ad

Selasa, 24 Juni 2014

Meminimalisir Kejahatan Cyber Crime dan Cyber Sabotage di Indonesia

Linda Rahmawati - detikNews

Pertumbuhan media massa di Indonesia, selalu bergandeng erat dengan pelbagai inovasi teknologi informasi. Pertumbuhan tersebut kemudian melahirkan satu formulasi tentang perangkat media yang terbarukan.

Cyber media adalah beberapa deret perkembangan media yang tumbuh bak jamur di musim hujan. Dulu, manusia hanya memperoleh informasi melalui koran, radio, televisi, dan media konvensional lainnya, tetapi kini cyber media menawarkan gaya baru yang lebih ‘jelita’ seperti ekspektasi berita yang cepat dengan tidak mengabaikan substansi dari sebuah karya jurnalisme itu sendiri.

Namun perkembangan teknologi informasi tersebut tidak berbanding lurus dengan agenda regulasi dan pengaturan yang diterapkan. Hari ini, kita dihadapkan pada arus besar cyber media yang sangat cepat. Sejenis gelombang informasi tanpa batas berwajah getas. Setidaknya jika kita mencoba membedah persoalan tersebut secara intim paling tidak ada dua masalah krusial.

Pertama, persoalan cyber crime. Jika dianalisis lebih jauh, istilah cyber crime merupakan tindakan pidana kriminal yang dilakukan pada teknologi internet melalui proses penyerangan atas fasilitas umum di dalam cyber space maupun data pribadi yang besifat penting maupun dirahasiakan. Ia serupa petir yang meruntuhkan gaya simentris dalam kebenaran sebuah data maupun informasi. Sehingga wajar jika kemudian harian Kompas 9 Juni 2012 pernah melansir bahwa Indonesia adalah negara dengan kejahatan dunia maya terbesar di dunia.

Model kejahatan tindak pidana di atas dapat dibedakan menjadi off-line crime, semi on-line, dan cyber crime. Tindakan ini masing-masing memiliki karakteristik tersendiri yang khas. Potret kejahatan tersebut acapkali dilakukan atas dua hal yakni motif intelektual yakni kejahatan yang dilakukan hanya untuk kepuasan sendiri, dan telah mampu merekayasa dan mengimplementasikan bidang teknologi informasi, dan yang kedua adalah motif ekonomi dimana kejahatan-kejahatan tersebut digunakan untuk mencari keuntungan pribadi dan kelompok tertentu yang merugikan orang lain secara ekonomi.

Kedua, adalah kejahatan cyber sabotage. Sebuah kejahatan baru yang mulai ‘dikekalkan’ dengan membuat gangguan, perusakan, atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet. Dalam sebuah studinya, Arya Vedakrana (2011) seorang pakar industri mengatakan cyber sabotage merupakan mudus yang paling ditakuti oleh hampir industri besar di dunia. Setidaknya modus-modus ‘cantik’ yang dimainkan bervariasi mulai dari pos jaringan berbahaya dan fitnah sosial, sepanjang jalan sampai ke informasi konsumen, hacking, dan bocornya sistem dari perusahan seperti nomor kartu atau rahasia industri.

Dua kejahatan tersebut tentu merupakan ancaman nyata bagi keselamatan ekonomi, sistem sosial dan sebagainya. Sebab dunia maya adalah dunia dimana ruang-ruang diskursif hadir tanpa batas. Cyber media adalah perangkat yang menggunakan gugus the free market of ideas. Ketika semua orang berhak berkomentar dan menelurkan gagasan tanpa batas maka disanalah kejahatan akan lahir. Sebab kekebasan akan melahirkan gaya kejahatan yang baru. Dan begitupun seterusnya.
Meminimalisir Kejahatan

Dua persoalan di atas sesungguhnya merupakan gejala yag lahir bukan tanpa sebab. Setidaknya ada variabel lain yang mendorong percepatan pertumbuhan cyber crime dan cyber sabotage itu sendiri. Salah satunya adalah terkait dengan konfigurasi aturan yang dimainkan. Sejak beberapa tahun yang lalu, salah satu yang ditempuh pemerintah Indonesia adalah peraturan berupa Undang-undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Namun praktis penerapan UU tersebut belum berjalan secara maksimal karena kepastian hukum selalu tidak berbanding lurus dengan penindakan dan pertumbuhan kejahatan dalam dunia maya. Di sini untuk meminimalisir kejahatan dalam dunia maya ada beberapa langkah yang penting untuk dilakukan.

Pertama, membutuhkan implementasi hukum yang tegas dan tidak pandang bulu serta dibutuhkan UU yang lebih baik. Setidaknya pada level sangsi dan penerapan. Sebab selama ini dalam UU No 11 Tahun 2008, kejahatan dunia maya hanya dimasukkan sebagai kejahatan ringan. Jika yang di andalkan hanya legitimasi UU tersebut maka diaspora kejahatan dalam dunia maya akan sukar untuk dihilangkan dari pusaran republik ini. Sehingga kekuatan hukum baru untuk setidaknya meletakakan kejahatan dunia maya sebagai kejahatan ekstra ordinary crime menjadi satu kunci ideal yang penting untuk dihadirkan.

Kedua, cyber crime dan cyber sabotage adalah kejahatan global. Maka kerja sama lintas negara menjadi penting. Dua kejahatan di atas lagi-lagi tidak terjadi di Indonesia, sebagai kejahatan global pemfungsian gerakan-gerakan berbasis kerja sama lintas sektoral negara baik bilateral maupun multilateral adalah jawaban paling sederhana untuk mengurangi problem kejahatan dalam dunia maya. Indonesia perlu belajar kepada negara yang telah sukses meminimalisir persoalan kejahatan dunia maya. Utamanya yang terkait dengan cyber crime dan cyber sabotage.

Ketiga, perlu ada semacam pencegahan dini dari pemerintah. Dengan upaya sosialisasi pendidikan melek dunia maya dan terkait aturan yang telah dibuat. Sebab hari ini, hanya sedikit masyarakat di republik ini yang paham betul tentang amanat UU No. 11 Tahun 2008 utamanya di bidang sangsi pelanggaran dunia maya. Sehingga pemahaman yang utuh melalui proses kerja sosialisasi UU dan literasi dunia maya ke tengah-tegah masyarakat adalah pencegahan dini yang mesti harus dilakukan secara optimal dan berkesinambungan.

Keempat, dibutuhkan cyber law UU yang memiliki keistimewaan untuk mengatur dunia cyber. Sebab kejahatan dunia maya harus diletakkan sebagai kejahatan ekstra ordinary crime. Setidaknya negara yang telah memeliki UU keistimewaan terkait masalah ini, salah satunya adalah Malaysia, dan negara Paman Sam. Bahkan kini Singapura juga mempunyai The Electronic Act 1998 serta Electronic Communication Privay Act (ECPA) kemudian AS memiliki Communication Assistance For Law Enforcement Act dan Telecommunication Service 1996. Semua UU tersebut praksis dapat mengurangi indeks kejahatan dunia maya yang benar-benar nyata.

Pada titik inilah, maka keempat strategi tersebut hanyalah upaya untuk mengembalikan harkat dan martabat semua ruang-ruang diskursif di republik ini, utamanya dunia maya. Jangan sampai Negara Indonesia yang terhormat, tercoreng oleh kejahatan dunia maya yang bikin ‘kiamat’.

*) Linda Rahmawati adalah pemerhati masalah cyber dan media sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar