Kadang orang menyadari betapa pentingnya
sebuah alat pandu setelah terjadi kecelakaan. Selama aman-aman saja, alat itu
dibiarkan antara ada dan tiada.
====================
Wakil Gubernur Bangka Belitung, Hidayat Arsani, membuktikan
ucapannya untuk melaporkan dugaan korupsi di balik pengadaan alat Instrument
Landing System (ILS) di Bandara Depati Amir, Pangkalpinang, ke Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Hidayat Arsani yang biasa disapa Dayat langsung mendatangi Bagian Pengaduan
Masyarakat (Dumas) KPK Jakarta, Selasa (24/11) siang.
Kepada
sejumlah wartawan, Dayat menjelaskan kedatangannya langsung ke KPK setelah memperoleh
laporan beberapa maskapai penerbangan bahwa sudah sejak lama peralatan ILS di
Bandara Depati Amir Bangka tidak berfungsi. Para pilot mengeluhkan kondisi itu
karena tanpa panduan ILS bisa membahayakan proses landing pesawat di
bandara.
Mendapat
laporan itu, Wagub kemudian melakukan sidak ke bandara, namun pihak Air Nav
yang memiliki peralatan tersebut (meski sudah diundang) ternyata tidak mau
hadir menemui Wagub untuk mengklarifikasi. Sehingga, muncul dugaan ada yang
tidak beres terhadap alat ILS tersebut. Terlebih Wagub yang ingin melihat
peralatan itu dan bertanya mengapa tidak difungsikan, justru tidak direspon. Wagub
dibiarkan menunggu hingga setengah jam tanpa kejelasan dari pihak Air Nav.
Sikap
tak kooperatif Perusahaan Umum (Perum) Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi
Penerbangan Indonesia atau Air Nav Indonesia Distrik Pangkalpinang Provinsi
Bangka Belitung inilah yang memancing Hidayat Arsani,Wakil Gubernur Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung, ke Jakarta melaporkan langsung ke KPK. Wagub meminta
bantuan KPK untuk menyelidiki kasus dugaan korupsi pengadaan ILS ini.
"Saya datang dari kampung kami di Provinsi Bangka Belitung minta pertolongan ke KPK agar mengusut, menyelidiki dan menyelamatkan uang negara serta menyelamatkan situasi keselamatan penumpang karena hampir tujuh tahun ILS di bandara kami tidak berfungsi," ungkap Dayat usai melapor ke Bagian Pengaduan Masyarakat (Dumas) di Gedung KPK, Jl HR Rasuna Said, Jakarta.
Menurut Dayat, Kementerian Perhubungan dan perusahaan
pengelola Bandara Depati Amir sudah sepatutnya ikut bertanggung-jawab atas
tidak berfungsinya sistem alat pandu pendaratan pesawat tersebut. Karena itu, dia
juga berharap KPK segera turun tangan.
"Ini menyangkut keselamatan penumpang. Saya
berharap KPK bisa turut membantu menyelesaikan persoalan ini," tegasnya.
Dayat mengaku sebelumnya dia telah melaporkan hal
tersebut kepada pihak Dirjen Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan. Namun sejauh
ini belum ada tanggapan mengenai hal tersebut. "Sebab itu saya ke KPK.
Saya tidak mau terjadi hal tidak diinginkan di Bangka Belitung. Saya takut
suatu saat nanti kita melihat terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan di
penerbangan," ujarnya.
"Saya malu nanti kalau ada kejadian pesawat
tergelincir gara-gara ada alat yang tidak berfungsi. Saya berharap KPK bisa
turun ke lapangan atau mengkoordinir Menhub," sambungnya.
Meski demikian, Dayat mengaku belum mengetahui persis
proses pengadaan ILS hingga akhirnya ditemukan tidak berfungsi (rusak). Dari
informasi yang diterimanya, dana pengadaan ILS mencapai Rp17 miliar yang
dianggarkan melalui APBN. "Itu katanya kurang lebih Rp17 miliar," ungkapnya.
Selain
melaporkan ILS, Wakil Gubernur Bangka Belitung juga mengadukan lambannya
pengerjaan proyek pengembangan dan pembangunan Bandara Depati Amir Bangka yang
dilakukan PT Angkasa Pura II dengan kontraktor PT Hutama Karya. Bandara yang
dijadwalkan rampung bulan Agustus 2015 itu ternyata mangkrak hingga dijanjikan
baru bisa digunakan pada Mei 2016.
Dikutip dari berbagai sumber, sebagai alat bantu
pendaratan instrumen (non-visual), ILS memang penting untuk membantu penerbang
dalam melakukan proses pendaratan di bandara. Alat ini memiliki 3 subsistem,
masing-maisng Localizer (LOC), yakni peralatan yang memberikan sinyal
pemandu mengenai kelurusan pesawat terhadap garis tengah; Glide Slope,alat
untuk memberikan sinyal pemandu sudut luncur pendaratan;dan Marker Beacon,yaitu
peralatan yang menginformasikan sisa jarak pesawat terhadap titik pendaratan.
"Jadi Bangka Belitung itu sekarang ini kalau
pesawatnya turun masih menggunakan panduan manual.Kalau cuaca kurang bagus,
cuaca kurang bagus, jarak 900 meter sudah sulit turun. Padahal,
di Palembang kita lihat sendiri 900 meter bisa turun karena navigasinya lengkap,"
kata Ketua DPW Golkar Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini.
Sebuah sumber juga menyebutkan peralatan ILS itu
diadakan Dephub sudah 10 tahun yang lalu. Saat itu, Bandar Udara Depati Amir
belum dikelola PT Angkasa Pura II. Kemudian pada tahun 2007, pengelolaan
bandara diserahkan kepada Angkasa Pura dan akhir 2013 segala pengurusan ruang
udara atau lalu lintas penerbangan diambil alih Air Nav Indonesia.
Tapi, selanjutnya Air Nav mengklaim kalau alat ILS itu secara fisik belum pernah diserah-terimakan oleh PT Angkasa Pura II kepada Air Nav Distrik Pangkalpinang.
Tapi, selanjutnya Air Nav mengklaim kalau alat ILS itu secara fisik belum pernah diserah-terimakan oleh PT Angkasa Pura II kepada Air Nav Distrik Pangkalpinang.
Hal ini ditegaskan Air Nav Indonesia Distrik
Pangkalpinang melalui Distrik Manejer Safei Samsudin. Dia mengatakan bahwa Air
Nav Indonesia baru dua tahun ini membuka distriknya di Pangkalpinang. ”Sedangkan
pengadaan ILS itu sendiri sudah sekian tahun lamanya, sebelum distrik Air Nav
ini dibuka di Pangkalpinang. Kita tidak tahu-menahu, dokumen-dokumennya juga
tidak ada pada kita. Yang lebih tahu ya Angkasa Pura II,” jelas Safei kepada FORUM,
Rabu (2/12).
Menurut dia, semua peralatan navigasi sebelum
adanya Distrik Air Nav Indonesia di Pangkalpinang itu dikelola Angkasa Pura II.
”Dan untuk pengadaannya itu kan Kementerian Perhubungan yang punya wewenang.
Kami di sini cuma melakukan serah terima dari Kementerian Perhubungan. Nah, ILS
itu hingga sekarang ini kami belum pernah mendapatkan serah terima, baik dari Kementerian
Perhubungan maupun dari Angkasa Pura II,” jelasnya.
Safei menambahkan bahwa keberadaan ILS di Bandara
Depati Amir Pangkalpinang sebenarnya belum begitu mendesak. Bahkan ada beberapa
bandara di Indonesia yang juga belum mengoperasikan ILS. ”Ada sekitar 20 Air
Port di Indonesia, termasuk Air Port Internasional Husen Sastranegara di
Bandung, tidak punya ILS,” terangnya.
Sebelumnya General
Manager Angkasa pura II Eko Prihadi juga mengaku bahwa selama ini Bandara
Depati Amir Bangka Belitung tak menggunakan ILS sebagai pemandu pilot untuk mendarat.
Dia menyebutkan tidak adanya ILS ini tak menjadi persoalan. Eko menyebutkan,
dalam aturan pesawat bisa mendarat dengan manual.
Dia menuturkan bahwa ILS ini merupakan pengadaan
Kemenhub tahun 2010, namun secara fisik tidak ada. "Dari awal, kita
serahkan ke Air Nav pada 2013, ILS secara fisik gak pernah ada di
Angkasa Pura, belum pernah diserah-terimakan secara aset. Kami juga belum
menggunakannya karena alat itu tak berfungsi," jelasnya.
Eko menjelaskan pilot landing hanya menggunakan manual
dengan jarak pandang 2.500 meter saja, sedangkan jika menggunakan ILS ia
menyebutkan bisa turun dengan jarak pandang 1.100 meter.
"Waktu kabut asap, kita tak bisa mendarat dengan
jarak pandang dibawah 2.500 karena kita tak ada ILS," ujarnya.
Disinggung dengan operasionalnya terminal baru nanti,
Depati Amir kemungkinan masih tetap tak akan menggunakan ILS, dia mengaku tak
masalah, sekalipun berstatus internasional.
"Terminal baru nanti hanya untuk melayani
penumpang dan alat itu menjadi domain di Air Nav. Untuk internasional dari sisi
layanan, bukan dari sisi navigasi udara. Cuma kami berharap bisa nanti
menggunakan ILS," ujarrnya.
Terkait realisasi pembangunan terminal baru yang terus
mendapat sorotan dari Gubernur dan Wagub serta Dewan dikarenakan beberapa kali molor penyelesaiannya, Eko
mengakui sempat mengalami beberapa kendala, yakni jalan masuk dan parkir, yang
saat ini sedang dilakukan perencanaan ulang dan akan ditenderkan selanjutnya
akan dikerjakan di 2016. Selain itu, juga mengalami kendala di pengoperasional
terminal kargo.
"Kita butuh waktu untuk selesaikan ini, bulan Mei
2016 kemungkinan selesai, karena untuk bangunan sudah 100 persen selesai,
interior 92 persen," tandasnya.
Eko merinci, terminal baru ini berkapastas 1,4 juta
orang/tahun, dengan kapasitas 9 pesawat. Sedangkan areal parkir memuat 240
kendaraan, dengan jarak ke terminal 30 meter. Terminal baru ini dibangun sejak
2012 dengan anggaran Rp189 Miliar, percepatan terminal ditambah lagi Rp100 miliar,
sehingga total mencapai Rp289 miliar.
(Romli Muktar, Babel)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar