ad

Rabu, 26 Agustus 2015

Beda Jurus Korupsi Era Soeharto dan Reformasi

Mahasiswa Universitas Muhamadiyah Tangerang memegang poster sebelum deklarasi gerakan #BerjamaahLawanKorupsi di Halaman Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Minggu (8/12). (CNN Indonesia/ Safir Makki)
Meski reformasi sudah bergulir hampir dua dekade, praktik korupsi ternyata belum lagi meredup. Di zaman Orde Baru, korupsi berlangsung sistematis, terpusat, dan tak ada yang berani menggugat. Di bawah sistem kediktatoran Orde Baru, korupsi menjadi penyakit akut. Ia baru terbongkar setelah ledakan protes rakyat dan gerakan mahasiswa pada 1998. 

Setelah Soeharto turun dari kursi kekuasaan, penyakit korupsi rupanya masih menetap. Praktik korupsi bahkan berlangung lebih masif, dengan pemain beragam, dan menyebar ke daerah-daerah. Pada masa reformasi ini, bermunculan kekuatan politik baru dengan modus korupsi yang berbeda dari era Orde Baru.

Untuk lebih mengetahui perbandingan antara modus korupsi era Soeharto dan Reformasi, Aghnia Adzkia dari CNN Indonesia mewawancarai Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan. Berikut petikannya. (Baca Juga: FOKUS Mengingat Kembali Reformasi)

Apa perbedaan korupsi era Orde Baru dan reformasi?

Tentu perbedaan sangat besar karena korupsi sangat dipengaruhi oleh sistem politik di sebuah negara dan bagaimana juga kekuasaan dikendalikan atau tidak. Dalam konteks Orba kekuasaan sangat terpusat dan tidak ada lembaga lain yang bisa mengontrol kekuasaan Presiden sehingga bentuk penyalahgunaan wewenang, jabatan, kekuasaan, tersentral di Presiden.

Pada era reformasi, kekuasaan sudah terdistribusi ke pusat kekuasaan baru. Korupsi semakin menjalar dan tidak hanya dikendalikan oleh Istana tapi dilakukan juga oleh kelompok-kelompok yang memiliki kekuasaan baru. Istilahnya, terjadi desentralisasi korupsi.

Bagaimana modus korupsi saat zaman Soeharto?

Karena ini model korupsi yang terpusat, seringkali yang dilakukan untuk korupsi dengan membuat peraturan-peraturan atau kebijakan negara yang tujuannya menguntungkan kroni, entah anak, keluarga, atau kelompok kecil dari kroni yang dimiliki Presiden. Misal kelompok bisnis dan politik. Bisa dilihat kasus Anthony Salim dan Liem Sioe Liong (Sudono Salim) yang berkembang bisnisnya saat Orba. Bagaimana yayasan yang dikendalikan langsung Soeharto memiliki aset besar tanpa ada pertanggungjawabannya atas aset. Contohnya Yayasan Supersemar. Darimana sumbernya? Itu dari sumber ekonomi negara.

Apa saja bentuk penyelewengan kebijakan era Soeharto?

Definisi korupsi dalam Orba tidak bisa dipahami secara hukum saja. Ini meliputi aspek politik dan aspek bagaimana desain pertumbuhan ekonomi dicanangkan. Kalau mau melihat dari itu, bisa lihat kontrak pengadaan militer jatuhnya ke keluarga Soeharto, anaknya yang pemilik perusahaan bisa jadi supplier.

Contoh lain kebijakan pembuatan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC), organisasi yang dibentuk untuk mengelola monopoli sapta niaga cengkeh di Indonesia saat itu. Itu yang diuntungkan Tommy Soeharto. Banyak proyek skala besar lain seperti proyek Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan eksplorasi minyak, bukan hal kecil seperti pengadaan.

Memang ada juga pada zamannya ketika Orba berkuasa, ada tim khusus yang ditunjuk untuk mengelola pengadaan barang dan jasa, yang dinamai Tim Sembilan di mana Menteri Sekretaris Negara menjadi ketua. Di situ disinyalir terjadi praktik korupsi besar-besaran karena pengadaan monopoli memang rentan dengan penyimpangan. Namun secara umum, kasus penyalahgunaan saat Orba lebih menargetkan kebijakan negara dalam skala besar yang menguntungkan kroninya.

Bagaimana penegakan hukum atas korupsi di era Orba?

Semua ini tidak bisa diperiksa atau tidak pernah bisa diminta pertanggungjawabannya untuk pengelolaan dana tersebut. Begitu juga konsensi kontrak kepada pihak kroninya. Padahal itu bentuk praktek kejahatan atau penyalahgunaaan.

Untuk korupsi di era reformasi, karakter yang dominan?

Kalau dulu bupati tidak ada korupsi, sekarang jadi banyak. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga kalau dulu tidak ada yang dijerat korupsi, sekarang dijerat juga, panitia pengadaan juga. Kalau zaman Orba, model distribusi diatur istana. Kalau DPR dapat 'sesuatu' maka yang mengatur itu istana. Tidak bisa ada yang keluar dari pakem itu sehingga tidak ada masalah. Sekarang situasi ekonomi dan politik berbeda. Kekuasaan sudah didistribusikan ke berbagai tempat. Itu sumber korupsi baru muncul.

Bagaimana modus korupsi saat reformasi?

Secara umum, modusnya penyuapan, pemerasan, manipulasi proyek, penggelapan uang negara, konflik kepentingan, penggelembungan anggaran, ada juga nepotisme dan kolusi. Itu sangat jelas dalam kasus pengadaan barang jasa.

Akan tetapi, secara umum inti korupsi suap. Artinya di dalam setiap komponen proyek negara ada feedback yang diberikan penyedia barang dan jasa kepada pemberi proyek dalam hal ini pegawai pemerintah atau pejabat negara.

Penggelembungan anggaran juga salah satu bentuk korupsi di mana alokasi anggaran yang sebenernya cukup untuk beli satu unit komputer misalnya, dibuat tidak cukup dan harga dinaikkan serta alokasi diperbesar.

Contoh lain adalah membuat perusahaan boneka atau bendera tapi untuk menguasai proyek APBD atau APBN. Yang paling umum kasus penyuapan, misal izin Hak Penguasaan Hutan (HPH), izin tambang, izin penggunaan lahan misal dari hutan lindung diubah jadi properti. Seringkali diperlukan pelicin. KPK banyak menangani kasus itu.  
sumber: http://www.cnnindonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar