SOLUSI
DAMAI BAGI PAPUA
Saya memiliki
keberanian untuk percaya bahwa orang di mana mereka berada dapat makan tiga
kali sehari untuk tubuh mereka, pendidikan dan kebudayaan untuk pikiran mereka,
dan martabat, kualitas, dan kebebasan untuk jiwa mereka. Saya percaya bahwa apa
yang dihancurkan oleh orang-orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri dapat
dibangun kembali oleh orang-orang yang memikirkan orang lain.
Martin Luther King Jr,
aktivis HAM Afrika-Amerika
Konflik kepentingan
dalam gerak-langkah perjalanan dan proses pembangunan Papua adalah sebuah
realita-fakta yang sejatinya tak perlu terjadi. Sebab, semua itu hanya akan
merugikan masyarakat Papua sendiri serta bangsa-negara Indonesia pada umumnya.
Kata pepatah lama: kalah jadi abu menang jadi arang. Tak ada yang diuntungkan
sama sekali. Karena itu, kini lah saatnya masyarakat Papua dilibatkan secara
aktif sebagai subyek (bukan obyek) pembangunan. Mulai dari perencanaan, proses,
implementasi, pengawasan, sampai menikmati hasil-hasil pembangunan. Dalam
pembangunan Papua juga harus dijaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan
hidup (keadilan ekologi) serta nilai-nilai sosial-budaya, adat-istiadat dan
khazanah-kearifan masyarakat setempat (lokal) yang mesti dihargai dan dihormati
keberadaannya. Dan, upaya itu telah diretas melalui kebijakan pemberlakuan
otonomi khusus untuk Papua.
Rakyat Papua menerima
status otonomi khusus (otsus) pada tahun 2001. Tepatnya pada 21 November 2001 setelah
disahkannya UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus Untuk Papua. Kebijakan
Otonomi Khusus merupakan suatu kebijakan strategis dalam rangka peningkatan
pelayanan, akselerasi pembangunan dan pemberdayaan seluruh rakyat Papua,
terutama orang asli Papua (Kambuaya, 2008). Melalui kebijakan ini diharapkan
dapat mengurangi kesenjangan Provinsi Papua dan Papua Barat, dengan
provinsi-provinsi lain di Tanah Air serta akan memberikan peluang bagi orang
asli Papua untuk berkiprah di wilayahnya sebagai subyek sekaligus obyek
pembangunan. Selain itu, kebijakan ini diharapkan pula dapat menjadi solusi damai
bagi bertemunya berbagai kepentingan yang ada di Tanah Papua.
Otsus berjalan
tertatih-tatih. Tampak misalkan, ‘jantung’ UU Otonomi Khusus (yaitu pembentukan
Majelis Rakyat Papua/MRP) tersebut baru terwujud tiga tahun berselang, tahun
2004. Dan, baru pada November 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian
mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2005 tentang MRP. Menteri
Dalam Negeri (waktu itu) M. Ma’ruf lalu melantik 42 orang anggota MRP yang
tugas utamanya adalah memperjuangkan hak-hak dasar orang asli Papua dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Masa jabatannya ditetapkan
selama lima tahun.
Solusi damai melalui
kebijakan Otonomi Khusus kini telah berjalan lebih dari sembilan tahun. Dan, hasilnya,
saat ini (2010) Papua mampu menempati posisi kelima tingkat tertinggi PDRB (Produk
Domestik Regional Bruto) setelah DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau
dan Riau. Papua memiliki dua sektor perekonomian yang dominan, pertambangan dan
pertanian, yang menyumbangkan 76% dari total PDRB. Sayangnya, PDRB yang relatif
tinggi itu tidak serta merta mencerminkan tingkat kesejahteraan warga
masyarakat Papua. Sebagian besar warga Papua masih miskin dan kesulitan mengakses
berbagai kebutuhan mendasar (misalnya pendidikan, kesehatan dan keperluan
ekonomi masyarakat). Hal ini, sekadar contoh tercermin dari sisi kesehatan, di
mana angka kematian bayi mencapai 122 per 1000 kelahiran, terdapat 3.751 balita
meninggal dari 47.709 balita yang hidup, dan angka kematian balita mencapai 64
per 1.000 kelahiran hidup (Manufandu, 2010). Secara nasional, tahun 2009, angka
kematian bayi cuma 35 per 1.000 kelahiran dan angka kematian balita hanya 38,9
per 1.000 kelahiran hidup.
Mengacu pada
angka-angka tersebut dapat dikatakan bahwa ada persoalan dalam pembangunan
kesehatan di Papua yang kemudian mengakibatkan angka kematian bayi dan balita
relatif tinggi. Hal ini tak terlepas dari pengalokasian anggaran kesehatan sebagaimana
tertuang dalam dokumen APBD Provinsi Papua yang setiap tahun menggambarkan
ketidak-adilan dan menyalahi aturan. Katakanlah APBD Provinsi Papua tahun 2009,
anggaran sektor kesehatan dialokasikan sebesar Rp295,29 miliar (5,74% dari APBD
atau 11,31% dari dana otsus). Dari sisi prosentase tampak belum memenuhi amanat
UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus Untuk Papua di mana pembangunan sektor
kesehatan menjadi prioritas untuk didanai dengan dana otonomi khusus (otsus).
Nilai ini juga belum sesuai dengan standar WHO (World Health Organization) yang menetapkan porsi anggaran kesehatan
15% dari APBD. Dari total anggaran kesehatan 2009 tersebut dialokasikan untuk
belanja tidak langsung (gaji dan tunjangan aparatur/PNS) sebesar Rp108,26
miliar (36,66%). Sedangkan untuk belanja langsung (publik) sebesar Rp187,03
miliar (63,34%).
Secara
sosial-ekonomi, taraf kehidupan warga masyarakat Papua pun masih relatif
tertinggal. Selain kalah bersaing dengan kaum pendatang yang mampu menguasai
akses barang dan jasa, orang asli Papua yang sebagian besar tinggal di pedesaan
atau daerah-daerah terpencil kesulitan menembus akses barang dan jasa kebutuhan
pokok. Berdasarkan pada sensus pada tahun 2000, 30% dari keseluruhan jumlah
penduduk di Papua tinggal di pusat atau kota-kota. Komposisi penduduk perkotaan
ini terdiri dari 55% penduduk non-Papua dan 45% asli Papua. Kemudian komposisi
penduduk pedesaan atau daerah terpencil terdiri dari 95% masyarakat asli Papua
dan cuma 5% non-Papua. Ketidak-seimbangan komposisi penduduk tidak hanya
terjadi di antara penduduk daerah perkotaan dan pedesaan, tetapi juga antara
masyarakat asli Papua dan non-Papua di daerah transmigrasi seperti Arso: jumlah
penduduk asli sekitar 1.000 orang di mana jumlah transmigran (non-Papua) sekitar
19.000 orang (Sensus 2000).
Ketidak-seimbangan
demografi ini merupakan ekses negatif dari pelaksanaan program transmigrasi dan
marginalisasi penduduk asli Papua yang berakar dari kesenjangan antar-kelompok
masyarakat antara penduduk asli Papua dan para transmigran (non-Papua).
Pertemuan secara mendadak antara penduduk asli Papua dengan kebudayaan-kebudayaan
lain, alienasi penduduk asli dari tanah ulayat mereka, berkurangnya ruang gerak
hidup (lebensraum) penduduk asli,
juga ketegangan sosial ekonomi dan kesukuan adalah beberapa efek dari program
transmigrasi. Kasus transmigrasi menunjukkan distribusi penduduk yang tidak
sejalan dengan distribusi kesejahteraan sosial.
Data BPS tahun 2006
menyajikan angka 47,99% dari total 2,4 juta penduduk Papua tergolong miskin. Fakta
lain, laporan pembangunan manusia Indonesia (2004) menyebutkan Papua sebagai
provinsi termiskin yang tertinggi di Indonesia. Indikasinya adalah 41,8%
penduduk Papua berpenghasilan kurang dari US$1 per hari. Padahal Papua termasuk
provinsi dengan pendapatan per kapita tertinggi di Indonesia. Situasi rendahnya
tingkat kesejahteraan rakyat tersebut terasa sangat kontras dengan dana otsus
yang selama delapan tahun terakhir ini telah mencapai puluhan triliunan rupiah.
Sebagaimana kita ketahui, sejak tahun 2002 Provinsi Papua menerima dana otsus
sekitar Rp1 triliun per tahun. Bahkan, mulai tahun 2007 dana otsus meningkat
sampai Rp3,2 triliun per tahun.
Lantaran miskin dan
papa, rakyat asli Papua pun terhalangi untuk mengakses dan memakai
sumber-sumber daya yang ada (baik itu alam, sosial ekonomi, politik, hukum ataupun
budaya) yang adalah hak mereka pula. Sejak era Orde Baru, kesempatan masyarakat
asli Papua untuk terlibat dalam sektor perekonomian boleh dikatakan sangat
kurang. Masyarakat asli Papua tidak dapat memenuhi penghidupan mereka sendiri
karena kebanyakan kesempatan untuk mengembangkan usaha diberikan kepada mereka
yang sudah memiliki modal sendiri.
Sementara itu karakter
utama dari penduduk asli Papua adalah subsisten. Jelas merepotkan, lantaran karakter
ini tidak sesuai dengan kesempatan yang disediakan oleh dunia usaha, terutama
sektor industri dan pertanian. Industri pertambangan padat modal menghasilkan
57% PDRB dan cuma menyerap 0,6% angkatan kerja, sedangkan sektor pertanian
menghasilkan 19% PDRB dengan 75% angkatan kerja. Dalam sektor bisnis,
keterlibatan penduduk asli Papua sangat rendah dan hampir semua pengusaha
adalah kaum migran. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan perekonomian tidak
mencerminkan keadilan distribusi termasuk akses terhadap kebutuhan dasar.
Ketidak-adilan kesempatan berakar dari prasangka dan rasisme yang diakibatkan
oleh penduduk asli Papua yang diposisikan sebagai inferior seperti yang
terdokumentasi dalam gagasan-gagasan dasar yang menjadi latar belakang
perumusan Undang-Undang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua dalam bentuk
wilayah dengan pemerintahan sendiri pada tahun 2001. Misalkan kondisi penduduk
asli Papua digambarkan: 75% tidak memiliki akses terhadap pendidikan yang
layak, 50% tidak pernah mendapatkan pendidikan formal atau tidak lulus dari
sekolah dasar, 22% hanya lulus dari sekolah dasar, 10% lulus dari sekolah
menengah umum, dan cuma 2% lulus dari universitas. Dalam jajaran Pegawai Negeri
Sipil (PNS) hanya 35% posisi Eselon II dalam pemerintahan Provinsi Papua yang
ditempati oleh penduduk Asli Papua dan untuk Eselon III hanya 26%.
***
MUNCULNYA
persoalan sosial (terutama kemiskinan dan keterbelakangan) di Papua selama pelaksanaan
Otsus, salah satunya, dipicu oleh belum terciptanya keadilan dalam distribusi
pelayanan dan pembangunan infrastruktur sosial di semua wilayah di ujung timur
Indonesia ini. Kemiskinan yang muncul di Papua terjadi karena pelaksanaan Otsus
belum memfokuskan pada pendistribusian, lantaran lebih fokus pada pertumbuhan
secara agregat. Akibatnya, terjadilah kesenjangan antar-kelas sosial dan
ekonomi di Papua; ketidak-lengkapan hubungan antara daerah kota dan desa; serta
menguatnya perbedaan antar-suku, antar-umat beragama dan antar-wilayah.
Kemiskinan dan
persoalan ketidak-adilan sosial sangat terkait erat dengan masalah
pendistribusian dan struktur serta pola-pola sosial budaya masyarakat Papua
dalam mengelola sumberdaya alam, pengetahuan dan kemampuan dari institusi lokal
dalam proses pengambilan keputusan yang cenderung mengabaikan kesejahteraan
masyarakat.
Proses pembangunan di
Papua setelah pelaksanaan Otsus 2001 belum mencakup tiga aspek inti: pertama, peningkatan ketersediaan serta
perluasan distribusi barang kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, papan,
kesehatan dan perlindungan keamanan. Kedua,
peningkatan standar kehidupan yang tidak sebatas berupa peningkatan pendapatan,
tapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas
pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan
kemanusiaan. Semua itu tidak sekadar untuk memperbaiki kesejahteraan materiil,
pun sebagai penumbuhan harga diri (martabat) pada pribadi dan bangsa yang
bersangkutan. Dan ketiga, perluasan
pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara
keseluruhan. Yakni, dengan membebaskan mereka dari belitan sikap menghamba dan
ketergantungan, bukan cuma terhadap orang atau negara-bangsa lain, tapi juga
terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan
mereka.
Sejauh ini belum
tercipta keberpihakan dari Pemerintah Pusat ke Papua, dan dari pemerintah provinsi
ke wilayah yang lebih kecil, dalam pendistribusian kebutuhan pokok dan infrastruktur
sosial. Akibatnya, pola yang berkembang adalah pembangunan non-partisipatif
atau pembangunan yang cenderung datang dari atas sebagaimana berlangsung selama
ini. Sehingga, keterkaitan antara kebijakan dan program –baik horizontal maupun
vertikal— menjadi tidak sinkron.
Dari sisi kapasitas
organisasi, Pemerintah Pusat belum menghargai keberagaman potensi dan kearifan
lokal Papua. Akibatnya, pembangunan pasca Otsus 2001 belum mampu melahirkan pembangunan
partisipatif, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pembangunan pasca Otsus
2001 sekadar berupaya untuk mencapai indikator numerik, belum mampu
meningkatkan kualitas hidup seluruh warga Papua, serta belum memberikan ruang
penyelesaian berbagai masalah sosial yang muncul semenjak dulu sampai di
awal-awal pelaksanaan Otsus di Papua. Esensi Otsus sebagai upaya meningkatkan
pelayanan, akselerasi pembangunan dan permberdayaan seluruh rakyat di Provinsi
Papua pun tak tercapai.
Tak mudah, memang, melaksanakan
Otsus di Papua. Karena, pada dasarnya masyarakat Papua merupakan masyarakat
yang terpecah-pecah (terdiri dari berbagai kelompok etnis). Setelah berlaku
Otsus, perpecahan justru bertambah parah. Wacana perpecahan antara “O” (Otsus
atau Otonomi Khusus) dan “M” (Merdeka atau terpisah dari NKRI) mempengaruhi
tingkat kohesi sosial di kalangan masyarakat madani. Wacana seperti itu
melabelkan perbedaan antara kelompok pro-status quo dan kelompok yang merasa tertindas.
Kurangnya kepercayaan masyarakat, yang mengakibatkan rendahnya tingkat keamanan
manusia dan modal sosial, telah menghambat pelaksanaan Otsus di Papua. United Nation Development Programme (UNDP)
telah mengidentifikasi sembilan dimensi keamanan manusia yang mencerminkan
daftar penyebab ketidak-amanan manusia (human
insecurity) dan agenda pembangunan manusia: 1) keamanan ekonomi, 2)
keamanan keuangan, 3) keamanan pangan, 4) keamanan kesehatan, 5) keamanan
lingkungan, 6) keamanan pribadi, 7) keamanan gender, 8) keamanan masyarakat,
dan 9) keamanan politis. Menurut UNDP, penguatan keamanan manusia memerlukan
perhatian atas setiap dimensi tadi. Di sisi lain, modal sosial secara sederhana
diartikan sebagai serangkaian nilai-nilai informal yang diintisarikan dari
norma-norma yang dimiliki anggota kelompok tertentu yang membuat mereka dapat bekerja
sama satu dengan lainnya.
Kurang sempurnanya
pelaksanaan Otsus juga disebabkan keluhan-keluhan dan keputus-asaan masyarakat
asli Papua yang terus berlanjut dan tidak memperoleh perhatian yang semestinya. Keputus-asaan lokal terus berlanjut pasca
tahun 2001 setelah Otsus diterapkan di Papua. Acara cerminan 6 tahun pelaksanaan
Otsus di Papua yang diadakan pada bulan November 2007 oleh Pusat Demokrasi Universitas
Cendrawasih, Jayapura, menyimpulkan bahwa pelaksanaan Otsus hanyalah bermakna simbolis
dan kurang menyentuh bagian-bagian yang penting.
Papua mendapatkan
Otsus dari Pemerintah Pusat untuk periode waktu 25 tahun. Perubahan-perubahan
besar pada keadaan penghidupan orang asli Papua diharapkan dapat terlihat
selama periode ini untuk mengurangi keluhan-keluhan yang sudah lama tersimpan
di hati warga masyarakat Papua. Jika tidak ada perubahan besar yang membawa
kemajuan dalam kesejahteraan penduduk asli yang didapatkan dari proses
pembangunan, maka akumulasi keluhan-keluhan itu kemungkinan akan berubah
menjadi keagresifan sosial.
Keluhan-keluhan orang
asli Papua yang masih berlangsung diekspresikan melalui demonstrasi-demonstrasi
damai (misalnya parade damai akbar yang diorganisir oleh DAP [Dewan Adat Papua]
pada tahun 2005 yang bertujuan mengembalikan Otsus kepada Pemerintah Pusat),
ekspresi budaya secara simbolis melalui bendera (contohnya pengibaran bendera
bintang kejora dimasukkan dalam tarian tradisional selama pembukaan Konferensi
Utama DAP di Jayapura bulan Juli 2007), lagu, tarian, tulisan, dan pakaian. Dana
Otsus sebesar Rp3,29 triliun yang dianggarkan pada tahun 2007 tidak dapat serta
merta meredam keputus-asaan masyarakat asli Papua. Diskursus mengenai
separatisme tidak sebanding dengan upaya perbaikan situasi kesejahteraan
penduduk asli Papua sebagaimana yang dicita-citakan di dalam Otsus.
Data pemerintah pada
tahun 2007 menunjukkan bahwa Provinsi Papua mempunyai 2.179 desa-desa dan 82,43%
dikategorikan terbelakang, dengan menunjuk beberapa variabel seperti jalan
utama desa, lahan kerja untuk sebagian besar penduduk, fasilitas-fasilitas
pendidikan dan kesehatan, petugas-petugas kesehatan, media komunikasi dan
persentase rumah tangga yang memakai listrik. Jumlah keluarga yang hidup di
bawah standar kesejahteraan mencapai 271.278 unit keluarga atau hampir separuh
dari total jumlah 441.987 unit keluarga di Provinsi Papua. Papua menempati tingkat
kemiskinan yang tinggi. Berdasarkan data penyaluran SLT (Subsidi Langsung Tunai
yang dibagikan kepada masyarakat miskin) pada bulan Maret 2006, tercatat bahwa
hampir separuh atau sekitar 47,99% dari seluruh jumlah 1,8 juta penduduk Provinsi
Papua tergolong miskin. Sedangkan di Provinsi Papua Barat tercatat penduduk
miskin kira-kira 36,85%. Dari data kedua provinsi ini dapat diperkirakan bahwa
45,43% dari total jumlah penduduk di keseluruhan wilayah Tanah Papua hidup di
bawah garis kemiskinan. Masyarakat akar rumput asli Papua sebagai target utama
Otsus belum berhasil memperoleh manfaat maksimal dari proses pembangunan yang
berjalan sekarang. Misalnya layanan-layanan umum atau pembukaan akses-akses
terhadap hak-hak dasar, orang-orang lokal Papua menyatakan bahwa kualitas
layanan-layanan kesehatan umum masih di bawah standar dan bahkan menurun.
Berdasarkan data
Laporan Perkembangan Manusia Indonesia tahun 2004, masyarakat Papua menempati tingkat
terendah pada jumlah orang dewasa yang dapat membaca dan menulis di dalam
negeri, yaitu 74,4%. Otsus yang seharusnya membentuk “piramid yang
sesungguhnya” di mana sumber-sumber daya lebih dapat diakses oleh akar rumput
terutama masyarakat asli Papua. Untuk itu masih memerlukan perbaikan sistem pelaksanaannya
guna menghindarkan pemiskinan masyarakat asli Papua.
Setiap warga Papua berhak
mendapatkan keadilan dalam pelayanan sosial, yakni pelayanan yang disediakan
oleh negara, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Pelayanan ini bertujuan untuk
memperbaiki kualitas masyarakat secara keseluruhan. Melalui kegiatan
pembangunan sosial, seharusnya sejak tahun 2001, lebih memusatkan pada populasi
sebagai suatu kesatuan yang bersifat inklusif dan universal. Berbagai program
dan kebijakan yang dilaksanakan di wilayah Tanah Papua selama ini mengabaikan
orang-orang yang membutuhkan (needy individuals),
dan seringkali menelantarkan penduduk asli yang telah termarjinalkan oleh
proses pembangunan semenjak Papua bergabung dengan NKRI.
Munculnya
korban-korban ketidak-adilan yang mengalami pendistorsian selama proses
pembangunan menunjukkan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah provinsi belum
menyeimbangkan konsep individualisme dan kolektivisme tentang kesejahteraan.
Individualisme menitik-beratkan pada individu sebagai pihak yang berhak
menerima kesejahteraan dan mendapatkan perlakuan adil. Sementara kolektivisme
adalah prinsip di mana negara dan lembaga-lembaga negara memiliki suatu
kewajiban untuk meningkatkan dan menjamin kesejahteraan serta keadilan bagi
seluruh masyarakat Papua.
Kebijakan sosial di
Papua semestinya diarahkan untuk meringankan kebutuhan yang mendesak serta
penderitaan yang dialami oleh warga selama ini. Berbagai kebijakan dan program
sosial yang dilaksanakan di Papua secara substansi harus berdasarkan pada
tekanan terhadap berbagai ketidak-adilan yang diterima oleh warga Papua.
Pemerintah belum optimal dalam mengatur distribusi sumberdaya yang ada untuk
kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Di sisi lain, pemerintah belum
memberikan jaminan keadilan dalam aspek kebutuhan fisik dan sosial masyarakat.
Akibatnya, ketika muncul suara-suara yang tidak puas, lalu diselesaikan menggunakan
pendekatan represif atau militeristik, dengan tujuan supaya tidak berkembang
menjadi konflik yang lebih besar. Padahal, ketidak-adilan dapat direduksi bila
pemerintah lebih intens dalam memperluas pelayanan sosial kepada seluruh
lapisan masyarakat di Papua.
Kekurang-sempurnaan
pelaksanaan Otsus disebabkan pula oleh keterlambatan pembentukan Majelis Rakyat
Papua (MRP). Paragraf 5 UU Nomor 21/2001 Pasal 2 menyatakan “Dalam rangka melaksanakan
Otsus di Provinsi Papua, MRP (Majelis Rakyat Papua) dibentuk sebagai perwakilan
budaya masyarakat asli Papua yang memegang kewenangan tertentu untuk melindungi
hak-hak masyarakat asli Papua, berdasarkan penghormatan terhadap adat dan
kebudayaan, pendaya-gunaan perempuan dan memperkuat keharmonisan antar-umat beragama.”
MRP memegang peranan penting untuk mengaplikasikan tindakan nyata dan tegas (affirmative action) guna melindungi
hak-hak masyarakat asli Papua sebagai jantung dari Otsus. Tindakan nyata dan
tegas diwujudkan dalam bentuk perlakuan kompensasi istimewa yang ditujukan guna
mempromosikan keikut-sertaan dan memfasilitasi kesempatan yang setara bagi
kelompok-kelompok yang menderita diskriminasi termasuk suku minoritas dan para
perempuan. Meskipun UU No 21/2001 mengamanatkan bahwa MRP harus dibentuk dalam
waktu paling lambat satu tahun sesudah Otsus diberlakukan, dan Pemerintah Provinsi
Papua telah memasukkan rancangan PP (Peraturan Pemerintah) mengenai MRP pada tahun
2002, namun ternyata MRP baru dapat dibentuk pada bulan November 2005.
Keterlambatan ini sebagian besar lantaran keterlambatan Pemerintah Pusat menerbitkan
PP Nomor 54/2004 mengenai Pembentukan MRP yang baru dilakukan pada Desember
2004.
Karena kemajuan besar
pada kehidupan masyarakat asli Papua sangat tergantung pada MRP, maka garis
kewenangan sebagai badan yang mewakili masyarakat asli Papua harus ditetapkan
secara jelas. Dalam perkembangan lebih lanjut, PP Nomor 54/2004 mengenai MRP
tidak menampung seluruh kewenangan MRP di dalam masyarakat atau ruang publik.
Keadaan ini jelas menghambat MRP dalam melaksanakan mandatnya guna melindungi
hak-hak masyarakat asli Papua di dalam proses pembangunan. Beberapa rekomendasi
yang diberikan oleh MRP --misalnya menyangkut pertimbangan kebijakan melindungi
hak-hak masyarakat asli Papua dalam pemekaran dan masalah pertambangan (kasus Freeport)—
kurang memperoleh tanggapan yang berarti. MRP mengemban fungsi untuk menampung
dan memberikan fasilitas. Tapi, MRP tidak memegang kewenangan untuk mengatur
proses pembangunan agar masyarakat asli Papua dapat menikmati keadilan dan
kesejahteraan yang merata dengan cara yang bermartabat. Sebagai badan yang
memegang posisi jantung Otsus, MRP berhak memperoleh perhatian agar mereka
dapat melaksanakan tindakan nyata dan tegas dalam memberikan fasilitas
kesempatan yang setara dan melindungi hak-hak masyarakat asli Papua.
Keberhasilan untuk memperkuat kapasitas MRP akan meningkatkan kepercayaan dari banyak
masyarakat asli Papua terhadap pemberian Otsus untuk Papua.
Kemudian pasal 64 UU
Nomor 21/2001 mengamanatkan Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban mengelola
dan memanfaatkan lingkungan penghidupan dengan cara terpadu sesuai dengan
karakteristik-karakteristik yang tersebar, perlindungan sumberdaya alam
biologis, sumberdaya alam non-biologis, sumberdaya buatan, konservasi
sumberdaya alam biologis dan ekosistem, pelestarian budaya, dan keaneka-ragaman
biologis dan perubahan cuaca. Pengelolaan dan pemanfaat semua itu harus memperhatikan
hak-hak masyarakat adat dan buat kesejahteraan rakyat. Singkat kata, Pemerintah
Provinsi Papua harus menggerakkan masyarakat sebagai modal sosial pembangunan.
Masyarakat asli (adat)
Papua sebagai target utama Otsus sejauh ini belum diberikan ruang semestinya
supaya dapat terlibat aktif dalam pembangunan baik sebagai pihak yang memperoleh
manfaat maupun sebagai pelaku. Sebaliknya, kecurigaan dan prasangka berlabel
separatis kerap ditujukan kepada kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan hak-hak
adat. Kelompok yang mencanangkan perlawanan acap dicap sebagai OPM (Organisasi
Papua Merdeka). Kurangnya ruang untuk perdamaian ikut andil dalam menciptakan
rendahnya tingkat keamanan manusia Papua. Konferensi utama Dewan Adat Papua
yang dilaksanakan pada bulan Juli 2007 diwarnai dengan pengawasan keamanan yang
dikendalikan. Kendati dihadiri oleh perwakilan resmi pemerintah provinsi, namun
tidak ada perwakilan MRP yang hadir. Terlebih lagi, konferensi ini dilaksanakan
secara swadaya karena tidak didukung secara keuangan oleh Pemerintah yang hanya
mengakui keberadaan LMA (Lembaga Musyawarah Adat). Anggota LMA dipilih dan
ditunjuk oleh Pemerintah. Sedangkan Dewan Adat Papua dibentuk berdasarkan struktur
tradisional masyarakat adat Papua.
Oleh karena itu, masyarakat
Papua mendambakan perbaikan pelaksanaan Otsus yang bermanfaat bagi peningkatan
kualitas hidup penduduk asli Papua. Salah satunya adalah melalui pemberdayaan
masyarakat Papua. Pemberdayaan masyarakat (empowerment)
merupakan upaya mensejahterakan dan mewujudkan kemandirian masyarakat dengan
melibatkan partisipasi masyarakat. Di sini masyarakat menjadi aktor utama dalam proses
pemberdayaan dengan membangkitkan potensi masyarakat dan sumber daya yang ada
dalam komunitas.
Pemberdayaan
dilakukan secara individual dan kolektif terhadap penduduk. Pemberdayaan akan
menempatkan manusia Papua sebagai bagian dari proses pembangunan. Pemberdayaan
juga sebagai perwujudan eksistensi dalam kerangka proses aktualisasi
kemanusiaan yang adil dan beradab yang terwujud di berbagai bidang kehidupan:
politik, ekonomi, hukum, dan pendidikan. Dan pemberdayaan pada dasarnya adalah
upaya menciptakan keadilan menjadi semakin efektif secara struktural, baik
dalam kehidupan keluarga, masyarakat maupun kewilayahan dalam berbagai aspek.
***
SEBELUM
sampai pada upaya perbaikan pelaksanaan
otonomi khusus di Papua, ada baiknya kita perhatikan sepintas satu strategi
pembangunan yang mengiringi pelaksanaan otonomi khusus tadi. Yaitu, strategi
pembangunan melalui pemekaran pemerintahan yang marak setelah tahun 1998.
Sebelum reformasi, wilayah Tanah Papua hanya terdiri dari satu provinsi dan 19
kabupaten/kota. Saat ini Papua telah terbagi menjadi dua provinsi (Papua dan
Papua Barat) dan 39 kabupaten/kota. Wilayah Papua telah mengalami pemekaran
pemerintahan.
Pemekaran tidak hanya
di tingkat pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, namun juga terjadi di
tingkat pemerintahan distrik (setingkat kecamatan) dan pemerintahan kampung
(setingkat desa/kelurahan). Sebagian kalangan sangat mempercayai bahwa
pemekaran merupakan strategi utama dalam meningkatkan pembangunan di Papua.
Bahkan, kebijakan gubernur untuk memberikan dana ke setiap kampung sebesar
Rp100 juta telah menjadi faktor utama munculnya aspirasi pemekaran kampung.
Salah satu perkembangan yang paling menarik diperhatikan adalah wilayah
Kabupaten Yahukimo yang sebelumnya memiliki 50 kampung sekarang sudah mempunyai
200 kampung. Dengan demikian salah satu wajah Papua pasca pelaksanaan otonomi
khusus adalah peningkatan jumlah kabupaten/kota, distrik dan kampung. Sejauh
mana pembangunan melalui strategi pemekaran mengiringi otonomi khusus dapat
mencapai tujuan utama dalam mensejahterakan Papua sebagai bagian dari wilayah
NKRI?
Berbagai studi yang
telah dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas
Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, UNDP, Kemitraan dan lembaga-lembaga lain
menunjukkan bahwa masih ada persoalan yang cukup kompleks dalam implementasi
otonomi khusus di wilayah Tanah Papua. Agenda untuk memperbaiki penerapan otonomi
khusus masih terkendala ketidak-jelasan kebijakan pelaksanaan baik pusat maupun
daerah, terutama dalam bentuk peraturan daerah (provinsi, kabupaten/kota dan
khusus). Semua regulasi dan kebijakan implementasi tersebut seharusnya jelas
dan tegas berisi strategi implementasi kebijakan yang diarahkan dalam upaya
meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan rakyat Papua. Ditambah lagi
persoalan pemekaran yang nyaris tak terkendali.
Kekacauan tata kelola
pemerintahan akibat pemekaran yang tidak terbendung akan membawa dampak proses
pemiskinan di Papua. Harus ada keberanian Pemerintah mengutamakan pendekatan
yang lebih memfokuskan pada pendekatan kesejahteraan sosial dan memperhatikan
perspektif gender (memasukkan secara spesifik sebagai vocal points maupun pengarus-utamaan gender di setiap kebijakan
politik yang diambil). Harus berani pula meninggalkan pendekatan yang
menitik-beratkan kepada politik dan keamanan.
Artinya, diperlukan
secara rinci dan mendetail perumusan kebijakan yang mampu mempercepat proses
pembangunan di wilayah Tanah Papua. Minimal strategi kebijakan tersebut memuat
pokok-pokok pikiran, antara lain, strategi percepatan pembangunan dari
perspektif kesejahteraan sosial, strategi pembangunan melalui pemekaran, tata
kelola pemerintahan yang baik, revitalisasi dana otonomi khusus, penyelarasan
UU otonomi khusus dengan peraturan terkait, penyelesaian kasus HAM di masa silam,
dan pelibatan secara aktif masyarakat sipil dalam proses pembangunan. Dalam
konteks politik, otonomi khusus di Tanah Papua adalah konsolidasi sumberdaya
untuk percepatan proses pembangunan. Selain itu perubahan pendekatan harus
dilakukan dari pendekatan politik-keamanan ke pendekatan kesejahteraan sosial.
Penguatan kapasitas lokal untuk melaksanakan kegiatan pembangunan mesti pula menjadi
pritoritas utama.
Dari perspektif
kesejahteraan sosial dalam upaya percepatan proses pembangunan, perumusan
strategi pembangunan di semua departemen haruslah melibatkan partisipasi aktif
masyarakat secara luas. Strategi pembangunan semacam ini tidak boleh tidak
memperhatikan dan meningkatkan kemampuan lembaga pemerintahan di tingkat daerah
(dari provinsi, kabupaten/kota, distrik dan kampung). Dengan begitu rencana
pembangunan ini harus diimplementasikan secara kongkrit karena telah sesuai
dengan kebutuhan masyarakat.
Dari sejumlah diskusi
kalangan terbatas (akademisi dan praktisi pemerintahan) di Jakarta terungkap
bahwa sejauh ini belum ada program yang jelas dalam kerangka percepatan
pembangunan di wilayah Tanah Papua dan tidak ada koordinasi program yang
direncanakan antar-departemen terkait. Sebab itu, ke depan, Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)
dapat mengkoordinasikan rencana pembangunan di Papua yang mengikat semua
departemen terkait. Setiap departemen pada giliran selanjutnya mesti memiliki
strategi kerangka kerja pembangunan di Tanah Papua di semua tingkatan
pemerintahan. Departemen-departemen yang harus leading dalam percepatan pembangunan di Papua adalah Pendidikan,
Kesehatan, Kehutanan, Pertanian, Perdagangan, Energi dan Sumberdaya Mineral,
Sosial, UKM/Koperasi, Pekerjaan Umum, dan Pemberdayaan Perempuan.
Untuk dapat
melaksanakan program-program tersebut dibutuhkan koordinasi dan
pemberdayaan/penguatan kapasitas lembaga pemerintahan daerah. Dalam konteks ini
harus diperkuat koordinasi lembaga eksekutif dengan kepemimpinan kepala daerah.
Sementara itu lembaga DPRP dan DPRK harus meningkatkan kapasitasnya sebagai
lembaga kontrol terhadap kinerja eksekutif (gubernur dan bupati/walikota). Di
samping itu harus dilatih pula tenaga-tenaga terampil (terutama putera-putera
daerah) melalui program cepat. Kemudian, mereka dijadikan sebagai pelaksana
inti implementasi rencana program pembangunan di Tanah Papua secara cepat dan
tepat. Dengan demikian Tanah Papua dapat melaksanakan program-program pembangunan
yang bertumpu pada kemampuan warga atau masyarakat lokal.
Lalu menyangkut
aspirasi pemekaran yang cenderung diyakini sebagai model pembangunan yang tepat
bagi Papua. Argumen hipotetis yang kerap dikemukakan bahwa pemekaran
mendekatkan pemerintah kepada warga. Artinya, dengan memecah kabupaten/kota
maka pembangunan akan dapat dinikmati oleh warga. Persoalan yang muncul kemudian
adalah sejauh mana pemekaran telah memberikan kesejahteraan kepada warga Papua?
Sejauh ini belum ada data yang mampu meyakinan bahwa pemekaran dapat memperbaiki
secara baik tata kelola pemerintahan dan kesejahteraan rakyat di wilayah Tanah
Papua. Justru kekacauan pemerintahan di tingkat kabupaten/kota (baik dalam
kerangka pembangunan maupun tata administrasi) menjadi hal yang sangat
memprihatinkan. Pemekaran cuma memberikan keuntungan kepada segelintir elit
lokal dan elit nasional.
Kecenderungan
menggunakan strategi pemekaran ini antara lain disebabkan alasan dominasi suku
atau etnis tertentu dalam pemerintahan. Namun, pada kenyataan praktik, sebagian
besar pemekaran disebabkan oleh ketidak-puasan politik atau juga lantaran political greedy (sekadar contoh:
seorang bupati yang pernah dua kali menjabat namun masih ingin kembali menjadi
bupati, maka satu-satunya jalan adalah berjuang memekarkan wilayah yang
dikuasainya).
Strategi pemekaran harus
dievaluasi. Misalkan pemekaran di tingkat pemerintahan provinsi masih dapat
dikembangkan lagi. Sedangkan pemekaran di tingkat kabupaten/kota, distrik dan
kampung harus secara bijaksana memperhatikan indikator yang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, harus pula memperhatikan
kapasitas pemerintahan (sumberdaya manusia dan kemampuan kelembagaan
pemerintah), kemampuan sumberdaya ekonomi (baik SDA maupun kemampuan warga
untuk meningkatkan sumberdaya ekonominya), masalah sosial dan budaya wilayah
setempat.
Proses pemekaran
haruslah melalui tahapan persiapan untuk jangka waktu tertentu sebelum sebuah
wilayah pemekaran secara penuh memisahkan diri menjadi daerah otonom. Wilayah
pemerintahan baru hasil pemekaran harus mengadopsi proses pembangunan di wilayah
Tanah Papua yang telah disepakati dan dituangkan dalam Rencana Strategis
Percepatan Pembangunan di Tanah Papua.
Studi yang pernah
dilakukan oleh Pemerintah Belanda tentang wilayah budaya harus dievaluasi
dengan membuat penelitian kembali terhadap kondisi saat ini. Penelitian secara
lengkap dilakukan untuk memberikan gambaran yang utuh terhadap berbagai
persoalan di Papua. Karena itu, anggapan bahwa pemerintah pusat sengaja membuat
kekacauan di Tanah Papua tidak dapat dibuktikan dengan adanya visi dan misi
pemerintah pusat untuk membangun di Tanah Papua sebagai bagian penting dari
wilayah NKRI. Studi dapat dilakukan dengan mengajak komponen masyarakat,
akademisi, politisi dan birokrasi (pemerintah daerah dan pusat) serta
departemen terkait lainnya. Dengan begitu hasil studi yang komprehensif tersebut
dapat dijadikan dasar untuk proses pembangunan di Tanah Papua di masa depan.
Kemudian soal tata
kelola pemerintahan. Pemerintahan di daerah Papua masih dianggap buruk lantaran
beberapa hal: aturan yang masih lemah, korupsi dan penyalah-gunaan kekuasaan marak
di semua tingkat pemerintahan. Kondisi kemiskinan rakyat Papua, baik masalah
pendidikan, kesehatan maupun peluang untuk mendapatkan pekerjaan terutama
penduduk asli, tidak didukung oleh program pemerintah yang mampu menyelesaikan
persoalan di Bumi Cenderawasih.
Institusi politik
masih sangat lemah baik eksekutif (pemerintah daerah), partai politik maupun
sistem pertanggung-jawaban dari kekuasaan. Pemilu kepala daerah sebagaimana
juga terjadi di daerah-daerah lain di luar Papua menjadi panggung politik untuk
perebutan kekuasaan dan belum sampai pada tataran untuk melakukan dan
mengimplementasikan kebijakan buat menyelesaikan berbagai persoalan yang
dihadapi masyarakat Papua.
Konflik di Papua yang
berkepanjangan sejak tahun 1963 menyebabkan para aktor di Tanah Papua lebih
berkonsentrasi kepada konflik politik dibandingkan dengan proses implementasi
kebijakan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Dibutuhkan model penilaian
kinerja dengan indikator yang jelas dalam program percepatan pembangunan di
Tanah Papua. Hal ini untuk meningkatkan dan mengoptimalkan pelaksanaan otonomi
khusus di wilayah Papua.
Selanjutnya tentang
revitalisasi dana otonomi khusus. Dalam diskusi di tiga tempat (Jayapura,
Manokwari dan Jakarta) telah dibahas tuntutan agar Anggaran Otsus harus
digunakan dalam kerangka percepatan pembangunan di Tanah Papua, bukan untuk
belanja rutin. Salah satu pandangan yang cukup banyak diperdebatkan dalam
diskusi terbatas tersebut adalah apakah ada kemungkinan dibentuknya lembaga
seperti model penanganan pasca tsunami di Aceh, yaitu model BRR (Badan
Rekonstruksi dan Rehabilitasi). Namun dibutuhkan sosialisasi dan kajian yang
lebih mendalam lagi tentang persepsi tersebut. Dengan demikian dapat
mengoptimalkan pembangunan program unggulan dari wilayan Papua. Untuk itu
diperlukan model pengucuran anggaran otonomi khusus dengan program dan
pertanggung-jawaban yang tegas dan jelas.
Berikutnya adalah
penyelarasan UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus Untuk Papua dengan
peraturan terkait lainnya. Penataan daerah otonom membawa dampak kepada
penyelarasan peraturan perundang-undangan di wilayah Tanah Papua. Terutama di
berbagai sektor atau bidang seperti kehutanan, perikanan, pertambangan umum,
energi dan gas. Persoalan utama adalah bagaimana otonomi khusus dapat
dijalankan dengan peraturan yang selaras baik secara horizontal hubungan
antar-pemerintah daerah di wilayah Papua maupun dalam kerangka hubungan
pusat-daerah. Dengan begitu peraturan baik pusat maupun daerah dibuat untuk
memberikan perlindungan bagi pelaksanaan pembangunan di Tanah Papua. Termasuk
pula secara khusus peraturan yang mengatur partisipasi sektor swasta dalam
pembangunan di wilayah Papua.
Pembangunan di wilayah
Tanah Papua harus pula memperhatikan penyelesaian kasus-kasus HAM pada masa silam
untuk memberikan keadilan bagi rakyat Papua. Dalam hal ini lembaga-lembaga
seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan harus dilibatkan sebagai upaya penyelesaian
berbagai kasus HAM masa lampau. Adanya kemauan politik (political will) pemerintah pusat untuk membahas dan menyelesaikan
masalah kekerasan negara terhadap rakyat Papua menjadi langkah penting untuk membangun
wilayah Papua kini dan masa depan. Penggunaan kekerasan negara terhadap rakyat jangan
dijadikan warisan kepada pemerintahan berikutnya. Sebab itu, perlu menempatkan
program pengungkapan kebenaran dalam proses pembangunan di wilayah Papua. Hal
ini diperlukan dalam kerangka untuk dapat membangun kepercayaan rakyat Papua
terhadap pemerintah pusat. Dan, dalam hal ini pemerintah pusat harus berinisiatif
mengambil tanggung jawab.
Harus pula secara
simpatik berani mengambil keputusan penyelesaian segera kasus-kasus seperti yang
menimpa masyarakat Wasior/Wamena, Mapenduma dan Abepura. Salah satu hal yang
dapat dikemukakan di sini adalah segera melakukan pemenuhan hak korban seperti
rehabilitasi, kompensasi, restitusi sekolah/rumah yang dibakar, akses ke
pekerjaan, menghilangkan label OPM dalam KTP, dan memorialisasi (tanggal,
tempat, kegiatan).
Dalam diskusi
terbatas di Jakarta muncul saran pemikiran bahwa peran keamanan negara harus lebih
dititik-beratkan di wilayah perbatasan. Kendati dalam kenyataannya masalah
perbatasan bukan masalah politik penting bagi persoalan di Papua. Dengan
demikian harus ada reformasi peran keamanan di wilayah Tanah Papua.
Perkembangan proses
demokratisasi pun membawa dampak dalam kehidupan politik masyarakat. Peran
masyarakat sipil (civil society)
dalam proses kehidupan politik tak dapat diabaikan. Hal itu tidak hanya terbatas
kepada masyarakat domestik namun juga komunitas internasional baik melalui
lembaga PBB (seperti UNESCO, UNDP, WHO dan ILO) maupun dari kelompok warga (LSM
internasional). Dalam konteks ini harus secara bijaksana dilihat dari sisi kepentingan
rakyat Papua dan kepentingan nasional.
Penguatan peran civil society juga sangat dibutuhkan.
Hal itu sehubungan dengan praktik pelaksanaan otonomi khusus yang sejauh ini
hanya memberikan manfaat kepada elit politik dan dominasi dari lembaga-lembaga
adat atau tradisional di wilayah Papua. Sebab itu, perlu diperkuat lembaga
masyarakat yang mampu memberikan kontrol terhadap proses pembangunan di wilayah
Papua.
Pada akhirnya,
pembangunan di Tanah Papua harus dilaksanakan oleh semua institusi pemerintahan
di setiap tingkatan. Demokrasi memberikan ruang bagi pemerintah pusat untuk
memperbaiki relasi politik dengan pemerintah daerah di wilayah Tanah Papua dan juga
dengan rakyat Papua. Sejak tahun 1999 terdapat berbagai kejadian yang
berkelanjutan dalam bentuk Musyawarah Besar (Mubes) sebagai forum pertemuan
para pemimpin di Papua. Keputusan-keputusan telah diambil sejak Mubes di
Sentani pada Februari 2000 sampai pertemuan pada Juli 2010. Pada konteks ini
pemerintah pusat harus secara bijak menyikapi persoalan tuntutan masyarakat
dengan pendekatan kesejahteraan tanpa kekerasan. Karena itu seri dialog antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi hal penting untuk dilakukan. Hal
itu terkhusus pada wilayah Papua yang sangat penting posisinya bagi bangsa
Indonesia. Tidak hanya di dalam negeri, bahkan sebagai bagian penting diplomasi
Indonesia, terutama di Amerika Serikat dan di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB).
Berangkat dari
pokok-pokok pikiran tadi, dalam konteks perbaikan pelaksanaan otonomi khusus
dan pemekaran pemerintahan, ke depan haruslah diprioritaskan sebuah grand strategy atau blue print (cetak biru) pembangunan
kesejahteraan sosial di wilayah Tanah Papua. Sebuah cetak biru yang dapat
diimplementasikan ke dalam rancangan pembangunan jangka pendek (tahunan),
menengah (lima tahunan) dan jangka panjang (20-25 tahun) sehingga pembangunan dapat
berjalan berkesinambungan. Sebuah cetak biru yang berisi visi dan misi,
strategi, kebijakan dan program beserta tolok ukur keberhasilan yang jelas dan
transparan bagi kebaikan masyarakat Papua. Sebuah cetak biru yang berangkat
dari paradigma daerah membangun, bukan pembangunan daerah yang datang dari atas
(pemerintah pusat) sebagaimana selama ini terjadi. Sebagai sebuah masukan,
barangkali, visi yang tepat dalam membangun Papua adalah: Mewujudkan masyarakat
Papua yang cerdas, mandiri, berkualitas, maju dan religius, yang dijiwai oleh
penghargaan dan penghormatan terhadap nilai-nilai sosial-budaya, adat-istiadat
dan khazanah-kearifan masyarakat setempat (lokal) lainnya melalui pembangunan
berbasis SDM dan SDA Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Untuk menggapai visi tadi, langkah-langkah yang dapat ditempuh, di
antaranya, sebagai berikut:
Pertama,
Perlunya pengaturan ulang (redesign)
kebijakan sosial (kesejahteraan sosial), yaitu dengan mengedepankan dan
mempertimbangkan aspek kultural dan lokal setempat. Masyarakat tidak lagi
dilihat semata-mata sebagai obyek, namun diposisikan sebagai subyek dengan
mengembangkan konsep pembangunan sosial yang berorientasi pada manusia (people centered development).
Poin utama dari
konsep ini adalah (a) Harus tercipta suatu proses perubahan yang lebih
berorientasi pada upaya peningkatan kapasitas perorangan dan institusional.
Kapasitas perorangan yang dimaksud ialah kapasitas/kemampuan diri manusia.
Sedangkan institusional bukanlah organisasi atau lembaga, tapi adanya
pranata-pranata, nilai-nilai dan norma-norma budaya yang tahan lama dan menata
sikap, perilaku dan hubungan-hubungan sosial dalam suatu masyarakat atau
komunitas (Nikonor Auri, 2004). Dan (b) Pembangunan jangan hanya bertumpu pada
penambahan sarana dan infrastruktur, namun perlu memberdayakan masyarakat
supaya dapat memaksimalkan pemanfaatan dari infrastruktur tersebut. Dengan
pengembangan metode partisipatif diharapkan warga masyarakat tidak lagi
mengalami kegagapan budaya dan keterbelakangan sosial, karena masyarakatlah yang
menjadi aktor dalam proses pembangunan sosial di Papua. Penguatan partisipasi
publik menjadi kebutuhan mendasar dalam penguatan kapasitas pembangunan di
Papua (UNPD, 2005). Salah satu kelemahan utama pemerintahan di Papua adalah
perencanaan pemerintah daerah, terutama perencanaan dengan partisipasi aktif
masyarakat dan sektor swasta.
Kedua,
Pemerintah pusat dan provinsi serta kabupaten/kota di Papua perlu mengubah cara
pandang terhadap pembangunan yang selama ini berlangsung di wilayah Papua.
Pembangunan yang akan dilaksanakan adalah pembangunan untuk Papua (development for Papua), bukan lagi
pembangunan di Papua (development at
Papua).
Untuk itu dibutuhkan
beberapa hal. Antara lain: Kemurnian motif untuk melakukan pembangunan di
wilayah Papua, sehingga ketika terjadi kemandekan dan ketidak-berhasilan,
pemerintah pusat tidak lagi menyalahkan Papua. Pemfokusan kepada persoalan
sosio-kultural adalah salah satu kunci pendukung keberhasilan pelaksanaan
pembangunan untuk Papua dan untuk rakyat Papua. Seluruh pihak yang
berkepentingan dalam pembangunan Papua perlu memahami dan menghargai beragam
norma budaya, sosial, keagamaan serta struktur kehidupan masyarakat di berbagai
wilayah Papua. Karena, hal-hal tersebut menentukan hubungan internal pada suatu
kelompok ataupun dengan pihak luar. Kebudayaanlah yang harus menjadi dasar
untuk membangun kerjasama dan kedamaian di antara kelompok-kelompok masyarakat di
wilayah Papua. Dalam kata lain, semua kebijakan, program dan kegiatan harus
berangkat dari pengertian akan adat/budaya setempat bila ingin berhasil.
Terutama dalam
perkembangan terkini di mana pemerintah telah mengajukan rencana untuk
menggerakkan sejumlah proyek berskala besar atau diistilahkan oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai ‘megaproyek’ (Harian Republika, 22 November 2010). Presiden SBY meminta rencana
pembangunan megaproyek di Provinsi Papua
dan Papua Barat sudah bisa diselesaikan konsepnya dan dapat dipresentasikan
kepada pemerintah pusat pada awal Januari 2011. Rencana pembangunan megaproyek
di Papua meliputi kawasan agribisnis terpadu di Merauke serta pembangunan
kawasan ekonomi hijau di Embrano dan Jayapura yang rendah emisi gas
karbondioksida. Sedangkan rencana pembangunan megaproyek di Papua Barat
meliputi kawasan industri ternak, pabrik semen, serta pembangkit tenaga listrik
di Manokwari, Fak-Fak dan Sorong.
Selain itu, di saat
bersamaan pemerintah juga tengah mematangkan realisasi program pengembangan
pertanian dan perkebunan berskala luas dalam Proyek Merauke Integrated Food and
Energy Estate (MIFEE) yang dicanangkan tahun 2006. Realisasi proyek berskala
besar sangat berisiko memukul kohesi sosial-budaya yang telah dibangun selama ratusan
tahun. Papua bisa saja menjadi sumber konflik baru, tatkala pembangunan dihadapkan pada
masalah-masalah yang berkaitan dengan hak milik ulayat atau adat, atau
pengabaian terhadap nilai-nilai kultural masyarakat asli. Sebelum konsep
megaproyek Papua dan Papua Barat itu betul-betul dipresentasikan di hadapan
Presiden SBY pada 2011, selayaknya dilihat lagi seluruh peraturan yang
berkaitan dengan Papua. Jangan sampai Papua hanya menjadi satu tempat
persinggahan pusat-pusat pertumbuhan, sementara masyarakat asli setempat
semakin terpinggirkan (Indra J. Piliang, Koran
Tempo 25 November 2010). Kita tentu tidak ingin mengulangi lagi banyak
model kegagalan pembangunan di Papua, ketika penduduk asli dilanda kelaparan,
sampai melihat roda-roda pembangunan menggilas hak-hak mereka.
Ketiga,
Persoalan kesejahteraan sosial di Papua tidak dapat sekadar dilihat dari satu
aspek dan kepentingan, namun juga perlu diperhatikan masalah komunikasi dalam
proses pembangunan sosial. Komunikasi yang dialogis dibutuhkan untuk
menumbuhkan kepercayaan antara pemerintah pusat dan Papua, pun sebaliknya. Jadi
penduduk Papua akan diposisikan sebagai local
ownership dari kegiatan pembangunan sosial di Papua, karena mereka lebih
memahami apa yang menjadi kebutuhan riil serta kompleksitas permasalahan yang
ada semenjak dulu sampai sekarang. Mekanisme pelibatan elemen-elemen dalam
masyarakat terkait dengan berbagai pilihan dan kebutuhan, serta dihadapkan pada
keterbatasan sumberdaya. Dialog inklusif dibutuhkan dengan tujuan lebih jauh
untuk meningkatkan kapasitas dari elemen-elemen lokal tersebut, sehingga ada
jaminan keberlanjutan dari sebuah kebijakan yang diformulasikan, baik oleh
pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi. Isu keberlanjutan kebijakan atau
program pembangunan memang menjadi persoalan tersendiri di tingkat birokrasi
lokal. Pemikiran yang terfokus pada penyelenggaraan ‘proyek’ jangka pendek dan
terbatas jangka waktunya mendominasi pemikiran dan kegiatan pegawai negeri di
semua tingkat pemerintahan di Papua (UNDP, 2005). Hal ini bertentangan dengan
pemikiran jangka panjang dan menyeluruh tentang apa artinya pembangunan atau
bagaimana pembangunan harus diukur. Demikian pula penyediaan layanan, dan
isu-isu yang berhubungan dengan konsistensi dan kualitas atau pemenuhan
kebutuhan dan hak-hak umum tidak menerima perhatian yang sepatutnya dalam
pembangunan lokal dan yang ‘diproyekkan’.
Keempat,
Kebijakan dan program sosial yang akan diimplementasikan adalah kebijakan yang
bersifat non inkremental. Artinya,
jangan ada lagi program sosial yang bersifat tambal sulam atau cuma merevisi
dan mengembangkan sebagian kebijakan (partial
policy development). Persoalan di Papua adalah persoalan yang kompleks,
mulai dari tahap pre-formulasi sampai dengan evaluasi haruslah dilakukan dalam
kerangka dan konteks yang komprehensif, untuk menghasilkan solusi yang
konstruktif bagi masyarakat Papua. Masalah utama lainnya terletak pada belum
adanya perencanaan yang terpadu dan sesuai dengan kondisi geografis dan persebaran
penduduk Papua, nilai-nilai kultural (cultural
values) masyarakat Papua, serta transparansi anggaran. Bila problem itu
belum dapat diatasi, maka dana sebesar apapun tidak akan banyak memberi arti
bagi masyarakat asli Papua. Permasalahan ini sebenarnya diakibatkan karena
birokrat yang duduk di pemerintahan lokal tidak memiliki kapasitas dan kemampuan
untuk menjalankan roda-roda birokrasi. Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota
belum berhasil mengelola dana otonomi khusus secara baik dan bertanggung-jawab.
Hal ini menjadikan dana otonomi khusus tidak tepat sasaran dan yang mungkin
terjadi adalah praktik korupsi dana otonomi khusus oleh elit-elit lokal di
Papua (Muridan S. Widjojo, et al. 2008). Pengembangan kebijakan dapat dilakukan
dengan metode manajemen kewilayahan, sehingga ada penajaman fokus terhadap
kebijakan yang akan diformulasikan pada setiap wilayah di Papua. Hal ini sangat
dibutuhkan dalam program pengentasan kemiskinan di tingkat lokal (distrik).
Selama ini penentuan daerah miskin pada umumnya tidak dilakukan secara terfokus
dan sering terdapat program untuk distrik dengan keadaan yang lebih baik, atau
yang lebih disenangi secara politik, sementara distrik yang lebih banyak dihuni
penduduk miskin justru tidak menjadi target program (UNDP, 2006). Untuk
mencapai tujuan pengentasan kemiskinan di Papua maka setiap sektor harus
menentukan dan memfokuskan pada distrik yang akan menjadi target/sasaran
program. Penentuan distrik sasaran berdasarkan kriteria dari sektor kunci --termasuk
kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan ekonomi masyarakat. Ditetapkannya
distrik tertentu sebagai prioritas berarti bahwa anggaran dan upaya
pendampingan, pengertian terhadap kebudayaan, strategi komunikasi dan
sebagainya harus difokuskan secara maksimal pada distrik tersebut.
Kelima,
Untuk konteks pemberdayaan masyarakat Papua, dapat dilakukan improvement approach. Dalam pendekatan
ini, proses pengambilan keputusan pada tingkat lokal tetap dilakukan oleh
pemerintah serta pemerintah tetap responsif terhadap kepentingan komunitas
lokal. Pada tataran lebih tinggi, proses pengambilan keputusan oleh pemerintah
pusat, namun tetap memberikan peluang kepada pemerintah lokal untuk mengajukan
pilihan-pilihannya yang lebih mengakar. Dengan begitu, dalam pemberdayaan
komunitas yang konservatif terdapat demokrasi di kalangan komunitas bawah (grassroot), yang ditandai dengan
tumbuhnya kesadaran, pengetahuan serta kemampuan memecah masalah dari komunitas
lokal, dengan memanfaatkan modal sosial dan kearifan lokal. Komunitas yang
lebih besar dapat dibentuk oleh kelompok-kelompok dinamis di wilayahnya, yang
merasa perlu mengorganisir dan mengelola masyarakat yang lebih luas itu untuk
memperkuat diri, bekerja lebih efisien dan memperoleh hasil kerja yang lebih
besar. Dengan metode musyawarah antar-kelompok atau antar-individu, iklim
demokrasi pada tingkat bawah di semua bidang, baik politik, ekonomi, sosial
maupun budaya, dapat dipelihara dan dikembangkan. Dengan begitu kemampuan
mengambil keputusan serta partisipasi aktif pada berbagai kegiatan produktif
menjadi lebih besar. Dan arti lebih jauh, tingkat keswadayaan, kepercayaan
diri, dan keswabinaan pun lebih besar. Dalam tataran praktik, improvement
approach ini secara nyata harus dikedepankan dalam program
pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan. Bila otonomi khusus dipakai
untuk “menghilangkan” kemiskinan di Papua, maka kebutuhan masyarakat di daerah
pedesaan (kampung) yang dikategorikan miskin harus dikenal secara baik. Maknanya,
kalau dikenal maka harus dikejar metode (cara) membangun, pelaku pembangunan
dan juga alat-alat yang dapat membantu menggerakkan metode (cara) tersebut.
Untuk itu kebijakan dan implementasi kebijakan harus sampai wilayah distrik. Dengan
pengertian setelah ada kebutuhan yang jelas dari masyarakat maka ditentukan
lembaga dan metode partisipasi yang sesuai dan mampu memberi solusi guna
pemecahan masalah/kebutuhan.
Keenam,
Harus ada reorientasi otonomi khusus dari orientasi politik-administratif
menjadi berorientasi pada pembangunan sosial-ekonomi Papua sesuai dengan
pendekatan inward looking ke outward looking (Thandika Mkandawire,
2004). Kuncinya adalah dengan menemukan kembali (reinventing) roh pembangunan Papua, yang lebih menekankan pada
pembangunan multidimensi berbasis kewilayahan untuk mempercepat restrukturisasi
sosial dan ekonomi daerah, daripada memfokuskan kepada proses pemekaran
wilayah. Pembentukan daerah otonom baru (kabupaten) yang kebijakannya ada di
dalam UU Otonomi Khusus Papua selama ini masih berorientasi pada pembentukan
kelembagaan di tingkat kabupaten. Padahal, pemekaran kabupaten adalah sebuah
upaya pembangunan yang utuh untuk mengelola kemandirian daerah yang terdiri
dari kampung, distrik dan kabupaten (UNDP, 2006). Masih banyaknya masyarakat
miskin dan adanya ketimpangan sosial di Papua mengindikasikan bahwa tidak ada
kecenderungan ke arah konvergensi, karena akses dan sumberdaya modal masih
dikuasai oleh pihak tertentu, dan belum ditujukan untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat Papua secara optimal. Sumberdaya alam Papua yang
melimpah masih dikuasai oleh sejumlah perusahaan multinasional yang
menghasilkan pendapatan triliunan rupiah per tahun (VIVAnews, 23 November 2010).
Di wilayah Papua
terdapat salah satu raksasa bisnis Amerika di Indonesia, yakni Freeport McMoran
Copper & Gold. Melalui PT Freeport Indonesia, perusahaan emas kelas dunia
itu menjadi salah satu penambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia.
Freeport beroperasi di daerah dataran tinggi Mimika. Kompleks tambang di
Grasberg itu merupakan salah stu penghasil tunggal tembaga dan emas terbesar di
dunia. Wilayah ini juga mengandung cadangan emas dan tembaga terbesar sejagat.
Tahun 2009, Freeport menghasilkan sekitar 86 ton emas. Berdasarkan data
Frreport-McMoran per akhir 2009, Freeport Indonesia merupakan penyumbang
pendapatan terbesar bagi induk perusahaan tambang emas yang berpusat di
Phoenix, Arizona, itu. Freeport Indonesia membukukan pendapatanUS$5,9 miliar,
jauh melampaui perusahaan Freeport yang beroperasi di Amerika Utara dengan
pendapatan US$4,8 miliar. Namun, tidak bisa dipungkiri Freeport juga
membayarkan manfaat langsung bagi Indonesia. Selama periode April-Juni 2010,
Freeport Indonesia telah pula melakukan kewajiban pembayaran kepada pemerintah Indonesia
sebesar US$634 juta atau sekitar Rp5,7 triliun.
Di sisi lain,
mayoritas penduduk asli Papua masih berada pada ekonomi subsisten atau
mendekati subsisten. Mereka menunggu pada sisi garis batas pembangunan sambil
menonton. Petani subsisten merupakan penduduk etnik Papua yang tidak
berkembang, menunggu di pinggiran untuk memahami bagaimana dapat terlibat dan
menyumbang serta memainkan peran mereka dalam proses pembangunan Papua. Untuk
mencapai pembangunan berkesinambungan dan pengentasan kemiskinan di Papua,
pertumbuhan ekonomi tinggi saja tidak cukup, kecuali pertumbuhan ekonomi
tersebut berpengaruh langsung terhadap penciptaan kesempatan kerja yang memadai
yang akan menjadi langkah sangat penting untuk keluar dari jurang kemiskinan.
Harus diperjelas bahwa yang dikejar bukanlah model pembangunan untuk
pertumbuhan ekonomi Papua yang ditargetkan melalui angka-angka statistik. Yang
diutamakan adalah pengembangan kualitas hidup penduduk asli Papua. Sementara
pembangunan pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan ekonomi kerakyatan
merupakan fokus dari Rencana Umum Pembangunan Papua, maka pembangunan
sumberdaya manusia dan lapangan kerja harus menjadi tujuan pintas dari program
dan perencanaan pembangunan provinsi, terkhusus dalam usaha mengentaskan
kemiskinan. Jika program pembangunan tidak diarahkan buat menciptakan
kesempatan kerja baru yang sesuai dengan karakteristik mayoritas penduduk asli
Papua, maka kita akan mengulangi kesalahan lama yang sama dalam upaya
pembangunan untuk pengentasan kemiskinan di masa depan.
Arti kata, ke depan,
kita harus menjauhkan masyarakat Papua dari orang-orang yang hanya memikirkan
dirinya sendiri. Dan untuk itu, meminjam ungkapan aktivis HAM Afrika-Amerika
Martin Luther King, kita mesti percaya bahwa apa yang dihancurkan oleh
orang-orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri dapat dibangun kembali oleh
orang-orang yang bersedia memikirkan orang lain. Kita harus menempatkan
orang-orang yang senantiasa mau memikirkan orang lain di wilayah Tanah Papua.
Orang-orang yang berkomitmen, berdedikasi dan berintegritas tinggi buat
mengawal perbaikan pelaksanaan otonomi khusus untuk Papua. ***
Boks:
Good
Governance
dan Clean Government, Faktor
Penentu Keberhasilan Pembangunan Papua
Untuk menggapai visi
dan misi serta membangun Papua dengan langkah-langkah sistematis dan strategis,
selain dibutuhkan seorang pemimpin yang kuat, juga harus ada dukungan penuh
dari aparatur birokasi yang solid dan profesional. Sesuai dengan tuntutan arus
reformasi dan otonomi khusus Papua, (aparatur) birokrasi tidak bisa lagi cuma
ongkang-ongkang kaki laiknya seorang bos (boss
style). Paradigma birokrasi telah berubah. Dari dilayani menjadi melayani.
Sebab itu, aparatur birokrasi harus bekerja keras sesuai dengan kemampuan dan
kompetensinya. Dalam pengelolaan pemerintahan, prinsip-prinsip yang harus
diterapkan, antara lain, adalah good
governance dan clean government. Para
aparatur birokrasi pun harus memiliki spirit entrepreneurship (entrepreneurial
government).
Harus dibangun
karakter birokrasi modern yang senafas dengan prinsip-prinsip tadi. Bukan
birokrasi yang penuh warna kleptomaniak. Unsur profesionalitas dikedepankan.
Misalkan perekrutan, pergantian dan pengangkatan aparatur birokrasi didasarkan pada
kemampuan (capability) seseorang.
Pejabat daerah didorong pula untuk
meningkatkan disiplin dan etos kerja, peningkatan kualitas sumberdaya aparatur
pemerintah serta pemanfaatan teknologi informasi (TI) sesuai dengan kaidah
transparansi pemerintahan serta sebagai upaya pelibatan partisipasi aktif warga
masyarakat.
Mengapa birokrasi
modern harus dibangun di Papua? Mesti diakui, selain ketimpangan ekonomi dan
ketidak-adilan sosial, merosotnya semangat kebangsaan dan meningkatnya
fanatisme kesukuan yang sempit, salah satu di antara sumber konflik di Papua
adalah juga karena beberapa kebijakan yang bias dari pemerintah pusat dan
pemerintah daerah pada masa lalu. Diduga bahwa beberapa kali pengangkatan dan
pergantian sejumlah pejabat di Papua tidak didasarkan pada merit system, namun ada nuansa kolusi dan nepotisme. Ada kenyataan
di mana dalam lingkungan pemerintahan beberapa oknum aparatur birokrasi tidak
menjalankan pekerjaannya secara profesional.
Yang lebih memprihatinkan
lagi, mereka kurang peduli pada pelayanan publik. Banyak pejabat daerah Papua yang
lebih gampang ditemui di Jakarta daripada di Jayapura. Sedangkan di Jayapura
sendiri kerap dijumpai pejabat kabupaten dalam jumlah banyak. Keadaan ini jelas
membawa akibat penurunan kualitas pelayanan kepada masyarakat di wilayah
kerjanya. Hal ini terjadi karena pada waktu proses pemekaran wilayah
pemerintahan, banyak pejabat kabupaten setempat yang diambil dari dalam
struktur birokrasi di ibukota provinsi. Lantaran keterikatan dengan kepentingan
keluarga misalkan, sang pejabat tidak bisa selalu berada di tempat tugasnya
yang lokasinya sangat jauh dari Jayapura.
Sedangkan mengenai
pejabat provinsi yang seringkali berada di Jakarta daripada di kantornya, terkait
dengan adanya manfaat ekonomis dari biaya perjalanan dinas yang cukup besar
yang dapat dimanfaatkan oleh sang pejabat. Pada satu segi jelas hal ini sudah
merupakan bentuk penyalah-gunaan jabatan dan wewenang. Pada segi yang lain hal
ini menghambur-hamburkan anggaran bukan untuk kepentingan rakyat Papua.
Dalam konteks di mana
masyarakat berafiliasi kuat dengan hal-hal tertentu (baik tradisi, kesukuan
maupun agama), maka langkah-langkah strategis harus diambil guna melibatkan
rakyat di tingkat akar rumput dalam rangka membangun pemerintahan yang baik
dari segi transparansi, akuntabilitas dan partisipasi. Pemerintahan yang baik
memainkan peran penting dalam meraih perdamaian positif. Jika tidak, maka demokrasi
akan menjadi tidak efektif dan bahkan kalah dari primordialisme. Pemilihan
langsung kepala daerah dalam masyarakat Papua yang tidak diikuti dengan
pandangan ke luar (outward looking),
pembangunan kepercayaan terhadap orang lain serta pendidikan politik yang benar
hanya akan membuka jalur bagi Papuanisasi yang berdasarkan kesetiaan kesukuan
yang memicu konflik horizontal. Hal tersebut akan memperkuat bagi-bagi
kekuasaan berdasarkan garis etnis. Persaingan antara para elit suku memperebutkan
kekuasaan politik seringkali membuat mereka saling bermusuhan bukannya
menyatukan mereka untuk menjadi sumberdaya manusia lokal yang mumpuni. Kelompok-kelompok
yang terpolarisasi menurut garis-garis etnis itu juga mempengaruhi pola
kepemimpinan lokal dan koordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah (contohnya
eksekutif melawan legislatif).
Gaya kepemimpinan
tradisional yang menempatkan kepentingan etnis seseorang di atas masyarakat
umum diikuti oleh kurangnya kapasitas profesional dalam mengelola pemerintahan
yang sarat dengan hal-hal yang lebih berorientasi proyek daripada yang
bermanfaat bagi publik. Ruang untuk membelokkan dana publik berkaitan erat
dengan tata cara penyampaian dana Otsus yang menentukan kualitas pengawasan dan
transparansi. Selama ini, dana Otsus telah dikirimkan melalui rekening bank
dana umum yang menjadikan tantangan dalam mengawasi penggunaannya. Koordinasi,
baik manajerial maupun program, antara provinsi, kabupaten sampai tingkat
pedesaan perlu dibangun dan dipelihara untuk menghindarkan adanya program yang
saling tumpang tindih dan mendukung efek penyebaran manfaat publik (trickle down effect) dalam proses pembangunan
birokrasi yang baik dan bersih.
Melihat pengalaman di
masa silam, ke depan, pemerintahan di wilayah Papua harus mampu mereduksi
konflik, memperbaiki lembaga birokrasi yang ada, mengisi kursi-kursi birokrasi
dengan ornag-orang yang kapabel (yang tidak cuma memikirkan diri sendiri), dan
mensterilkan birokrasi dari kepentingan-kepentingan sempit. Birokrasi Papua
harus mampu tampil sebagai lembaga yang netral sehingga dapat memberikan
pelayanan tanpa pandang bulu. Unsur-unsur subyektif harus dikesampingkan.
Aparatur pemerintah ditugaskan untuk melayani publik secara profesional, tanpa
membeda-bedakan latar belakang warga masyarakat.
Ke depan, pemerintah
daerah (provinsi, kabupaten/kota sampai distrik) harus mampu menempatkan
birokrasi pada posisi yang netral. Lembaga pemerintahan (birokrasi) dijadikan
“Indonesia Mini” sehingga tercermin keaneka-ragaman sosial-budaya, suku, ras
dan agama.
Birokrasi di
lingkungan pemerintahan daerah di wilayah Papua dituntut untuk bekerja dan
menerapkan prinsip-prinsip clean
government dan good governance (partisipatif,
adil, efisien, efektif, akuntabel, transparan, law enforcement, responsif,
konsensus dan strategi visi). Secara sederhana prinsip-prinsip clean government dan good governance tersebut dapat diartikan
bahwa apapun kebijakan pemerintah harus selalu berpatokan pada konsensus,
hasil-hasil pembangunan yang dicapai dan penggunaan anggaran disampaikan kepada
masyarakat secara transparan. Termasuk, tuntutan dan kebutuhan masyarakat harus
selalu direspon secara baik, serta penggunaan sumberdaya yang efisien dan
efektif. Keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah harus senantiasa
mencerminkan keadilan, tugas-tugas yang dijalankan selalu
dipertanggung-jawabkan dan pelanggaran-pelanggaran langsung ditangani dengan
penegakan hukum (law enforcement).
Secara lebih terperinci,
substansi good governance sebagai
faktor dominan pendukung keberhasilan pemerintahan dan otonomi khusus, ada enam
kriteria. Pertama, competence. Bahwa
setiap pejabat yang dipilih dan ditunjuk untuk menduduki jabatan pemerintahan
adalah orang yang benar-benar memiliki kompetensi dari segala aspek penilaian.
Mulai dari pendidikan, pengalaman, moralitas, dedikasi sampai integritas. Kedua, transparancy. Bahwa setiap aspek
dan fungsi pemerintahan harus menerapkan prinsip keterbukaan atau transparansi.
Ketiga, accountability. Bahwa
keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung-jawabkan kepada publik maupun
hukum. Keempat, participation. Bahwa
aparatur pemerintah harus turut aktif dalam upaya meningkatkan peran serta
masyarakat. Kelima, rule of law. Bahwa
kepastian dan penegakan hukum merupakan salah satu prasyarat keberhasilan
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Keenam,
social justice. Bahwa prinsip kesetaraan dan keadilan bagi setiap anggota
masyarakat harus betul-betul diimplementasikan dalam setiap tahap dan proses
pembangunan.
Dalam paradigma good governance, pembangunan di daerah
paling tidak harus memiliki tujuan, antara lain, mengembangkan kemampuan ekonomi
untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata. Juga,
meningkatkan kondisi kesehatan, pendidikan, perumahan dan kesempatan kerja bagi
masyarakat. Termasuk mendorong penegakan hak-hak azazi manusia. Tujuan utama
pembangunan yang berorientasi good
governance sendiri adalah mendorong tegaknya hak-hak azazi manusia,
kebebasan politik dan demokrasi, mengembangkan peradaban, serta meningkatkan
kesadaran akan betapa pentingnya pembangunan berkelanjutan.
Untuk menggapai
birokrasi yang memenuhi prinsip-prinsip good
governance, haruslah dilakukan penataan enam aspek manajemen birokrasi,
yakni aspek kelembagaan, kepegawaian, ketata-laksanaan, pengawasan dan
akuntabilitas, pelayanan publik dan perubahan paradigma aparatur. Pendek kata,
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di wilayah Papua mesti
melakukan reformasi birokrasi. Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan adalah
penciutan dan perampingan struktur pemerintahan di tingkat atas; penempatan the right man/woman on the right place; penguatan
tata pemerintahan di tingkat distrik dan kampung; dan perang terhadap korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Tatanan birokrasi lama boleh dikatakan telah
meninggalkan borok-borok korupsi, kolusi dan nepotisme.
Di masa lalu, birokrasi
sipil dalam hubungannya dengan pengelolaan sumberdaya alam wilayah Papua cenderung
menjadi pelayan pengusaha besar dan mengabdi pada kepentingan dirinya sendiri
dan pejabat-pejabatnya. Tanah-tanah hak ulayat diambil-alih secara
sewenang-wenang oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah atas nama
pembangunan. Pada 1980-an pengkaplingan hutan-hutan Papua dilakukan oleh
pengusaha, kroni-kroni, dan penguasa Jakarta.
Selama Orde Baru pula
korupsi, kolusi, dan nepotisme berurat akar di dalam birokrasi pemerintah
daerah. Di dalam praktiknya, setiap pejabat menggunakan kekuasaannya untuk
korupsi dan memberikan fasilitas pada kerabat atau kenalan yang berasal dari
kelompok etnik yang sama. Pada satu sisi hal ini membuat orang Papua melihat
persoalan birokrasi sebagai bagian dari diskriminasi oleh kelompok-kelompok
etnik pendatang (Jawa, Manado, Batak, Bugis, Buton, dan Makasar) terhadap
kelompok-kelompok etnik Papua. Pada sisi lain kemakmuran yang kasat mata
melekat pada pejabat birokrasi melahirkan kecemburuan di pihak aparatur
birokrasi yang asli putera Papua.
Kini di era reformasi
dan otonomi khusus, muncul tekad untuk mereformasi tatanan birokrasi pemerintahan
di Papua. Komitmen untuk melakukan reformasi birokrasi pemerintahan secara
berkelanjutan boleh dikatakan telah terlihat pada langkah-langkah Gubernur Papua
(2006-2011) Barnabas Suebu. Sayangnya, masih kerap dihambat oleh berbagai
kondisi dinamika politik lokal. Langkah awal yang menarik dilakukan Gubernur Barnabas
adalah menerbitkan buku berjudul Kami
Menanam, Kami Menyiram, Tuhanlah yang Menumbuhkan. Buku yang berisi visi,
misi dan program kerja Barnabas Suebu (Gubernur) dan Alex Hesegem (Wakil Gubernur)
ini merupakan upaya untuk menularkan pemahaman yang sama bagi langkah kerja
birokrasi pemerintahan. Hal lain yang dilakukan Barnabas dan Alex adalah
mengintensifkan kegiatan “turun ke kampung” (Turkam). Begitu aktifnya Gubernur
melakukan Turkam sehingga dia lebih banyak berada di kampung daripada di kota.
Ini merupakan satu bentuk teladan kepada para bawahannya untuk lebih dekat pada
rakyat di kampung dan merupakan perwujudan visi pembangunan yang berakar dari
kampung.
Dalam bukunya itu, Gubernur
Barnabas mengungkapkan alasannya mengapa (waktu itu) dia memutuskan kembali ke
dalam dunia politik Papua sesudah menjadi duta besar di luar negeri. Barnabas menuturkan,
“Saat itu, saya melihat ada dua dunia di Papua. Pertama, dunia birokrasi yang
pesta pora dengan uang Otonomi Khusus. Kedua, dunia rakyat kecil di
kampung-kampung. Dunia yang terus berteriak, menjerit, menangis, miskin dan
papa. Mereka hidup dalam kemiskinan dan kebodohan. Bahkan ada yang sampai mati
karena lapar. Dua dunia ini tidak pernah bertemu. Ketika saya melihat situasi demikian,
situasi di mana keadaan yang sangat tidak kita harapkan itu terjadi, tentu
sebagai orang Papua, sebagai orang yang pernah memimpin Papua (waktu itu Irian
Jaya), saya sangat sedih dan prihatin. Apa yang harus saya lakukan untuk
menolong dan memperbaiki keadaan ini?”
Ketika terpilih pada
tahun 2006, Barnabas Suebu pun langsung merentang tiga program penataan
pemerintahan yang meliputi reformasi birokrasi, reformasi anggaran, dan reformasi
sistem pengadaan barang dan jasa. Untuk reformasi birokrasi, Barnabas melakukan
penciutan dan perampingan struktur pemerintahan di tingkat atas, penempatan aparatur
atas dasar prinsip the right man/woman on
the right place, penguatan tata pemerintahan di tingkat distrik dan kampung,
serta perang terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Kemudian untuk reformasi
anggaran, Barnabas menempuh pendekatan: Anggaran yang piramidal, pengeluaran
terbesar ada di tingkat kampung; dan penataan administrasi keuangan, melalui
penerapan sistem informasi manajemen keuangan daerah dan pengembangan Matriks Konsistensi
Perencanaan dan Penganggaran (MKPP). Proses ini dilakukan dengan dukungan tim
ahli dari tim World Bank (Bank Dunia).
Sedangkan analisis mengenai kesesuaian perencanaan dengan aturan anti-korupsi
dilakukan oleh tim Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Bank
Dunia. Masih dalam kaitan dengan reformasi pemerintahan, Barnabas juga
melakukan reformasi sistem pengadaan barang dan jasa. Hal ini harus dilakukan
karena Barnabas mengidentifikasi adanya empat kelemahan dalam sistem yang lama,
yaitu korupsi yang terjadi selama proses pelelangan (bidding process); rendahnya kapasitas aparatur pemerintah yang
mengelola proses pengadaan barang dan jasa; rendahnya kapasitas
pemasok/kontraktor yang menyediakan barang dan jasa; dan harga barang dan jasa
yang dipasok telah di-mark-up
sedemikian rupa sehingga jauh di atas harga yang wajar.
Salah satu hakikat
Otonomi Khusus di wilayah Papua (pemerintah provinsi dan kabupaten/kota) memang
terletak para praktik sistem pemerintahan yang harus semakin baik. Aparatur
dituntut untuk semakin profesional dalam menjalankan tugas-tugasnya. Hasil
akhir yang diharapkan adalah terciptanya pemerintahan yang bersih (clean government) dan pelayanan publik
yang semakin baik (good public service).
Bila semua ini terwujud maka konflik kepentingan yang selama ini melanda dan
menghambat kelangsungan otonomi khusus di wilayah Papua –perlahan namun pasti— akan
menurun dan bahkan sirna.
Pemahaman good governance sendiri merujuk kepada
tiga pilar utama. Pertama, economic governance, yaitu kebijakan dan
lembaga ekonomi yang diperlukan untuk mendukung pembangunan ekonomi yang
efisien, merata, adil, produktif dan berkelanjutan. Kedua, political governance, yakni proses dan lembaga perumusan
kebijakan secara partisipatif dan demokratis yang mampu menciptakan
keterlibatan umum serta persatuan bangsa dan negara. Ketiga, administrative governance, yaitu lembaga, kebijakan,
mekanisme dan proses implementasi kebijakan yang mampu mendukung pelaksanaan
fungsi pemerintahan dan pembangunan.
Penyelenggaraan
ketiganya akan menjadi lebih baik dan amanah bila ada jaringan kerjasama dan
kemitraan yang saling mendukung antara tiga lembaga/aktor good governance. Pertama,
negara atau pemerintah yang menjalankan fungsi penegakan hukum, ketertiban dan
keamanan, kebijakan publik seperti melakukan regulasi dan pengaturan struktur
insentif dan investasi serta pemungutan dan pendistribusian penerimaan pajak. Kedua, masyarakat madani yang
menjalankan fungsi-fungsi representasi kolektif dari rakyat. Kemudian
penyaluran layanan publik serta layanan tanggung jawab terhadap masyarakat
lainnya. Ketiga, sektor usaha, yang
tugasnya adalah memproduksi barang dan jasa guna menciptakan lapangan kerja dan
meningkatkan kekayaan.
Dalam konteks
pelaksanaan otonomi khusus, organisasi publik (birokrasi) harus mampu membangun
sistem kebijakan publik yang berorientasi pada masa depan, visioner, taktis,
sistematis, kreatif dan inovatif. Sebab itu, nilai-nilai yang relevan untuk
dikembangkan adalah, pertama,
berorientasi pada bisnis masa depan (future
business oriented). Dalam hal ini, pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota harus berupaya membuka peluang bisnis yang berorientasi masa
depan.
Kedua,
memiliki ketajaman dalam menentukan fokus yang harus dilakukan dan dicapai di
masa depan. Ketiga, mampu dalam
menentukan ketepatan perencanaan tindakan sesuai dengan situasi senyatanya di
lapangan. Keempat, menyusun berbagai
sistem informasi manajemen ke dalam standar pelayanan publik yang transparan,
kongkret, aktual dan terukur. Untuk itu, organisasi perlu kemampuan menguasai
teknologi informasi (TI). Dalam upaya memberikan transparansi melalui TI kepada
masyarakat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di wilayah Papua
harus selalu menginformasikan segala kegiatan yang berhubungan dengan
pemerintahan melalui internet yang dapat diakses kapan saja, di mana saja dan
oleh siapa saja.
Kelima,
responsif dan proaktif terhadap harapan semua pihak (khususnya masyarakat
lokal) dan stakeholders yang lebih
luas. Dalam hal ini, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di
wilayah Papua harus membuka lebar-lebar bagi masyarakat untuk mengeluarkan unek-uneknya
melalui lembaga seperti DPRD. Kemudian, aspirasi mereka didiskusikan dengan
pemerintah daerah untuk dibuat suatu kebijakan yang berorientasi pada
kepentingan bersama. Keenam, merajut
sistem jaringan kerjasama antar-wilayah dan antar-daerah dengan konsep
kemitraan dan kesetaraan kepentingan.
Pada dasarnya,
sebelum diberlakukannya UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus Untuk Papua,
hubungan antar-pemerintahan dilakukan dalam bentuk hirarki. Tapi, pada era
Otonomi Khusus yang demokratis, hubungan itu berada dalam bentuk networking atau kerjasama yang saling
menguntungkan. Pemerintahan daerah melakukan kerjasama dengan pemerintahan
daerah lainnya atau dengan pihak lain guna memanfaatkan nilai komparatif dan
nilai kompetitif yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Dengan begitu akan terbentuk
suatu kerjasama dan saling ketergantungan antar-daerah yang bersifat positif
dan kuat.
Jadi memang dapat
dibayangkan bila semua daerah telah mampu mencapai “keunggulan komparatif dan
kompetitif” masing-masing demi kesejahteraan masyarakatnya. Kemudian saling
menjalin kerjasama antardaerah, tentu akan
tercipta kondisi yang ideal (minimal mendekati ideal), yakni:
kemandirian dan kemajuan, sebagaimana tujuan yang hendak digapai dalam
pelaksanaan Otonomi Khusus. Barangkali begitulah yang selama ini
didengung-dengungkan oleh banyak kalangan di Tanah Papua: Membangun Papua, Oleh
Papua dan Untuk Papua. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar