ad

Minggu, 21 Juli 2013

Militer, Keamanan Nasional, dan Kekerasan Politik

Oleh Dr. Mulyadi, Msi


Pengantar

Diferensiasi struktural yang diikuti diferensiasi fungsional merupakan ciri sistem politik negara modern. Hal itu dimaksudkan bukan saja agar struktur terspesialisasikan (fungsionalisme struktural), tapi juga untuk menghindari kemungkinan terjadinya konflik struktural akibat duplikasi, kompetisi, arogansi dan pemborosan. Dalam fungsionalisme struktural, TNI dan Polri misalnya, adalah dua struktur yang berbeda karena melaksanakan fungsi yang berbeda. Jika TNI dan Polri sebagai dua struktur berbeda namun menjalankan fungsi yang sama, maka cepat atau lambat kedua struktur itu tidak fungsional yangdisebabkan oleh adanya duplikasi, kompetisi, arogansi dan pemborosan.

Oleh sebab itu untuk menghindari konflik struktural akibat duplikasi, kompetisi, arogansi dan pemborosan, diferensiasi struktural dan fungsional lalu menetapkan institusi kemiliteran sebagai struktur penyelenggara kekerasan negara untuk fungsi pertahanan militer melalui –persiapan– pertempuran militer (perang). Sedangkan institusi kepolisian ditetapkan sebagai struktur penyelenggara kekerasan negara untuk fungsi ketertiban sosial melalui penegakan hukum. Perbedaan itu sudah tentu tidak akan menimbulkan masalah karena telah mengacu pada konsepsi dasar dari tujuan pembentukan negara, yaitu pembentukan institusi militer (TNI) sebagai struktur penyelenggara kekerasan negara untuk fungsi pertahanan negara melalui pertempuran militer bertujuan untuk melindungi warga negara dan ancaman militer negara lain seperti penaklukan, pendudukan, sabotase dan infiltrasi (eksternal security), pembentukan institusi kepolisian (Polri) sebagai penyelenggara kekerasan negara untuk fungsi ketertiban masyarakat melalui penegakan hukum bertujuan untuk menjaga dan melindungi kebebasan (freedom) warga negara dari ancaman warga negara lainnya (internal security).

Berkaitan dengan perlindungan warga negara dari ancaman militer negara lain di mana semua negara diasumsikan sebagai musuh, pengertian eksternal security harus mengacu pada pengertian konsepsi pertahanan militer (military defense) berupa pelaksanaan fungsi pertahanan/perlawanan negara (perang) melalui pertempuran militer. Sementara pelaksanaan persiapan perlawanan (perang) untuk pertempuran militer mengandung makna perlunya sebuah sistem pertahanan nasional (the national defense system) yang diperankan oleh tiga komponen, yaitu pemerintah untuk pembangunan kekuatan militer seperti Departemen Pertahanan RI yang dipandu oleh UU Pertahanan No. 3 Tahun 2002, otoritas politik untuk penggunaan kekuatan militer seperti DPR bersama Presiden yang juga dipandu oleh UU Pertahanan No. 3 Tahun 2002, dan institusi/badan kemiliteran resmi negara untuk pembinaan kekuatan militer seperti TNI yang diatur dalam UU TNI No. 34 Tahun 2004.

Sebaliknya, untuk perlindungan kebebasan warga negara dari ancaman warga negara lainnya, pengertian internal security harus mengacu pada pengeritna konsepsi internal order berupa pelaksanaan fungsi ketertiban sosial melalui penegakan hukum. Sementara pelaksanaan fungsi ketertiban sosial melalui penegakan hukum juga mengandung makna perlunya sebuah sistem keamanan nasional (the national security) yang juga diperankan oleh tiga komponen, yaitu pemerintah untuk pembangunan pembangunan kekuatan polisi seperti Departemen Keamanan RI yang akan dituntun oleh UU Keamanan, otoritas politik untuk penggunaan kekuatan polisi seperti DPR bersama Presiden yang juga dituntun oleh UU Keamanan, dan institusi/badan kepolisian untuk pembinaan kekuatan polisi, seperti Polri yang diatur dengan UU Polri No. 2 Tahun 2002.

TNI dan Urusan Keamanan

Dari perspektf fungsionalisme struktural, upaya pihak otoritas mencegah struktur TNI-Polri disfungsional yang disebabkan oleh duplikasi, kompetisi, arogansi dan pemborosan telah dilakukan dengan menetapkan apa saja yang menjadi ranah militer dan ranah polisi. Misalnya MPR mengamandemen UUD 1945 (Pasal 30), mengeluarkan TAP MPR No. VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI-Polri dan TAP MPR No. VII Tahun 2000 tentang peran TNI-Polri, serta DPR bersama Presiden mengeluarkan UU Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002, UU Pertahanan Nomor 3 Tahun 2002 dan UU TNI Nomor 34 Tahun 2004.

Namun hal mendasar yang belum tuntas dalam sistem politik Indonesia adalah sikap politik TNI yang tidak ingin –sepenuhnya– menyerahkan urusan keamanan (internal security / internal order) kepada struktur yang sudah ada (spesialisasi), yaitu Polri. Sikap TNI itu sampai kapanpun akan mengganggu bekerjanya sistem politik secara keseluruhan, sehingga menjadi masalah nasional. Sebagai contoh, dengan alasan yuridis TNI mengatur bantuan TNI kepada Polri melalui UU TNI Nomor 34 Tahun 2004, sehingga memberi uang bagi keterlibatan TNI dalam urusan keamanan diminta ataupun tidak diminta.

Alasan TNI itu kemudian diperkuat oleh dalih TNI dalam pembentukan Komando Teritorial / Komando Kewilayahan (Koter Kowil) TNI AD adalah melaksanakan fungsi pembinaan teritorial, sehingga selalu terlibat dalam urusan non-militer terutama keamanan. Di era Orde Baru pengertian fungsi pembinaan teritorial tidak hanya meliputi fungsi militer semata-mata seperti fungsi intelijen militer, tetapi juga fungsi non-militer dan upaya terwujudnya kemanunggalan TNI-Rakyat yang maknanya sangat luas dan dinamis. Sekarangpun pengertiannya tetap sama, yaitu upaya, pekerjaan dan tindakan TNI AD dalam menyiapkan kekuatan pertahanan dan kekuatan pendukungnya serta terwujudnya kemanunggalan TNI-Rakyat yang cakupannya meliputi ranah kepolisian.

Fungsi teritorial TNI AD ini secara institusional selain dapat dilaksanakan oleh Satuan Korwil TNI AD mulai dari tingkat Kodam hingga Babinsa, juga dapat dilakukan oleh satuan lainnya di TNI AD, seperti Badan Pelaksana Pusat, Dinas Jawatan dan Satuan Tempur, Bantuan Tempur dan Satuan Bantuan Administrasi. Sedangkan untuk terlibat dalam pelaksanaan fungsi pembinaan teritorial terutama oleh Satuan Korwil TNI AD, para aparat teritorial TNI D wajib memiliki lima kemampuan teritorial, yaitu temu cepat dan lapor cepat, manajemen teritorial, penguasaan wilayah, pembinaan perlawanan rakyat, dan komunikasi sosial.

Dalam workshop Mabes TNI yang diselenggarakan pada tanggal 13-15 Agustus 2001 terungkap bahwa ada 14 fungsi pembinaan pemerintahan daerah yang dilaksanakan Satuan Koter TNI AD dari 16 fungsi pembinaan teritorial yang dirumuskan TNI AD. Dari 16 fungsi binter TNI AD, terdapat 14 fungsi pembinaan teritorial yang tidak berkaitan dengan urusan miiter, yaitu (1) pembinaan persatuan dan kesatuan; (2) pembinaan keamanan wilayah atau sistem keamanan lingkungan (siskamling); (3) pembinaan operasi buta aksara; (4) pembinaan partisipasi pembangunan; (5) pembinaan gerakan nasional orang tua asuh; (6) pembinaan resimen mahasiswa (menwa); (7) pembinaan daerah rawan pangan; (8) pembinaan tokoh masyarakat; (9) pembinaan Keluarga Berencana / kesehatan; (10) pembinaan manunggal pertanian; (11) pembinaan generasi muda; (12) pembinaan unit pemukiman transmigrasi; (13) pembinaan kawasan pembangunan terpadu; (14) pembinaan keluarga prasejahtera. Sedangkan dua fungsi teritorial lainnya, yaitu (15) pendataan potensi daerah yang dapat mendukung pertahanan nasional, dan (16) rakyat terlatih untuk bela negara dapat dikatakan sama sekali belum pernah dilaksanakan oleh TNI AD.

Ke-16 fungsi pembinaan teritorial yang dirumuskan TNI AD dalam workshop Mabes TNI pada tahun 2001 itu bukannya berkurang ketika UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 dinyatakan berlaku. Implementasi fungsi pembinaan teritorial justru bertambah seiring dengan besarnya potensi masalah yang dihadapi oleh suatu provinsi. Misalnya di DKI Jakarta, fungsi pembinaan teritorial mencakup pula pembinaan tokoh agama dan pembinaan masyarakat kumuh.

Kecuali pendataan potensi daerah yang dapat mendukung pertahanan nasional dan rakyat terlatih untuk bela negara yang memang berhubungan erat dengan fungsi militer, keseluruhan fungsi binter TNI AD itu termasuk ke dalam fungsi non-militer dan tidak berhubungan langsung dengan fungsi militer. Di DKI Jakarta hampir semua fungsi teritorial itu juga sudah dilaksanakan secara mandriri oleh Pemda DKI Jakarta melalui dinas-dinasnya sehingga tidak diperlukan keterlibatan lembaga lain (TNI) dalam memperkuat pelaksanaannya.
Semua bentuk keterlibatan TNI AD itu tidak dapat dipahaami sebagai sikap “peduli” TNI pada masalah non-militer. Sebab kekerasan yang kerap menyertai dalam pelaksanaannya bersifat struktural setelah menempatkan kelompok masyarakat tertentu sebagai ancaman bagi keamanan nasional. Sebaliknya, justru harus dilihat sebagai upaya TNI untuk terlibat dalam urusan non-militer yang berdalih keamanan nasional meskipun hal itu sudah termasuk ke dalam ranah Polri. Efek negatif dari sikap TNI AD yang terlalu “peduli” pada masalah keamanan adalah keengganannya berada di bawah kontrol dan kendali Polri, seperti kasus penerapan Darurat Sipil di Ambon dan Poso di mana TNI terlihat enggan menerima pemberlakuan Darurat Sipil hingga mengusulkannya menjadi Darurat Militer. Mestinya untuk bantuan TNI kepada Polri hanya diatur dalam UU Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 agar Polri memiliki alasan rasional untuk meminta bantuan kepada TNI, termasuk agar TNI selalu berada di bawah kontrol dan kendali Polri.

Contoh berikutnya adalah RUU Keamanan Nasional yang terbukti telah mengabaikan fungsionalisme struktural. Pengabaian itu dapat dicermati dari beberapa hal, yaitu (1) RUU Kemanan Nasional yang masuk ke meja DPR diusulkan oleh Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dan Lemhannas. Di mana langkah itu bukan saja bertentangan dengan aturan pembuatan suatu undang-undang yang wajib mengacu kepada UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Menurut pasal 18 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004, RUU yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh Menteri / pimpinan lembaga pemerintah non-departemen, sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya, sehingga yang berkompeten dalam RUU Keamanan adalah Polri. Seharusnya RUU Kamnas yang sebaiknya disebut RUU Keamanan diusulkan oleh Kementerian Keamanan untuk memperkuat UU Polri agar nantinya setara dengan UU Pertahanan yang juga diperkuat oleh UU TNI. Bisa saja Kemenhan dan Lemhannas berdalih bahwa Kementerian Keamanan belum ada karena memang belum dibentuk, tapi dengan argumen spesialisasi dan profesionalisme (fungsionalisme struktural) mestinya untuk sementara waktu fungsi Kementerian Keamanan – yang seharusnya dibentuk agar setara dengan Kementerian Pertahanan – serahkan atau diambil alih oleh Polri. Bukan oleh Kementerian Pertahanan yang domainnya dalah urusan perang atau pertempuran militer yang seharusnya hanya mengurusi keperluan TNI dan cadangan militer (wajib militer); (2) Peran TNI dalam RUU Kamnas masih terlihat dominan dalam urusan keamanan (RUU Kamnas pasal 5 poin d, pasal 10 poin c & d, pasal 17 ayat 1 poin a). Padahal dari perspektif fungsionalisme struktural, untuk urusan pertahanan (defense) sudah ada Kemenhan dengan UU Pertahanannya dan TNI dengan UU TNInya, sehingga jika ada masalah yang belum tercakup di dalamnya tinggal memasukkannya ke dalam kedua undang-undang itu dengan cara mengamandemennya.

Kesimpulan

Ada kesepakatan diam di masyarakat kalau saat ini telah terjadi konflik struktural antara TNI-Polri yang disebabkan oleh penolakan TNI pada fungsionalisme struktural yang ditandai oleh adanya duplikasi fungsi, kompetisi, arogansi dan pemborosan.

Mengacu pada fungsionalisme struktural, RUU Keamanan Nasional mestinya hanya mengatur masalah keamanan saja, sehingga memungkinkan dibentuknya Kementerian Keamanan yang nantinya akan mengintegrasikan semua unsur pemangku keamanan di bawah Polri untuk memperkuat ciri nasional Polri. Sebab, salah satu masalah besar bagi urusan keamanan saat ini adalah para pemangku keamanan tidak terintegrasi dalam wadah Kepolisian Negara RI. Saat ini polisi hutan, polisi laut, polisi bea cukai dan polisi imigrasi semuanya menolak bergabung di dalam organisasi Polri dan terkesan tidak mau dikontrol dan dikendalikan oleh Polri.

Keberadaan Kompolnas yang terbukti belum bisa mendorong Polri menjadi polisi profesional lantaran tidak independen karena keanggotaannya dari lembaga/departemen lain perlu dikaji untuk dihapus lalu digantikan dengan pembentukan Kementerian Keamanan. Hal itu penting dan setidaknya sangat bermanfaat untuk dua aspek, yaitu (1) sebagai instrumen pemerintah dalam membangun kekuatan kepolisian; (2) sebagai arena bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam hal pembangunan kepolisian. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar