Sampai Sabtu (1/8/2015), Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan
bahwa jumlah daerah yang memiliki calon tunggal dalam Pilkada serentak 2015
berkurang menjadi 11 daerah dari sebelumnya 12 daerah. Penurunan jumlah yang
rasanya belum terlalu berarti.
Sebanyak 11 daerah yang masih memiliki calon tunggal
adalah Kabupaten Asahan (Sumatera Utara), Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat),
Kota Surabaya dan Kabupaten Blitar (Jawa Timur), Kabupaten Purbalingga (Jawa
Tengah), Kabupaten Pacitan (Jawa Timur), Kabupaten Minahasa Selatan (Sulawesi
Utara), Kota Mataram (NTB), Kota Samarinda (Kalimantan Timur), Kabupaten Timor
Tengah Utara (NTT) dan Kabupaten Pegunungan Arfak (Papua Barat). Sementara itu
ada daerah yang sama sekali tidak memiliki pasangan calon, yakni Kabupaten
Bolaang Mongondow Timur di Sulawesi Utara. Selain itu dari 825 pasangan calon yang
telah mendaftar ke KPU, sebanyak 157 calon di antaranya adalah petahana.
Meruyaknya calon tunggal di Pilkada tidak terlepas dari
betapa sulitnya seseorang maju lewat jalur independen. Sebetulnya bila disimak
lebih dalam, tidak semata-mata lantaran faktor kesulitan jalur independen. Ada
faktor lain yang tidak kalah berpengaruh kuat, yaitu mahar yang dimesti dibayar
si calon ke partai politik. Banyak parpol seperti mengelak bahwa mereka tidak
menetapkan mahar. Tapi, tak sedikit pula yang mengakui terang-terangan dengan
alasan kebiasaan ini sudah lama berlangsung.
Terlepas mengelak atau mengakui, bau-bau mahar itu
tetap saja ada. Seorang kenalan dari Sumatera Barat mengaku harus merogoh kocek
dalam-dalam , sekitar Rp25 miliar, untuk maju memperebutkan kursi orang nomor
Sumatera Barat. Dia pun terpaksa menggandeng konglomerat lokal Tanah Minang
itu. Dana sebanyak itu untuk mahar 9 parpol yang bakal mengusungnya. Sedangkan
lawannya, sang petahana, hanya didukung dua parpol.
Cerita lain datang dari seorang kenalan yang hendak maju
ke Pilkada Provinsi Kaltara. Kenalan yang sempat memimpin sebuah kabupaten
selama dua periode dan membesarkan parpol yang lahir di era reformasi ini
mengaku mundur dari pencalonan orang nomor satu di provinsi pemekaran dari
Provinsi Kalimantan Timur tersebut. Dia mengaku kecewa berat lantaran partai
yang dibesarkannya di tingkat wilayah provinsi baru itu pada detik-detik
terakhir pendaftaran mengusung calon lain dari pusat.
Dengan iklim pencalonan semacam itu, dapatkah kita
berharap bakal lahir pemimpin yang mengerti persoalan dan menyejahterakan
rakyat? Rasanya muskil. Pemimpin yang lahir tentulah pemimpin yang hanya
memikirkan bagaimana mengembalikan dana besar yang telah dikeluarkannya untuk
nyalon. Dan, akan semakin banyak bupati, walikota dan gubernur menghuni Rutan
KPK.
Aku jadi teringat nasehat bijak Rasulullah Muhammad
saw: janganlah kalian menyodorkan diri untuk jadi pemimpin karena tanggungjawab
sepenuhnya pada diri kalian. Sementara bila kalian dicalonkan oleh akar rumput
(umat), maka sebagian tanggung jawab berada di akar rumput yang memilih.
Sayang sekali akar rumput kita sulit menyodorkan calon pemimpin
yang dikenalnya, calon yang mengenal mereka, dan calon yang sungguh-sungguh
punyai integritas. Sekali waktu seorang kawan berujar: “Memang nggak ada calon berkualitas dan
berintegritas di kabupaten ini. Kok empat calon yang maju nggak dikenal rakyat dan tak pernah punya karya serta kepedulian
pada rakyat.”
Ya, di tengah proses pendaftaran peserta Pilkada
serentak tahun ini Parpol benar-benar panen duit dan rakyat cukup menonton
saja.
Budi
Nugroho
Orang
pinggiran Bekasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar