ad

Senin, 24 Agustus 2015

Anas dan Akil tak Dapat Remisi


Hari Kemerdekaan Republik Indonesia menjadi momen penting bagi para narapidana. Karena, hari itu negara berbagi remisi buat napi –termasuk napi koruptor. Tapi, tak semua napi koruptor beroleh berkah remisi.
================
Seolah terasa kurang adil bagi mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, dan mantan anggota DPR Angelina Sondakh yang di Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (12 Agustus) tidak memperoleh hadiah remisi dasawarsa.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengaku tidak memberikan hadiah remisi kepada narapidana tindak pidana korupsi kelas ‘kakap’ seperti mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, mantan anggota DPR Angelina Sondakh dan Gunernur (non-aktif) Banten Ratu Atut Chosiah. Karena, jelas Laoly, pemberian remisi dasawarsa koruptor-koruptor kelas berat tersebut masih dalam kajian mendalam tentang sinkronisasi remisi dasawarsa dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012.
Tidak semua koruptor besar tidak beroleh remisi. Kementerian Hukum dan HAM ternyata memberikan remisi kepada narapidana kasus korupsi seperti Gayus Tambunan, Deviardi, Neneng Sriwahyuni, Kosasih Abbas dan Muhammad Nazaruddin.
" Gayus dapat remisi berdasarkan PP 28 (PP 28 tahun 2006), tidak berdasarkan PP 99 (PP 99 tahun 2012), karena sebelum ada PP 99 sudah masuk. Kalau Nazar, Deviardi, Neneng, Kosasih Abas dapat remisi karena ada rekomendasi dari KPK," jelas Laoly awal pekan lalu.
Mantan bendahara umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang menjadi narapidana kasus korupsi wisma atlet SEA Games 2011 mendapatkan remisi sebanyak satu bulan.

Sang istri Neneng Sri Wahyuni adalah narapidana kasus korupsi pengadaan dan pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans).
Selanjutnya Deviardi adalah pelatih golf yang menjadi narapidana kasus korupsi penerimaan suap di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Kosasih Abbas adalah mantan Kepala Subdirektorat Energi Terbarukan di Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai narapidana kasus korupsi proyek pengadaan Solar Home System.
Lebih lanjut Yasonna mengatakan pemberian rekomendasi itu lantaran keempat orang menjadi Justice Collaborator. Dan direkomendasikan oleh Komisi Pemberantasan korupsi (KPK).
Hingga saat pemberian remisi dalam rangka Hari Kemerdekaan, jelas Yasonna, ada sekitar 115 ribu narapidana yang berhak mendapat remisi kemerdekaan. Dari jumlah itu, 848 di antaranya adalah narapidana koruptor yang tengah masuk dalam kajian, untuk diberikan remisi atau tidak.
Salah satu syarat memperoleh remisi dasawarsa, kata Yasonna, adalah bentuk hadiah dari negara dengan berkelakuan baik dan diberikan untuk seluruh narapidana, terkecuali koruptor dan narapidana kasus sindikat narkoba. Alasannya, korupsi dan narkoba masih menjadi persoalan besar di negara ini. Untuk sementara ini, Kemenkumham mengaku tunduk pada remisi bagi mereka yang berkelakuan baik, tidak pada remisi dasawarsa karena sifatnya hadiah negara.
“Napi korupsi itu ada sekitar 2 ribuan orang, 848 secara khusus tengah dikaji dan belum pasti mendapat remisi. Sebenarnya tiap dasawarsa itu semua napi dapat, kecuali narapidana mati, seumur hidup dan melarikan diri,” jelas Yasonna. Remisi dasawarsa telah diberikan mulai 1955, 1965, 1975 sampai 2015.
Keseluruhan tahun ini, Kemenkumham memberikan remisi bebas yang berlaku bagi mereka yang mendapat Remisi Dasawarsa (RD II) sebanyak 2.931 orang, dan bebas karena mendapat Remisi Umum (RU II) sebanyak 2.750 orang. Sementara itu yang mendapatkan Remisi Dasawarsa (RD I) sebanyak 113.987 orang. Sedangkan yang mendapatkan Remisi Umum (RU I) sebanyak 75.805 orang.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tercatat per 13 Agustus 2015, jumlah penghuni di 477 Lapas/Rutan se-Indonesia mencapai 173.057 orang yang terdiri dari narapidana berjumlah 118.405 orang dan tahanan berjumlah 54.652 orang.
Narapidana tindak pidana korupsi di seluruh Indonesia berjumlah 2.786 orang. Narapidana tindak pidana korupsi berdasarkan PP Nomor 28 Tahun 2006 yang memperoleh remisi sebanyak 517 orang dan narapidana tindak pidana korupsi berdasarkan PP Nomor 99 Tahun 2012 yang memperoleh remisi karena telah memenuhi persyaratan --di antaranya telah membayar denda dan uang pengganti serta surat keterangan justice collaborator-- sebanyak 1.421 orang.
Kemudian narapidana tindak pidana korupsi yang masih membutuhkan pengkajian dan pendalaman menurut ketentuan peraturan perundang-undangan sebanyak 848 orang.
Menghemat anggaran
Pemberian remisi kepada sekitar 115 orang narapidana rupanya berdampak penghematan anggaran negara terutama dari pengurangan dana makan narapidana. Kepala Subdit Komunikasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Akbar Hadiprabowo mengatakan asumsi penghematan lantaran banyak jumlah napi yang bakal mendapat remisi. "Negara akan menghemat anggaran Rp115 miliar apabila memberikan remisi dasawarsa kepada 118 ribu narapidana," kata Akbar kepada pers.
Akbar menjelaskan, penghitungan angka tersebut didapat dari hilangnya biaya makan tiap napi yang mendapatkan remisi dalam tiga kategori. Kategori pertama, untuk 76.979 napi dengan pidana berat yang mendapatkan remisi selama tiga bulan. Apabila dikali biaya makan Rp 14 ribu per hari maka menghemat Rp99,96 miliar. Biaya tersebut digunakan untuk tiga kali makan.
Kategori kedua, napi dengan pidana sedang atau dua sampai tiga tahun. Jumlah napi dalam kategori ini adalah 9.391 orang. Mereka mendapatkan remisi selama 60 hari. Apabila dihitung dengan biaya makan para napi yang saban hari dianggarkan Rp14 ribu, maka pemerintah menghemat Rp7,88 miliar.
Untuk kategori ringan, yakni napi dengan pidana selama satu hingga dua tahun berjumlah 17.818 orang. Mereka akan mendapatkan remisi selama 30 hari. Alhasil negara menghemat sebesar Rp2,99 miliar. (*)


ICW: Perlu Pengetatan Remisi Koruptor
Menanggapi pemberian remisi kepada koruptor, Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) menentang sikap pemerintah. Peneliti ICW Lalola Easter berpendapat perlu ada pengetatan seleksi pemberian remisi untuk para koruptor.
"Beberapa syarat sepatutnya tetap diberlakukan terhadap tindak pidana luar biasa seperti korupsi, terorisme, narkotika, kejahatan HAM berat, dan kejahatan transnasional, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012," ujar Lalola.
Pasal 34A ayat 1 dan Pasal 34B ayat 2 dalam aturan tersebut menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi secara kumulatif oleh napi kasus korupsi untuk mendapat remisi yakni berstatus sebagai justice collaborator, sudah melunasi pidana pengganti dan denda, serta mendapat pertimbangan tertulis dari lembaga yang menangani perkaranya.
"Syarat-syarat tersebut sepatutnya berlaku dalam pemberian remisi dasawarsa, karena secara hirarki peraturan hukum dan dari waktu pembentukan peraturan, PP Nomor 99 Tahun 2012 lebih tinggi posisinya dan lebih baru dibanding Keppres Nomor 120 Tahun 1955," ucap Lalola.
Memang terasa tidak adil kalau para koruptor demikian mudah memperoleh remisi, terlebih remisi dasawarsa. "Untuk remisi dasawarsa, semua narapidana dapat, kecuali terpidana mati, seumur hidup, dan yang melarikan diri. Tidak ada persyaratan untuk mendapatkannya," kata Kepala Subdit Komunikasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM, Akbar Hadiprabowo.
Hal senada disampaikan oleh Kepala Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia DIY Dwi Agus Prasetyo. “Tak ada lagi pembedaan remisi. Semua dapat. Jangan ada polemik yang koruptor, pengedar narkotik, tidak dapat remisi,” ujar Dwi saat ditemui pers usai menghadiri acara Penyerahan Satyalancana Karya Satya dan Surat Keputusan Remisi di Bangsal Kepatihan Yogyakarta, pekan lalu. Dan, dari perolehan remisi dasawarsa ini, ada dua terpidana koruptor di DIY yang langsung bebas kembali ke tengah-tengah masyarakat. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar