SATU hal menarik ketika Presiden Joko Widodo
menyampaikan kritik di hadapan para kepala negara dan kepala pemerintahan yang
mengikuti perhelatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) di Jakarta belum
lama ini. Bahwa Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional bertindak tidak adil
terhadap negara-negara berkembang. Sayangnya, kritik seakan menjadi blunder
manakala Presiden Joko Widodo meminta para menteri terkait untuk mencari
pinjaman (baca: utang) ke dua organisasi keuangan dunia tersebut. Entah
blunder, paradoks atau sebuah ironi.
Dari waktu ke waktu, siapapun
presidennya, utang terus saja menggunung. Kini utang Indonesia sudah mencapai ribuan
triliun rupiah. Utang tersebut sepertinya dipelihara terus-menerus oleh
pemerintah. Tidak ada ada di benak mereka bagaimana agar utang lunas
secepatnya. Yang ada di benak sebagian besar mereka, bagaimana kekuasaan itu
bertahan atau dilanjutkan oleh keturunan atau orang yang sekelompok dengannya.
Di tengah lilitan utang yang banyak, ada begitu banyak kekayaan Negara kita
yang jumlahnya ribuan kali lipat dari jumlah utang. Tetapi tragis dan ironis,
kekayaan kita itu dengan mudahnya disedot penjarah asing. Aksi penjarah asing
tersebut cukup gampang, mereka cukup memberikan dukungan kekuasaan kepada para
pengkhianat bangsa.
Dengan sumber daya alam yang
melimpah dan sumber daya manusia yang banyak, semestinya Indonesia telah
menjadi negara besar yang maju dan rakyatnya sejahtera. Namun, di tingkat Asia
Tenggara saja posisi kita di bawah Singapura yang miskin sumber daya alam
dengan luas wilayah lebih kurang hanya seluas Jakarta. Sumber daya alam yang
melimpah di negeri ini kadang-kadang juga tidak menjadi berkah. Gas alam
diekspor ke luar negeri dengan harga jual yang lebih rendah daripada harga jual
untuk pasar dalam negeri. Hutan dieksploitasi secara luar biasa untuk mengejar
perolehan devisa yang pada akhirnya hanya mendatangkan kerusakan ekosistem alam
yang disusul dengan bencana (banjir;longsor).
Negara pun mendekati kebangkrutan.
Pemerintah seolah tidak memiliki kemampuan lagi mencetak duit, selain memeras
pajak dari rakyat, karena ekspor sudah bukan lagi turun tapi nyungsep. Dolar yang
menguat terhadap Rupiah membuat perekonomian Indonesia jalan di tempat, bahkan terjerembab.
Banyak pegusaha me-hold dulu
investasi, karena situasi politik yang kacau balau, dan makin maraknya korupsi,
serta tidak adanya kepastian hukum.
Menurut Sekjen Asosiasi Pembayar
Pajak, Sasmita, 70 persen stuktur APBN dibiayai dari pajak. Ironisnya, dana untuk
membiayai APBN itu bukan dari wajib pajak konglomerat, tapi pajak rakyat
jelata. Karena, wajib pajak besar baru itu 20 persen yang tertagih.
Sungguh ironis. Pajak disedot dari
rakyat jelata dan hukum pun hanya tegak untuk rakyat miskin. Lihatlah kasus
seorang nenek yang “ketahuan menyimpan”
beberapa batang kayu jati yang akhirnya divonis satu tahun penjara dan denda
Rp500 juta. Miris rasanya melihat praktik hukum di negeri ini
Ironi ini tidak terlepas dari ulah
para penguasa (termasuk aparatur pajak) dan penegak hukum (polisi, jaksa,
advokat dan hakim) yang seenaknya sendiri memainkan pasal-pasal undang-undang
yang berlaku.
Di kepolisian berlaku adagium:
lapor
kehilangan kambing justru harus mengeluarkan ongkos senilai seekor sapi.
Lalu di kalangan advokat:
Maju tak
gentar membela yang bayar.
Lantas di tangan jaksa:
Wani
piro mengubah tuntutan hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup.
Dan di palu hakim:
Sediakan
segepok uang buat peroleh vonis paling ringan.
Untuk keluar dari ironi, kita
harus mengeluarkan oknum-oknum penegak hukum memperjual-belikan pasal-pasal
hukum demi pundi-pundi pribadi. Kita harus akhiri era kekuasaan rekening gendut
di sejumlah oknum polisi hitam. Kita mesti akhiri anekdot “pangkat
boleh brigadir tapi penghasilan jenderal”. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar