ad

Rabu, 17 Juli 2013

Antropologi Mengenai Kekerasan

Oleh Prof. Dr. Achmad Fedyani Saifuddin


Tindak Kekerasan

Dalam konteks waktu yang panjang, kekerasan dilihat sebagai bagian dari konflik antar kelompok yang terutama dilihat sebagai instrumen seleksi evolusi (Simmel, 1908). Dari perspektif evolusi, perang adalah sesuatu yang berkembang dalam rentang waktu dari agresivitas manusia yang tak mengenal aturan hingga manusia modern, di mana manusia sudah dilengkapi dengan peralatan perang mekanistik. Simmel (1908) memandang kekerasan sebagai kejadian sinkronik, sebagai suatu tipe hubungan sosial antar individu dan kolektivitas yang berlaku untuk mencapai tujuan spesifik di tingkat antar kelompok maupun di dalam suatu kelompok.

Dahulu konflik, perang, dan kekerasan merupakan tiga tema yang merupakan satu kesatuan kajian, namun kini kajian tersebut mengalami fragmentasi menjadi tiga pendekatan utama yang dapat dibedakan satu sama lain. Pertama, pendekatan operasional, yang berfokus pada etik antagonism khususnya dengan penyebab material dan politik dari konflik. Kedua, pendekatan kognitif, yang berpusat pada emik dari konstruksi budaya mengenai perang dalam suatu masyarakat. Ketiga, pendekatan pengalaman, yang memandang kekerasan sebagai suatu yang terkait dengan subyektivitas individual, suatu yang menstrukturkan kehidupan keseharian warga masyarakat, sekalipun dalam kondisi tidak adanya perang yang sebenarnya.

Pendekatan antropologi mengenai konflik berasal dari konsep biologi – kompetisi. “Kompetisi terjadi apabila dua atau lebih individu, penduduk, atau spesies secara simultan menggunakan sumber daya yang sama, yang sebenarnya atau secara potensi terbatas: (Spielman 1991:17). Kekerasan berasal dari kompetisi, namun tidak niscaya atau secara otomatis terjadi.

Jika tindakan kekerasan dikaitkan dengan hakekat dasar konflik, ada tiga kondisi yang penting kita perhatikan. Pertaman, kekerasan tidak pernah sepenuhnya idiosinkratik. Kekerasan selalu mengekspresikan hubungan tertentu dengan pihak lain dan tindakan kekerasan tidak menargetkan seseorang secara acak (meskipun individu korban seakan dipilih sebagai representasi dari kategori yang lebih besar). Kedua, kekerasan tidak pernah sepenuhnya tak bermakna bagi pelaku. Sebagai tindakan sosial, kekerasan tidak pernah sepenuhnya terlepas dari rasionalitas instrumental. Ketiga, kekerasan tidak pernah secara total merupakan tindakan yang terisolir. Kekerasan merupakan produk dari proses historis yang dapat ditelusuri ke belakang dalam waktu.

Kekerasan dapat merupakan stategi yang sukses bagi banyak aktor yang berbeda-beda kepentingan. “Perang ibarat kue yang lezat. Setiap orang ingin menikmati sepotong: politisi, penjahat, spekulator, sejarawan, dermawan, pembunuh, filsuf, peneliti, jurnalis” (Ugresic 1995). Bahkan, sebagian pelaku rasional menggunakan kekerasan sebagai strategi untuk merebut kekuasaan dan keuntungan materi.

Kekerasan tidak selalu berdimensi fisik, melainkan juga dimensi simbolik. Kekerasan simbolik tidak menggunakan kekuatan fisik terhadap orang lain semisal memukul, melukai, atau bahkan membunuh, melainkan dengan penggunaan simbol yang mengandung makna tertentu seperti mengancam (tindakan performatif). Bahkan korban kekerasan dapat menggunakan simbol tertentu untuk melawan pelaku kekerasan. Dalam konteks ini bahkan dalam situasi di mana kekuasaan tidak seimbang, kekerasan tidak secara otomatis dapat dianggap sebagai strategi yang paling efisien.

Imajinasi Kekerasan

Kekerasan kolektif berulang-ulang dengan pola yang sama menunjukkan adanya model budaya yang terbentuk secara historis, yang apabila kondisi untuk mencetuskan kembali kekerasan itu pada waktu berikutnya, kekerasan itu kembali terjadi. Dengan kata lain, ada imajinasi mengenai kekerasan yang “terpelihara” dari waktu ke waktu, dan dari generasi ke generasi. Sebagian ahi memasukkan gejala ini ke dalam konsep ingatan kolektif.

Prosesnya adalah dibangkitkannya kembali ingatan atas kejadian kekerasan pada masa lampau, dan di reinterpretasi pada masa kini, dan kekerasan yang terjadi kini menghasilkan nilai simbolik yang kelak digunakan dalam konfrontasi pada masa yang akan datang. Dari perspektif ini kekerasan tidak hanya merupakan sumber bari memecahkan masalah konflik atas isu-isu material, tetapi juga merupakan sumber bagi pembentukan dunia, untuk mengkaji klaim suatu kelompok atas kebenaran dan sejarah terhadap klaim lawannya.

Imajinasi kekerasan juga tergambar pada spanduk-spanduk, slogan, gambar mural, lagu, puisi, dan sebagainya. Pada masa kini, ketika media TV demikian marak di seluruh dunia pesan-pesan imajiner kekerasan sampai di ruang-ruang paling pribadi rumah kita, disaksikan bukan hanya oleh orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Kekerasan yang terjadi di sutu daerah yang jauh, didekatkan sedemikian seolah terjadi di hadapan rumah kita.

Pendekatan sosial budaya mengadopsi perspektif analitik, komparatif agar dapat memberikan sumbangan bagi pemahaman dan eksplanasi kekerasan. Tindakan kekerasan tidaklah muncul mendadak tanpa historisitas, makna, dan reflektivitas. Imajinasi kekerasan bukanlah konstruksi yang tercerai berai, melainkan produk ingatan kolektif yang berlaku sebagai model budaya. Kekerasan diwujudkan seraya diimajinasikan oleh manusia secara sosial dan refleksif di bawah kondisi-kondisi kesejaharan atas dasar alasan-alasan yang konkret.

Perlu kita tekankan bahwa kekerasan sebagai sumber daya budaya hanya digunakan pada tahap terakhir dari proses. Dengan kata lain, jalan terakhi itu tidak harus terjadi, atau sebenarnya dapat dicegah.

Kekerasan dalam masyarakat kita adalah ciri kemajemukan yangtinggi dalam berbagai konteks faktual seperti geografi, ras, etnik, agama, dan golongan sosial-ekonomi. Integrasi kita masih bersifat integrasi sosial, belum integrasi kebudayaan. Toleransi, kerukunan, saling menghargai pendapat, belum menjadi kebudayaan kita. Kita lebih berorientasi pada kebudayaan lokal, kelompok, golongan, dan sebagainya. Ketika negara kita dibentuk sebagai kesepakatan politik, hukum nasional yang memayungi semua warga negara secara adil tidak berkembang sejalan dengan penguatan negara. Ketika demonstrasi dibuka seluas-luasnya (tanpa perhitungan yang cermat), masyarakat bangsa kita, termasuk negara, berada dalam kondidi gamang dan serba tidak siap. Kondisi ini menjadi celah yang potensial bagi terjadinya konflik dan kekerasan. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar