Entah ini sebuah gelagat ataukah sekadar perilaku oknum. Yang
pasti, aku sedikit tertegun ketika salah satu proposal penulisan buku profil
daerah yang kukirim ada tanda-tanda respon positif. Bukan soal permintaan fee (jatah)
oleh staf yang ditunjuk oleh sang kepala daerah (kepda). Soal itu sudah menjadi
kalkulasi tersendiri sebagai pos ongkos bantu-bantu melengkapi data sekunder
dan mengagendakan obrolan dengan sang kepda. Dan, itu kupatok tak lebih dari 12,5%.
Bila permintaan lebih dari itu, maka lebih baik balik kanan melupakan pekerjaan
yang telah menampakkan sinyal lampu hijau itu. Jelas, sekali waktu, ada yang
minta sampai 40% dari nilai pekerjaan. Aku diamkan saja dan akhirnya memang tak
berlanjut.
Tapi, kali ini sungguh membuatku sedikit tertegun, si staf
mengatas-namakan sang kepda mematok jatah (fee) sebesar 10% dari nilai kotor
pekerjaan. Ya, sang kepda nitip 10% dari pekerjaan ini. “Maaf mas, pak wali
nitip 10% dari pekerjaan ini,” kata si staf agak berbisik saat ketemu di
Jakarta untuk membincangkan kelanjutan pekerjaan penulisan profil daerah.
Aku mengernyitkan dahi dan membatin, “Kalau sang kepda minta
10%, lantas fee buat si staf berapa? Masa cukup 2,5%, seperti bayar zakat saja.”
Aku sedikit berpikir. Hitung-hitung untuk sedikit menaikkan batas toleransi fee
agar pekerjaan masih layak diselesaikan.
Lantas aku sedikit tawar-menawar dengan si staf untuk mencapai
kata sepakat nilai fee sang kepda dan si staf. Akhirnya sampai pada kesepakatan
total fee keduanya pada angka 15% dari total nilai kotor pekerjaan. Aku memang
agak pelit dalam soal fee dan membatasi
sampai angka minimal karena nilai pekerjaan itu sudah termasuk ongkos kirim,
ongkos transportasi dan akomodasi selama proses penulisan, dan honor buat
kawan-kawan yang ikut berperan-serta. Kita tahu bahwa ongkos transportasi
pesawat terbang sangat fluktuatif, tarif tiket yang harus dibayar penumpang dalam
satu pesawat bisa berbeda-beda. Belum lagi ditambah risiko menagih pelunasan
pembayaran yang kadang memakan waktu berbulan-bulan.
Kendati sedikit alot, kesepakatan pun tercapai. Bersyukur
perbincangan dengan sang kepda bisa dilakukan di Jakarta. Jadi ada sedikit
penghematan. Pekerjaan pun tuntas di tapal batas waktu.
Semoga saja ini cuma kelakuan oknum per oknum kepda, bukan
sebuah gelagat yang sungguh merusak sendi-sendi pemerintahan daerah dan membuat
rakyat semakin melarat lalu sekarat. Kenapa merusak? Apakah pekerjaan penulisan
profil daerah berefek merusak?
Ya, boleh jadi penulisan profil daerah memang tak berefek langsung
ke relung kehidupan masyarakat. Tapi, aku yakin praktik seperti ini tidak hanya
terjadi pada pekerjaan penulisan profil daerah. Dari proyek-proyek
infrastruktur sampai sekadar penyaluran bantuan sosial, sudah terjangkiti
penyakit ini. Seorang kenalan yang banyak menerima pekerjaan pemborongan
pembangunan jalan dan jembatan mengaku harus mengikhlaskan sekitar 30-40 persen
nilai proyek masuk kantong oknum-oknum administratur pembuat perjanjian kerja,
orang dalam yang berwenang mengucurkan duit, pembisik adanya lelang tender,
sampai jatah buat pucuk tertinggi di daerah. Kualitas jalan pun bisa kita lihat
sendiri, belum diresmikan sudah berubah jadi kubangan kerbau.
Repotnya, sang kepda minta jatah lewat staf yang hanya
administratur di mana para administratur itu kini dan ke depan bisa melenggang
aman berkat adanya yurisprudensi praperadilan Komjen BG. Hakim memenangkan
praperadilan BG, dengan alasan KPK tidak bisa menjadikannya tersangka lantaran
BG pada masa itu bukan pejabat, tapi hanya administratur. (BNS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar