Pada
status FB-nya, bernada galau sedikit nyinyir, beberapa hari lalu Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional Andrinof Chaniago menulis, “Kritik obyektif ada
kriterianya. Sumber data atau pernyataan utk kritik obyektif tidak layak
diambil dari orang kecewa krn tdk mencapai keinginan pribadi. Orang yg terancam
keluar dari zona nyaman krn perubahan yg sedang dibuat, juga tidak layak
menjadi sumber kritik obyektif. Data dan narasumber obyektif dan pernyataan
kritis itu ada kriterianya. Sumber kritik harus sumber yg bisa dipertanggung-jawabkan.
Bahkan, ketika sdh menemukan narasumber obyektif pun, jumlah narsum obyektif
itu tidak cukup hanya satu. Itu cara menyusun kritik yg benar. Syarat tulisan
opini juga begitu. Harus ada dasar faktual dan data yg cukup. (Pesan khusus utk
majalah Tempe).”
Sebagai
sosok yang berkarir di dunia kampus dan penelitian sosial, Menteri Andrinof wajar-wajar
saja menyampaikan kegundahannya. Karena, memang begitulah premis yang berlaku
dalam upaya atau langkah menjuruskan ke pemikiran ilmiah. Dan itu pula materi
yang acap diterima mahasiswa sebelum menyusun skripsi, tesis dan disertasi.
Tapi,
ketika berhadapan dengan dunia pers atau jurnalistik, apa yang yang diutarakan
Menteri Andrinof terasa sedikit membuat jengah. Pers tentu punya pertimbangan
tersendiri ketika mengambil narasumber. Dan, bila mengacu pada etika
jurnalistik, manakala menurunkan sebuah berita pers mesti meng-cover dua pihak
(cover both side) sehingga muncul
berita yang berimbang (obyektif).
Tentu
berbeda standar jika yang diturunkan adalah sebuah tulisan kolom, opini atau
artikel dari seseorang, lantaran tanggung jawab penuh di tangan penulis. Dapat
saja si penulis menabrak-nabrak pakem sehingga kerap muncul sebuah polemik
antar-pakar atau antar-penulis di media massa.
Bukan
maksud aku membela penerbitan media massa. Terlebih banyak media massa sekarang
yang partisan. Tapi sekadar mengingatkan betapa pentingnya kritik yang datang
dari siapa pun. Entah datang dari orang yang terganggu zona kenyamanannya, dari
orang sakit hati, orang berseberangan ideologi, atau dari orang berbeda akidah
sekalipun.
Di
tengah pemerintahan yang acap membuat kebijakan publik yang membingungkan dan
mencekik rakyat tentu sangat mungkin pemerintah yang tengah berjalan menjadi
sasaran kritik. Bagaimana tidak meneriakkan kritik kalau sebuah kebijakan yang
sudah ditanda-tangani Presiden tiba-tiba ditarik kembali gara-gara sang
Presiden merasa tidak tahu isi naskah kebijakan yang disodorkan oleh para
pembantunya. Apakah kritik terhadap kebijakan semacam ini perlu pendekatan
ilmiah-akademis? Betapa lama media harus menunggu sampai kritik obyektif ala
Menteri Andrinof, sementara media dihadapkan pada deadline pemberitaan.
Tanpa
bermaksud mengkritik Menteri Andrinof, aku hanya ingin mengajak segenap pejabat
agar tidak alergi terhadap kritik. Ada baiknya kita belajar pada ucapan
Khalifah Umar bin Khattab bahwa, “Orang yang paling aku
sukai adalah dia yang menunjukkan kesalahanku.” Banyak
orang hanya butuh sanjungan asal bapak senang. Mari kita revolusi mental
semacam ini. Bahwa kritik senantiasa dibutuhkan, untuk melecut kinerja yang
lebih profesional, amanah dan berkah. (Budi
N. Soemardji, orang pinggiran Bekasi)
catatan: dimuat oleh koran WARTA KOTA edisi 17 April 2015 pada rubrik citizen journalism.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar