(esai ini ada di WARTA
KOTA, 8 Juli 2015, halaman 7)
Sepagi itu, sebuah panggilan masuk ke ponselku.
Nomornya masih asing, belum tersimpan. Biasanya kubiarkan saja panggilan
nomor-nomor asing yang masuk ke ponselku. Tapi, kali ini, langsung kuangkat,
terdengar suara merdu seorang wanita.
Lalu wanita yang memperkenalkan diri dari sebuah
perusahaan pemberi utang itu meminta sedikit keluangan waktu dariku. Aku tak
langsung menyetujui, sedikit berpikir.
Wanita itu terus nyerocos, “Kami menawarkan pinjaman,
bisa empat kali lipat dari limit kartu kredit yang Bapak punyai.”
Astaga. Yang masuk akal saja, mau kasih utang sampai
empat kali dari limit kartu kredit. Apakah wanita pemasar itu tidak berpikir
bagaimana kemampuan mencicil si nasabah? Apakah tidak takut bila kemudian
cicilan kucuran utangnya macet di tengah jalan? Apakah mesti seagresif itu
pemasaran kucuran utang kepada pemegang kartu kredit?
Di tengah kecamuk berbagai pertanyaan itu, satu
pertanyaan penting muncul di benakku: dari mana mereka tahu nomor ponselku, dan
dari mana pula mereka tahu bila aku adalah pemegang kartu kredit.
Sontak, cerocosan wanita itu kupotong: “Maaf, semua
urusan kartu kredit sudah hapus dari kamus kehidupan saya.”
Spontan, wanita itu minta maaf dan berterimakasih telah
bersedia mengangkat panggilan ponsel.
Ya, dari mana mereka memperoleh data pemegang kartu
kredit berikut nomor ponselnya. Medio 2012 lalu, aku sempat membuka rekening
tabungan rupiah di sebuah bank plat merah. Dalam beberapa bulan berselang,
saldo rekeningku menunjukkan trend naik. Lalu, bank plat merah itu memberiku
bonus kartu kredit. Dan, sampai sekarang tidak pernah kuaktifkan.
Aku pun jadi teringat sekitar enam bulan setelah buka
rekening itu, panggilan asing sempat pula masuk ke ponselku. Rupanya dari
perusahaan asuransi. Dengan bujuk rayu, akhirnya aku terperangkap asuransi itu.
Tanpa banyak bicara, setiap kali ada transfer masuk, langsung kutarik sampai saldo
tersisa di bawah nilai premi. Agak repot memang.
Lantaran tuntutan pekerjaan, kemudian kuminta isteriku
membuka rekening di bank lain (juga plat merah). Lalu-lintas transfer-tarik di
rekening isteriku ini relatif tidak jauh berbeda dibanding rekeningku. Bersyukur,
ponsel isteriku tidak pernah diganggu-ganggu oleh panggilan para pemasar
asuransi atau pemberi utang yang cenderung menjerumuskan pengutang.
Tampaknya ada kelakuan yang berbeda pada orang-orang
dari dua bank plat merah itu. Yang satu begitu mudah menyebarkan (menjual) data
nasabah ke perusahaan asuransi dan pemberi utang tanpa mengindahkan privasi
nasabah. Tak peduli lagi etika.
Yang satu lagi, orang-orang bank plat merah yang
rata-rata nasabahnya retail wong cilik itu terasa rapat-rapat menyimpan data
nasabah. Entah lantaran patuh pada etika relasi bank-nasabah, entah karena
perusahaan asuransi dan pemberi utang yang underestimate
pada kekuatan wong cilik. Entahlah, tanyakan saja pada nurani orang-orang di
bank plat merah yang relatif aman dari gonjang-ganjing kredit macet itu. (Budi N. Soemardji, orang pinggiran Bekasi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar