ad

Minggu, 12 Juli 2015

Adakah Etika Jual-Beli Data Nasabah


(esai ini ada di WARTA KOTA, 8 Juli 2015, halaman 7)
Sepagi itu, sebuah panggilan masuk ke ponselku. Nomornya masih asing, belum tersimpan. Biasanya kubiarkan saja panggilan nomor-nomor asing yang masuk ke ponselku. Tapi, kali ini, langsung kuangkat, terdengar suara merdu seorang wanita.
Lalu wanita yang memperkenalkan diri dari sebuah perusahaan pemberi utang itu meminta sedikit keluangan waktu dariku. Aku tak langsung menyetujui, sedikit berpikir.
Wanita itu terus nyerocos, “Kami menawarkan pinjaman, bisa empat kali lipat dari limit kartu kredit yang Bapak punyai.”
Astaga. Yang masuk akal saja, mau kasih utang sampai empat kali dari limit kartu kredit. Apakah wanita pemasar itu tidak berpikir bagaimana kemampuan mencicil si nasabah? Apakah tidak takut bila kemudian cicilan kucuran utangnya macet di tengah jalan? Apakah mesti seagresif itu pemasaran kucuran utang kepada pemegang kartu kredit?
Di tengah kecamuk berbagai pertanyaan itu, satu pertanyaan penting muncul di benakku: dari mana mereka tahu nomor ponselku, dan dari mana pula mereka tahu bila aku adalah pemegang kartu kredit.
Sontak, cerocosan wanita itu kupotong: “Maaf, semua urusan kartu kredit sudah hapus dari kamus kehidupan saya.”
Spontan, wanita itu minta maaf dan berterimakasih telah bersedia mengangkat panggilan ponsel.
Ya, dari mana mereka memperoleh data pemegang kartu kredit berikut nomor ponselnya. Medio 2012 lalu, aku sempat membuka rekening tabungan rupiah di sebuah bank plat merah. Dalam beberapa bulan berselang, saldo rekeningku menunjukkan trend naik. Lalu, bank plat merah itu memberiku bonus kartu kredit. Dan, sampai sekarang tidak pernah kuaktifkan.
Aku pun jadi teringat sekitar enam bulan setelah buka rekening itu, panggilan asing sempat pula masuk ke ponselku. Rupanya dari perusahaan asuransi. Dengan bujuk rayu, akhirnya aku terperangkap asuransi itu. Tanpa banyak bicara, setiap kali ada transfer masuk, langsung kutarik sampai saldo tersisa di bawah nilai premi. Agak repot memang.
Lantaran tuntutan pekerjaan, kemudian kuminta isteriku membuka rekening di bank lain (juga plat merah). Lalu-lintas transfer-tarik di rekening isteriku ini relatif tidak jauh berbeda dibanding rekeningku. Bersyukur, ponsel isteriku tidak pernah diganggu-ganggu oleh panggilan para pemasar asuransi atau pemberi utang yang cenderung menjerumuskan pengutang.
Tampaknya ada kelakuan yang berbeda pada orang-orang dari dua bank plat merah itu. Yang satu begitu mudah menyebarkan (menjual) data nasabah ke perusahaan asuransi dan pemberi utang tanpa mengindahkan privasi nasabah. Tak peduli lagi etika.
Yang satu lagi, orang-orang bank plat merah yang rata-rata nasabahnya retail wong cilik itu terasa rapat-rapat menyimpan data nasabah. Entah lantaran patuh pada etika relasi bank-nasabah, entah karena perusahaan asuransi dan pemberi utang yang underestimate pada kekuatan wong cilik. Entahlah, tanyakan saja pada nurani orang-orang di bank plat merah yang relatif aman dari gonjang-ganjing kredit macet itu. (Budi N. Soemardji, orang pinggiran Bekasi)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar