ad

Senin, 07 Desember 2015

Wagub Babel Laporkan Dugaan Korupsi ILS


Kadang orang menyadari betapa pentingnya sebuah alat pandu setelah terjadi kecelakaan. Selama aman-aman saja, alat itu dibiarkan antara ada dan tiada.

====================

Wakil Gubernur Bangka Belitung, Hidayat Arsani, membuktikan ucapannya untuk melaporkan dugaan korupsi di balik pengadaan alat Instrument Landing System (ILS) di Bandara Depati Amir, Pangkalpinang, ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hidayat Arsani yang biasa disapa Dayat  langsung mendatangi Bagian Pengaduan Masyarakat (Dumas) KPK Jakarta, Selasa (24/11) siang.

Kepada sejumlah wartawan, Dayat menjelaskan kedatangannya langsung ke KPK setelah memperoleh laporan beberapa maskapai penerbangan bahwa sudah sejak lama peralatan ILS di Bandara Depati Amir Bangka tidak berfungsi. Para pilot mengeluhkan kondisi itu karena tanpa panduan ILS bisa membahayakan proses landing pesawat di bandara.

Mendapat laporan itu, Wagub kemudian melakukan sidak ke bandara, namun pihak Air Nav yang memiliki peralatan tersebut (meski sudah diundang) ternyata tidak mau hadir menemui Wagub untuk mengklarifikasi. Sehingga, muncul dugaan ada yang tidak beres terhadap alat ILS tersebut. Terlebih Wagub yang ingin melihat peralatan itu dan bertanya mengapa tidak difungsikan, justru tidak direspon. Wagub dibiarkan menunggu hingga setengah jam tanpa kejelasan dari pihak Air Nav.

Sikap tak kooperatif Perusahaan Umum (Perum) Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia atau Air Nav Indonesia Distrik Pangkalpinang Provinsi Bangka Belitung inilah yang memancing Hidayat Arsani,Wakil Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, ke Jakarta melaporkan langsung ke KPK. Wagub meminta bantuan KPK untuk menyelidiki kasus dugaan korupsi pengadaan ILS ini.

"Saya datang dari kampung kami di Provinsi Bangka Belitung minta pertolongan ke KPK agar mengusut, menyelidiki dan menyelamatkan uang negara serta menyelamatkan situasi keselamatan penumpang karena hampir tujuh tahun ILS di bandara kami tidak berfungsi," ungkap Dayat usai melapor ke Bagian Pengaduan Masyarakat (Dumas) di Gedung KPK, Jl HR Rasuna Said, Jakarta
.                    

Menurut Dayat, Kementerian Perhubungan dan perusahaan pengelola Bandara Depati Amir sudah sepatutnya ikut bertanggung-jawab atas tidak berfungsinya sistem alat pandu pendaratan pesawat tersebut. Karena itu, dia juga berharap KPK segera turun tangan.
"Ini menyangkut keselamatan penumpang. Saya berharap KPK bisa turut membantu menyelesaikan persoalan ini," tegasnya.                                                                                                  

Dayat mengaku sebelumnya dia telah melaporkan hal tersebut kepada pihak Dirjen Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan. Namun sejauh ini belum ada tanggapan mengenai hal tersebut. "Sebab itu saya ke KPK. Saya tidak mau terjadi hal tidak diinginkan di Bangka Belitung. Saya takut suatu saat nanti kita melihat terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan di penerbangan," ujarnya.

"Saya malu nanti kalau ada kejadian pesawat tergelincir gara-gara ada alat yang tidak berfungsi. Saya berharap KPK bisa turun ke lapangan atau mengkoordinir Menhub," sambungnya.

Meski demikian, Dayat mengaku belum mengetahui persis proses pengadaan ILS hingga akhirnya ditemukan tidak berfungsi (rusak). Dari informasi yang diterimanya, dana pengadaan ILS mencapai Rp17 miliar yang dianggarkan melalui APBN. "Itu katanya kurang lebih Rp17 miliar," ungkapnya.

Selain melaporkan ILS, Wakil Gubernur Bangka Belitung juga mengadukan lambannya pengerjaan proyek pengembangan dan pembangunan Bandara Depati Amir Bangka yang dilakukan PT Angkasa Pura II dengan kontraktor PT Hutama Karya. Bandara yang dijadwalkan rampung bulan Agustus 2015 itu ternyata mangkrak hingga dijanjikan baru bisa digunakan pada Mei 2016.

Dikutip dari berbagai sumber, sebagai alat bantu pendaratan instrumen (non-visual), ILS memang penting untuk membantu penerbang dalam melakukan proses pendaratan di bandara. Alat ini memiliki 3 subsistem, masing-maisng Localizer (LOC), yakni peralatan yang memberikan sinyal pemandu mengenai kelurusan pesawat terhadap garis tengah; Glide Slope,alat untuk memberikan sinyal pemandu sudut luncur pendaratan;dan Marker Beacon,yaitu peralatan yang menginformasikan sisa jarak pesawat terhadap titik pendaratan.
"Jadi Bangka Belitung itu sekarang ini kalau pesawatnya turun masih menggunakan panduan manual.Kalau cuaca kurang bagus, cuaca kurang bagus, jarak 900 meter sudah sulit turun.   Padahal, di Palembang kita lihat sendiri 900 meter bisa turun karena navigasinya lengkap," kata Ketua DPW Golkar Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini.

Sebuah sumber juga menyebutkan peralatan ILS itu diadakan Dephub sudah 10 tahun yang lalu. Saat itu, Bandar Udara Depati Amir belum dikelola PT Angkasa Pura II. Kemudian pada tahun 2007, pengelolaan bandara diserahkan kepada Angkasa Pura dan akhir 2013 segala pengurusan ruang udara atau lalu lintas penerbangan diambil alih  Air Nav Indonesia.
Tapi, selanjutnya Air Nav mengklaim kalau alat ILS itu secara fisik belum pernah diserah-terimakan oleh PT Angkasa Pura II kepada Air Nav Distrik Pangkalpinang.

Hal ini ditegaskan Air Nav Indonesia Distrik Pangkalpinang melalui Distrik Manejer Safei Samsudin. Dia mengatakan bahwa Air Nav Indonesia baru dua tahun ini membuka distriknya di Pangkalpinang. ”Sedangkan pengadaan ILS itu sendiri sudah sekian tahun lamanya, sebelum distrik Air Nav ini dibuka di Pangkalpinang. Kita tidak tahu-menahu, dokumen-dokumennya juga tidak ada pada kita. Yang lebih tahu ya Angkasa Pura II,” jelas Safei kepada FORUM, Rabu (2/12).
Menurut dia, semua peralatan navigasi sebelum adanya Distrik Air Nav Indonesia di Pangkalpinang itu dikelola Angkasa Pura II. ”Dan untuk pengadaannya itu kan Kementerian Perhubungan yang punya wewenang. Kami di sini cuma melakukan serah terima dari Kementerian Perhubungan. Nah, ILS itu hingga sekarang ini kami belum pernah mendapatkan serah terima, baik dari Kementerian Perhubungan maupun dari Angkasa Pura II,” jelasnya.
Safei menambahkan bahwa keberadaan ILS di Bandara Depati Amir Pangkalpinang sebenarnya belum begitu mendesak. Bahkan ada beberapa bandara di Indonesia yang juga belum mengoperasikan ILS. ”Ada sekitar 20 Air Port di Indonesia, termasuk Air Port Internasional Husen Sastranegara di Bandung, tidak punya ILS,” terangnya.
Sebelumnya General Manager Angkasa pura II Eko Prihadi juga mengaku bahwa  selama ini Bandara Depati Amir Bangka Belitung tak menggunakan ILS sebagai pemandu pilot untuk mendarat. Dia menyebutkan tidak adanya ILS ini tak menjadi persoalan. Eko menyebutkan, dalam aturan pesawat bisa mendarat dengan manual.
Dia menuturkan bahwa ILS ini merupakan pengadaan Kemenhub tahun 2010, namun secara fisik tidak ada. "Dari awal, kita serahkan ke Air Nav pada 2013, ILS secara fisik gak pernah ada di Angkasa Pura, belum pernah diserah-terimakan secara aset. Kami juga belum menggunakannya karena alat itu tak berfungsi," jelasnya.

Eko menjelaskan pilot landing hanya menggunakan manual dengan jarak pandang 2.500 meter saja, sedangkan jika menggunakan ILS ia menyebutkan bisa turun dengan jarak pandang 1.100 meter.

"Waktu kabut asap, kita tak bisa mendarat dengan jarak pandang dibawah 2.500 karena kita tak ada ILS," ujarnya.

Disinggung dengan operasionalnya terminal baru nanti, Depati Amir kemungkinan masih tetap tak akan menggunakan ILS, dia mengaku tak masalah, sekalipun berstatus internasional.

"Terminal baru nanti hanya untuk melayani penumpang dan alat itu menjadi domain di Air Nav. Untuk internasional dari sisi layanan, bukan dari sisi navigasi udara. Cuma kami berharap bisa nanti menggunakan ILS," ujarrnya.

Terkait realisasi pembangunan terminal baru yang terus mendapat sorotan dari Gubernur dan Wagub serta Dewan dikarenakan  beberapa kali molor penyelesaiannya, Eko mengakui sempat mengalami beberapa kendala, yakni jalan masuk dan parkir, yang saat ini sedang dilakukan perencanaan ulang dan akan ditenderkan selanjutnya akan dikerjakan di 2016. Selain itu, juga mengalami kendala di pengoperasional terminal kargo. 

"Kita butuh waktu untuk selesaikan ini, bulan Mei 2016 kemungkinan selesai, karena untuk bangunan sudah 100 persen selesai, interior 92 persen," tandasnya.

Eko merinci, terminal baru ini berkapastas 1,4 juta orang/tahun, dengan kapasitas 9 pesawat. Sedangkan areal parkir memuat 240 kendaraan, dengan jarak ke terminal 30 meter. Terminal baru ini dibangun sejak 2012 dengan anggaran Rp189 Miliar, percepatan terminal ditambah lagi Rp100 miliar, sehingga total mencapai Rp289 miliar.

(Romli Muktar, Babel)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar