ad

Selasa, 26 Agustus 2014

Revisi UU Advokat Tumbuhkan Pengacara Nakal di Indonesia

Revisi undang-undang (UU) advokat yang memperbolehkan adanya organisasi advokat lebih dari satu, bisa menciptakan banyak advokat nakal di Indonesia. Pasalnya, banyaknya organisasi advokat bisa menyebabkan tidak adanya standarisasi ujian bagi calon advokat untuk bisa berpraktik di Indonesia.

Hal itu ditegaskan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) Dr Otto Hasibuan SH MM disela-sela seminar Kajian Akademisi RUU Advokat di gedung Aula Peradilan Semu Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Sabtu kemarin.
Selain Ketua Umum DPN Peradi Dr Otto Hasibuan SH MM, turut hadir sebagai pembicara, anggota pansus RUU Advokat DPR RI H Harry Witjaksono SH, Dr A Hakim Siagian SH MHum dan Prof Dr Syafruddin Kalo SH MHum. Tampak juga hadir Dekan FH USU Prof Dr Runtung SH MHum.
Peserta yang hadir dalam seminar Kajian Akademisi RUU Advokat itu, mulai dari pengacara hingga mahasiswa akademisi Fakultas Hukum di kota Medan. Sedangkan pembicara dari Kemenkumham RI, Indra Syahnun Lubis SH MH tidak hadir dalam seminar singkat tersebut.
Menurut Otto Hasibuan, jika pembahasan amandemen terus dilaksanakan, maka bisa menyebabkan semakin sulitnya mengontrol praktik pengacara di Indonesia, karena tidak adanya standarisasi kualitas advokat.
"Contoh, organisasi pengacara A menentukan standar kelulusan bagi calon advokat saat tes adalah 8. Sedangkan organisasi pengacara B, menentukan standarisasi kelulusan dengan nilai 6. Dengan standarisasi masing-masing organisasi, maka calon pengacara untuk bisa praktik dan mendapatkan lisensi dan tidak lulus di organisasi A, akan beralih ke organisasi B. Jadi bagaimana kualitasnya. Tidak menutup kemungkinan, praktik nakal jika seorang pengacara dihukum di organisasi A, maka dia akan pindah ke organisasi B. Sebagai imbasnya, jelas ini merugikan masyarakat," ungkapnya.
Organisasi profesi lainnya di Indonesia, Otto menyebutkan, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), organisasi tersebut memiliki standarisasi kelayakan bagi yang akan berpraktik menjadi dokter ataupun auditor. "Untuk itu, aturan singel bar atau organisasi tunggal untuk menaungi para pengacara di Indonesia akan memudahkan pemberian sanksi bagi pengacara yang merugikan masyarakat," terangnya.
Otto memaparkan, saat ini banyak anggota Peradi yang telah dicabut izin praktiknya sebagai advokat karena telah berbuat merugikan masyarakat alias melakukan pemerasan dan melanggar kode etik advokat. "Untuk menjadi advokat, maka para sarjana hukum harus terlebih dahulu mengikuti pendidikan dan ujian kompetensi yang diadakan Peradi. Sehingga, secara kualitas bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat," imbuhnya.
Sebagaimana lazimnya, lanjut Otto, organisasi bentukan pemerintah yang syarat akan kepentingan politik dan benturan kepentingan membuat anggota yang di dalamnya tidak bisa berbuat banyak untuk masyarakat. Oleh karena itu, Otto menegaskan, Peradi bersama akademisi menentang keberadaan Dewan Advokat Indonesia, seperti yang tercantum dalam pasal 43-44 dalam amandemen UU advokat.
"Keberadaan Dewan Advokat ini akan menyeret para pengacara masuk dalam ranah politik. Hal ini menyebabkan anggota dewan advokat akan takut melawan partai politik dan pemerintah jika terjadi perkara yang merugikan masyarakat dan berhadapan dengan partai politik dan pemerintah," ujar Otto.
Otto menilai, keberadaan dewan advokat juga rentan disalahgunakan oleh partai politik karena keberpihakan mereka kepada partai politik yang telah memilihnya. "Organisasi advokat diseluruh dunia merupakan organisasi yang independen dan tidak terpengaruh dengan suasana politik di negara mereka masing-masing," tegasnya.
Hal senada diungkapkan Guru Besar Fakultas Hukum USU Prof Dr Syafruddin Kalo SH MHum. Menurutnya, keberadaan organisasi advokat yang banyak akan menimbulkan praktik yang tidak sehat di dunia pengacara di Indonesia. "Single bar (wadah tunggal) organisasi advokat akan memudahkan proses audit dan pengawasan yang ketat terhadap praktik pengacara di Indonesia. Hal itu bisa menguntungkan masyarakat dalam mencari keadilan," ujarnya.
Syafruddin menyebutkan, UU advokat tahun 2013 masih relevan dengan sistem hukum Indonesia hingga saat ini dan tidak perlu adanya pergantian. Namun, dia mengimbau, jika ada pertikaian di internal organisasi advokat, sebaiknya diselesaikan secara internal sehingga independensi penegak hukum bisa dijaga dari intervensi.
"Oleh karena itu, RUU advokat tahun 2013 sudah selayaknya ditolak. Dengan demikian, UU No 18 tahun 2013 tentang advokat masih relevan untuk dipertahankan terlepas dari segala kekurangan dan kelebihannya," pungkasnya.(http://beritasore.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar