ad

Senin, 03 Agustus 2015

Musim Parpol Panen




Sampai Sabtu (1/8/2015), Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan bahwa jumlah daerah yang memiliki calon tunggal dalam Pilkada serentak 2015 berkurang menjadi 11 daerah dari sebelumnya 12 daerah. Penurunan jumlah yang rasanya belum terlalu berarti.
Sebanyak 11 daerah yang masih memiliki calon tunggal adalah Kabupaten Asahan (Sumatera Utara), Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat), Kota Surabaya dan Kabupaten Blitar (Jawa Timur), Kabupaten Purbalingga (Jawa Tengah), Kabupaten Pacitan (Jawa Timur), Kabupaten Minahasa Selatan (Sulawesi Utara), Kota Mataram (NTB), Kota Samarinda (Kalimantan Timur), Kabupaten Timor Tengah Utara (NTT) dan Kabupaten Pegunungan Arfak (Papua Barat). Sementara itu ada daerah yang sama sekali tidak memiliki pasangan calon, yakni Kabupaten Bolaang Mongondow Timur di Sulawesi Utara. Selain itu dari 825 pasangan calon yang telah mendaftar ke KPU, sebanyak 157 calon di antaranya adalah petahana.
Meruyaknya calon tunggal di Pilkada tidak terlepas dari betapa sulitnya seseorang maju lewat jalur independen. Sebetulnya bila disimak lebih dalam, tidak semata-mata lantaran faktor kesulitan jalur independen. Ada faktor lain yang tidak kalah berpengaruh kuat, yaitu mahar yang dimesti dibayar si calon ke partai politik. Banyak parpol seperti mengelak bahwa mereka tidak menetapkan mahar. Tapi, tak sedikit pula yang mengakui terang-terangan dengan alasan kebiasaan ini sudah lama berlangsung.
Terlepas mengelak atau mengakui, bau-bau mahar itu tetap saja ada. Seorang kenalan dari Sumatera Barat mengaku harus merogoh kocek dalam-dalam , sekitar Rp25 miliar, untuk maju memperebutkan kursi orang nomor Sumatera Barat. Dia pun terpaksa menggandeng konglomerat lokal Tanah Minang itu. Dana sebanyak itu untuk mahar 9 parpol yang bakal mengusungnya. Sedangkan lawannya, sang petahana, hanya didukung dua parpol.
Cerita lain datang dari seorang kenalan yang hendak maju ke Pilkada Provinsi Kaltara. Kenalan yang sempat memimpin sebuah kabupaten selama dua periode dan membesarkan parpol yang lahir di era reformasi ini mengaku mundur dari pencalonan orang nomor satu di provinsi pemekaran dari Provinsi Kalimantan Timur tersebut. Dia mengaku kecewa berat lantaran partai yang dibesarkannya di tingkat wilayah provinsi baru itu pada detik-detik terakhir pendaftaran mengusung calon lain dari pusat.
Dengan iklim pencalonan semacam itu, dapatkah kita berharap bakal lahir pemimpin yang mengerti persoalan dan menyejahterakan rakyat? Rasanya muskil. Pemimpin yang lahir tentulah pemimpin yang hanya memikirkan bagaimana mengembalikan dana besar yang telah dikeluarkannya untuk nyalon. Dan, akan semakin banyak bupati, walikota dan gubernur menghuni Rutan KPK.
Aku jadi teringat nasehat bijak Rasulullah Muhammad saw: janganlah kalian menyodorkan diri untuk jadi pemimpin karena tanggungjawab sepenuhnya pada diri kalian. Sementara bila kalian dicalonkan oleh akar rumput (umat), maka sebagian tanggung jawab berada di akar rumput yang memilih.
Sayang sekali akar rumput kita sulit menyodorkan calon pemimpin yang dikenalnya, calon yang mengenal mereka, dan calon yang sungguh-sungguh punyai integritas. Sekali waktu seorang kawan berujar: “Memang nggak ada calon berkualitas dan berintegritas di kabupaten ini. Kok empat calon yang maju nggak dikenal rakyat dan tak pernah punya karya serta kepedulian pada rakyat.” 
Ya, di tengah proses pendaftaran peserta Pilkada serentak tahun ini Parpol benar-benar panen duit dan rakyat cukup menonton saja.
Budi Nugroho
Orang pinggiran Bekasi  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar