Belakangan
ini denyut dan angka tumbuh ekonomi terasa menurun. Secara kuantitatif, kuartal
pertama tahun 2015 ini, angka tumbuh denyut ekonomi dapat dikatakan menurun
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Bila di tahun-tahun sebelumnya berada di
atas angka lima persen, maka kini angka itu turun di bawah lima persen.
Secara
kualitatif dapat kita simak dari keluhan berbagai kalangan. Seorang kenalan
konsultan hukum yang sudah puluhan tahun berpraktik mengeluhkan betapa sulitnya
menjaring klien dalam dua bulan terakhir. “Dua bulan terakhir, hampir-hampir
tak ada orang yang berkonsultasi ke sini,” ujar konsultan hukum yang berkantor
di kawasan Jakarta Kota ini.
Keluhan
senada datang dari kenalan yang berprofesi sebagai notaris. Notaris dengan
wilayah kerja Kota Pagaralam, Sumatera Selatan, ini juga mengaku kantornya
semakin sepi dan sunyi. Memasuki tahun 2015, mendapat satu klien dalam satu
bulan saja, ia sudah sangat bersyukur.
Satu lagi keluhan
dari kenalan seorang pengusaha rental alat berat. “Beberapa mitra asing yang
biasa menyewa alat pengeboran minyak menunda kontrak karena belum ada kejelasan
dan kepastian hukum dari pemerintah,” tutur sang pengusaha yang banyak
menyewakan alat di kawasan Balikpapan, Kaltim, ini.
Satu-satunya
suara optimis datang dari seorang kenalan yang membuka usaha kuliner yang
mengusung brand lokal. Kenalan ini
mengakui memang ada pelambatan angka tumbuh ekonomi. Dia merasakan ini pada
outlet-outlet yang telah lama dibukanya di beberapa kawasan di Jabotabek.
Untuk itu,
kenalan ini berusaha memutar akal dengan membuka outlet baru di kawasan-kawasan
orang berduit. “Saya melihat ada pergeseran tempat makan orang-orang kaya. Bila
selama ini mereka fanatik pada resto-resto berlabel Italia atau Amerika,
belakangan mereka turun konsumsi ke warung-warung lokal dengan cita rasa dan
manajemen yang tidak kalah bagus dibandingkan resto asing,” terang kenalan yang
belum lama ini membuka outlet bakwan di kawasan elit Bekasi.
Menurut
kenalan yang pensiun dini dari perusahaan otomotif ini, selalu ada anugerah di
balik kelesuan ekonomi. Dan, dia menambahkan, tentu tidak hanya buat mereka
yang berusaha di bidang kuliner. “Bagi seorang entrepreneur sejati, sekecil
apapun, peluang senantiasa ada. Tinggal bagaimana kita pandai-pandai mengelola celah
atau ceruk yang boleh jadi bagi banyak orang terasa mustahil,” tuturnya penuh
optimisme.
Intinya
sederhana, bagaimana kita menggunakan sebuah sudut pandang: optimis ataukah
pesimis. Ibarat kata, bila kita melihat jemuran tetangga sebelah rumah lewat
jendela kaca rumah kita kok tiap hari pakaian yang dijemur tampak kotor, maka
tatkala kita berupaya membersihkan kaca jendela rumah kita kemudian yang tampak
jemuran tetangga sebelah pun bersih sesuai warna aslinya.
Sekali
lagi, sudut pandang: senantiasa ada anugerah dan hikmah di balik musibah. (Budi N. Soemardji, orang pinggiran Bekasi)
catatan: esai ini dimuat di WARTA KOTA, Sabtu: 23 Mei 2015, halaman 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar