ad

Jumat, 10 April 2015

Hakim Tatik Hadiyanti Kembali Meluruskan Fungsi Praperadilan

Janganlah sempat mengira perempuan hakim itu mudah "didekati", "digoda" dengan berbagai iming-iming, atau dianggap lemah putusannya dibandingkan pria hakim. Banyak contoh telah membuktikan perempuan-perempuan hakim memiliki karakter kuat dalam putusannya.
Hakim Tatik Hadiyanti  membacakan putusan sidang praperadilan yang diajukan mantan Menteri Agama Suryadharma Ali di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (8/4). Dalam putusannya, hakim menolak permohonan Suryadharma Ali.
Kompas/Heru Sri KumoroHakim Tatik Hadiyanti membacakan putusan sidang praperadilan yang diajukan mantan Menteri Agama Suryadharma Ali di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (8/4). Dalam putusannya, hakim menolak permohonan Suryadharma Ali.
Tatik Hadiyanti adalah salah satu contoh perempuan hakim yang dikenal kuat karakternya, terutama saat dia bertugas di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta.
Namanya kini melambung karena baru saja memutuskan menolak permohonan praperadilan Suryadharma Ali, mantan Menteri Agama yang dijadikan tersangka dugaan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Tanpa "terintimidasi" keputusan koleganya di PN Jakarta Selatan sebelumnya, yaitu hakim Sarpin Rizaldi yang lebih dulu mengabulkan permohonan praperadilan Komisaris Jenderal Budi Gunawan, Tatik secara otonom telah menentukan sendiri putusannya.
Jauh sebelum Sarpin, kolega Tatik lainnya di PN Jakarta Selatan, yaitu Suko Waluyo, juga pernah mengabulkan praperadilan Bachtiar Abdul Fatah pada 2 Desember 2012.

Bachtiar menggugat penetapan tersangka oleh Kejaksaan Agung. Hakim Suko Waluyo kemudian menyatakan penetapan tersangka tersebut tidak sah. Namun, putusan itu dibatalkan MA karena dianggap menabrak ketentuan Pasal 77 KUHAP dan hakim Suko Waluyo didemosi ke Maluku (Kompas Siang, 17/3/2015).
Oleh karena itu, putusan Tatik Hadiyanti telah mengembalikan kepercayaan publik terhadap fungsi praperadilan yang seharusnya. Tatik telah mengembalikan lembaga praperadilan sesuai dengan ketentuan undang-undang, yaitu Pasal 77 Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana.
Tatik pada Rabu (8/4) telah menolak seluruh permohonan Suryadharma yang mempersoalkan keabsahan penetapan tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan korupsi penyelenggaraan ibadah haji tahun 2012-2013. Alasan penolakan, antara lain, adalah praperadilan tidak berwenang memeriksa keabsahan penetapan tersangka (Kompas, 9/4).
Hakim yang pernah bertugas di PN Klaten, Jawa Tengah, ini telah mengembalikan praperadilan ke posisi seharusnya, menguatkan kembali putusan hakim Kristanto Sahat Hamonangan Sianipar dari Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, dan membalik putusan Sarpin dalam waktu yang tak berpaut lama, 10 Maret lalu.
Simpatisan  Suryadharma  Ali berdoa dan berorasi di luar ruang sidang  sebelum hakim Tatik Hadiyanti membacakan keputusan sidang praperadilan yang diajukan mantan Menteri Agama Suryadharma Ali di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (8/4).
Kompas/Heru Sri Kumoro
Hakim Tatik Hadiyanti   membacakan putusan sidang praperadilan yang diajukan mantan Menteri Agama Suryadharma Ali di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (8/4).
Kompas/Heru Sri Kumoro
Kristanto, hakim di PN Purwokerto, juga menolak permohonan praperadilan Mukti Ali, pedagang sapi asal Berkoh, Kecamatan Purwokerto Selatan (Kompas, 14/3).
Kristanto dan Tatik tetap berpegang pada ketentuan Pasal 77 KUHAP, yang tidak memasukkan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan.
Karekter tegas
Bagi yang pernah mengikuti sepak terjang Tatik Hadiyanti (di media sering ditulis dengan Tatik Hardiyanti atau Tati Hadiati) sebelumnya, terutama ketika ia memimpin sidang atau menjadi anggota hakim kasus-kasus korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, putusan Tatik kali ini bukanlah hal yang aneh dan sudah konsisten dengan karakter dia selama ini.
Putusan tersebut pasti akan diambil Tatik, sesuai dengan karakter dia yang taat pada teks undang-undang. Pasal 77 KUHAP terkait kewenangan praperadilan memang bersifat limitatif dan penetapan tersangka tak termasuk di dalamnya. Rasanya Tatik tak mungkin menerobos kaidah itu walau ada dalih ingin melakukan penemuan hukum atau agar disebut hakim progresif.
Ketika bertugas di Pengadilan Tipikor Jakarta, Tatik tampil dengan karakter sebagai hakim yang pertanyaannya ditakuti para terdakwa atau saksi. Ia seolah memiliki indra keenam, yaitu mampu membaca jika ada sesuatu yang tak beres.
Karakter perempuan yang anggun, lembut, dan tegas yang bersatu padu pada dirinya kadang mengecoh terdakwa atau saksi yang ingin mendapat belas kasihan dari Tatik. Sudah banyak kepalsuan para terdakwa dan saksi yang tercium Tatik.
Sebut saja ketika Tatik memimpin sidang dengan terdakwa Neneng Sri Wahyuni pada 2013. Di tengah dominasi pria, perempuan hakim ini memang menarik perhatian. Perempuan hakim lebih lihai menguber pertanyaan secara rinci yang kerap terlupakan hakim lain.
Tatik tak mudah ditundukkan dengan kesaksian berbelit-belit. Kepalsuan dapat mudah terbaca karena hakim juga belajar psikologi dan gerak tubuh. Lembut, perhatian, dan tegas memang bersenyawa jadi satu.
Namun, ketika kepalsuan tercium, tak akan ada belas kasihan. Terdakwa Neneng saat itu pernah kena batunya di persidangan.
Kamis (14/3/2013), kesabaran Tatik diuji dengan pengajuan penundaan vonis Neneng. Publik mencatat, Neneng terlalu sering mengajukan penundaan sidang dengan alasan sakit, yaitu diare dan mag.
Didukung hasil pemeriksaan dokter Komisi Pemberantasan Korupsi, yang menyatakan Neneng bisa mengikuti persidangan, Tatik membuat keputusan bersejarah. Untuk pertama kalinya di Pengadilan Tipikor Jakarta vonis dibacakan tanpa kehadiran terdakwa.
Keputusan berani yang melegakan rasa keadilan publik. Vonis yang dijatuhkan begitu perkasa dan meyakinkan, pidana penjara 6 tahun dari tuntutan jaksa 7 tahun. Vonis itu lebih berat dibandingkan vonis untuk suami Neneng, M Nazaruddin, 4 tahun 10 bulan penjara.
Mempelajari psikologi
Penulis masih ingat ketika mengikuti sebuah sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 2013. Saat itu sidang korupsi alat kesehatan dengan terdakwa pegawai Kementerian Kesehatan, Rustam Syarifuddin Pakaya.
Saksi yang dihadirkan adalah Rosdiah Endang, adik mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Di sidang itu, Rosdiah tampak lemas, memelas, dan sulit merespons pertanyaan hakim.
Namun, Tatik tetap gigih bertanya, seolah telah membaca gerak tubuh saksi yang tak natural. Rosdiah sering mengatakan tidak tahu atau lupa dan menyebut sebagai orang awam.
"Maaf, saya orang awam, tidak tahu," jawab Rosdiah. Namun, bukan belas kasihan yang diterima Rosdiah, justru kritik pedas dari Tatik.
"Katanya Ibu ini pengusaha, berusaha dengan Jefry, kok, bilangnya orang awam. Ibu ini orang berpendidikan, sarjana S-1, bukan orang awam, jangan pura-pura. Bisa menanam modal Rp 500 juta itu bukan orang awam," tutur Tatik.
Suasana ruang pengadilan saat itu sempat hening, tak menyangka hakim Tatik begitu tegas. Tatik pun menekankan bahwa para hakim telah dibekali ilmu psikologi yang bisa membaca apakah seseorang bohong atau jujur.
"Bapak ini ndhredheg, begini ya, beri keterangan yang bener biar tenang," kata Tati kepada saksi lain.
Perempuan hakim biasanya memiliki keunggulan unik dibandingkan pria hakim. Ada yang ahli membaca gerak gerik tubuh seseorang, ada yang paham betul psikologi seseorang, ada yang menyukai detail-detail pertanyaan yang sering menjadi pintu masuk membongkar kebohongan yang lebih besar, ada pula yang sangat kuat memorinya terkait fakta sidang sebelumnya.
Fungsi praperadilan
Dari arsip Kompas, 31 Maret 1982, permohonan pemeriksaan praperadilan di Indonesia yang pertama kali dikabulkan hakim adalah permohonan yang diajukan Liem Siang Ceng dan Oslan Tan Sie, warga Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Hakim praperadilan pada PN Banjarmasin, D Tumanggor, memerintahkan penyidik Komando Daerah Kepolisian XIII/Kalimantan Selatan untuk segera membebaskan tahanan.
Penyidik dianggap melakukan penahanan semena-mena dalam kasus dugaan tindak pidana penggelapan dan penipuan. Pada era itu, Ketua PN Banjarmasin SP Soenarto mengatakan, dikabulkannya permohonan praperadilan yang menjadi kasus pertama di Indonesia memberi bukti bahwa masih ada jalan penyelesaian secara manusiawi dalam sistem hukum Indonesia.
Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP menyebutkan, pengadilan negeri berwenang memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. Ketentuan itu, pertama, mengenai sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan. Kedua, ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Apa yang dikatakan Ketua PN Banjarmasin SP Soenarto pada era 1982-an masih relevan untuk disampaikan lagi. Bahwa semangat praperadilan adalah untuk memunculkan sisi manusiawi dari tindakan paksa aparat dalam menegakkan hukum.
Masih banyak permohonan praperadilan yang diajukan para tersangka dugaan korupsi. Mengutip pendapat Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Eddy Os Hiariej, bahwa dalam mengadili setiap perkara, hakim sangat bersifat otonom dan tidak terikat pada putusan hakim sebelumnya.
Itu berarti, memang sangat mudah untuk memanfaatkan praperadilan guna menggugat penetapan tersangka kasus korupsi. Jalan praperadilan hingga kini masih terbentang dua arah, mengikuti jalan Sarpin ataukan jalan Tatik.
Selama Mahkamah Agung tak turun tangan, makin rumit ke arah mana arah praperadilan Indonesia dalam menanggapi penetapan seorang tersangka.(http://print.kompas.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar