ad

Senin, 28 Maret 2016

Siamang yang Semakin Terancam




 Selain mati diburu, satwa liar yang dilindungi acap menjadi obyek koleksi orang-orang berduit atau sedikit punya kuasa. Sebab itu, banyak gajah mati tak lagi bergading atau siamang mengisi kebun binatang mini milik seorang pejabat.
==============

Sejumlah warga Desa Naga Timbul, Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, melihat sejumlah satwa liar yang dilindungi berada di kebun binatang mini di sekitar kantor desa. Mereka lantas melapor ke pihak yang berwenang. Dan Satuan Polisi Reaksi Cepat (SPORC) Brigade Macan Tutul Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara, pertengahan Maret lalu langsung meluncur ke lokasi. Benar, petugas SPORC menemukan dan lalu menyita sejumlah satwa dilindungi. Rupanya tidak hanya di satu lokasi, tapi di dua lokasi.

Pertama, penyitaan sejumlah satwa dilindungi di Desa Naga Timbul, Kecamatan Tanjung Morawa, Deli Serdang. Dari sini, SPORC mengamankan dua siamang, satu seruli, dan satu kakaktua jambul kuning milik Kepala Desa, U Daulay.

Lokasi kedua, di Kelurahan Pulo Brayan, Kecamatan Medan Barat, Medan, petugas menyita dua elang dan dua siamang. Satwa-satwa ini dipelihara dekat Kantor Lurah Pulo Brayan. Sang Lurah, S Susilo, dianggap bertanggung-jawab atas kepemilikan tanpa izin ini. Seluruh satwa diamankan di Markas SPORC Deli Serdang.

Sebagaimana dilanisr Mongabay.com, Hendra Ginting, Komandan SPORC Brigade Macan Tutul, mengatakan, penyitaan satwa dari dua lokasi ini dilakukan setelah pihaknya mendapatkan informasi ada oknum aparatur negara memelihara binatang dilindungi tanpa izin.

Bersama Joko Iswanto, Kepala Seksi Perlindungan, Pengawetan, dan Perpetaan BBKSDA Sumut, Hendra Ginting terjun ke lokasi. Setelah itu mereka langsung menyita. Kondisi satwa cukup memprihatinkan, hidup dalam kandang sempit.

Ginting mengatakan, akan ada penyidikan apakah satwa-satwa ini murni dipelihara, atau menjual lagi. “Kita masih pendalaman, apakah murni untuk dipelihara, atau sengaja dipajangkan untuk dijual.”

Keadaan satwa yang ditemukan di dua lokasi tadi masih lumayan. Nasib tragis tiga ekor orangutan yang ditemukan mati terbakar di lahan perkebunan yang sengaja dibakar di Jalan Arif Rahman Hakim, Gang Makmur,  Kelurahan Belimbing, Bontang Barat, Bontang, Kalimantan Timur, awal Maret lalu. Kematian primata ini terungkap setelah diposting seseorang di media sosial dengan melampirkan foto-foto yang cukup tragis. Terlihat jelas tiga orangutan dengan ukuran berbeda tergeletak dengan kondisi badan hangus terbakar.

Kasus ini menjadi perhatian serius setelah diberitakan sejumlah media internasional. Pemerintah yang tidak ingin dikecam karena gagal melindungi satwa liar langsung mendorong polisi menyidik kasusnya.

Kapolres Bontang AKBP Hendra Kurniawan mengaku sudah memeriksa 11 saksi, termasuk pemilik lahan. Mereka sedang mendalami apakah tiga bangkai itu memang mati terbakar atau ada faktor lain sebelum ditemukan mati dalam kondisi hangus. Sejauh ini penyidik belum  menetapkan tersangka. "Kalau terbukti ada unsur kesengajaan, pelaku kena pasal berlapis. Undang-undang Konservasi SDA dan Ekosistemnya, juga tentang Instruksi Presiden terkait pelarangan pembakaran lahan," kata Hendra.

Kabid Humas Polda Kaltim AKBP Fajar Setiawan menjelaskan lahan yang dibakar itu dulunya komplek permukiman warga. Karena sudah lama tidak ditempati, kawasan itu sering didatangi orangutan untuk mencari makan. Sejauh ini belum ada laporan konflik yang melibatkan manusia dengan orangutan.

Direktur Operasional Centre for Orangutan Protection (COP), Ramadhani, memastikan ketiga orangutan itu berjenis kelamin betina. Berdasarkan pemeriksaan gigi dan teksturnya, diyakini orangutan itu masing-masing berusia 20 tahun, 10 tahun dan bayi yang usianya belum setahun.

Ramdhani mengungkapkan bahwa ketiga hewan itu tergeletak di atas lahan perkebunan milik warga. Dia mengaku sedikit terlambat mengetahui kematian ini, karena ketika mengecek ke lokasi, ketiga bangkai orangutan itu sudah dikubur. "Kami terlambat. Yang mengubur Balai Taman Nasional Kutai dan Polresta Bontang," kata Ramdhani belum lama ini.

Ketiga bangkai itu, kata dia, dikubur dalam satu lubang yang berjarak 15 meter dari lokasi kematian. Saat ini kuburan itu sudah dibongkar untuk kepentingan visum oleh polisi. COP juga sudah menyediakan dokter khusus untuk mengautopsi ketiga bangkai orangutan itu.

Selain menyediakan dokter, dia menyarankan polisi mendatangkan saksi ahli. Menurutnya, keterangkan saksi ahli sangat perlu untuk mengetahui kebiasaan hidup sosial orangutan. Sebab, sampai kini keberadaan orangutan di lahan yang terbakar masih misterius. Setahu dia, orangutan akan lari bila melihat api dan asap. Seandainya tidak ada pohon sebagai penopang lari, orangutan dikenal cukup cepat bila berada di darat. "Di Bontang cukup minim konflik antara orangutan dan manusia. Nanti saksi ahli bisa menjelaskan kenapa orangutan bisa ke lahan pribadi warga," ujarnya.

Kepala Balai Taman Nasional Kutai, Erly Sukrismanto, membenarkan pihaknya langsung mengubur ketiga bangkai itu tak lama setelah ditemukan. Penguburan itu dilakukan setelah olah TKP dilakukan polisi. Alasan utama penguburan karena kondisi ketiga bangkai itu sudah membusuk yang rentan menularkan penyakit.

Ketiga bangkai orangutan itu ditemukan di dekat kawasan PT Pupuk Kaltim atau sekitar hutan lindung Bontang. DiIa menduga ada unsur kesengajaan pada kematian orangutan itu. "Pemilik lahan membantah membakar ataupun menyuruh orang. Tapi di lokasi ada temuan ini sengaja dibakar. Inilah yang masih ditelusuri polisi," ungkapnya.

Kasus ini harus dijadikan pelajaran semua pihak. Ke depannya, Erly meminta siapapun yang ingin membakar lahan harus melapor ke Dinas Kehutanan atau instansi terkait lainnya. Sebab, saat ini masih banyak satwa langka dan dilindungi yang hidup di kawasan Taman Nasional Kutai. 

Hal  senada disampaikan Yahya Rayadin dari Pusat Penelitian HutanTropis Universitas Mulawarman, Samarinda. Dia menilai wajar banyak kecurigaan kalau ketiga hewan itu sengaja dibakar. Menurut analisisnya, masyarakat di areal perkebunan kini cenderung memandang orangutan sebagai hama. Hewan ini dituding sebagai penyebab kerusakan tanaman kelapa sawit. Karena tidak memiliki pemahaman tentang perilaku hewan ini, warga masyarakat cenderung mengusirnya dengan cara membunuh.

"Sekarang tinggal pemerintah membentuk satgas di level pemerintah daerah. Satgas ini salah satu tujuan memberi pemahaman tentang prilaku satwa yang dianggap mengganggu. Biar masyarakat tahu apa yang harus diperbuat," kata Yahya.

Dia berharap satgas yang dibentuk tidak sekadar formalitas. Satgas ini harus diisi orang profesional yang mau bekerja dan mengerti tentang satwa. Ditekankannya, tidak ada alasan pemerintah menolak pembentukan satgas ini karena sudah diatur dalam Permen Kehutanan Nomor 48 Tahun 2008.

Ke depan satgas ini tentu tidak hanya memberi pemahaman tapi juga harus mampu mendidik warga masyarakat yang mengoleksi satwa-satwa yang dilindungi.  Seperti pada kasus di Sumatera Utara, Irma Hermawati, Legal Advisor Wildlife Crime Unit (WCU), mengatakan, saatnya pemilik satwa dilindungi diproses hukum hingga ke pengadilan. “Jangan sebatas penyerahan, kecuali pemilik datang menyerahkan secara sukarela,” katanya.

Ia mengatakan, jika bicara hukum ekonomi, semua terjadi karena banyak permintaan. Jadi, harus ada keseriusan menuntaskan kasus sampai meja hijau, bukan hanya penyitaan.

Selama ini, pemilik menyerahkan, tanpa ada proses hukum. Satwa sitaan masuk pusat rehabilitasi atau BKSDA. Pemilik tidak bertanggungjawab. “Ini akan terus terjadi, tak ada efek jera.”  

Kuncinya, harus ada ketegasan dalam menegakkan aturan –baik terhada mereka yang mengoleksi tanpa izin maupun mereka yang membunuh dengan alasan apapun. (Zainul Arifin Siregar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar