ad

Rabu, 27 Januari 2016

Amdal tak Lengkap, KA Cepat Mulai Dibangun




Proses analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) seharusnya lebih teliti. Minimal dalam dua musim hingga bisa diteliti dampaknya saat terjadi kemarau ataupun penghujan. Bukan dibuat sekadar buat memenuhi syarat administrasi.
===========


Kendati sejumlah pakar menilai bahwa proses kajian Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) belum lengkap, 21 Januari 2016, Presiden Joko Widodo tetap saja melakukan peletakan batu pertama (groundbreaking) tanda dimulainya pembangunan proyek kereta cepat Bandung-Jakarta.

Lokasi groundbreaking berada di kebun teh Walini, Cikalong Wetan, Bandung Barat, Jawa Barat. Saat membuka acara peresmian, Jokowi mengucapkan salam dalam bahasa Sunda. "Sampurasun," ucap Jokowi saat meresmikan kereta cepat di Walini, Bandung Barat, Kamis (21/1). Ucapan Jokowi, langsung disambut meriah oleh ratusan tamu undangan. "Rampesss," jawab tamu undangan.

Dengan peletakan batu pertama itu menegaskan bahwa proyek kereta cepat Jakarta-Bandung sepanjang 142 km dimulai pembanguannya. Kereta cepat ini akan menghubungkan Stasiun Halim Perdanakusuma di Jakarta Timur - Stasiun Tegalluar (seberang Gede Bage) di Bandung, Jawa Barat. Kereta cepat akan melalui 4 stasiun yakni Halim, Karawang, Walini dan Tegalluar. Proyek ini ditargetkan beroperasi pada tahun 2019.

Kereta cepat ini dikerjakan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), patungan Indonesia dan China. Indonesia lewat konsorsium BUMN. yakni PT Kereta Api Indonesia, PT Jasa Marga, PT Wijaya Karya, dan PT Perkebunan Nasional VIII. Sedang China dari Railway International Co. Ltd,–perusahaan kereta api dengan mayoritas saham BUMN China yaitu China Railway Engineering Corporation. Joint Venture Agreement Signing High Speed Railway of Jakarta-Bandung pada pertengahan Oktober 2015 lalu.

Sejumlah pakar menilai bahwa proses kajian Amdal masih banyak kekurangan. “Apa perlu kita buru-buru mengesahkan Amdal ini hanya untuk kepentingan administrasi?” ujar Direktur Kemitraan Lingkungan Dirjen Perhutanan Sosial Kementerian Lingkungan dan Kehutanan (KLHK), Widodo Sambodo, dalam rapat teknis di Jakarta, Senin (18/1), sembari menambahkan, “Kalau tujuan teknis, ada banyak sekali catatan dari saya. Teknologi yang akan dibangun ini apa? Tipe konstruksi kereta api cepat juga harus diperhatikan.”

Dia menolak Amdal yang disusun tim pemrakarsa megaproyek itu karena Walini tempat groundbreaking daerah tangkapan air. “Di sana ada waduk untuk PLTA dan irigasi. Apabila terganggu nanti bagaimana? Solusi bagaimana? Ini jelas terancam.”

Apalagi di situ ada potensi longsor juga. Di Walini, satu kilometer dekat dengan Waduk Jatiluhur. “Itu belum dijelaskan dalam Amdal. Kalau Walini dibangun, catchment area akan terganggu. Air yang ke Jatiluhur dari Citarum juga akan terganggu,” ujar Widodo

Jika sudah begitu, Karawang yang sebagai lumbung padi juga akan terganggu. Sebab, katanya, Walini merupakan sumber air pertanian. Jika PLTA terganggu, bisa saja pasokan listrik sama-sama terganggu.

Kata Widodo lebih lanjut, “Di situ dijelaskan jalur mengikuti ruas tol? Itu ruas yang mana saja? Kalau ruas dari sini sampai Karawang, iya. Tapi sebelah selatan bagaimana? Banyak mengorbankan lahan sawah.”

Menurut Widodo, proses Amdal seharusnya lebih teliti. Minimal dalam dua musim hingga bisa diteliti dampaknya saat terjadi kemarau ataupun penghujan. “Jadi, syarat data harus lengkap. Data sosial, ekonomi, teknis kegiatan maupun teknis ekologis. Kimia, flora, fauna, hidrologis, geologi, lingkungan harus lengkap,” tegasnya.

Selain itu, ditambahkan Widodo, teknologi yang akan digunakan kereta cepat juga belum jelas. Apakah akan menggunakan kecepatan 300 km, 200 km, atau 100 km per jam. “Sebab, keputusan kecepatan kereta akan berpengaruh pada sarana dan prasarana yang tiap kecepatan jelas berbeda,” ujarnya.

Dalam dokumen, katanya, tak jelas, mau membangun kereta api kecepatan berapa km. “Bandung-Jakarta itu 140 km mau dioperasionalkan berapa jam? Apakah kecepatan 300 km per jam berarti hanya setengah jam? Gak mungkin. Artinya itu kalau mau dibangun begitu, jalan itu harus lurus terus kayak runway pesawat. Karena begitu diprogram akan melesat. Saat belokan, akan berisiko. Kapan mau belok, kapan memasuki tunnel, kapan mau flat, itu teknologinya berbeda.”

Pembangunan kereta dengan kecepatan ratusan km per jam itu berteknologi tinggi dan berisiko tinggi. Di dokumen amdal detil teknis tak ada sama sekali. “Kecepatan di ruas mana, pelambatan di titik mana tak jelas. Detail teknis tak ada. Maka saya bilang kalau ini hanya untuk mengejar administrasi izin saja, sok aja (silakan). Saya sebagai penilik gak ikutan,” katanya.

Sementara itu Sarmauli Pangaribuan dari Direktorat Penataan Kawasan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ BPN mengatakan, pemerintah daerah baik provinsi ataupun kabupaten masih membutuhkan payung hukum. Seluruh trase itu harus sudah jelas hingga bisa revisi tata ruang. “Berdasarkan informasi BNPB, Jawa Barat ini rawan longsor. Pergerakan tanah sangat rentan. Soal mitigasi kerawanan bencana harus dieperhatikan.”

Jadi, kata Sarmauli, perlu kepastian trase lebih akurat dari pemrakarsa terutama letak stasiun dan teknologi. “Bukan lintasan kereta api saja. Harus jelas integrasi transportasi di sekitar untuk mendukung kereta api cepat itu sendiri,” ujarnya.

Kereta api cepat, katanya, energi bersumber dari listrik, harus jelas pula peta jaringan energi. Apalagi listrik sangat besar sekitar 60-80 MW. Di dokumen Amdal belum ada. “Kebutuhan listrik masyarakat di Jabar masih belum bisa tercukupi. Ditakutkan nanti dengan kereta api cepat ini menyedot energi hingga masyarakat kekurangan listrik,” tandasnya.

Instruksi Presiden Joko Widodo, Gubernur dan Bupati Jabar menyesuaikan RTRW, namun, kata Pangaribuan, sulit jika zonasi belum jelas. “Kita mengikuti instruksi itu. Hanya apa yang mau kita sesuaikan jika rencana pemrakarsa sendiri belum memberikan masterplan valid? Kalau susah ada, baru kita bisa memerintahkan kepada pemda kabupaten atau kota menyesuaikan tata ruang. Misal, kawasan mana yang dilewati dan lain-lain.”

Dia meminta, pemrakarasa memetakan wilayah lintasan. Bukan hanya peta indikatif tetapi sangat informatif. Pangaribuan  menolak anggapan menghalangi dan menghambat perencanaan. Pembangunan kereta api cepat, katanya, disambut baik tetapi harus memperhatikan lingkungan.

Dia mengatakan, dokumen Amdal pemprakarsa dari segi teknis belum bagus. “Belum layak. Apalagi latar belakang hanya mengatakan berdasarkan Instruksi Presiden. Jadi mereka belum penilaian pengembangan wilayah. Apa sih urgensi kereta api cepat ini? Apakah karena sistem transportasi belum memadai hingga harus dibangun itu? Pertimbangannya bagaimana?”

Kardono, Pakar Udara dan Kebisingan mengatakan, data Amdal seharusnya bisa di-overlay dengan tata guna lahan hingga lima stasiun terlihat. Paparnya, “Dari sisi jalur harusnya di-overlay dengan potensi-potensi yang menyebabkan kebisingan dan udara. Di dokumen ini rona lingkungan ambang kualitas udara kebisingan, tidak pas. Karena data titik-titik pintu tol. Saat mengestimasi dampak, itu rona lingkungan semua sudah di atas baku mutu. Harus dilihat sepanjang jalur. Bukan hanya lalu lintas.”

Dia menyarankan, Amdal dilengkapi pengukuran yang mewakili jalur dan stasiun yang akan dibangun. “Lingkupnya katakanlah dari kegiatan transportasi. Material gak jelas. Kalau ia masuk kan gak semua titik itu akan berdampak. Hanya yang dilewati. Hingga disimpulkan gak ada dampak. Kalau beroperasi di dekat pemukiman, lain. Kegiatan sama belum tentu menimbulkan dampak sama,” katanya.

Di sisi lain, Direktur Utama PT KCIC (PT Kereta Api Cepat Indonesia Cina), Hanggoro Budi Wiryawan, mengatakan beberapa tahapan sudah dilalui, termasuk studi oleh pihak Jepang, Prancis, dan Tiongkok tentang kebutuhan transportasi darat kereta api untuk mengurangi kepadatan jalur udara. Rekomendasi dari Gubernur DKI Jakarta dan Jawa Barat juga telah keluar.

Hanggoro mengakui banyak masalah teknis harus dilengkapi dalam penyusunan Amdal. “Prosedur biasa memang lama. Kami yang nyusun juga banyak. Jelas masukan dari para pakar harus kami lengkapi. Memang banyak dokumen sebenarnya sudah ada tapi karena harus kerja cepat, masih ada dokumen teknis belum kita masukkan. Kami akan lengkapi,” katanya.

Tampaknya isu kereta cepat ini serba cepat, Amdal cepat, peletakan batu pertama pun kilat tanpa harus melihat aspek kebutuhan, teknologi, dampak sosial. (BN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar