Sebanyak tujuh negara anggota ASEAN setuju membentuk Jaringan ASEAN untuk Perlindungan Saksi dan Korban atau ASEAN Network for Witness and Victim Protection.
Dijelaskan dalam siaran pers yang diterima hukumonline,Rabu (13/8), Pembentukan jaringan itu dilakukan dalam sebuah deklarasi bersama bernama Deklarasi Kuta Bali yang lahir dalam pertemuan kedua interregional negara kawasan Asia Tenggara yang bertema “Memperkuat Hubungan Regional dalam Melindungi Saksi dan Korban dalam Tindak Kejahatan”.
"Jaringan ini dibentuk untuk meningkatkan kerjasama antara negara ASEAN serta badan-badan sektoral yang relevan, khususnya untuk perlindungan saksi dan korban kejahatan, termasuk kejahatan transnasional terorganisasi," kata Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Abdul Haris Semendawai di Kuta Bali, Rabu (13/8).
Keberadaan Jaringan diharapkan bisa menambah informasi bagi negara-negara ASEAN terkait perlindungan saksi dan korban. Jaringan juga berfokus mempromosikan penelitian bersama dan pelatihan bagi personel lembaga perlindungan saksi dan korban dari negara-negara Asia Tenggara.
Jaringan yang rencananya akan bertemu setahun sekali ini juga akan membangun database dan panduan regional, termasuk praktik-praktik perlindungan yang baik. Juga memperkuat dan menyelaraskan peraturan serta kebijakan dalam mekanisme perlindungan.
"Jaringan ini dipastikan akan terlibat dalam mitra dialog ASEAN serta organisasi internasionl dan regional seperti PBB bidang narkoba dan kejahatan (UNODC), Interpol, Europol, dan organisasi internasional lain," kata Semendawai.
Dari sepuluh negara ASEAN yang diundang, hanya tujuh yang hadir, yakni Indonesia, Kamboja, Laos, Myanmar, Filipina, Singapura, dan Thailand. Tiga negara yang absen adalah Malaysia, Brunei Darussalam, dan Vietnam. "Tapi, secara prinsip ketiga negara itu setuju karena mereka juga sudah datang pada pertemuan tahun lalu," kata dia.
Jaringan ini sudah dipersiapkan sejak 2012 melalui tiga kali pertemuan. Pertemuan pertama pada 2012 negara-negara ASEAN mampu menelurkan pernyataan bersama tentang kerjasama internasional perlindungan saksi dan korban kejahatan transnasional terorganisasi. Pada pertemuan kedua November 2013, negara ASEAN juga membuahkan pernyataan bersama tentang penguatan kerjasama regional perlindungan saksi dan korban.
"Dan pada pertemuan ketiga ini kami akhirnya sepakat membentuk Jaringan ASEAN untuk Perlindungan Saksi dan Korban," katanya. Rencananya, jaringan ini akan menjadi bagian dari badan sektoral ASEAN.
Pertemuan perdana Jaringan ASEAN akan dilakukan pada 2015 dengan agenda mengembangkan kerangka acuan, membuat peraturan, tata kerja, dan rencana kerja dua tahunan. Pertemuan pertama akan kembali dilangsungkan di Indonesia. "Namun, pertemuan selanjutnya akan dilakukan di setiap negara secara bergantian," kata dia. Pemerintah Indonesia, khususnya LPSK, dipercaya untuk menyediakan Sekretariat Jaringan ASEAN ini.
Keberadaan jaringan dinilai penting dalam menyelesaikan kasus-kasus besar yang melibatkan banyak negara. Seperti kasus perdagangan orang dan terorisme. "Seringkali ada saksi atau korban yang harus menghadiri sidang di negara lain," katanya.
Korban teroris juga terkadang harus memberikan kesaksian di negara lain. Padahal, kata Semendawai, biaya transportasi saksi tak ditanggung pemerintah. Ini bertolak belakang dengan tersangka atau terdakwa yang dibiayai pemerintah.
"Saksi harus memakai anggaran pribadi. Kalau mereka tak hadir bisa membuat perkara kekurangan bukti dan menjadikan tersangka/terdakwa dibebaskan dan membuat kasus tak terungkap," jelasnya.
Pada konteks itu, kata Semendawai, Jaringan ASEAN bisa sangat berperan dalam melindungi saksi dan korban. Apalagi tidak semua negara memiliki lembaga perlindungan saksi dan korban. Beberapa bahkan hanya diakomodasi dalam sebuah program di bawah kepolisian atau kementerian. (www.hukumonline.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar