindakan tegas terhadap pelaku pembakar hutan yang jadi pangkal sebab kabut asap yang kiat pekat. Saatnya penegak hukum tegas.
=============


Pembakaran hutan tahunan mencapai titik kritis. Pemerintah berusaha tegas terhadap para pembakar hutan yang mengakibatkan langit Kalimantan dan Sumatera disesaki asap yang mengganggu penerbangan dan kesehatan.  Kepolisian pun menetapkan 133 orang dan tujuh perusahaan sebagai tersangka pembakar hutan/lahan. Ketujuh perusahaan tersebut beroperasi di Sumatra Selatan dan Kalimantan Tengah. Adakah sanksi tegas dan menjerakan terhadap para tersangka?

“Secara keseluruhan kami telah menetapkan 140 tersangka, tujuh di antaranya adalah korporasi. Tadi pagi juga sudah ada yang ditangkap,” kata Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Badrodin Haiti dalam konferensi pers di Kantor Presiden, Jakarta, pertengahan pekan lalu.

Ketujuh perusahaan itu masing-masing PT RPP di Sumatera Selatan, PT BMH di Sumsel, PT RPS di Sumsel, PT LIH di Riau, PT GAP di Kalimantan Tengah, PT MBA di Kalimantan Tengah, dan PT ASP di Kalteng. Selain menetapkan ketujuh perusahaan itu sebagai tersangka, Badrodin mengatakan ada 20 perusahaan lainnya yang berada dalam proses penyidikan.

Yang menjadi dasar hukum dalam proses penyidikan adalah Undang-Undang Perkebunan 39 tahun 2014 pasal 108, Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 pasal 78, dan UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 116.

“Saya menyarankan agar pemerintah selaku regulator memberikan sanksi tambahan bagi perusahaan-perusahaan yang tidak beriktikad baik ini dengan memberikan blacklist sehingga ke depan permohonan perizinan usaha yang sama bisa ditolak,” ujar Badrodin.

Hal senada disampaikan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya. Ia  mengatakan harus ada penegakan hukum paralel. Arti kata, suatu pihak yang dijadikan tersangka oleh kepolisian dalam ranah pidana, bisa dikenai sanksi administratif dan gugatan perdata oleh pemerintah.

“Karena itu, ada sembilan gugatan perdata yang tengah kami persiapkan. Kami juga siapkan sanksi administratif dengan menyesuaikan data kepolisian. Tidak lama itu, sebulan ini kami selesaikan,” kata Siti Nurbaya pekan lalu. Sanksi administratif berupa tiga macam, yakni paksaan penghentian kegiatan, membekukan izin usaha, hingga pencabutan izin usaha.

Aktivis lingkungan menilai kelemahan aparat hukum dalam menangani isu lingkungan serta sanksi hukuman yang relatif ringan sebagai penyebab berulangnya kasus pembakaran hutan dari tahun ke tahun. Bahkan, kini semakin banyak kasus pembakaran hutan.

Aktivis koalisi pemantau pengrusakan hutan (Eyes on the forest) di Provinsi Riau, Afdhal Mahyuddin, mengatakan, dirinya menyambut baik niat pemerintah untuk menindak tegas perusahaan-perusahaan yang terbukti membakar hutan, tapi dia skeptis upaya itu dapat membuat efek jera.

Direktur Eksekutif lembaga Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) di Provinsi Riau, Rico Kurniawan, juga mengatakan sanksi selama ini berhenti pada pernyataan dan tanpa tindak lanjut konkret.

"Ada tiga perusahaan di Riau yang dikenai vonis. Meskipun vonisnya ringan, tapi titik api berkurang jauh di lahan konsesi perusahaan-perusahaan itu. Namun, perusahaan yang dinyatakan sebagai tersangka pada 2013 dan 2014, tahun ini mereka membakar lagi. Artinya, vonis harus diterapkan dan bukan sekadar pepesan kosong," kata Rico.

Pencabutan izin perusahaan pembakar lahan, menurutnya, akan memberikan efek sekaligus mematahkan anggapan bahwa izin diberikan pada perusahaan yang memiliki 'bekingan'.

"Diduga kuat bahwa penerbitan izin itu penuh dengan bekingan. Ini harus diterobos. Kita mengharapkan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup berani bertindak," tambahnya.

Sanksi harus benar-benar tegas dan membuat jera. Pembakaran hutan tidak hanya mengakibatkan kabut asap yang mengakibatkan ribuan warga Sumatera dan Kalimantan menderita penyakit infeksi saluran pernafasan akut. Pembakaran hutan pun merusak kesuburan tanah.

“Penegak hukum banyak yang hanya mengandalkan bukti materiil. Kesulitan yang dihadapi adalah ketika menjawab konter dari pembela perusahaan pembakar hutan, soal dampak kerusakan terhadap lingkungan dan kualitas tanah,” kata seorang peneliti pertanahan di Institut Pertanian Bogor.

Repotnya, Indonesia belum memiliki pengadilan khusus untuk menangani perkara kejahatan lingkungan. Ambil contoh, ketika pihak Kementerian Kehutanan (kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) merumuskan dan menghitung denda tinggi bagi pembakar hutan. Salah satu alasan adalah dampak kerusakan top soil (lapisan tanah teratas) sebagai akibat dari kebakaran.
“Pengadilan akan bertanya, bagaimana membuktikan bahwa lapisan tanah itu masih bagus, subur, atau sudah rusak sebelum kebakaran terjadi?”

Ini yang membuat banyak dakwaan pidana hanya mentok di hukuman penjara bulanan dan denda ringan di bawah Rp 10 miliar. Yang kena pun bukan pemilik perusahaan.

Sebab itu, kita pantas bergembira ketika Mahmakah Agung (MA) akhirnya menolak kasasi perusahaan kelapa sawit, PT Kallista Alam, terkait pembakaran lahan seluas 1.000 hektar di “Rawa Tripa” Kabupaten Nagan Raya, Aceh. Perusahaan itu harus membayar ganti pemulihan lahan senilai Rp366 miliar.

Direktur Penyelesaian Sengketa di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ragil, mengatakan pihaknya belum menerima putusan final tersebut, tapi informasi bahwa MA menolak kasasi PT Kallista Alam tersebut sudah benar adanya.

“Kami sedang mempersiapkan langkah eksekusi terhadap ganti rugi sebesar Rp366 miliar lebih itu, ada juga mekanisme bahwa pengadilan akan memanggil para pihak untuk menyelesaikannya, tapi kami akan pelajari lagi karena terkait masalah lahan yang tidak boleh digarap,” kata Ragil kepada pers, Sabtu (12/9).

Kita tentu berharap kerja keras Kepolisian yang menyeret 133 orang dan 7 perusahaan menjadi tersangka pembakar hutan dibarengi dengan proses peradilan yang fair dan tegas. Peradilan yang komprehensif, tidak sebatas melihat pembakaran hutan hanya berefek kabut asap tapi juga bencana lingkungan pertanahan. (NB)


Boks:

Sanksi Ringan Bagi Pembakar Hutan

Pasal 108 UU Nomor 39/2014 tentang Perkebunan:

Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar

Pasal 78 UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan:

Pelaku pembakar hutan dikenai hukuman beragam dari satu hingga 15 tahun penjara dengan denda Rp50 juta sampai Rp1,5 miliar.

Pasal 116 UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup:

(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:

badan usaha; dan/atauorang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar