Akhmadi Yasid
PENANGKAPAN
Mario C. Bernardo, pengacara pada lawfirm Hotma & Associate,
mengirim pesan penting bagi kita semua. Penangkapan advokat yang disebut
masih keponakan Hotma Sitompul itu benar-benar membuka mata kita.
Betapa profesi yang mulia (officium nobile) itu mudah tergelincir pada
lubang kelam hukum yang mestinya ditegakkan.
Mario C. Bernardo yang
tertangkap tangan menyerahkan uang kepada Djodi Suratman, pegawai MA,
bisa menjadi kenyataannya yang tidak hanya berhenti di situ. Bukan tidak
mungkin uang itu diduga memang untuk mengurus perkara di MA.
Sepertinya, banyak mafia di gerbang terakhir penegakan hukum itu. Bukan
tidak mungkin, uang itu sebenarnya memang untuk diserahkan kepada
pejabat sekelas hakim agung. Lebih-lebih media sudah membuka bahwa Mario
C. Bernardo diduga memakelari kasasi kasus tanah di MA. Sulit menerima
dalih bahwa itu uang THR atau sumbangan gereja (Jawa Pos, 30 Juli).
Kita maklum, setiap OTT
(operasi tangkap tangan) KPK cenderung ”lebih cerah daripada warna
aslinya”. Tak terhitung jumlah kasus OTT KPK yang semula terlihat biasa.
Tapi, setelah bukti penyadapan dibuka di persidangan, baru publik
menyadari betapa hasil OTT KPK ”lebih cerah daripada warna aslinya”.
Yang jelas, ada indikasi permainan hukum oleh advokat.
Penangkapan Mario C. Bernardo
dari lawfirm beken itu menarik jika ditelisik dari kacamata lebih luas.
Kasus ini seolah menjelaskan kepada kita bahwa profesi terhormat
(officium nobile) itu sangat rawan penyimpangan. Sudah jamak kita
ketahui kasus-kasus yang melibatkan advokat hitam.
Dari sekian black lawyer yang
dirilis ICW, ada beberapa yang memang sudah bukan rahasia. Haposan
Hutagalung, misalnya, mencuat seiring kasus mafia pajak Gayus Tambunan
bersama Lambertus Palang Ama.
Tak terkecuali advokat sepuh
Harini Wijoso yang juga ditangkap saat berusaha menyuap pegawai MA dan
hakim agung. Advokat nakal pasti jauh lebih banyak. Inilah yang oleh
sebagian kalangan disebut darurat hukum. Pengacara sebagai catur wangsa
penegak hukum dipergoki abai pada etika profesi dan standar etik yang
lain. Benar kata Lawrence M. Friedman tentang begitu pentingnya
membangun hukum tidak hanya dari struktur dan substansi. Kultur hukum
yang berisi kebiasaan, cara berpikir dan bertindak, harus selalu baik
dari para penegak hukum. Ini berkaitan erat dengan pengawasan
masyarakat.
Sebelum UU No 18/2003 tentang
Advokat diberlakukan, selalu ada kesan profesi ini menjadi subvarian.
Setidaknya jika dibandingkan dengan elemen catur wangsa hukum yang lain,
yakni polisi, jaksa, dan hakim. Namun, sejak UU Advokat diberlakukan,
profesi officium nobile itu semakin terlegitimasi. Inilah alasannya
mengapa advokat harus diikat oleh kode etik untuk melindungi masyarakat
dari perilaku tidak patut.
Hal ini berbanding lurus dengan
pasal 3 huruf g bab II Kode Etik Advokat Indonesia, bahwa ”Advokat
harus senantiasa menjunjung tinggi profesi advokat sebagai posisi
terhormat”. Pada pasal 3 huruf b malah ditegaskan soal pentingnya
kepribadian advokat.
”Advokat dalam melakukan
tugasnya tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi,
tetapi lebih mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan”.
Pasal ini menegaskan bahwa
advokat menjadi benteng penegakan hukum (law enforcement) bersama
polisi, jaksa, dan hakim. Sayangnya, dalam praktik tercium banyak
advokat (bersama aparatur lain) yang justru membelokkan hukum. Kalau
sedikit mau belajar dari kehidupan advokat di negara maju, betapa mereka
berupaya mempertahankan kebenaran materiil.
Tak jarang advokat bertindak
seperti penyidik untuk menggali sedalam-dalamnya kebenaran materiil yang
terkadang tidak ditemukan di persidangan.
Seperti pada film A Civil
Action (1998) yang dibuat berdasar kisah nyata, dengan tokoh utama Jan
Schlichtmann dan diperankan John Travolta. Jan Schlichtmann harus
berhenti menjadi injury lawyer dan beralih menjadi pengacara lingkungan
demi sebuah kebenaran. Itu dilakukan untuk menghindari kongkalikong
hukum, bukan sebaliknya.
Melihat advokat hitam, pendapat
Vito Corleone Andolini dalam film The Godfather, seperti benar adanya.
“A lawyer with his briefcase can steal more than a hundred men with
guns” (seorang pengacara dengan tasnya bisa mencuri lebih dari seratus
orang dengan senjata).
Akankah dunia advokat (dan
aparat hukum lain) kita akan terus seperti ini? Kita yang harus
menjawabnya. Maklum, dalam urusan hukum terkadang kita memberikan ruang
untuk bermain-main dengan suap. Alasan memenangkan perkara klien menjadi
pelengkap penyimpangan etika profesi advokat.(http://www.padangekspres.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar