ad

Senin, 19 Oktober 2015

Ratusan Jenis Burung Terancam Punah


Kultur pelihara burung yang sampai kini masih dianggap simbol status seseorang dan hukuman ringan terhadap orang yang kedapatan menangkap burung yang dilindungi. Keduanya memicu semakin banyaknya burung terancam punah.
=======================
Suatu siang. Seorang pemilik toko burung terlihat sibuk di sebuah pasar burung dengan lantai beton yang kusam dan kotor di Jakarta. Tampak jelas dari luar empat tumpukan sangkar burung yang di dalamnya ada parkit beserta dua sangkar bambu tergantung rendah. Di dalamnya, ada kasturi ternate (Lorius garrulus), burung endemik Maluku Utara yang populasinya terus menurun dalam 25 tahun terakhir.
Dalam sebuah studi komprehensif berjudul “Market for Extinction: An inventory of Jakarta’s bird markets” --yang dikeluarkan oleh TRAFFIC pada 25 September 2015 lalu-- disebutkan terdapat delapan jenis burung endemik yang banyak dilego di tiga pasar burung (Pramuka, Jatinegara dan Barito) Jakarta. Jalak bali (Leucopsar rothschildi) yang berdasarkan Daftar Merah International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) masuk dalam kategori Kritis (Critically Endangered/CR) ada di dalamnya. Bukan hal aneh, bila burung dengan dominasi bulu warna putih ini ditangkap untuk memenuhi permintaan pasar satwa peliharaan. Begitu pun jalak putih (Sturnus melanopterus) yang walau sudah berstatus Kritis tetap saja diperdagangkan. Padahal, jenis ini hanya ada di Jawa, Bali, dan Lombok.
Ada lagi poksai kuda (Garrulax rufifrons), burung berukuran sekitar 27 cm endemik Jawa Tengah dan Jawa Barat. Keberadaannya yang terus terancam dan cuma ditemukan di ketinggian sekitar 1.000 – 2.400 m di atas permukaan laut itu membuatnya masuk kriteria Genting (Endangered/EN).
Lima jenis lain yang turut diperdagangkan adalah gelatik jawa (Padda oryzivora), poksai sumatera (Garrulax bicolor), nuri bayan (Electus roratus), cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus), dan bubut jawa (Centropus nigrorufus). Keseluruhan, jenis tersebut berlebel Rentan atau Vulnerable/VU.
Delapan jenis burung endemik yang dijumpai diperdagangkan di sejumlah pasar burung di Jakarta itu merupakan sebagian kecil dari sekitar 136 jenis burung di Indonesia yang terancam punah. Kondisi ini menobatkan Nusantara menjadi negara nomor satu di dunia dalam hal jumlah jenis burung yang menuju kepunahan. Degradasi lahan dan rusaknya habitat merupakan faktor utama yang menyebabkan kehidupan makhluk bersayap ini kian sulit didapatkan.
Kepala Unit Komunikasi dan Pengembangan Pengetahuan, Burung Indonesia, Ria Saryanthi, mengatakan, dari 136 jenis burung yang terancam punah itu di antaranya terdapat jalak putih (Sturnus melanopterus). Burung dwiwarna dengan leher putih yang tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali ini populasinya semakin menurun dan berstatus Kritis (Critically Endangered/CR) berdasarkan Daftar Merah International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN).
Ada juga ekek-geling jawa (Cissa thalassina), burung endemik Pulau Jawa dengan jumlah populasinya sekitar 249 ekor yang juga berstatus Kritis. Begitupun dengan trulek jawa (Vanellus macropterus) yang terakhir terlihat pada 1940, sebagai burung langka juga berlebel Kritis. Beberapa jenis lain seperti kakatua, elang, rangkong gading, jalak bali, dan jenis burung berkicau juga makin memprihatinkan nasibnya.
“Kita nomor satu di dunia untuk jumlah jenis burung yang terancam punah. Padahal, Indonesia merupakan rumah bagi 1.666 jenis burung yang 426 jenis di antaranya merupakan endemik,” kata Ria beberapa waktu lalu.
Ria menyebut, ancaman perburuan yang masih tinggi turut melengkapi status kerawanan hidup yang dihadapi burung. Rangkong gading (Rhinoplax vigil) misalnya. Dalam tiga tahun terakhir, ratusan ekor jenis ini diburu untuk diambil paruhnya. “Kualitasnya sama, bahkan lebih baik dibandingkan gading gajah, ditambah lagi dengan adanya permintaan pasar luar seperti Tiongkok,” ungkapnya
Menurut Ria, upaya pencegahan harus dilakukan agar populasi berbagai jenis burung yang ada tetap terjaga. Katanya, “Harus ada perlindungan dari pemerintah, dan juga keterlibatan aktif masyarakat untuk menjaga dan mengawasi keberadaan satwa liar asli Indonesa.”
Burung Indonesia, lanjut Ria, mendesak pemerintah segera merevisi Undang-undang No 5 Tahun 1990 Tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, agar memperberat hukuman bagi pemburu, penangkap serta penjual satwa liar di Indonesia.
Hukuman perlu ditingkatkan dan diperberat agar ada efek jera. Selama ini mereka cuma dihukum enam bulan bahkan ada yang bebas. Ini tidak setimpal dengan kerugian ekosistem yang diderita akibat dari perburuan dan perdagangan satwa liar tersebut. “Kalau ada komitmen politik dari pemerntah yang baik, perdagangan satwa liar (termasuk berbagai jenis burung langka) pasti bisa ditekan,” ujar Ria.
Rosek Nursahid, Ketua Protection of Forest & Fauna (ProFauna) Indonesia, mengingatkan masyarakat untuk tidak memelihara satwa liar yang dilindungi, baik dalam bentuk hidup maupun yang diawetkan. Dia mengatakan, semua aktivitas memelihara dan menangkarkan satwa liar tanpa izin resmi, merupakan kegiatan melanggar hukum.
“Semua satwa liar dilindungi oleh undang-undang. Kalau ada yang memelihara atau menangkarkan tanpa dilengkapi izin resmi, polisi punya kewenangan untuk memproses secara hukum,” terang Rosek.
Masyarakat yang menyebut dirinya pencinta satwa liar namun memelihara, justru tidak memahami aturan kepemilikan tersebut. Satwa liar termasuk di dalamnya berbagai jenis burung, lebih baik dibiarkan hidup di habitat aslinya, alam liar.
“Banyak warga masyarakat dan komunitas pencinta satwa, mengaku menangkarkan satwa yang dimilikinya. Faktanya, satwa atau burung liar yang mereka pelihara itu sering diperoleh dari pasar gelap atau para pemburu saat satwa tersebut masih anakan. Ini tidak boleh terjadi, harus ada hukum yang dapat membuat mereka jera,” jelas Rosek.
Indonesia dikaruniai keragaman spesies burung melimpah yang di saat bersamaan, masyarakatnya juga memiliki tradisi memelihara burung yang sangat mengakar. Berdasarkan data Burung Indonesia 2014, Indonesia merupakan rumah bagi 1.666 jenis burung dan 426 di antaranya burung endemik.
Menurut para ahli, justru tradisi memelihara burung menjadi ancaman lebih besar terhadap keberadaan satwa tersebut di alam liar. Selama  ratusan tahun, orang Indonesia  – khususnya di Jawa – memelihara burung untuk menandakan status (simbol) dan dipercaya mendatangkan ketenangan pikiran. Sebuah studi yang dilakukan oleh para peneliti Oxford University pada 2011 menyebutkan bahwa sepertiga dari seluruh rumah tangga di enam kota besar di Jawa dan Bali diperkirakan memelihara burung.
Memelihara burung merupakan budaya, terutama di Jawa, yang hingga kini masih terlihat. Dalam tradisi ini, seseorang akan dianggap hidup sempurna bila memiliki lima hal yang disyaratkan, yaitu rumah (wisma), istri (garwa), keris (curiga), kuda tunggangan (turangga), dan kukila (burung). Memelihar burung dianggap dapat menghubungkan manusia dengan alam semesta, membawa keberuntungan, dan kedamaian dalam kehidupan rumah tangga.      
“Melalui program transmigrasi, orang Jwa kini menyebar ke seluruh tempat di Indonesia” kata Muhammad Iqbal, seorang pemerhati burung, sembari menambahkan, “Di tempat baru, mereka kemudian mengenalkan tradisi memelihara burung kepada masyarakat lokal dan menangkapi burung lokal untuk dipelihara.”
Skala perdagangan burung telah lama membuat khawatir pegiat konservasi dan para ornitologi yang membahayakan populasi burung liar Indonesia. Tapi, sejauh mana dampaknya, memang tak mudah untuk mengukurnya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar