Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada mempertanyakan komitmen dan independensi Jaksa Agung yang baru HM. Prasetyo dalam pemberantasan korupsi
Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Zainal Arifin Mochtar, Jumat (21/11) mempertanyakan keputusan presiden Joko Widodo memilih HM. Prasetyo sebagai Jaksa Agung yang baru menggantikan Basrief Arif.
Meskipun pemilihan Jaksa Agung adalah hak prerogatif Presiden, tetapi menurut Zainal, nantinya akan memimpin kejaksaan yang merdeka dalam melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan serta kewenangan lainnya.
Jaksa Agung dalam menjalankan tugas tidak boleh tunduk kepada kepentingan apapun kecuali kepada hukum. Sementara Prasetyo berasal dari partai politik meskipun sudah mengundurkan diri, Zainal Arifin Mochtar menghawatirkan independensi HM. Prasetyo.
”Apa sih keunggulan prestasi yang dipunyai oleh Prasetyo jika dibandingkan dengan kandidat yang lain. Lalu yang namanya politisi ia mempunyai preferensi selain preferensi penegakan hukum. Penegak hukum itu harusnya tidak berpihak kecuali berpihak kepada keadilan,” kata Zainal Arifin Mochtar.
Karena itu Zainal mengajak masyarakat untuk mengawal serta mengkritisi kinerja Prasetyo.
Sementara itu peneliti PUKAT UGM Zaenur Rochman mengatakan, sampai saat ini pusaran korupsi belum beranjak jauh dari partai politik. Buktinya banyak kasus korupsi yang besar dilakukan oleh para politisi dalam aktivitas politiknya.
Meskipun sudah mengundurkan diri dari partai, penunjukan seorang politisi menjadi Jaksa Agung dapat mempengaruhi independensi kejaksaan. Salahsatu pertanyaan terbesarnya, bagaimana Prasetyo dapat membuat gebrakan dalam memberantas korupsi politik.
“Misalnya dalam penganggaran di DPR atau di kementerian, para menteri yang berasal dari partai politik sehingga bisa dikatakan episentrum korupsi itu masih berputar di sekitar partai politik. Seorang Jaksa Agung yang berlatar belakang politisi itu tentu akan membawa permasalahan tersendiri dalam pemberantasan korupsi dibidang korupsi politik”, kata Zaenur Rochman.
Terhadap pro dan kontra pemilihan Jaksa Agung yang baru, Profesor Purwo Santoso dari jurusan Politik Pemerintahan Fisipol UGM mengajak masyarakat untuk bersikap “wait and see”.Jika masyarakat mengidentifikasi adanya cacad moral atau cacad lain yang tidak bisa ditoleransi sebaiknya segera disampaikan kepada presiden.
Purwo Santoso menambahkan, dari awal ia tidak sependapat dengan dikotomi antara professional dan politisi untuk menduduki jabatan dibawah koordinasi presiden.
“Saya kira kita harus berikan kesempatan kepada presiden menguji kehebatan orang yang telah diberi kepercayaan kaitannya dengan agenda besar yang saya kira tidak memungkinkan presiden main-main adalah harapan publik terhadap anti korupsi, harapan agar birokrasi atau pemerintah menjadi sederhana, apa adanya dan seterusnya itu tidak akan tercapai kalau yang ditaruh di Kejaksaan Agung adalah orang-orang yang akan membebani presiden. Karena dengan mengangkat orang itu kan ingin memindahkan pekerjaan kepada orang-orang kepercayaan. Saya lebih “wait and see” saja”, kata Purwo Santoso.
Hari Kamis (20/11) Presiden Joko Widodo melantik dan mengambil sumpah HM. Prasetyo, anggota DPR dari Partai Nasdem periode 2014-2019, sebagai Jaksa Agung menggantikan Basrief Arief yang masa tugasnya berakhir sesuai dengan berakhirnya kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono 20 Oktober lalu. (http://www.voaindonesia.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar