KOMISIONER
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang baru telah
bekerja. Tidak seperti biasanya, mereka, entah apa pertimbangannya,
memulainya dengan bertukar pikiran antarsesama organ yang memiliki
kewenangan memberantas korupsi. Bahkan, entah apa pertimbangannya pula,
mereka juga bertukar pikiran dengan Mahkamah Konstitusi (MK).
Apakah semua itu merupakan refleksi arah, gairah, dan suasana baru dari komisioner baru di medan pemberantasan korupsi? Hanya merekalah yang tahu. Apakah kenyataan itu juga merupakan refleksi kesadaran betapa korupsi tidak dapat dihadapi oleh KPK semata? Mungkin hanya mereka pulalah yang tahu. Satu hal, sejarah korupsi adalah sejarah tentang relasi kekuasaan politik dan ekonomi yang diselewengkan.
Determinasi PolitikGagalnya pembahasan rancangan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi pada masa pemerintahan Burhanuddin Harahap karena berbagai sebab politik, berantakannya penyidikan beberapa dugaan tindak pidana korupsi pada masa Pak Suprapto sebagai jaksa agung, lumpuhnya implementasi gagasan pembenahan birokrasi pada masa pemerintahan Bung Karno, serta rapuhnya pemberantasan korupsi pada pemerintahan Pak Harto; semua itu jelas. Semuanya memastikan satu hal: hasrat dan lingkungan politik menjadi faktor determinan gagalnya usaha pemberantasan korupsi.
Nalarnya, kesungguhan politik pemberantasan korupsi harus dikristalkan menjadi hasrat bangsa. Hasrat ini tampaknya mengkristal di tengah gelombang reformasi, dan hebatnya membuahkan terbentuknya KPK. Karena berinduk pada hasrat itu, KPK dibuat istimewa dalam lalu lintas kewenangan dan hubungan antarorgan pemberantasan korupsi.
Heboh, heboh, dan heboh menjadi, kalau bukan ciri, kondisi sine quo non setiap kali satu kasus korupsi diungkap KPK. Gegap gempita, untuk tak mengatakan gaduh, selalu begitu, mengiringi setiap satu atau beberapa kasus korupsi diungkap KPK. Gegap gempita itu sedemikian hebatnya, mengerdilkan sistem hukum yang mengakui hak setiap orang mendudukan hukum atas kasus yang menimpa dirinya. Gegap gempita itu menghasilkan stereotipe sosiologis yang mengerikan. Orang yang diduga sebagai pelaku, betapapun belum jelas hukumnya, serta-merta distereotipekan sebagai koruptor. Yang ada di seberang penilaian itu, segera terstereotipe sebagai koruptor menyerang balik, dan lainnya, yang sama mengerikannya dengan fitnah.
Cara itu mungkin dianggap ampuh. Kenyataannya, dari waktu ke waktu laporan kepada KPK tentang dugaan terjadinya tindak pidana korupsi, tak menemukan titik turun. Fakta menunjukkan sebaliknya. Korupsi terus meningkat dan menggila. Menariknya, fakta itu ternalar sedemikian rupa sehingga menghasilkan spektrum, KPK muncul sebagai satu-satunya organ andal, tanpa kekurangan, dan terus bergerak maju, tampak melampaui hasrat awalnya. Sayangnya, perlahan tapi pasti, sebagian orang tersangka, mulai mengenali kelemahan kerja penyidikan KPK.
Ketidakcukupan hukum, karena tak cukup bukti awal, dan keliru dalam prosedur penyidikan menjadi rangsangan koreksi atas penyidikan beberapa kasus di KPK. Sebagian berhasil, dan sebagian gagal. Tapi poinnya, menarik. Gegap gempita itu akhirnya terlabeli, yang cukup beralasan, beraroma propaganda.
Arahnya Propaganda tak mungkin tak mengecoh, memiliki batas memukau, berhasil pada suatu waktu, tetapi akan gagal pada waktu yang lain. Semakin sering digunakan, semakin sering pula memperlihatkan kelemahannya. Kala kelemahannya semakin sering dikenali, keandalan propaganda akan merosot. Propaganda, betapapun dapat dijadikan amunisi utama dalam politik pemberantasan korupsi dan tentu dibutuhkan, jelas tak cukup.
Birokrasi, suka atau tidak, karena eksistensinya berada di jantung urusan kehidupan nasional, terutama politik, hukum dan ekonomi, harus dibenahi. Intensitas usaha meningkatkan derajat akuntabilitas setiap aspek teknis di dalamnya, pantas digelorakan. Evaluasi performa birokrasi, tak mungkin dikualifikasi sebagai kerja mengada-ada. Usaha ini, karena sifat dan tujuannya, harus dinilai sebagai langkah nonhukum pidana, penting, dalam medan pertempuran melawan korupsi.
Gelora ini, mau atau tidak, harus dipertimbangkan sebagai trek tambahan dalam medan pemberantasan korupsi. Langkah-langkah pembaruan tatanan tata laksana birokrasi, mutlak digencarkan. Konsekuensinya aparatur nonhukum pidana, terasa masuk akal diberi tanggung jawab, strategis, dalam medan ini.
Bebankan ganti rugi seketika kepada pejabat yang menyelewengkan wewenangnya, dan bebaskan pejabat tersebut dari jabatannya seketika itu juga, cukup masuk akal dipertimbangkan sebagai langkah lain, bersifat administratif, yang hebat. Langkah ini, harus diakui, memiliki pijakan konstitusional. Mengapa?
Konstitusi hanya menggariskan hasil pemeriksaan diserahkan kepada DPR dan lembaga lainnya, tanpa menyebut secara eksplisit bentuk tanggung jawab atas pelanggaran itu. Pada titik ini, DPR, tentu bersama pemerintah, secara konstitusional berwenang menentukan sifat derivatif pelanggaran itu; administratif dan pidana.
Dalam konteks itu, mengualifikasi pelanggaran tersebut untuk pertama kalinya bersifat administratif, logis, karena locus dan tempus-nya. Pelanggaran itu terjadi di lingkungan organ administratif, dan terjadi pada saat penyelenggaraan administrasi negara. Konsekuensinya, organ administratif pulalah yang berwenang, untuk pertama kalinya, dalam menindaknya.
Organ apakah yang diberi kewenangan itu, khususnya untuk menuntut ganti rugi atas kerugian negara dalam konteks administratif itu? Ada baiknya Kementerian Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan) dipertimbangkan sebagai organ penuntut ganti rugi itu. Agar efektif, beralasan bila Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan diintegrasikan ke dalam Kemenpan. Setelah langkah administratif berakhir, dan tidak membuahkan hasil, maka sanksi pidana, yang dalam sifat akademisnya merupakan pukulan terakhir yang mematikan, digunakan.
Satu hal, jangan kualifikasi suap kepada aparatur administrasi, sebagai pelanggaran administrasi. Tindakan ini, karena sifatnya, harus dikualifikasi serta-merta sebagai tindak pidana. KPK-lah yang memimpin pertempuran di medan pidana. Untuk kepentingan itu, sebagian kewenangan eksklusif KPK tak usah diusik, sembari menata, tentu dengan argumen yang rasional, kewenangan lain. Kewenangan menyadap harus terus dipelihara dan penggunaannya tak perlu digantungkan pada persetujuan institusi lainnya, apa pun institusi itu.
Namun, tentu demi kemurniannya, komisioner KPK dibebani tanggung jawab atas aktivitas penyadapan. Beralasan dalam konteks itu, kobocoran data, khususnya nonkorupsi, yang diperoleh dari sadapan dikualifikasi sebagai tindak pidana. Hasil sadapan, dengan demikian, digunakan semata-mata untuk penegakan hukum, tidak yang lain, betapapun masuk akalnya yang lain itu.
Perpaduan senjata administrasi dan pidana, saatnya, dipertimbangkan sebagai arah baru pertempuran melawan korupsi. Sanksi administratif, ganti rugi dan pembebasan dari jabatan, mungkin mesti dipertimbangkan sebagai senjata utama pertempuran melawan korupsi, dalam arah baru itu, sembari menempatkan pidana sebagai senjata akhir, yang sama mematikannya.
MARGARITO KAMIS
Doktor Tata Negara
Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
Apakah semua itu merupakan refleksi arah, gairah, dan suasana baru dari komisioner baru di medan pemberantasan korupsi? Hanya merekalah yang tahu. Apakah kenyataan itu juga merupakan refleksi kesadaran betapa korupsi tidak dapat dihadapi oleh KPK semata? Mungkin hanya mereka pulalah yang tahu. Satu hal, sejarah korupsi adalah sejarah tentang relasi kekuasaan politik dan ekonomi yang diselewengkan.
Determinasi PolitikGagalnya pembahasan rancangan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi pada masa pemerintahan Burhanuddin Harahap karena berbagai sebab politik, berantakannya penyidikan beberapa dugaan tindak pidana korupsi pada masa Pak Suprapto sebagai jaksa agung, lumpuhnya implementasi gagasan pembenahan birokrasi pada masa pemerintahan Bung Karno, serta rapuhnya pemberantasan korupsi pada pemerintahan Pak Harto; semua itu jelas. Semuanya memastikan satu hal: hasrat dan lingkungan politik menjadi faktor determinan gagalnya usaha pemberantasan korupsi.
Nalarnya, kesungguhan politik pemberantasan korupsi harus dikristalkan menjadi hasrat bangsa. Hasrat ini tampaknya mengkristal di tengah gelombang reformasi, dan hebatnya membuahkan terbentuknya KPK. Karena berinduk pada hasrat itu, KPK dibuat istimewa dalam lalu lintas kewenangan dan hubungan antarorgan pemberantasan korupsi.
Heboh, heboh, dan heboh menjadi, kalau bukan ciri, kondisi sine quo non setiap kali satu kasus korupsi diungkap KPK. Gegap gempita, untuk tak mengatakan gaduh, selalu begitu, mengiringi setiap satu atau beberapa kasus korupsi diungkap KPK. Gegap gempita itu sedemikian hebatnya, mengerdilkan sistem hukum yang mengakui hak setiap orang mendudukan hukum atas kasus yang menimpa dirinya. Gegap gempita itu menghasilkan stereotipe sosiologis yang mengerikan. Orang yang diduga sebagai pelaku, betapapun belum jelas hukumnya, serta-merta distereotipekan sebagai koruptor. Yang ada di seberang penilaian itu, segera terstereotipe sebagai koruptor menyerang balik, dan lainnya, yang sama mengerikannya dengan fitnah.
Cara itu mungkin dianggap ampuh. Kenyataannya, dari waktu ke waktu laporan kepada KPK tentang dugaan terjadinya tindak pidana korupsi, tak menemukan titik turun. Fakta menunjukkan sebaliknya. Korupsi terus meningkat dan menggila. Menariknya, fakta itu ternalar sedemikian rupa sehingga menghasilkan spektrum, KPK muncul sebagai satu-satunya organ andal, tanpa kekurangan, dan terus bergerak maju, tampak melampaui hasrat awalnya. Sayangnya, perlahan tapi pasti, sebagian orang tersangka, mulai mengenali kelemahan kerja penyidikan KPK.
Ketidakcukupan hukum, karena tak cukup bukti awal, dan keliru dalam prosedur penyidikan menjadi rangsangan koreksi atas penyidikan beberapa kasus di KPK. Sebagian berhasil, dan sebagian gagal. Tapi poinnya, menarik. Gegap gempita itu akhirnya terlabeli, yang cukup beralasan, beraroma propaganda.
Arahnya Propaganda tak mungkin tak mengecoh, memiliki batas memukau, berhasil pada suatu waktu, tetapi akan gagal pada waktu yang lain. Semakin sering digunakan, semakin sering pula memperlihatkan kelemahannya. Kala kelemahannya semakin sering dikenali, keandalan propaganda akan merosot. Propaganda, betapapun dapat dijadikan amunisi utama dalam politik pemberantasan korupsi dan tentu dibutuhkan, jelas tak cukup.
Birokrasi, suka atau tidak, karena eksistensinya berada di jantung urusan kehidupan nasional, terutama politik, hukum dan ekonomi, harus dibenahi. Intensitas usaha meningkatkan derajat akuntabilitas setiap aspek teknis di dalamnya, pantas digelorakan. Evaluasi performa birokrasi, tak mungkin dikualifikasi sebagai kerja mengada-ada. Usaha ini, karena sifat dan tujuannya, harus dinilai sebagai langkah nonhukum pidana, penting, dalam medan pertempuran melawan korupsi.
Gelora ini, mau atau tidak, harus dipertimbangkan sebagai trek tambahan dalam medan pemberantasan korupsi. Langkah-langkah pembaruan tatanan tata laksana birokrasi, mutlak digencarkan. Konsekuensinya aparatur nonhukum pidana, terasa masuk akal diberi tanggung jawab, strategis, dalam medan ini.
Bebankan ganti rugi seketika kepada pejabat yang menyelewengkan wewenangnya, dan bebaskan pejabat tersebut dari jabatannya seketika itu juga, cukup masuk akal dipertimbangkan sebagai langkah lain, bersifat administratif, yang hebat. Langkah ini, harus diakui, memiliki pijakan konstitusional. Mengapa?
Konstitusi hanya menggariskan hasil pemeriksaan diserahkan kepada DPR dan lembaga lainnya, tanpa menyebut secara eksplisit bentuk tanggung jawab atas pelanggaran itu. Pada titik ini, DPR, tentu bersama pemerintah, secara konstitusional berwenang menentukan sifat derivatif pelanggaran itu; administratif dan pidana.
Dalam konteks itu, mengualifikasi pelanggaran tersebut untuk pertama kalinya bersifat administratif, logis, karena locus dan tempus-nya. Pelanggaran itu terjadi di lingkungan organ administratif, dan terjadi pada saat penyelenggaraan administrasi negara. Konsekuensinya, organ administratif pulalah yang berwenang, untuk pertama kalinya, dalam menindaknya.
Organ apakah yang diberi kewenangan itu, khususnya untuk menuntut ganti rugi atas kerugian negara dalam konteks administratif itu? Ada baiknya Kementerian Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan) dipertimbangkan sebagai organ penuntut ganti rugi itu. Agar efektif, beralasan bila Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan diintegrasikan ke dalam Kemenpan. Setelah langkah administratif berakhir, dan tidak membuahkan hasil, maka sanksi pidana, yang dalam sifat akademisnya merupakan pukulan terakhir yang mematikan, digunakan.
Satu hal, jangan kualifikasi suap kepada aparatur administrasi, sebagai pelanggaran administrasi. Tindakan ini, karena sifatnya, harus dikualifikasi serta-merta sebagai tindak pidana. KPK-lah yang memimpin pertempuran di medan pidana. Untuk kepentingan itu, sebagian kewenangan eksklusif KPK tak usah diusik, sembari menata, tentu dengan argumen yang rasional, kewenangan lain. Kewenangan menyadap harus terus dipelihara dan penggunaannya tak perlu digantungkan pada persetujuan institusi lainnya, apa pun institusi itu.
Namun, tentu demi kemurniannya, komisioner KPK dibebani tanggung jawab atas aktivitas penyadapan. Beralasan dalam konteks itu, kobocoran data, khususnya nonkorupsi, yang diperoleh dari sadapan dikualifikasi sebagai tindak pidana. Hasil sadapan, dengan demikian, digunakan semata-mata untuk penegakan hukum, tidak yang lain, betapapun masuk akalnya yang lain itu.
Perpaduan senjata administrasi dan pidana, saatnya, dipertimbangkan sebagai arah baru pertempuran melawan korupsi. Sanksi administratif, ganti rugi dan pembebasan dari jabatan, mungkin mesti dipertimbangkan sebagai senjata utama pertempuran melawan korupsi, dalam arah baru itu, sembari menempatkan pidana sebagai senjata akhir, yang sama mematikannya.
MARGARITO KAMIS
Doktor Tata Negara
Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
Tidak ada komentar:
Posting Komentar