Kultur pelihara burung yang sampai kini masih dianggap
simbol status seseorang dan hukuman ringan terhadap orang yang kedapatan
menangkap burung yang dilindungi. Keduanya memicu semakin banyaknya burung
terancam punah.
=======================
Suatu siang. Seorang pemilik toko burung terlihat sibuk di sebuah
pasar burung dengan lantai beton yang kusam dan kotor di Jakarta. Tampak jelas
dari luar empat tumpukan sangkar burung yang di dalamnya ada parkit beserta dua
sangkar bambu tergantung rendah. Di dalamnya, ada kasturi ternate (Lorius
garrulus), burung endemik Maluku Utara yang populasinya terus menurun dalam
25 tahun terakhir.
Dalam sebuah studi komprehensif berjudul “Market for Extinction: An
inventory of Jakarta’s bird markets” --yang dikeluarkan oleh TRAFFIC pada
25 September 2015 lalu-- disebutkan terdapat delapan jenis burung endemik yang
banyak dilego di tiga pasar burung (Pramuka, Jatinegara dan Barito) Jakarta.
Jalak bali (Leucopsar rothschildi) yang berdasarkan Daftar Merah
International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN)
masuk dalam kategori Kritis (Critically Endangered/CR) ada di dalamnya. Bukan hal
aneh, bila burung dengan dominasi bulu warna putih ini ditangkap untuk memenuhi
permintaan pasar satwa peliharaan. Begitu pun jalak putih (Sturnus
melanopterus) yang walau sudah berstatus Kritis tetap saja diperdagangkan.
Padahal, jenis ini hanya ada di Jawa, Bali, dan Lombok.
Ada lagi poksai kuda (Garrulax rufifrons), burung berukuran
sekitar 27 cm endemik Jawa Tengah dan Jawa Barat. Keberadaannya yang terus
terancam dan cuma ditemukan di ketinggian sekitar 1.000 – 2.400 m di atas
permukaan laut itu membuatnya masuk kriteria Genting (Endangered/EN).
Lima jenis lain yang turut diperdagangkan adalah gelatik jawa (Padda
oryzivora), poksai sumatera (Garrulax bicolor), nuri bayan (Electus
roratus), cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus), dan bubut jawa (Centropus
nigrorufus). Keseluruhan, jenis tersebut berlebel Rentan atau Vulnerable/VU.
Delapan jenis burung endemik yang dijumpai diperdagangkan di sejumlah
pasar burung di Jakarta itu merupakan sebagian kecil dari sekitar 136 jenis
burung di Indonesia yang terancam punah. Kondisi ini menobatkan Nusantara menjadi
negara nomor satu di dunia dalam hal jumlah jenis burung yang menuju kepunahan.
Degradasi lahan dan rusaknya habitat merupakan faktor utama yang menyebabkan
kehidupan makhluk bersayap ini kian sulit didapatkan.
Kepala Unit Komunikasi dan Pengembangan Pengetahuan, Burung Indonesia,
Ria Saryanthi, mengatakan, dari 136 jenis burung yang terancam punah itu di antaranya
terdapat jalak putih (Sturnus melanopterus). Burung dwiwarna dengan leher putih
yang tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali ini populasinya semakin
menurun dan berstatus Kritis (Critically Endangered/CR) berdasarkan Daftar
Merah International Union for Conservation of Nature and Natural Resources
(IUCN).
Ada juga ekek-geling jawa (Cissa thalassina), burung endemik Pulau
Jawa dengan jumlah populasinya sekitar 249 ekor yang juga berstatus Kritis.
Begitupun dengan trulek jawa (Vanellus macropterus) yang terakhir terlihat pada
1940, sebagai burung langka juga berlebel Kritis. Beberapa jenis lain seperti
kakatua, elang, rangkong gading, jalak bali, dan jenis burung berkicau juga
makin memprihatinkan nasibnya.
“Kita nomor satu di dunia untuk jumlah jenis burung yang terancam
punah. Padahal, Indonesia merupakan rumah bagi 1.666 jenis burung yang 426
jenis di antaranya merupakan endemik,” kata Ria beberapa waktu lalu.
Ria menyebut, ancaman perburuan yang masih tinggi turut melengkapi
status kerawanan hidup yang dihadapi burung. Rangkong gading (Rhinoplax
vigil) misalnya. Dalam tiga tahun terakhir, ratusan ekor jenis ini diburu
untuk diambil paruhnya. “Kualitasnya sama, bahkan lebih baik dibandingkan
gading gajah, ditambah lagi dengan adanya permintaan pasar luar seperti
Tiongkok,” ungkapnya
Menurut Ria, upaya pencegahan harus dilakukan agar populasi berbagai
jenis burung yang ada tetap terjaga. Katanya, “Harus ada perlindungan dari
pemerintah, dan juga keterlibatan aktif masyarakat untuk menjaga dan mengawasi
keberadaan satwa liar asli Indonesa.”
Burung Indonesia, lanjut Ria, mendesak pemerintah segera merevisi
Undang-undang No 5 Tahun 1990 Tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
agar memperberat hukuman bagi pemburu, penangkap serta penjual satwa liar di
Indonesia.
Hukuman perlu ditingkatkan dan diperberat agar ada efek jera. Selama
ini mereka cuma dihukum enam bulan bahkan ada yang bebas. Ini tidak setimpal
dengan kerugian ekosistem yang diderita akibat dari perburuan dan perdagangan
satwa liar tersebut. “Kalau ada komitmen politik dari pemerntah yang baik,
perdagangan satwa liar (termasuk berbagai jenis burung langka) pasti bisa
ditekan,” ujar Ria.
Rosek Nursahid, Ketua Protection of Forest & Fauna (ProFauna)
Indonesia, mengingatkan masyarakat untuk tidak memelihara satwa liar yang
dilindungi, baik dalam bentuk hidup maupun yang diawetkan. Dia mengatakan,
semua aktivitas memelihara dan menangkarkan satwa liar tanpa izin resmi,
merupakan kegiatan melanggar hukum.
“Semua satwa liar dilindungi oleh undang-undang. Kalau ada yang
memelihara atau menangkarkan tanpa dilengkapi izin resmi, polisi punya
kewenangan untuk memproses secara hukum,” terang Rosek.
Masyarakat yang menyebut dirinya pencinta satwa liar namun memelihara,
justru tidak memahami aturan kepemilikan tersebut. Satwa liar termasuk di
dalamnya berbagai jenis burung, lebih baik dibiarkan hidup di habitat aslinya,
alam liar.
“Banyak warga masyarakat dan komunitas pencinta satwa, mengaku
menangkarkan satwa yang dimilikinya. Faktanya, satwa atau burung liar yang
mereka pelihara itu sering diperoleh dari pasar gelap atau para pemburu saat
satwa tersebut masih anakan. Ini tidak boleh terjadi, harus ada hukum yang
dapat membuat mereka jera,” jelas Rosek.
Indonesia dikaruniai keragaman spesies burung melimpah yang di saat
bersamaan, masyarakatnya juga memiliki tradisi memelihara burung yang sangat mengakar.
Berdasarkan data Burung Indonesia 2014, Indonesia merupakan rumah bagi 1.666
jenis burung dan 426 di antaranya burung endemik.
Menurut para ahli, justru tradisi memelihara burung menjadi ancaman
lebih besar terhadap keberadaan satwa tersebut di alam liar. Selama ratusan tahun, orang Indonesia – khususnya di Jawa – memelihara burung untuk
menandakan status (simbol) dan dipercaya mendatangkan ketenangan pikiran. Sebuah
studi yang dilakukan oleh para peneliti Oxford University pada 2011 menyebutkan
bahwa sepertiga dari seluruh rumah tangga di enam kota besar di Jawa dan Bali
diperkirakan memelihara burung.
Memelihara burung merupakan budaya, terutama di Jawa, yang hingga kini
masih terlihat. Dalam tradisi ini, seseorang akan dianggap hidup sempurna bila
memiliki lima hal yang disyaratkan, yaitu rumah (wisma), istri (garwa),
keris (curiga), kuda tunggangan (turangga), dan kukila
(burung). Memelihar burung dianggap dapat menghubungkan manusia dengan alam
semesta, membawa keberuntungan, dan kedamaian dalam kehidupan rumah
tangga.
“Melalui program transmigrasi, orang Jwa kini menyebar ke seluruh
tempat di Indonesia” kata Muhammad Iqbal, seorang pemerhati burung, sembari
menambahkan, “Di tempat baru, mereka kemudian mengenalkan tradisi memelihara
burung kepada masyarakat lokal dan menangkapi burung lokal untuk dipelihara.”
Skala perdagangan burung telah lama membuat khawatir pegiat konservasi
dan para ornitologi yang membahayakan populasi burung liar Indonesia. Tapi,
sejauh mana dampaknya, memang tak mudah untuk mengukurnya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar