Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyatakan kualitas pemilihan kepala daerah secara langsung menunjukkan pengaruh signifikan terhadap korupsi kepala daerah. Pernyataan tersebut disampaikan saat sidang promosi Doktor Ilmu Pemerintahan yang diikuti Gamawan di Institt Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jumat (19/9).
Dalam disertasinya, Gamawan menyisir masalah mulai dari tahapan pilkada. Yakni tahapan persiapan, pelaksanaan, pengesahan, hingga pelantikan. Tahapan pilkada langsung dibiayai dari APBD dengan jumlah cukup besar. Biaya bertambah ketika pemilu dilakukan sebanyak dua putaran.
Gamawan melihat terdapat kecenderungan peningkatan biaya APBD pada pos hibah dan bantuan sosial satu tahun sebelum hingga saat pilkada digelar. Kajiannya diperkuat dengan data dari Komisi Pemberantas Korupsi (KPK).
Kenaikan dana hibah digunakan untuk sosialisasi dan kampanye terselubung sebelum pilkada. Biaya yang dikeluarkan calon kepala daerah antara lain untuk pencalonan melalui partai, sosialisasi, survei, konsultan politik, iklan politik, kampanye, sekretariat pemenangan, dan biaya saksi.
Calon kepala daerah masih harus mengeluarkan biaya untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Biaya besar yang dikeluarkan calon kepala daerah, menurut Gamawan, tidak sebanding dengan penghasilan yang diterima kepala daerah.
Berdasarkan Keputusan Presiden nomor 68 tahun 2001 tentang Tunjangan Jabatan Bagi Pejabat Negara, diatur total gaji gubernur Rp 8.4 juta, dan gaji bupati/walikota sebesar Rp 5.88 juta.
"Perbedaan yang mencolok itu yang mendorong terjadinya korupsi yang dilakukan kepala daerah," ujar Gamawan.
Modus dan jenis korupsi yang dilakukan melalui penyuapan, pemerasan, dan nepotisme. Gamawan menggunakan beberapa indikator dalam penelitiannya untuk mengukur tingkat korupsi kepala daerah. Antara lain, pemberian janji, pemberian hadiah, pemberian cinderamata, pemberian fasilitas dan liburan.
Lalu, penyalahgunaan wewenang, memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain, dan penggelapan. Modus nepotisme dilakukan dalam bentuk penerimaan pegawai, pengangkatan dalam jabatan, pemenangan tender, dan pemberian izin.
Dalam disertasinya, Gamawan menyisir masalah mulai dari tahapan pilkada. Yakni tahapan persiapan, pelaksanaan, pengesahan, hingga pelantikan. Tahapan pilkada langsung dibiayai dari APBD dengan jumlah cukup besar. Biaya bertambah ketika pemilu dilakukan sebanyak dua putaran.
Gamawan melihat terdapat kecenderungan peningkatan biaya APBD pada pos hibah dan bantuan sosial satu tahun sebelum hingga saat pilkada digelar. Kajiannya diperkuat dengan data dari Komisi Pemberantas Korupsi (KPK).
Kenaikan dana hibah digunakan untuk sosialisasi dan kampanye terselubung sebelum pilkada. Biaya yang dikeluarkan calon kepala daerah antara lain untuk pencalonan melalui partai, sosialisasi, survei, konsultan politik, iklan politik, kampanye, sekretariat pemenangan, dan biaya saksi.
Calon kepala daerah masih harus mengeluarkan biaya untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Biaya besar yang dikeluarkan calon kepala daerah, menurut Gamawan, tidak sebanding dengan penghasilan yang diterima kepala daerah.
Berdasarkan Keputusan Presiden nomor 68 tahun 2001 tentang Tunjangan Jabatan Bagi Pejabat Negara, diatur total gaji gubernur Rp 8.4 juta, dan gaji bupati/walikota sebesar Rp 5.88 juta.
"Perbedaan yang mencolok itu yang mendorong terjadinya korupsi yang dilakukan kepala daerah," ujar Gamawan.
Modus dan jenis korupsi yang dilakukan melalui penyuapan, pemerasan, dan nepotisme. Gamawan menggunakan beberapa indikator dalam penelitiannya untuk mengukur tingkat korupsi kepala daerah. Antara lain, pemberian janji, pemberian hadiah, pemberian cinderamata, pemberian fasilitas dan liburan.
Lalu, penyalahgunaan wewenang, memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain, dan penggelapan. Modus nepotisme dilakukan dalam bentuk penerimaan pegawai, pengangkatan dalam jabatan, pemenangan tender, dan pemberian izin.
Mantan gubernur Sumatera Barat itu menjelaskan, sejak tahun 2005 hingga Desember 2013 terdapat 319 kepala daerah yang tersangkut masalah hukum. Sebanyak 283 di antaranya tersandung kasus korupsi. Terdiri atas 243 kepala daerah berstatus tersangka, dan 76 masih dalam pemeriksaan.
Kepala daerah yang tersandung kasus korupsi tersebut, sebanyak 156 orang merupakah hasil pilkada langsung. (www.republika.co.id)
Kepala daerah yang tersandung kasus korupsi tersebut, sebanyak 156 orang merupakah hasil pilkada langsung. (www.republika.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar