ad

Kamis, 18 September 2014

Artidjo dan Ketakutan Koruptor


Ilustrasi (Dok. MI)
Ilustrasi (Dok. MI)
Penulis: Achmad Fauzi, Hakim Pengadilan Agama Tarakan, Kalimantan Utara

PUTUSAN kasasi Mahkamah Agung terhadap Luthfi Hasan Ishaaq membuyarkan pesta pora para koruptor. Pesta yang selama ini berjalan meriah lantaran masih banyak koruptor yang belum terjerat hukum tiba-tiba berubah menyerupai pemakaman. Majelis kasasi yang diketuai Hakim Agung Artidjo Alkostar itu memvonis Luthfi dari 16 tahun menjadi 18 tahun penjara.

Bahkan, hak politik mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera itu untuk dipilih dalam jabatan publik juga dicabut. Putusan tersebut jelas menimbulkan suasana berkabung bagi para pencoleng uang negara. Namun, sebaliknya, itu disambut sukacita oleh seluruh masyarakat Indonesia yang anti terhadap korupsi.

Putusan spektakuler perkara korupsi yang mencabut hak politik untuk tidak dipilih dari jabatan publik sejatinya bu kan kali pertama dijatuhkan. Di akhir pergantian tahun 2013, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta juga pernah mengirimkan `bingkisan' kepada koruptor dengan memperberat vonis mantan Kepala Korlantas Polri Irjen Djoko Susilo. Djoko diadili dalam kasus korupsi pengadaan simulator SIM di Korlantas Polri dan tindak pidana pencucian uang. Hukumannya diperberat majelis tingkat banding menjadi 18 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan. Di samping itu, hak politik Djoko juga dicabut. Putusan tersebut kemudian diperkuat di tingkat kasasi.

Vonis terhadap Luthfi dan Djoko tersebut seakan mengirim berita duka bagi para koruptor agar segera bertobat dan menginsyafi perbuatan mereka. Apalagi, pengadilan tipikor kini sedang mengarusutamakan `Artidjo effect' dengan menutup pintu pengampunan bagi siapa saja yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

Artidjo effect Perubahan arus utama vonis koruptor di pengadilan tipikor akhir-akhir ini sejatinya tak bisa dilepaskan dari pengaruh sosok Artidjo Alkostar. Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung itu menginspirasi dalam proses penegakan hukum karena perannya sebagai hakim dan pemberantas korupsi di Indonesia sangat berarti. Selama ini Artidjo dikenal tegas menghukum pelaku tindak kejahatan luar biasa seperti korupsi dan narkotika.

Bersama MS Lumme dan Mohammad Askin, majelis kasasi yang diketuainya pernah memperberat vonis Angelina Sondakh terkait dengan kasus korupsi Kementerian Pendidikan Nasional serta Kementerian Pemuda dan Olahraga. Mantan Putri Indonesia itu divonis 12 tahun penjara, hukuman denda Rp 500 juta, serta pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti senilai Rp12,58 miliar dan US$2,35 juta (sekitar Rp27,4 miliar).

Mencari ketenaran di kalangan hakim memang pantangan yang harus dihindari.Terlebih jabatan hakim ialah jabatan sunyi yang hanya bisa berbicara melalui putusannya. Namun, sosok Artidjo tenar bukan tanpa sebab. Ia telah menyegarkan kembali dunia peradilan tatkala persepsi masyarakat terhadap hakim masih miring.

Artidjo seakan telah memberikan suara keadilan di tengah masyarakat yang tak mampu lagi bersuara. Memuji Artidjo bukan berarti mengultuskan sosok. Jauh daripada itu, tersimpan spirit yang harus diterjemahkan segenap hakim di Indonesia agar sikap ketegasan, konsistensi, dan integritas menjadi jiwa terbentuknya hakim digdaya. Mengerikan Disadari, potret evolusi korupsi di Indonesia kian mengerikan. Bukan perkara perubahan siasat dari cara sederhana menjadi lebih canggih, melainkan juga kualitas pelaku yang melibatkan pejabat dan elite politik.

Kondisi itu diperparah dengan persebaran virus korupsi pada generasi muda. Berdasarkan kualifikasi umur, mulai banyak koruptor muda yang menduduki jabatan strategis harus mendekam di penjara.Regenerasi koruptor telah membiak secara berjenjang pada berbagai level jabatan dan rentang usia.

Transparency International Indonesia (TII) menyebut Indonesia sebagai negara ke-114 dari 177 negara dengan indeks persepsi korupsi terendah. Berdasarkan hasil survei tersebut, dari 177 negara yang menjadi lokus survei, 70% negara di dunia memiliki skor di bawah 50. Ironisnya, hanya sedikit negara yang memiliki mitigasi risiko korupsi cukup baik. Indonesia termasuk dalam kualifikasi negara dengan indeks persepsi korupsi rendah dengan skor 32 atau setara dengan Mesir.

Bertolak dari kondisi tersebut, putusan Mahkamah Agung itu seperti oase di tengah maraknya putusan bebas koruptor yang kering dari rasa keadilan. Peletakan dasar berpikir tentang definisi efek jera yang telah dibangun hakim MA harus juga dibangun semua hakim di segala tingkatan (Editorial Media Indonesia, 17/9).

Begitu pula ketajaman nurani serta kecakapan nalar perlu jadi `yurisprudensi' bagi hakim tipikor lainnya di daerah.Hakim harus memiliki spirit total perang melawan korupsi jika tidak mau dikatakan turut serta menimbulkan kerugian negara melalui putusannya.

Namun, mengharap semua pengadilan tipikor mampu melahirkan putusan bersejarah tentu tidak mudah mengingat masih ada beberapa hakim tipikor yang mendapat sorotan tajam, seperti bertemu pihak beperkara dan terindikasi suap atas beberapa vonis mencurigakan. Karena itu, pengawasan berjenjang terhadap pengadilan tipikor harus berjalan efektif. Apalagi, mayoritas kasus yang ditangani kerap bersinggungan dengan pemegang kekuasaan sehingga tidak menutup kemungkinan muncul intervensi yang dapat menggoyahkan independensi.

Pengarusutamaan definisi efek jera secara baik dan benar perlu terus disebarkan ke seluruh hakim. Apabila hal itu telah menjadi paradigma, tak lama akan menjelma menjadi kultur baik yang secara tak langsung akan menyingkirkan penyakit korupsi, termasuk menyingkirkan hakim tipikor yang `nakal' karena masih berkubang dalam lautan suap.

Penulis nyaris yakin vonis berat tersebut menimbulkan gelombang ketakutan bagi koruptor. Apalagi, semua pengadilan tipikor sudah berada dalam kerangka yang sama sehingga di samping memberikan efek jera, mereka juga mengirim pesan pelajaran bagi pejabat lain untuk tidak korupsi. (http://news.metrotvnews.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar