ad

Senin, 01 Juni 2015

Penafsiran Hakim, Cara Baru Lemahkan Pemberantasan Korupsi


Selama ini, upaya melemahkan pemberantasan korupsi hanya dipahami melalui revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ataupun Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pemberantasan korupsi dilemahkan lewat upaya memereteli kewenangan KPK.
Hakim tunggal Sarpin Rizaldi  memutuskan penetapan tersangka Komisaris Jenderal Budi Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tidak sah. Pembacaan putusan sidang praperadilan tersebut dibacakan di Pengadilan Negeri  Jakarta  Selatan, Senin (16/2).
KOMPAS/ALIF ICHWANHakim tunggal Sarpin Rizaldi memutuskan penetapan tersangka Komisaris Jenderal Budi Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tidak sah. Pembacaan putusan sidang praperadilan tersebut dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (16/2).
Namun, kini ada cara baru yang tampaknya efektif untuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi, yaitu dengan memanfaatkan penafsiran hakim. Setidaknya sudah tiga kali putusan praperadilan mengabulkan permohonan tersangka korupsi di KPK dengan menyandarkan pada penafsiran hakim.
Tiga kasus itu menjadi sinyal kuat bahwa penafsiran hukum oleh hakim nantinya juga akan menjadi salah satu upaya baru untuk melemahkan pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Semua ini menjadi pelajaran bagi penegak hukum bahwa akan selalu ada permasalahan terhadap penafsiran hukum yang berdampak pada penegakan hukum, khususnya pelemahan atas pemberantasan korupsi," ujar Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (29/5).
Penafsiran hakim yang berdampak pada upaya melemahkan pemberantasan korupsi terjadi dalam sejumlah putusan praperadilan yang memenangkan pemohon yang juga tersangka korupsi di KPK. Dalam praperadilan yang dimohonkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan setelah dia ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK, hakim yang menyidangkan permohonan praperadilannya, Sarpin Rizaldi, menyatakan, KPK tak berhak menyidik mantan calon Kapolri tersebut.
Menurut Sarpin, Budi bukanlah penegak hukum dan bukan penyelenggara negara karena dalam surat perintah penyidikan KPK, dia disangka melakukan korupsi saat menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri. Jabatan itu, menurut Sarpin, bukan jabatan penegak hukum dan bukan penyelenggara negara sehingga Budi tidak berhak disidik KPK.
Sementara dalam sidang praperadilan yang dimohonkan Ilham Arief Sirajudin, hakim yang menyidangkan, Yuningtyas Upiek Kartikawati, menyebut KPK tak punya alat bukti cukup. Padahal, KPK memang tak mengumbar bukti keterlibatan Ilham dalam dugaan korupsi yang disangkakan karena filosofi tertutup dalam proses praajudikasi, baik dalam penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan.
Menurut Indriyanto, filosofi tertutup dalam proses ajudikasi ini biasa dilakukan penegak hukum karena ada peluang pihak terkait, baik saksi maupun tersangka, untuk menyamarkan, menghilangkan, mengaburkan, dan merusak alat bukti sebelum peradilan pokok perkara dilakukan.
Putusan praperadilan terakhir yang mengalahkan KPK adalah permohonan yang diajukan tersangka kasus dugaan korupsi pemberian keringanan pajak PT Bank Central Asia Tbk, Hadi Poernomo. Permohonan praperadilan Hadi dikabulkan hakim Haswandi, antara lain, karena penyelidikan dan penyidikan KPK dalam perkara ini dinilai tidak sah. Haswandi menilai penyelidik dan penyidik KPK dalam perkara ini tidak sah secara hukum karena bukan berasal dari Polri.
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Haswandi, mengabulkan permohonan gugatan praperadilan penetapan tersangka mantan Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Putusan itu dibacakan Haswandi selaku hakim tunggal dalam  sidang putusan praperadilan penetapan tersangka Hadi  di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (26/5).
KOMPAS/ALIF ICHWANHakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Haswandi, mengabulkan permohonan gugatan praperadilan penetapan tersangka mantan Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Putusan itu dibacakan Haswandi selaku hakim tunggal dalam sidang putusan praperadilan penetapan tersangka Hadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (26/5).
Putusan ini janggal karena Haswandi sebelumnya pernah menjadi ketua majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi untuk perkara yang disidik KPK. Saat menjadi ketua majelis hakim perkara korupsi yang diusut KPK tersebut, Haswandi tak pernah mempermasalahkan proses penyelidikan perkara yang dia sidangkan itu.

Proses pengusutan kasus korupsi dengan tersangka Anas dan Andi sama dengan ketika KPK mengusut kasus korupsi pemberian keringanan pajak dengan tersangka Hadi. Hakim Haswandi dalam memutus perkara Anas dan Andi tak pernah mempersoalkan status penyelidik KPK dalam kasus itu.
Haswandi adalah ketua majelis hakim untuk perkara korupsi yang didakwakan kepada mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum serta mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng. Dalam dua perkara yang disidik KPK tersebut, putusan Haswandi menyatakan, baik Anas maupun Andi terbukti melakukan korupsi.

Justru dia memvonis keduanya bersalah karena terbukti korupsi. "Ketika kami mengusut kasus yang sudah disidang dan diputus, itu juga diselidiki KPK, oleh penyelidik yang tidak selalu berasal dari Polri atau kejaksaan," kata pelaksana wakil ketua KPK yang lain, Johan Budi SP. (http://print.kompas.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar