ad

Rabu, 15 April 2015

Sang Kepda pun Minta Jatah



Entah ini sebuah gelagat ataukah sekadar perilaku oknum. Yang pasti, aku sedikit tertegun ketika salah satu proposal penulisan buku profil daerah yang kukirim ada tanda-tanda respon positif. Bukan soal permintaan fee (jatah) oleh staf yang ditunjuk oleh sang kepala daerah (kepda). Soal itu sudah menjadi kalkulasi tersendiri sebagai pos ongkos bantu-bantu melengkapi data sekunder dan mengagendakan obrolan dengan sang kepda. Dan, itu kupatok tak lebih dari 12,5%. Bila permintaan lebih dari itu, maka lebih baik balik kanan melupakan pekerjaan yang telah menampakkan sinyal lampu hijau itu. Jelas, sekali waktu, ada yang minta sampai 40% dari nilai pekerjaan. Aku diamkan saja dan akhirnya memang tak berlanjut.
Tapi, kali ini sungguh membuatku sedikit tertegun, si staf mengatas-namakan sang kepda mematok jatah (fee) sebesar 10% dari nilai kotor pekerjaan. Ya, sang kepda nitip 10% dari pekerjaan ini. “Maaf mas, pak wali nitip 10% dari pekerjaan ini,” kata si staf agak berbisik saat ketemu di Jakarta untuk membincangkan kelanjutan pekerjaan penulisan profil daerah.
Aku mengernyitkan dahi dan membatin, “Kalau sang kepda minta 10%, lantas fee buat si staf berapa? Masa cukup 2,5%, seperti bayar zakat saja.” Aku sedikit berpikir. Hitung-hitung untuk sedikit menaikkan batas toleransi fee agar pekerjaan masih layak diselesaikan.
Lantas aku sedikit tawar-menawar dengan si staf untuk mencapai kata sepakat nilai fee sang kepda dan si staf. Akhirnya sampai pada kesepakatan total fee keduanya pada angka 15% dari total nilai kotor pekerjaan. Aku memang agak pelit dalam soal fee  dan membatasi sampai angka minimal karena nilai pekerjaan itu sudah termasuk ongkos kirim, ongkos transportasi dan akomodasi selama proses penulisan, dan honor buat kawan-kawan yang ikut berperan-serta. Kita tahu bahwa ongkos transportasi pesawat terbang sangat fluktuatif, tarif tiket yang harus dibayar penumpang dalam satu pesawat bisa berbeda-beda. Belum lagi ditambah risiko menagih pelunasan pembayaran yang kadang memakan waktu berbulan-bulan.
Kendati sedikit alot, kesepakatan pun tercapai. Bersyukur perbincangan dengan sang kepda bisa dilakukan di Jakarta. Jadi ada sedikit penghematan. Pekerjaan pun tuntas di tapal batas waktu.
Semoga saja ini cuma kelakuan oknum per oknum kepda, bukan sebuah gelagat yang sungguh merusak sendi-sendi pemerintahan daerah dan membuat rakyat semakin melarat lalu sekarat. Kenapa merusak? Apakah pekerjaan penulisan profil daerah berefek merusak?
Ya, boleh jadi penulisan profil daerah memang tak berefek langsung ke relung kehidupan masyarakat. Tapi, aku yakin praktik seperti ini tidak hanya terjadi pada pekerjaan penulisan profil daerah. Dari proyek-proyek infrastruktur sampai sekadar penyaluran bantuan sosial, sudah terjangkiti penyakit ini. Seorang kenalan yang banyak menerima pekerjaan pemborongan pembangunan jalan dan jembatan mengaku harus mengikhlaskan sekitar 30-40 persen nilai proyek masuk kantong oknum-oknum administratur pembuat perjanjian kerja, orang dalam yang berwenang mengucurkan duit, pembisik adanya lelang tender, sampai jatah buat pucuk tertinggi di daerah. Kualitas jalan pun bisa kita lihat sendiri, belum diresmikan sudah berubah jadi kubangan kerbau.
Repotnya, sang kepda minta jatah lewat staf yang hanya administratur di mana para administratur itu kini dan ke depan bisa melenggang aman berkat adanya yurisprudensi praperadilan Komjen BG. Hakim memenangkan praperadilan BG, dengan alasan KPK tidak bisa menjadikannya tersangka lantaran BG pada masa itu bukan pejabat, tapi hanya administratur. (BNS)          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar