ad

Sabtu, 31 Januari 2015

Megawati dan KPK


Megawati Soekarnoputri saat berbicara di Rapat Kerja Nasional IV PDI-P di Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (20/9/2014).
Oleh: Luky Djani
 Ikhtiar pemberantasan korupsi akan selalu menemui jalan terjal. Hal ini memang keniscayaan karena aksi memerangi korupsi berhadapan langsung dengan para koruptor yang berhimpun dalam wadah terorganisasi. Kejahatan korupsi hampir pasti dilakukan secara bersama dan terorganisasi. Kejahatan terorganisasi korupsi memiliki daya survival yang lebih baik dibandingkan kejahatan terorganisasi lainnya karena jamak pelakunya adalah orang-orang yang menduduki posisi kekuasaan formal dan tentu saja memiliki sumber daya yang mumpuni.
Karena itu, siapa pun yang berhadapan dengan "penjahat berseragam" ini harus menyiapkan banyak akal dan stamina. Juga jangan heran akan segenap cara untuk melemahkan agenda dan institusi pemberantasan korupsi mulai dari intervensi kekuasaan hingga kekerasan fisik.
Apakah agenda pemberantasan korupsi di Tanah Air memasuki lampu kuning? KPK sebagai garda terdepan dan motor pemberantasan korupsi sekali lagi mengalami tantangan. Cobaan-cobaan sebelumnya mampu dilewati lembaga ini. Semoga krisis kali ini berujung pada semakin kokohnya upaya pemberantasan korupsi. Pengalaman Korea Selatan dan Thailand bisa jadi pelajaran saat penjinakan lembaga ataupun upaya anti korupsi berhasil dilakukan. KPK di sana nasibnya cukup tragis.
NCCC dan KICAC
Prospek pemberantasan korupsi di Asia sedang memasuki masa senja. Lembaga anti korupsi bertumbangan. Agenda pemberantasan korupsi di Korea Selatan dimulai saat tokoh oposisi rezim militer, Kim Dae Jung, menjadi presiden pada Februari 1998. Strategi pamungkas Kim adalah inisiatif untuk membentuk UU dan komisi anti korupsi pada Agustus 1999 sebagai ujung tombak. Gagasan Kim mendapatkan resistensi dari para politikus dan lembaga legislatif sehingga butuh waktu dua tahun UU anti korupsi disahkan pada 24 Juli 2001. Setelah penetapan UU, muncul tentangan dalam pembentukan komisi anti korupsi dari pihak kejaksaan dan kepolisian. Akhirnya Korean Independent Commission Against Corruption (KICAC) terbentuk enam bulan kemudian pada Januari 2002.
Gebrakan KICAC menggoyang relasi koruptif antar-penguasa dan chaebol dan menyeret petinggi pemerintahan dan bisnis. Gebrakan tersebut mulai meresahkan para koruptor walau sejatinya KICAC tidaklah seperkasa saudaranya di Asia, seperti ICAC Hongkong, NCCC Thailand dan KPK karena KICAC tak diberi fungsi penyidikan dan penuntutan. Upaya menggoyang KICAC mendapatkan momentum saat pemerintahan berganti dari dua periode kepemimpinan progresif Kim Dae-jung dan Roh Moo-hyun ke pemerintahan konservatif Presiden Lee Myung-bak pada 25 Februari 2008.
Hanya berselang tiga hari, Presiden Lee memerger KICAC dengan dua institusi lain, yaitu Ombudsman dan the Administrative Appeals Tribunal (semacam PTUN), menjadi Anti-Corruption Civil Rights Commission (ACRC) pada 29 Februari 2008. Taji KICAC menurun dan menjadi lebih sebagai lembaga pemikir dengan fungsi utama pencegahan korupsi. Alasan utama penurunan daya KICAC adalah gebrakannya selama ini menghambat pertumbuhan ekonomi. Latar belakang Presiden Lee sebagai eksekutif salah satu chaebol membuatnya berpandangan bahwa pemberantasan korupsi menghambat pertumbuhan ekonomi.
Tentu saja publik bereaksi dan menentang penggabungan ini. Ketua TI Korea Geo-Sung Kim, berpendapat pertumbuhan ekonomi digerakkan oleh iklim usaha yang bersih dan untuk mencapainya diperlukan organisasi seperti KICAC. Komisioner ACRC dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada presiden; bandingkan dengan komisioner KICAC yang dipilih Mahkamah Agung, legislatif, dan presiden. Kekhawatiran akan hilangnya independensi ACRC jadi valid.
Setelah penetapan Konstitusi Rakyat tahun 1997, National Counter Corruption Commission (NCCC) dibentuk pada November 1999. Lembaga ini merupakan penguatan dari institusi anti korupsi sebelumnya, CCC, yang terbatas fungsinya dan kurang independen. NCCC bertanggung jawab kepada Senat dan kesembilan komisionernya dinominasikan oleh Senat dan ditetapkan oleh raja. NCCC langsung menggebrak dengan mengungkapkan penggelapan aset Deputi Perdana Menteri Sanan Kachornprasart dan berujung pada pengunduran dirinya. Selang dua bulan, NCCC membongkar skandal suap senilai 30 juta bath yang bermuara pada pemecatan Wakil Menteri Keuangan Nibhat Bhukkanasut.
Sasaran NCCC selanjutnya adalah skandal penggelapan pajak dan kebohongan publik pada laporan kekayaan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra. Kasus ini sempat membuat karier politik Thaksin di ujung tanduk. Namun, setelah Pemilu Legislatif 2001—saat Thai Rak Thai menguasai Senat—Thaksin segera mengooptasi MA sehingga kasus penggelapan asetnya dibekukan. Sebagai balasannya, kesembilan komisioner NCCC dikriminalkan dengan tuduhan terlibat konflik kepentingan dengan menaikkan gaji per bulan mereka sebesar 45.000 bath (sekitar Rp 25 juta). Pemeriksaan ini akhirnya mendorong pengunduran diri para komisioner, Mei 2005.
Dengan menguasai mayoritas parlemen, Thaksin tanpa kesulitan menempatkan ’komisioner boneka’ (Pasuk dan Baker 2004). Setelah kekuasaan beralih dalam proses kudeta militer, junta kemudian mengganti NCCC menjadi National Anti-Corruption Commission (NACC) pada 15 Juli 2008. NACC menjadi instrumen rezim militer untuk menebang lawan-lawan politik.
Warisan Megawati
Setiap pemimpin mempunyai warisan yang menjadi monumen keberhasilannya. Bung Karno membuat situs tengaran megah mulai dari stadion Gelora Bung Karno (GBK), Masjid Istiqlal hingga patung-patung yang menghiasi rupa Ibu Kota. Zaman berganti, monumen masa kini tidak lagi berwujud tengaran arsitektural kota, tetapi arsitektur ketatanegaraan. Presiden Habibie meninggalkan monumen berupa kebebasan berkumpul dan berserikat, pemilu multipartai, kebebasan pers, dan otonomi daerah. Presiden Abdurrahman Wahid menata kembali fungsi dan posisi TNI, penghormatan terhadap pluralisme dan HAM.
Megawati menorehkan tonggak penting dalam upaya bangsa ini melawan korupsi. Mungkin tak banyak yang ingat bahwa pada 27 Desember 2002, Megawati membubuhkan persetujuan dan mengesahkan UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaga inilah ujung tombak dan harapan bangsa ini untuk penghapusan penyimpangan kekuasaan dalam bentuk penjarahan sumber daya publik oleh kelompok-kelompok kejahatan terorganisasi yang memiliki kekuasaan dan kekuatan kapital.
Karena itu, komitmen Presiden Megawati terhadap upaya penghilangan segala bentuk kejahatan korupsi tak perlu diragukan lagi. Setahun kemudian KPK resmi terbentuk. Pengalaman penulis mulai dari penyusunan draf UU hingga pembentukan komisi, pemerintah saat itu memfasilitasi dengan baik. Seandainya komitmen terhadap pemberantasan korupsi tak kuat, gampang saja pemerintah mengaborsi penggodokan RUU atau mengulur waktu pembentukan KPK. Begitu juga sewaktu KPK mengusut kasus korupsi yang melibatkan beberapa politikus papan atas dari PDI-P, Ibu Mega tidak mengintervensi KPK.
Sayangnya, di tengah upaya KPK mengintensifkan upaya pemberantasan korupsi, gelombang serangan datang dari segala penjuru, termasuk PDI-P. Pelaporan seorang anggota DPR atas kasus Pilkada Kotawaringin Barat berujung pada pusaran krisis akan eksistensi lembaga KPK dan upaya pemberantasan korupsi. Penulis memandang bentuk pelaporan ini menggoyahkan KPK karena berujung pada krisis kelembagaan akibat status tersangka seorang komisioner lembaga anti rasuah ini.
Patut disayangkan hal ini terjadi karena, seperti disampaikan di atas, Presiden Megawati—baik sebagai kepala negara saat berkuasa maupun ketua umum partai—tidak melakukan pelemahan terhadap KPK. Sebagai seorang ibu, tentu Megawati sangat paham bahwa KPK adalah anak kandung pemerintahannya untuk melawan patgulipat korupsi yang telah mengakar dan mendarah daging.
Pengalaman Korea Selatan dan Thailand menunjukkan bahwa komisi anti korupsi akan dikerdilkan bahkan diamputasi oleh rezim selanjutnya. Presiden Jokowi sendiri memiliki rekam jejak yang nyata untuk agenda anti korupsi. Beliau penerima Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) sehingga tentunya memiliki tekad kuat untuk memberantas korupsi. Kemelut saat ini perlu diselesaikan dengan tepat dan cepat. Sekarang sebagai "petugas partai" Presiden Jokowi dinantikan langkahnya untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi dan KPK, lembaga yang menjadi warisan Megawati.
Luky Djani
Peneliti ISI dan Anggota Dewan Juri BHACA 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar