ad

Jumat, 19 Juli 2013

“Treatment” Buat Koruptor Terpidana




oleh Budi Nugroho

Rasanya tiada hari tanpa kabar seputar koruptor. Mulai dari kabar tersangka koruptor ditangkap sampai kabar koruptor dipidana empat tahun penjara ditambah denda beberapa ratus juta rupiah saja. Sayangnya, tak ada rincian hukuman penjara macam apa yang wajib dijalani si koruptor terpidana yang dapat memberikan efek agar orang lain tidak ikut-ikutan korup. Dan, hukuman yang jatuh rata-rata relatif ringan, terasa tidak menjerakan serta kerap melukai rasa keadilan publik. Padahal, salah satu fungsi penghukuman adalah memberikan efek jera.

Sekadar hukuman penjara, tanpa penekanan jenis macam apa hukuman penjara yang mesti dijalani si koruptor terpidana atau bagaimana seharusnya perlakuan (treatment) terhadap si koruptor terpidana di penjara. Penulis teringat saat melancong jelajah bawah tanah gedung Lawang Sewu di Semarang, Jawa Tengah, yang selesai dibangun tahun 1907. Jelajah dimulai dari sebuah lubang kecil berkedalaman 3 meter yang cuma cukup buat masuk satu orang, kita langsung terbawa menyisir lorong selebar 1,5 meter dengan langit-langit tak lebih dari 2,5 meter. Di kanan-kiri lorong tampak kamar-kamar yang pernah difungsikan buat penjara di masa penjajahan Belanda dan Jepang. Kamar pertama ruangan yang berisi bak-bak beton setinggi satu meter. Di sini, terpidana dipaksa berjongkok dan direndam air sementara bagian atasnya ditutup jeruji besi. Inilah kamar yang dinamai penjara jongkok. Lalu kamar kedua yang berisi jejeran sekat batu bata menyerupai lemari selebar 1x1 meter dan tinggi 2 meter yang disebut penjara berdiri. ‘Lemari’ berterali besi ini dulu biasa dijejali 4-5 terpidana. Mereka dibiarkan terus berdiri sampai mati lemas. Dan kamar ketiga berisi meja baja yang ditanam di lantai. Di sini lah biasanya pemerintah kolonial mengeksekusi (memenggal kepala) para pejuang kita tanpa proses meja hijau.

Wajah penjara bawah tanah Lawang Sewu menyiratkan satu model treatment paling klasik terhadap terpidana, yakni the Punishment Model. Model treatment yang sangat kental penghukuman (fisik). Model ini, menurut konsultan pemasyarakatan Amerika Serikat Dwight C. Jarvis (1978: 168), menerapkan perlakuan penghukuman dalam bentuk cambuk dan mutilasi sebagian anggota tubuh. Pencambukan menjadi favorit model ini. Tujuan treatment semacam itu adalah agar terpidana jera (punishment) dan supaya orang lain tidak melakukan tindak criminal (deterrent).

Selain model tadi, Jarvis menyebutkan masih ada lagi sedikitnya empat model treatment terpidana. Model kedua yang masih termasuk klasik adalah the Monastic Model. Di sini, terpidana wajib kerja menjadi kuli (pekerja kasar) sebagai bentuk penebusan dosa yang pernah dilakukan. Model yang dikemas dalam Pennsylvania Plan ini pernah diterapkan di Pittsburgh (1826) dan Philadelphia (1833).

Model ketiga, boleh dikatakan sedikit lebih menekankan hukuman sosial, yakni the Work-Ethic Model.  Model ini berangkat dari filosofi bahwa kerja keras adalah baik buat pikiran, tubuh dan jiwa manusia. Dan karena itu, bermalas-malasan merupakan sebuah dosa dan kegagalan hidup. Dari sini ada keyakinan bahwa kerja keras (fisik) yang wajib dilakukan terpidana akan memberikan nilai rehabilitatif tersendiri. Di Amerika, model ini dielaborasi dalam wujud sistem kamp pekerja. Misalkan pada 1973 sekelompok terpidana dengan seragam spesial dikerahkan mengerjakan proyek pembangunan jalan bebas hambatan di North Carolina.

Model keempat, sebagai perkembangan setahap lebih maju daripada the Work-Ehic Model, berpegang pada ide rehabilitasi terpidana dengan pembekalan keterampilan khusus. Bahwa bekerja merupakan kebutuhan sosial dan kemalasan merupakan benih kriminal, sebab itu pengalaman dan pelatihan keterampilan khusus menjadi bekal ideal terpidana kelak kembali ke masyarakat. Model ini pun lalu diberi nama the Vocational Rehabilitation Model. Keterampilan yang diberikan antara lain bertani, perbaikan sepatu, dan tukang cukur. Pada pertengahan 1970-an, keterampilan yang diberikan lebih berkembang, seperti perawatan mesin dan teknologi komputer. Dari model ini diharapkan, si terpidana pulang ke rumah berbekal keterampilan cukup guna menopang kehidupan dan tidak kembali melakukan kejahatan (recidivist).

Dan model kelima, the Social Work Model, yang berangkat dari keterbatasan sumber daya manusia di institusi pemasyarakatan. Penerapan model ini minimal didahului dengan studi sosiologis terhadap terpidana, mulai dari latar belakang ekonomi, keluarga, pekerjaan sampai pendidikan. Model ini mencoba memberdayakan terpidana yang ada untuk ikut serta merehabilitasi sesama terpidana. Dengan kelebihan tertentu, seorang terpidana diharapkan dapat menjadi semacam jembatan mengentaskan terpidana lain dari lembah kriminal karena tenaga pemasyarakatan yang relatif terbatas.

Bagaimana kaitan kelima model itu dengan koruptor terpidana yang terus menyesaki Lembaga Pemasyarakatan (LP) dan Rumah Tahanan (Rutan) kita? Kalau langsung diterapkan model treatment yang kelima, tentu bukanlah persoalan bagi para koruptor terpidana. Mereka rata-rata punya kemampuan ekonomi mapan, pendidikan tinggi, dan keterampilan cukup mumpuni. Buktinya, banyak di antara mereka mampu membeli kamar hotel prodeo. Model ini tetap saja bisa diterapkan. Tapi, sebaiknya penerapan model ini dikombinasikan dengan the Work-Ethic Model atau, bahkan, the Monastic Model. Ada punishment dan deterrent. Beberapa waktu lalu sempat muncul usulan seragam khusus buat koruptor. Nah, dengan seragam khusus tadi, para koruptor terpidana dapat saja dipekerjakan dalam satu kamp perbaikan tanggul Situ Gintung yang jebol. Bila ada kekhawatiran si terpidana kabur, maka mereka dikait dalam satu rantai panjang sesama koruptor. Toh, tatkala melakukan korupsi mereka bersama-sama bertindak dan berbagi hasil.

Persoalannya, siapkah para aparat penegak hukum kita untuk mengakhiri perilaku korupnya, perilaku kongkalikongnya dengan para mafia koruptor dan mafia peradilan? Di sini lah kuncinya. Jangan ada lagi dusta di penegak hukum, jangan ada lagi perseteruan cicak dan buaya.


                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar