Acapkali, tatkala mati kata mati gaya, aku
iseng nongkrong-nongkrong di ujung pertigaan kampung tak jauh dari gubuk yang
kutinggali. Di situ, aku mengenali satu sosok yang sudah bertahun-tahun akrab
berdiri di tengah-tengah pertigaan. Sosok yang saban hari mengatur arus
perjalanan mobil-mobil pribadi yang lalu-lalang di pertigaan –terutama pada jam
berangkat dan pulang kerja. Beberapa tahun belakangan, pertigaan itu cukup
ramai karena kampung di mana aku tinggal sekarang ditumbuhi perumahan-perumahan
orang-orang bermobil.
Kehadiran sosok yang biasa disapa Pak Ogah di
pertigaan pinggiran Bekasi itu cukup membantu para pemobil agar tidak terjebak
kemacetan yang bikin bosan dan sebal.
Aku sedikit tercenung. Sehari-hari sosok itu seperti
cuma beraktivitas mengatur lalu-lalang mobil bermodal priwitan. Penghasilannya hanya bergantung pada kerelaan recehan
yang diulurkan oleh pemobil yang berbaik hati. Dan, tidak sedikit pula pemobil
yang tidak mengulurkan recehan. Tapi, bertahun-tahun begitu, sosok ini ternyata
masih mampu bertahan hidup di tengah himpitan harga kebutuhan pokok yang terus
membubung dan melambung.
Dalam ketercenungan, aku tersadar dan meyakini
benar bahwa rezeqi itu urusan Tuhan, sebagaimana jodoh dan kematian juga urusan
Yang Maha Kuasa. Yang penting, sebagai manusia, kita mesti bergerak menjemput dan
mengetuk pintu-pintu rezeqi.
Sosok di pertigaan jalan kampung itu hanya
potret kecil sosok manusia yang mau bergerak mengetuk pintu rezeqi. Prinsipnya
pun amat sederhana: memberi dulu menerima kemudian. Sosok ini berusaha ikhlas
memberi “jasa” melancarkan arus
lalu-lalang. Imbalan, itu urusan lain.
Secara tidak langsung, sosok-sosok yang juga
banyak muncul di tempat lain di seputaran Jabotabek ini menerapkan ajakan bijak
secara nyata: “Apabila salah seorang di antara kalian menjalankan
agama dengan baik baik maka setiap kebaikan yang ia lakukan dicatat sepuluh
kali lipat hingga 700 kali lipat, dan setiap amal keburukan yang diakukan hanya
dicatat semisalnya (dihitung satu).” (HR
Bukhari-Muslim)
Satu poin menarik dari sosok-sosok di
pertigaan pada persimpangan rawan macet ini, mereka berusaha memberi dulu jasa
melancarkan arus lalu-lalang. Masa sih, perbuatan baik gak ada yang balas? Dan
benar saja, dari pemobil yang hatinya berkata “ulurkan
recehan pada sesama”, mereka mampu bertahan hidup. Terlepas
dari kebenaran niat mereka, yang pasti setiap perbuatan baik akan berbuah
kebaikan pula.
Mari kita mulai dari diri kita untuk tidak
lagi terpaku pada pakem ujaran “terima kasih” lalu berubah ke pakem “kasih terima”. Arti kata, setiap langkah kita berangkat dari niat memberi
dulu menerima kemudian. Sedikit kita membelokkan ucapan populer Presiden
Amerika Serikat (1961-1963) John F. Kennedy: tanyalah apa yang dapat Anda
berikan kepada negara (baca: masyarakat). Dengan memberikan sesuatu kepada
masyarakat, kita pun akan menerima sesuatu dari masyarakat. (Budi N. Soemardji, orang pinggiran Bekasi)
catatan:
esai ini dimuat oleh koran WARTA KOTA, Rabu, 29 April 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar