ad

Kamis, 21 Maret 2013

Nestapa TKI (2)



GAMBARAN KEPILUAN YANG NYATA:
Banyak Masalah, Penyimpangan dan Mafia Dunia TKI


"Saya sudah bekerja di keluarga itu selama enam bulan. Selama tiga bulan pertama mereka baik, tetapi pada tiga bulan terakhir berubah. Beberapa kali saya ditampar dan akhirnya mereka tidak membayar gaji saya selama tiga bulan.”

Ayu Hayati (23), TKW asal Karawang, bekerja di Iran




Kisah sedih perjalanan TKI/TKW pulang kampung tinggal nama atau cacat permanen seolah tak pernah kering mewarnai tinta media massa cetak dan membasahi bibir pembaca berita media massa elektronik. Duka lara Sumiati, TKW asal Dompu, Nusa Tenggara Barat, yang harus dirawat di satu rumah sakit di Arab Saudi pada November 2010 karena bibirnya digunting majikannya menggambarkan betapa tindak kekerasan ada di depan mata para TKI/TKW. Cuma gara-gara mengeluhkan beban kerja yang kelewat berat, sang majikan perempuan tega melukai bibir dan lidah Sumiati sampai tak bisa berbicara. Entah apa maksud sang majikan sampai tega berbuat sedemikian kejam terhadap sesama umat manusia.      

Sumiati hanyalah sebuah puncak gunung es kepedihan dan kepiluan para TKI/TKW yang mengais rezeki di negeri orang. Masih ratusan, bahkan ribuan, kasus kekerasan terhadap TKI/TKW yang nyaris terlepas dari perhatian publik. Banyak TKI/TKW yang harus meregang nyawa di arena pancung tanpa ada yang memberikan pembelaan. Pulang ke Tanah Air pun betul-betul cuma nama, karena jasadnya dikubur entah di mana rimbanya. Kepedihan dan kepiluan itu benar-benar nyata adanya. Dan, itu baru gambaran kepiluan tatkala mereka bekerja di manca negara. Deret kepiluan itu semakin panjang saja bila kita runut dan runtut dengan kepiluan sejak dari keluar desa sampai pulang kampung.

Sebelum melihat nestapa ketika mereka masih berstatus calon TKI di dalam negeri, mari coba kita petakan nestapa dan kepiluan TKI/TKW itu manakala mereka bekerja (berada) di negeri orang. Pertama, nestapa dan kepiluan yang bermula dari pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja. Jenis pekerjaan yang tidak sesuai perjanjian kerja mengakibatkan TKI/TKW mengalami stres dan depresi. Satu contoh, ada seorang TKI yang dalam perjanjian kontrak kerja akan dipekerjakan sebagai sopir. Tapi, ternyata dia harus bekerja menggembala kambing. Sudah begitu dia mesti menggiring kambing gembalaannya ke padang gersang dengan iklim yang jauh berbeda di Indonesia. Terpaan cuaca yang panas menyengat dan kondisi psikis yang tertekan berimplikasi pada hilangnya semangat kerja TKI tersebut. Ulah PJTKI di luar negeri yang dengan mudahnya melanggar ini perjanjian kontrak kerja tak mampu dilawan oleh TK/TKWI. Mereka cuma bisa pasrah meratapi nasib.  

Kasus-kasus TKI/TKW bekerja tidak sesuai dengan perjanjian kontrak kerja, tahun 2009 sampai pertengahan 2010, di kawasan Asia Pasifik tercatat 144 kasus. Seperti di Negara Hongkong 14 kasus, Malaysia 16 kasus, Singapura 32 kasus dan Taiwan 82 kasus. Kemudian di kawasan Timur Tengah ada 264 kasus. Seperti di negara Bahrain 1 kasus, Jordania 7 kasus, Kuwait 11 kasus, Oman 10 kasus, Qatar 16 kasus, Arab Saudi 177 kasus, Emirat Arab 38 kasus dan negara lain 4 kasus.

Kedua, tragedi bermula dari ketidak-mampuan bekerja. Kasus ketidak-mampuan TKI dalam bekerja lebih disebabkan ulah PJTKI di Tanah Air yang tidak memberikan pendidikan dan pelatihan/keterampilan yang memadai. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menerbitkan Peraturan Menakertrans Nomor 23 Tahun 2009 tentang Pendidikan dan Pelatihan bagi Calon TKI di Luar Negeri. Permenakertrans ini mewajibkan calon TKI mengikuti pelatihan standar kompetensi pola 200 jam atau selama 21 hari di BLKLN yang ditunjuk. Ternyata, pelatihan yang diadakan hanya formalitas dan PJTKI sudah menyiapkan sertifikat palsu tanda kelulusan pendidikan/pelatihan. Sekadar contoh, TKI sebagai Penata Laksana Rumah Tangga sebenarnya harus pandai mencuci, menyeterika pakaian, memasak serta menyiapkan keperluan anak majikan yang hendak pergi ke sekolah. Kenyataannya, TKI itu tidak mampu melakukan pekerjaan itu dengan baik dan benar. Majikan pun kecewa. Akibat selanjutnya, rasa ketidak-puasan sang majikan dilampiaskan dengan kekerasan kecil lalu kekerasan fisik yang lebih berat.

Kasus semacam ini, secara statistik, di kawasan Asia Pasifik tercatat 61 kasus. Tersebar di Negara Brunei Darussalam 1 kasus, Hongkong 7 kasus, Malaysia 8 kasus, Singapura 13 kasus dan Taiwan 32 kasus. Sedangkan kawasan Timur Tengah ada 142 kasus. Misalnya di negara Bahrain 1 kasus, Jordania 1 kasus, Kuwait 5 kasus, Oman 7 kasus, Qatar 8 kasus, Arab Saudi 94 kasus, Emirat Arab 24 kasus dan negara lain 2 kasus.

Ketiga, nestapa gaji tidak dibayar. Ada satu sebab yang bisa dijadikan alasan, kenapa banyak gaji TKI/TKW tidak dibayar secara benar. Hal ini berkaitan dengan asuransi. Sekarang, orang di luar negeri sudah mengetahui, bilamana gaji TKI tidak mereka bayar maka diganti oleh klaim asuransi. Sebab itu para majikan di luar negeri memilih tidak menggaji TKI/TKW. Mereka beranggapan, sekembalinya TKI/TKW di Tanah Air, nanti mereka dapat penggantian gaji dari klaim asuransi.

Kasus lain yang masih berkaitan dengan gaji adalah kenakalan majikan yang menyalah-gunakan amanah titipan uang untuk dikirim melalui bank ke keluarga TKI di Indonesia. Ternyata uang itu tidak pernah terkirim ke Indonesia. Oleh sang majikan, uang itu dipakai untuk keperluan pribadi. Bentuk kenakalan lainnya, setiap bulan memang majikan memberikan gaji, tapi si TKI/TKW kemudian menyimpannya di bawah bantal. Lalu, uang itu dipinjam oleh sang majikan. Karena jumlah peminjaman yang berulang-ulang kali, gaji TKI/TKW pun terkuras hampir habis. Saat TKI/TKW membutuhkan uang itu untuk dikirim ke Indonesia, sang majikan berdalih tidak punya cukup uang alias tak mampu membayar utang.

Contoh kasus TKI yang tidak dibayar gajinya dapat kita lihat pada TKW bernama Sumasri. TKW asal Blitar, Jawa Timur, yang bekerja dua tahun di Puchong (Selangor, Malaysia), ini pulang dengan tangan hampa. Yang lebih mengenaskan lagi, Sumasri mengalami depresi berat akibat penyiksaan yang dilakukan oleh majikannya. Sekujur tubuhnya penuh bekas luka karena pukulan dan siraman air panas.

Masih kisah pilu gaji tak dibayar, di tahun 2009, hati kita diketuk oleh Wasiah binti Toha (26 tahun), TKI asal Karawang, Jawa Barat, yang direkrut oleh sponsor bernama Saman, lewat jalur PT Trisula Bintang Mandiri (Jakarta), lalu berangkat ke Abu Dhabi pada tanggal 10 Desember 2008. Selama 8 bulan bekerja, ia bekerja pada keluarga Abdallah Said Masood Al Mazrooi Nura Said Mansur di Rasal Kaimiyah, Abu Dhabi, dengan gaji 700 dirham per bulan. Sejak awal bekerja, majikannya sudah kerap marah-marah tanpa alasan yang jelas. Wasiah juga sering ditempeleng dan dipukul, padahal dirinya telah bekerja sesuai dengan keinginan sang majikan. Satu bulan bekerja, majikan tidak memberinya gaji. Memasuki delapan bulan, gaji pun tak kunjung diterima oleh Wasiah. Lalu, ia memutuskan untuk minta dipulangkan saja ke Tanah Air. Tiba di Tanah Air, sikap Saman (sponsor) tidak membantu memfasilitasi Wasiah ke PT Trisula Bintang Mandiri, agar hak-hak Wasiah bisa didapatkan.

Modus lain lepas dari tanggung jawab membayar gaji adalah jual beli TKI/TKW di Kuwait. Praktik seperti ini sudah bertahun-tahun berlangsung dan sudah  menjadi sebuah karakter. Praktik ini bermula, ketika seseorang ingin mendatangkan TKI ke negara Kuwait. Sekadar contoh, calon majikan membayar US$1.000 untuk mendatangkan TKI/TKW. Setelah TKI/TKW tiba di Kuwait, sang majikan mempekerjakan TKI/TKW itu selama 3 bulan. Setelah 3 bulan bekerja, sang majikan tidak membayar gaji TKI/TKW tersebut. Malah, TKI/TKW itu dipindah-tangan ke orang lain. Begitu seterusnya, hingga akhirnya TKI/TKW bekerja di majikan manapun tanpa mendapatkan uang sepeser pun.

Praktik semacam ini jelas sangat menguntungkan sang majikan. Sudah mempekerjakan TKI/TKW selama tiga bulan tanpa membayar sepeser pun, malah uangnya kembali lebih banyak lagi karena menjual TKI/TKW ke orang lain sebesar US$1.300. Biasanya, TKI/TKW yang mengalami nasib seperti itu tidak menghubungi agency atau perwakilan PJTKI di negara setempat.

Selain gaji tak dibayar, banyak TKI/TKW yang juga harus pasrah menerima suratan tangan gajinya dipotong. Pemotongan gaji ini terutama terjadi pada TKI yang dikirim ke negara-negara Asia Pasifik. Pemotonan bisa berlangsung 8-10 bulan masa kerja. Sungguh diskriminatif. Sebab, TKI/TKW yang diberangkatkan ke negara-negara Timur Tengah (misalkan Arab Saudi) tidak mengalami pemotongan gaji. Hal ini jelas bertentangan dengan tata peraturan perundangan –baik Nasional maupun Internasional. Tapi, itulah yang terjadi dan TKI tak mampu mengelak.

Tragisnya, Pemerintah RI terlihat membiarkan praktik-praktik seperti pemotongan gaji terhadap TKI/TKW yang bekerja di negara-negara Asia Pasifik ini. Artinya, ada praktik pembiaran oleh Pemerintah yang jelas-jelas merampas hak-hak para TKI/TKW. Pemerintah juga membiarkan berlangsungnya diskriminasi penggajian yang menimpa pada TKI. Selain pemotongan gaji, para TKI/TKW juga harus menelan pil pahit diskirminasi penggajian. Para majikan di Arab Saudi misalkan, bertindak diskriminatif dalam memberikan gaji kepada pekerja asal Indonesia. Bila kepada pekerja informal asal Filipina, sekadar contoh, sang majikan membayar SR1.000, maka kepada pekerja asal Indonesia mereka membayar jauh di bawah jumlah SR1.000 per bulan.  

Diskriminasi penggajian di Hongkong lebih mencolok lagi. TKI/TKW infomal di sana hanya digaji HK$1.500, sedangkan tenaga kerja asal Filipina digaji HK$3.600 per bulan. Melihat praktik perbedaan gaji dan pemotongan TKI/TKW itu sudah seharusnya Pemerintah memperjuangkan kesamaan gaji di negara penempatan. Bukan justru tutup mata, seakan-akan tidak melihat praktik-praktik itu berlangsung terus-menerus. Sebab, praktik pemotongan dan kesenjangan gaji jelas-jelas melanggar hukum internasional. Sudah saatnya, Pemerintah memperjuangkan kesamaan hak-hak TKI/TKW berdasarkan hukum internasional. Harus ada kemauan kuat dari Pemerintah untuk memperjuangkan hak-hak TKI/TKW di luar negeri.

Repotnya, tidak banyak TKI/TKW Indonesia yang mempersoalkan pemotongan dan diskriminasi gaji ini. Di kawasan Asia Pasifik hanya tercatat 119 kasus. Rinciannya di Brunei Darussalam 3 kasus, Hongkong 5 kasus, Jepang 1 kasus, Macao SAR 2 kasus, Malaysia 45 kasus, Singapura 48 kasus dan Taiwan 15 kasus. Catatan kasus ini  kawasan Timur Tengah lumayan banyak, yakni 1.442 kasus. Misalnya di negara Bahrain 19 kasus, Jordania 38 kasus, Kuwait 162 kasus, Libya 2 kasus, Oman 63 kasus, Qatar 61 kasus, Arabi Saudi 914 kasus, Syria 8 kasus, Emirat Arab 158 kasus dan negara lain 17 kasus. Entah karena si TKI/TKW telah menyadari persoalan atau karena demikian banyak konsentrasi TKI/TKW di kawan Teluk ini.

Keempat, dokumen tidak lengkap. Ketika TKI/TKW berangkat dari Tanah Air biasanya dokumen-dokumennya lengkap. Ketika bekerja di luar negeri, mereka kerapkali kehilangan –baik sengaja, tidak sengaja maupun tidak tahu. Ada seorang TKW misalkan bekerja pada sebuah keluarga di Singapura. Karena merasa tertekan dan takut terus-menerus dikasari sang majikan, dia lari dari rumah majikan tanpa membawa selembar pun dokumen –entah paspor, visa atau kartu tenaga kerja luar negeri. Jadilah di TKW ini sebagai pekerja ilegal, terombang-ambing, dan rentan dieksploitasi. Kasus semacam ini, di kawasan Asia Pasifik muncul 153 kasus. Dengan rincian Brunei Darussalam 5 kasus, Hongkong 16 kasus, Macao SAR 2 kasus, Malaysia 48 kasus, Singapura 58 kasus dan Taiwan 24 kasus. Kemudian di kawasan Timur Tengah terjadi 748 kasus. Data agak lengkapnya, Bahrain 4 kasus, Jordania 10 kasus, Kuwait 34 kasus, Oman 22 kasus, Qatar 19 kasus, Arabi Saudi 527 kasus, Syria 5 kasus, Uni Emirates Arab 111 kasus, Yaman 2 kasus dan negara lain 14 kasus.

Kelima, teraniaya di negeri orang. Untuk kasus penganiayaan yang berujung pada kematian, Pemerintah kita terkesan kurang berani menuntut secara hukum sang majikan. Di Arab Saudi, kasus TKW disiksa lantas dibunuh seringkali berakhir damai dengan imbalan uang hanya Rp200 juta yang diterima ahli waris. Biasanya untuk kasus ini banyak calo atau makelar yang bermain. Belum lagi, keluarga korban yang mengaku-ngaku sebagai ahli waris. Seharusnya, uang dam (ganti rugi) yang diterima ahli waris Rp1 milyar. Ini untuk memberi shock therapi kepada orang-orang Arab. Coba, andaikata yang membunuh orang Arab itu TKI/TKW? Sudah pasti hukuman mati (pancung) menunggu sang TKI/TKW tanpa ditilik dahulu kronologis mengapa sampai terjadi pembunuhan. Ironisnya, selama ini tidak ada orang Arab yang dihukum pancung gara-gara membunuh TKI/TKW.

Kasus penganiayaan inilah yang sesungguhnya membuat miris dan sedih kita warga bangsa Indonesia. Kisah Yani (18 tahun) yang lari dari rumah majikan sebagai contoh kasus. TKW asal Rembang, Jawa Tengah, sebagai PRT (Pembantu Rumah Tangga) di Singapura, ini terpaksa melarikan diri dari rumah majikan dan meminta perlindungan ke KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia). Yani yang sudah bekerja 17 bulan mengaku setiap hari dipukul pada bagian kepala dan wajahnya dengan payung tanpa diketahui akar penyebabnya.

Tahun 2004, bangsa kita pernah dikagetkan kasus Nirmala Bonat, TKW asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Derita luka bakar yang cukup parah hampir di sekujur tubuh Nirmala, akibat disetrika dan disiram air panas oleh majikannya. Di Tahun 2005, Nur Miyati TKW asal Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), menderita gangren di kedua pergelangan tangan dan ujung-ujung jari kakinya lantaran dianiaya majikannya di Arab Saudi. Beberapa bagian tubuh Nur Miyati terpaksa harus diamputasi karena lukanya yang sudah membusuk.

Di tahun 2007, Ceriyati, TKW asal Brebes, Jawa Tengah, melarikan diri melalui jendela lantai 15 di sebuah apartemen di Kuala Lumpur (Malaysia), gara-gara tidak tahan lagi setiap hari disiksa majikannya. Tubuh Ceriyati dipenuhi luka. Dahi bengkak, leher dan tangan luka parah. Selanjutnya di tahun 2009, TKW asal Garut, Jawa Barat bernama Siti Hajar pun mengalami nasib serupa Nirmala Bonat. Setiap hari, ia disiksa, disiram air panas  serta dipukuli, hingga mengalami luka yang sangat parah pada hampir sekujur tubuhnya. Selama 34 bulan bekerja di Negeri Jiran Malaysia, Siti Hajar tidak menerima gaji sepeser pun dari majikannya.

Berikutnya kasus Nurhasanah. TKI asal Brebes, Jawa Tengah, ini selama tujuh tahun bekerja di Riyadh, Arab Saudi. Ia disiksa majikannya. Tangan, punggung dan kepalanya penuh luka. Nasib sama juga dialami Sutilah, TKI asal Demak, Jawa Tengah. Ia disiksa dan upah pun tidak bayar. Bahkan, Sutilah dibuang di jalan oleh majikannya. Nasib tragis juga menimpa Halimah, TKI asal Cianjur, Jawa Barat. Ia lama terlunta-lunta di bawah jembatan layang di Jeddah, Arab Saudi. Sutilah tidak mendapatkan perawatan dokter atas penyakit paru-paru yang dideritanya. Hingga akhirnya, ajal lebih cepat menjemputnya, sebelum sempat bertemu keluarganya di Tanah Air.

Perlakuan tidak manusiawi hingga menyebabkan lumpuh dan linglung (lupa ingatan) dialami Suratminih, TKI asal Indramayu, Jawa Barat. Akibat siksaan dan penganiayaan majikannya di Arab Saudi, Ratminih tidak bisa tidur terlentang lantaran bagian belakang tubuhnya masih terdapat luka dan bekas jahitan. Selain cacat, Ratminih pulang ke Indonesia tanpa membawa uang sepeser pun, setelah selama enam bulan bekerja di Arab Saudi. 

Dari Rumah Sakit Al Adaan Kuwait, beberapa waktu lalu dikabarkan Sariah (37 tahun) TKI asal Indramayu, Jawa Barat, meninggal dunia. Lebih dari sepekan Sariah dirawat di rumah sakit tersebut dalam keadaan tidak sadar, hingga akhirnya maut menjemput. Kekerasan yang dilakukan majikan Sariah di Kuwait telah menyebabkan luka memar karena benda tumpul di beberapa titik. Paling parah di bagian leher kanan, tengkuk belakang dan ada pengentalan darah di batang otak. Yang di otak itulah yang menjadi penyebab meninggalnya,” papar ahli forensik RSCM Munim Idris.

Nasib tragis juga dialami Juriyah (19 tahun) TKI asal Lohbener, Indramayu yang jenazahnya disambut isak tangis oleh keluarganya. Selama bekerja 11 bulan di Kota Jeddah, Arab Saudi, baru empat bulan gajinya dibayar. Sisanya tujuh bulan belum dibayar hingga Juriyah menghembuskan nafas terakhir. Juriyah sempat dirawat di rumah sakit. Diduga, kematian Juriyah akibat penganiayaan yang dialaminya.

Masih direntang tahun 2009, TKI bernama Mantik Hani (36) disiksa majikannya di Malaysia. Saat ditemukan polisi Diraja Malaysia di rumah majikannya di kawasan Taman Sentosa, Klang Selangor, Mantik Hani dalam keadaan tidak sadarkan diri, dengan kaki dan tangan terikat. Media massa setempat melaporkan bahwa Mantik Hani digunduli, dipukuli dengan besi dan dipaksa tidur di toilet.

Mantik menderita luka parah, sampai-sampai tulang kakinya terlihat. Diduga, luka itu akibat pukulan dengan batang besi. Berkat laporan dari seorang wanita, Mantik berhasil dijemput polisi lalu dibawa ke Rumah Sakit Tengku Ampuan Rahimah. Polisi setempat juga menahan majikan perempuan Mantik.

Kekerasan fisik, verbal hingga sikap yang tidak menyenangkan sudah jamak dialami tenaga kerja asal Indonesia, khususnya perempuan. Secara kuantitatif, kasus-kasus kekerasan atau penganiayaan terhadap TKI/TKW, di kawasan Asia Pasifik tercatat 195 kasus. Perinciannya Brunei Darussalam 3 kasus, Hongkong 25 kasus, Macao SAR 1 kasus, Malaysia 41 kasus, Singapura 87 kasus dan Taiwan 38 kasus. Sedangkan di kawasan Timur Tengah terjadi 1.684 kasus. Uraiannya di Bahrain 21 kasus, Jordania 49 kasus, Kuwait 157 kasus, Oman 52 kasus, Qatar 108 kasus, Arabi Saudi 1.060 kasus, Syria 10 kasus, Uni Emirates Arab 212 kasus dan negara lain 15 kasus. Para TKI (terutama TKW) rentan menjadi korban kekerasan tak lepas dari latar belakang ekonomi, sosial dan pendidikan mereka. Kendati berada di bawah naungan agen penyalur resmi dan memperoleh pelatihan khusus sebelum dikirim ke luar negeri, tetap saja sebagian besar dari mereka mengalami gegar budaya yang berbuntut pada kekerasan.

Keenam, kasus pelecehan seksual. Kita sudah terlalu banyak diguyur informasi kasus-kasus TKW diperkosa sampai hamil dan tidak ada lelaki yang bertanggung-jawab. Namun, ada baiknya kita memahami makna pelecehan seksual atau pemerkosaan di suatu negara. Ambil contoh negara Arab Saudi. Di Arab Saudi tidak ada orang diperkosa. Yang ada orang berzina. Tapi oleh kita dipaksakan menjadi kasus pelecehan seksual atau pemerkosaan. Ini kan tidak sesuai. Jika Pemerintah Indonesia ingin membuat aturan, kan harus disesuaikan dengan aturan negara yang ingin ditempati TKI. Sehingga, tidak terjadi pertentangan di negara penempatan.

Nah, kalau ada kasus pelecehan seksual atau pemerkosaan mencuat ke permukaan, di dalam negeri dihembuskan isu ada asuransi yang diwajibkan membayar semacam ganti rugi, sekitar Rp25 -100 juta. Itu tidak benar. Saya menduga, itu hanya cerita dari TKI-nya saja. Secara jujur, saya kasihan sama asuransi di sini. Karena secara hukum tidak ada pasal pemerkosaan, yang ada hukum zina. Kalau seorang TKW mengakui melakukan zina maka kedua belah pihak dipancung. Akhirnya dibuat perdamaian. Setelah perdamaian kan ada imbalan. Setelah mendapat imbalan tidak boleh menuntut asuransi. Seharusnya begitu. Tapi di sini banyak penipu, banyak kongkalingkong, tidak bisa membedakan mana yang halalan thoyiban, yang penting mendapat uang. Apakah pejabat, PPTKIS, PJTKI atau perusahaan asuransi selalu begitu dan tidak akan pernah selesai.

Gambaran haru-biru kasus penyiksaan dan pemerkosaan TKW dapat kita lihat berikut. Tahun 2002, Arsita, TKI asal Taliwang, Sumbawa, NTB, disiksa dan diperkosa oleh majikannya di Arab Saudi. Arsita sempat tidak sadarkan diri selama empat bulan dan harus dirawat di rumah sakit lantaran dicekik saat majikannya berusaha kembali memerkosanya. Duka diperkosa masih datang dari Indramayu, Jawa Barat. Sariah, TKI asal Desa Tarsana, Kecamatan Sukagumiwang, meninggal dunia akibat kekerasan. Berdasarkan hasil otopsi dari RSCM, Sariah dipastikan meninggal lantaran kekerasan fisik dan seksual. Sariah meninggalkan seorang suami dan seorang anak.

Tersebut pula Eti Darti (25 tahun), TKI asal Paoman, Indramayu, Jawa Barat. Bulan kedua bekerja, ia mendapat perlakuan tidak senonoh berupa perkosaan dan penganiayaan ketika bekerja di Johor, Malaysia. Akibat  perkosaan itu, Eti hamil. Mengetahui kehamilan Eti, majikannya menyuruh Eti menggugurkan kandungan. Mirisnya, proses pengguguran kandungan itu dilakukan dengan cara perut Eti ditendang-tendang, hingga Eti mengalami pendarahan.

Setelah sembuh pendarahan, setiap hari Eti masih dipaksa melayani nafsu bejat majikannya yang berprofesi sebagai dokter. Akhirnya, dibantu KBRI di Malaysia dan Pengurus Daerah Serikat Pekerja TKI Luar Negeri (SPTKILN) Kabupaten Indramayu, Eti dijemput dibawa pulang ke Indramayu. Eti lalu mendapat perawatan intensif di ruang VIP kamar 3 RSUD Indramayu. Lima hari dirawat intensif, Eti akhirnya meninggal dunia. Diduga kuat, Eti mengalami infeksi pada bagian perut. Dan infeksi itu telah menjalar ke organ tubuh lainnya.

Tak banyak kasus pelecehan seksual terhadap TKW yang tercatat di kawasan Asia Pasifik, hanya 53 kasus. Dengan perincian Brunei Darussalam 1 kasus, Hongkong 2 kasus, Malaysia 3 kasus, Singapura 18 kasus dan Taiwan 24 kasus. Kasus pelecehan seksual justru banyak tercatat di Timur Tengah, yakni 1.229 kasus. Misalnya di negara Bahrain 25 kasus, Jordania 23 kasus, Kuwait 69 kasus, Oman 59 kasus, Qatar 58 kasus, Arabi Saudi 869 kasus, Syria 4 kasus, Uni Emirat Arab 109 kasus, Yaman 1 kasus dan negara lain 12 kasus.

Ketujuh, kasus-kasus majikan bermasalah. Di antaranya majikan ringan tangan, majikan perempuan cemburu berlebihan, majikan pembohong, dan majikan meninggal dunia. Di kawasan Asia Pasifik tercatat jumlah 168 kasus: Brunei Darussalam 3 kasus, Hongkong 29 kasus, Macao SAR 1 kasus, Malaysia 22 kasus, Singapura 64 kasus dan Taiwan 49 kasus. Sedangkan kawasan Timur Tengah terdata 753 kasus: Bahrain 7 kasus, Jordania 6 kasus, Kuwait 66 kasus, Oman 40 kasus, Qatar 38 kasus, Arabi Saudi 480 kasus, Syria 4 kasus, Uni Emirat Arab 109 kasus dan negara lain 6 kasus.

Kedelapan, Kecelakaan Kerja. Saya kerapkali bersuara lantang dan tegas mengenai kecelakaan kerja di apartemen-apartemen Singapura yang menjulang tinggi. Coba perhatikan mengapa sekarang di Singapura ada ratusan TKI mati dengan cara yang sama? Jatuh dari lantai 27 atau 30. Dalam 2 tahun terakhir, 412 TKI mati, semua jatuh dari lantai atas apartemen. Saya katakan pengiriman tenaga kerja terjelek di seluruh dunia adalah Singapura karena calon TKI tidak dibekali pengetahuan tentang tata cara dan adat kebiasaan hidup di apartemen.

Kejadian-kejadian TKI tewas karena terjun dari apartemen agaknya tidak direspon secara cepat dan tuntas oleh Pemerintah. Kalau sudah puluhan orang mati jatuh dari apartemen, mestinya kita mampu memahami agar tidak jatuh korban lebih banyak lagi. Jika ternyata apartemen-apartemen itu tidak berpagar, bisa saja terjadi para TKI kita jatuh terpeleset karena lantai licin terpercik air sabun ketika menjemur pakaian. Kalau itu permasalahannya, buatlah kesepakatan dan pernyataan bahwa semua apartemen yang memperkerjakan TKI harus dilengkapi pagar. Ini kan tidak pernah diperbuat oleh Pemerintah dalam upaya melindungi TKI yang bekerja di apartemen-apartemen Singapura.

Kisah lain pahlawan devisa yang memiriskan hati adalah jatuhnya korban akibat keletihan bekerja. Turinah (29 tahun), TKI asal Indramayu yang baru bekerja empat hari pada keluarga Muhammad Abdul Nabi Ais Milad di Kuwait mengalami lemah fisik hingga akhirnya ia terpaksa pulang ke Tanah Air lebih cepat. Turinah sempat dirawat di RS Polri Jakarta. Namun karena kondisinya kritis, korban menghembuskan nafas terakhir pada 30 April 2009.

Masih seputar kecelakaan kerja. Agus Purnomo (31), TKI asal Desa Banjarejo, Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, tewas setelah tertimpa gulungan baja di sebuah pabrik pipa di daerah Sinchu, Taiwan. Rekan-rekan Agus Purnomo sempat membawanya ke rumah sakit terdekat, untuk mendapat perawatan. Sayangnya, nyawa Agus Purnomo tidak dapat diselamatkan, setelah dia mengalami pendarahan hebat di bagian kepala. Jenazah korban tiba di rumah duka Minggu pada 8 November 2009 pagi. Oleh keluarga, jenazah langsung dishalatkan sebentar dan dimakamkan di tempat pemakaman umum (TPU) desa setempat (ANTARA News, Minggu, 8 November 2009)

Berita memilukan datang dari Taiwan pada 31 Oktober 2010. Enam orang TKI tewas karena kecelakaan kerja. Kelima TKI itu tewas, ketika mereka sedang bekerja di proyek pembangunan jalan tol. Mereka tertimpa runtuhan mesin perancah di lokasi pembangunan jalan di Nantou County, Taiwan. Keenam TKI itu bernama Suprapto asal Grobogan (Jawa Tengah), Riyanto asal Tegal (Jawa Tengah), Sunaryo asal Brebes (Jawa Tengah), serta Sutardji dan Sirmanto asal Rembang (Jawa Tengah) dan Ali Mansyur asal Surabaya (Jawa Timur).

Secara statistik, fakta kecelakaan kerja TKI di kawasan Asia Pasifik terdata 168 kasus. Misalnya di Negara Brunei Darussalam 3 kasus, Hongkong 29 kasus, Macao SAR 1 kasus, Malaysia 22 kasus, Singapura 64 kasus dan Taiwan 49 kasus. Sedangkan kawasan Timur Tengah ada 753 kasus. Misalnya di negara Bahrain 7 kasus, Jordania 6 kasus, Kuwait 66 kasus, Oman 40 kasus, Qatar 38 kasus, Arabi Saudi 480 kasus, Syria 4 kasus, Uni Emirat Arab 109 kasus dan negara lain 6 kasus.

***

Masih ada deretan panjang nestapa TKI/TKW di luar negeri yang rasanya tak mungkin direntang satu per satu pada lembaran yang amat terbatas ini. Minimal dapat saya berikan sedikit ilustrasi kualitatif macam-macam keprihatinan yang dihadapi oleh para TKI/TKW. Di antaranya TKI/TKW bekerja melampaui batas jam kerja tanpa ada upah lembur, mereka dilarang berkomunikasi dengan orang lain (termasuk keluarga), akomodasi dan makanan di rumah majikan tidak memadai (bahkan makanan basi), dilarang menjalankan ibadah menurut agamanya, dipaksa memasak dan makan makanan haram (daging babi), dipenjara dengan berbagai rekayasa tuduhan, bunuh diri, dan melakukan tindakan pidana karena merasa putus asa diperperlakukan buruk oleh majikan.

Ada kejadian luar biasa kisah TKW di Hongkong. Sebagai bangsa yang religius, kebanyakan TKW yang bekerja di Hongkong tentu beragama Islam. Ketika berangkat ke Hongkong, para TKW memakai kerudung dan menyandang nama Aminah. Apa lacur, ketika pulang ke Tanah Air, namanya menjadi Mince, berbusana bikini dan biasanya memakan daging babi. Mereka berubah menjadi lesbian. Ironis. Sungguh memilukan hati bangsa ini.

Lebih menyedihkan lagi, terkadang baru saja sepekan bekerja di Hongkong, para TKW beralih profesi menjadi pekerja seks komersial (PSK). Tak mudah dicari akar penyebabnya. Dijebak, terjebak ataukah justru muncul dari keinginan mereka sendiri meraup rupiah sebanyak mungkin di negeri orang. Kasus TKW ini harus menjadi perhatian yang serius bagi pemerintah, kalangan organisasi keagamaan di Tanah Air. Yang pasti, harus ada tindakan nyata dari pemerintah untuk menghentikan praktik-praktik penyimpangan pekerjaan seperti itu.

Semakin mendalami duka derita TKI/TKW di negeri orang semakin membuat kita mengelus dada. Tengoklah luka cerita seperti TKI/TKW dipecat secara sepihak dan dipulangkan majikan tanpa diberikan hak-haknya; dipulangkan secara sepihak oleh agency setelah usai masa pemotongan gaji sehingga tak pernah menerima gaji penuh; penipuan dengan modus rekayasa pemeriksaan medis; mengadu ke polisi tapi dikembalikan kepada agency/tekong kemudian dipekerjakan secara ilegal.

Terkadang pula tak sedikit TKI/TKW dideportasi tetapi tidak pernah sampai di kampung halaman. Mereka ditangkap oleh calo kemudian diberangkatkan kembali ke luar negeri secara ilegal. Kadang lagi, mereka harus menghadapi sikap aparatur KBRI/Konjen RI yang tidak mau membela dan justru menelantarkan. Mereka pun mesti menghadapi birokrasi penyelesaian yang berbelit, rumit dan memakan waktu.

Demikian lekat derita TKI/TKW ketika mengadu peruntungan di negeri orang. Hal ini tak terlepas dari persiapan di dalam negeri yang juga bermasalah. Tidak sedikit TKI/TKW yang merenda sengsara sebelum berangkat ke luar negeri. Mereka terkadang diperas dengan alasan pemenuhan syarat dokumen, ditelantarkan di tempat penampungan sementara, dan dikomersialkan demi memenuhi pundi-pundi oknum-oknum di instansi terkait. Peta kenestapaan di dalam negeri terhampar mulai dari perekrutan, pengurusan kelengkapan dokumen, pendidikan/pelatihan, penanda-tanganan kontrak kerja, persiapan akhir pemberangkatan sampai pemberangkatan TKI ke luar negeri.

Pertama, perekrutan. Sekadar contoh kisah Ferry Widyantoro (33) dan Sugeng Pratikto (29), keduanya warga Desa Sidorejo, Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, yang harus merelakan Rp15,5 juta masuk ke kantong calo TKI Agus Kurnia (40). Dan September 2010 lalu keduanya harus berputar-putar di sekitar Terminal Bus Jombang untuk mencari keberadaan Agus Kurnia yang mengaku bisa membantu memberangkatkan mereka ke Arab Saudi. Nasib serupa dialami oleh 85 orang calon TKI dari berbagai daerah yang dijanjikan hendak dipekerjakan di galangan kapal dan pabrik elektronik di Amerika Serikat. Masing-masing dari mereka sudah menyetor sekitar Rp15 juta sampai Rp20 juta kepada sebuah perusahaan jasa pengerah TKI di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Timur (KabariNews.com, September 2009). Sudah jatuh tertimpa tangga. Gagal berangkat ke luar negeri, utang pun menumpuk.

Yang lebih memiriskan hati, calon tenaga kerja itu tidak semata-mata ditipu calo tapi mereka dipaksa mengeluarkan uang jutaan rupiah oleh sponsor. Tak jarang, uang sudah diterima sponsor, namun beberapa minggu kemudian sponsor itu raib seoalh ditelan bumi. Kasus lain di seputaran perekrutan, di antaranya, terkadang calon tenaga kerja diperjual-belikan antar-calo atau antar-sponsor. Kalau pun calon TKI sudah berangkat ke tempat penampungan, oleh PJTKI nakal, si calon TKI hanya dijadikan stok manusia yang menghuni ruko-ruko. Mereka disekap dengan kondisi ruko yang tak layak huni serta makanan alakadarnya. Tanpa kepastian kapan mereka diberangkatkan ke luar negeri.

Kedua, derita permainan dokumen. Seharusnya, identitas atau biodata calon tenaga kerja dibuat sebenar-benarnya. Baik nama, umur, status perkawinan maupun alamat. Pemalsuan identitas pun kerap kali terjadi. Seperti,  pembuatan Kartu Tanda Penduduk yang tidak sesuai asal daerahnya beserta Kartu-Keluarganya. Praktik pemalsuan KTP dan KK yang marak terjadi di berbagai wilayah, tentu saja karena ketidak-cermatan dan ketidak-mampuan aparatur pemerintah desa berbuat jujur dalam mengeluarkan KTP dan KK. Ada seorang calon TKI dari NTB dibuatkan KTP dan KK di Sukabumi, Jawa Barat. Hal ini jelas akan merepotkan manakala di kemudian hari si TKI itu mengalami kematian di luar negeri. Jasad TKI tadi tidak bisa pulang sampai kampung halamannya. Terombang-ambing di tengah jalan dan terancam menjadi penghuni kburuan orang-orang tak dikenal.

Masih tentang dokumen, para calon TKI kerapkali juga terjebak pada permainan pemalsuan Surat Ijin Keluarga/Suami. Seharusnya calon TKI mengantongi Surat Ijin Orangtua/Suami yang ditandatangani oleh Kepala Keluarga/Suami. Pemalsuan lain yang nampak sistemik dan tertata apik antara lain menerbitkan Akte Kelahiran dan  ijazah asli tapi palsu. Ini jelas-jelas pemalsuan yang sudah terorganisir dan melibatkan banyak oknum aparaturan instansi terkait yang bermain ’cantik’ hingga saat ini. Sejatinya, oknum-oknum tersebut secara langsung menjerumuskan calon TKI  ke permasalahan-permasalahan yang serius di kemudian hari.

Ketiga, terjebak dalam kepura-puraan pelatihan/pendidikan yang dimainkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Sebelum diberangkatkan bekerja di luar negeri, calon tenaga kerja diwajibkan terlebih dulu mengikuti pelatihan/pendidikan pola 200 jam di Balai Latihan Kerja (BLK) yang dipunyai PJTKI atau BLK yang ditunjuk oleh instansi yang berwenang. Selama mengikuti pendidikan/pelatihan, pihak PJTKI harus merumahkan di tempat yang layak dan sehat. Selama 21 hari (200 jam), calon TKI akan dididik keterampilan khusus (sesuai job order), misalnya Tata Boga atau Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) serta bahasa negara tujuan. Untuk menjadi TKI di Timur Tengah misalkan, minimal harus menguasai 200 kata dalam bahasa Arab untuk membantu dalam memulai bekerja. Penguasaan bahasa adalah kunci komunikasi buat mengerti dan memahami perintah kerja secara umum antara majikan dan TKI.

Dalam masa pelatihan/pendidikan juga diajarkan cara berpakaian yang sopan sesuai dengan tata cara dan budaya di negara setempat. Misalkan TKI yang akan ditempatkan di Timur Tengah (Arab Saudi) ketika berada di penampungan dibiasakan memakai Abaya dan menutup kepala. Calon TKI juga diberitahu adat-istiadat serta kebiasaan masyarakat Timur Tengah (Arab Saudi). Setelah menjalani masa pelatihan dan pendidikan selama 21 hari, calon TKI akan diberikan sertifikat kelulusan.

Ironisnya, banyak PJTKI yang tidak memberikan pelatihan/pendidikan secara memadai di BLKLN kepada calon TKI yang hendak diberangkatkan ke luar negeri. Tak begitu jelas mengapa mereka berbuat seperti itu. Bisa jadi karena merasa keberatan biaya pelatihan yang mencapai Rp1,1 juta per calon TKI. Mereka menempuh jalan pintas kongkalikong guna mendapatkan sertifikat kelulusan pendidikan/pelatihan dengan hanya mengikuti satu atau dua hari pelatihan. Apa yang bisa diharapkan dengan pelatihan yang hanya dua hari? Mengikuti sepenuhnya pola 200 jam saja, banyak calon TKI yang masih tergagap-gagap dan gegar budaya. Hal inilah yang kemudian memicu ketidak-puasan majikan hingga berakibat penganiayaan atau penyiksaan.

Hal lain yang juga cukup menyedihkan adalah kondisi penampungan sementara calon TKI yang alakadarnya. Banyak tempat penampungan sementara PPTKIS yang terlihat kotor, sanitasi buruk dan tanpa dilengkapi tempat tidur. Calon TKI terpaksa tidur di lantai dengan tikar atau karpet. Makanan sehari-hari yang disediakan tidak pula memenuhi standar kesehatan dan kelayakan. Intimidasi, kekerasan fisik, psikis serta pelecehan seksual juga dialami calon TKI di sini. Selama ditampung, calon TKI kerap kali dipekerjakan pada rumah pemilik PPTKIS atau rumah perorangan dan tidak dibayar dengan alasan praktik kerja lapangan (PKL).

Terkadang, karena jadwal penempatan yang tak pasti, bilamana calon TKI ingin berkirim surat ke keluarganya harus melewati sensor dari karyawan PPTKIS di tempat penampungan. Begitu pun sebaliknya. Jika ada surat dari keluarga untuk calon TKI, sudah tentu mesti melalui sensor. Ulah karyawan PPTKIS juga nampak aneh-aneh. Ada denda besar yang harus dibayar calon TKI jika melakukan kesalahan di penampungan. Calon TKI juga dipaksa menandatangani surat pernyataan, apabila batal berangkat, harus membayar ganti rugi yang cukup besar. Inilah pemerasan terselubung yang dilakukan oleh PPTKIS.

Masih di masa penampungan sementara, ketika calon TKI menderita sakit kerapkali dibiarkan tanpa perawatan. Calon TKI tidak dirawat selayaknya orang sakit. Bahkan, tak sedikit kasus calon TKI yang meninggal di penampungan karena sakit yang semakin parah dan tertangani secara wajar. Kalaupun ada TKI yang berani melaporkan kasus-kasus yang dialami di penampungan, yang terjadi selanjutnya adalah penelantaran atai pembiaran kasus oleh pihak yang berwajib. Ironis, sekaligus memiriskan hati kita. Aparatur berwajib tidak menjadi pengayom masyarakat yang baik.

Keempat, penanda-tanganan perjanjian kontrak kerja secara tergesa-gesa. Karena tergesa-gesa, banyak calon TKI tidak memahami isi perjanjian kontrak kerja. Kondisi ini seringkali dimanfaatkan PPTKIS/PJTKI nakal untuk memanipulasi berapa jumlah gaji yang diterima serta hak-hak calon TKI yang harus diterima. Apalagi jika calon TKI itu buta huruf, praktis tidak tahu apa-apa isi kontrak kerja. Banyak TKI yang asal tanda tangan kontrak kerja. Kondisi kekurangan pada diri TKI ini banyak disalah-gunakan PPTKIS/PJTKI untuk memperpanjang kontrak kerja tanpa ijin dari keluarga. Pungutan yang tinggi juga dilakukan oleh agency saat perpanjangan kontrak kerja.

Kelima, penempatan.  Ketika calon TKI akan diberangkatkan dan ditempatkan di negara tujuan, calon TKI diminta menanda-tangani Surat Perjanjian Kerja dalam situasi yang tergesa-gesa. Calon TKI tidak sempat membaca dan mempelajari isi perjanjian kontrak kerja itu. Apalagi bagi yang buta huruf dan angka, hanya pasrah corat-coret di surat perjanjian kontrak kerja tanpa tahu arti dan kekuatan hukum surat yang ditanda-tanganinya. Tak jarang, tanda tangan calon TKI dipalsukan dalam Surat Perjanjian Kerja oleh oknum PPTKIS/PJTKI.

Ketika berangkat ke luar negeri, perlakuan petugas bandara pun kerap kali sinis. Sebuah perlakuan buruk di negeri sendiri yang jelas-jelas merendahkan harkat dan martabat sesama warga negara Indonesia. Ketika calon TKI menuju ke negara penempatan, terkadang, ada skenario dari PPTKIS/PJTKI nakal yang menjerumuskan calon TKI dijadikan pelacur. Biasanya calon TKI diturunkan di negara transit lalu dijebak dan dijadikan pelacur. Harapan untuk bekerja di negara tujuan sesuai kontrak kerja sirna sudah.

Begitulah gambaran kepiluan yang nyata derita-nestapa anak bangsa yang menjadi TKI/TKW. Ketika di dalam negeri dilecehkan oleh sesama anak negeri. Ketika di luar negeri, harus berhadapan dengan majikan yang semula halus tulus lalu tiba-tiba buas-beringas. Benar kata Ayu Hayati, TKW asal Karawang yang bekerja di Iran, "Saya sudah bekerja di keluarga itu selama enam bulan. Selama tiga bulan pertama mereka baik, tetapi pada tiga bulan terakhir berubah. Beberapa kali saya ditampar dan akhirnya mereka tidak membayar gaji saya selama tiga bulan.” ***



Artikel Pendukung


Bayar Rp 31 Juta Gagal Jadi TKI

Ingin bekerja di luar negeri sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI), dua warga Desa Sidorejo, Sawahan, Kabupaten Nganjuk, Ferry Widyantoro (33) dan Sugeng Pratikto, 29,  malah kehilangan uang belasan juta rupiah.  Dua pemuda ini diduga ditipu Agus Kurnia (40) warga Jalan Mastrip, Jombang, yang mengaku bisa membantu mereka menjadi TKI.

Keduanya mengaku mengalami kerugian masing-masing Rp15,5 juta. Merasa menjadi korban penipuan, mereka pun melapor ke Mapolres Jombang.

Kasus dugaan penipuan yang menimpa kedua pemuda tersebut berawal November 2009 lalu. Saat itu, melalui seseorang, keduanya diperkenalkan kepada Agus yang mengaku bekerja di PT Surya Pasific, sebuah perusahaan pengerah jasa TKI di depan Terminal Jombang.

Hasil pertemuan tersebut, Ferry dan Sugeng diminta membayar uang muka Rp2,5 juta sebagai persyaratan administrasi awal. Pada 24 November 2009 lalu, keduanya pun membayar biaya tersebut.

Setelah melalui proses administrasi, mereka  diminta kembali oleh Agus melunasi biaya adiministrasi. Total Rp10,5 juta. Kedua pelapor pun segera melunasi dengan maksud agar segera diberangkatkan menjadi TKI.

”Katanya untuk mengurusi visa dan berbagai surat perjalanan selama kami magang,” lanjut korban, di Mapolres Jombang.

Seusai pelunasan, Agus ternyata kembali meminta Rp2,5 juta, dengan alasan untuk biaya tes kesehatan. Dua pemuda tersebut pun menyanggupi.  Tanpa terasa, uang yang sudah disetorkan oleh masing-masing mencapai Rp15,5 juta, sehingga total Rp31 juta.

Keduanya dijanjikan berangkat Maret 2010. Namun setelah batas waktu yang telah dijanjikan terlewatkan, Ferry dan Sugeng  tak kunjung berangkat sebagai TKI.   Keduanya lantas meminta penjelasan kepada terlapor. Tapi setiap kali bertemu, terlapor hanya memberi janji-janji.

Kasatreskrim Polres Jombang, AKP Heru Nur Hidayat, ketika dimintai konfirmasi, Senin (20/9/2010), mengatakan masih mendalami laporan kedua korban. “Untuk sementara, kedua pelapor kami minta keterangan. Selanjutnya, kami akan memeriksa saksi, dan memanggil terlapor untuk menjalani pemeriksaan,” jelasnya.

(Sumber: Kompas, 21 September 2010)


Diketahui Tewas Setelah 3 Tahun

Sunaesih binti Kajan (24), Tenaga Kerja Indonesia asal Cirebon, Jawa Barat, yang bekerja di Uni Emirat Arab dinyatakan tewas setelah tiga tahun. PT AP, perusahaan penyalur tenaga kerja, menyebutkan bahwa Sunaesih dinyatakan tewas akibat kecelakaan. Namun, pihak keluarga dan Serikat Buruh Migran menganggap janggal kematiannya. Pihak keluarga dan Serikat Buruh Migran juga menilai aneh karena perusahaan penyalurnya baru memberi tahu tentang kematian Sunaesih tiga tahun berselang setelah ia meninggal.

PT AP mengabarkan berita kematian itu pada 12 Agustus 2010. Padahal, kematian Sunaesih tercatat tanggal 18 Juli 2007. ”Keterangan meninggal itu pun keluar atas desakan orang tua Sunaesih. Orang-tuanya resah karena anak mereka tak ada kabar sejak ia berangkat ke Arab, 27 Mei 2007,” kata Castra, pendamping keluarga Sunaesih dari Serikat Buruh Migran Cirebon, Minggu (21/11/2010).

Kejanggalan lain, lanjutnya, adalah tidak ada bukti yang bisa menunjukkan bahwa Sunaesih memang tertimpa kecelakaan. PT AP tidak transparan dalam menginformasikan kematian tersebut kepada keluarga korban. Selain itu, jenazah Sunaesih pun tidak bisa dibawa pulang dengan alasan sudah dikuburkan sejak tiga tahun lalu.

Kajan, ayah Sunaesih, juga mengaku mendapatkan santunan 4.000 dollar AS (Rp35,7 juta) dari perusahaan penyalur dan agennya, ditambah dua bulan gaji Sunaesih sebesar 1.600 dirham.

Santunan itu pun diberikan karena desakan dari keluarga yang menuntut pencairan asuransi jiwa Sunaesih. Namun, untuk mendapatkan santunan itu, Kajan diminta menanda-tangani surat perjanjian yang isinya agar tidak mengungkit-ungkit lagi penyebab kematian Sunaesih. ”Saya bingung, saya tetap ingin anak saya pulang, bagaimana pun kondisinya, karena itu saya mengadu ke Serikat Buruh Migran,” ungkap Kajan.

Hingga kini, Kajan tetap mendesak agar jenazah anaknya bisa dipulangkan ke desanya di Desa Gembongan, Kecamatan Babakan, Kabupaten Cirebon. Ia meminta agar pemerintah turut membantu kepulangan jenazah anaknya yang sudah tiga tahun tewas itu.

Serikat Buruh Migran mendesak agar perusahaan penyalur tenaga kerja bertanggung-jawab terhadap keluarga Sunaesih. Pertanggung-jawaban itu tidak hanya berupa santunan, tetapi juga pembuktian penyebab kematian TKI itu dan proses pemulangan jenazahnya ke Indonesia.

Kisah sedih TKI juga datang dari Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Kastem binti Rustam (32), TKI asal Muara Baru, Kecamatan Cilamaya Wetan, dilaporkan mengalami gangguan mental akibat penyiksaan oleh majikannya di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.
Pihak keluarga korban mengaku kehilangan kontak sejak Kastem berangkat ke luar negeri, November 2008. Kabar mengenai kondisi Kastem diceritakan oleh Sunari (30), TKI asal Karawang, yang berhasil kabur dan kembali ke Indonesia, 19 November 2010.
Sunari bekerja pada anak majikan Kastem, tetapi terpisah rumah di daerah Sarjah, Abu Dhabi.

Koordinator Camp Migrant Karawang Boby Anwar Maarif mengatakan, Sunari rutin bertemu dengan Kastem 2-3 kali sepekan saat majikannya mengunjungi majikan Kastem. Kepada Sunari, Kastem mengaku sering disakiti majikannya hingga mengalami luka fisik dan mental.

(Sumber: Kompas, Senin 22 November 2010)



Minta Penambahan Perwakilan RI di Arab Saudi

Meningkatnya mobolitas WNI di Timur Tengah, terutama di Arab Saudi harus disikapi dengan menambah jumlah perwakilan Indonesia di negeri itu.

Pemerintah Indonesia selayaknya memiliki dua kantor perwakilan lagi di Arab Saudi. Ketua Himpunan Pengusaha Jasa TKI (Himsataki) Yunus M Yamani mengatakan tahun lalu (2009) sebanyak 234.643 TKI ditempatkan ke negara itu dan sepanjang tahun lalu terdapat 22.035 kasus yang terjadi di sana. “Rata-rata Indonesia menempatkan 20.000-25.000 TKI ke Saudi. Angka itu terbesar untuk wilayah Timur Tengah dan hanya bisa dibandingkan dengan penempatan ke negeri jiran, Malaysia,” kata Yunus.

Saat ini terdapat dua perwakilan Indonesia di Arab Saudi, yakni KBRI di Riyadh dan KJRI di Jeddah. Menurut Yunus, dengan hanya memiliki dua kantor perwakilan tersebut maka pelayanan yang diberikan tidak maksimal sementara penyebaran TKI di sana hampir merata, hingga ke kota-kota di daerah perbatasan. “Terdapat 42 kota di Arab Saudi yang banyak ditempati TKI. Untuk mengatasi penyebaran tersebut dibutuhkan, minimal dua perwakilan lagi di Saudi,” kata Yunus.

Di sisi lain, dia juga mengingatkan KBRI dan KJRI, dengan segala keterbatasan yang ada, untuk tetap memberi pelayanan yang baik kepada TKI. “Mereka adalah pahlawan bagi keluarga dan pejuang yang membantu Indonesia mengatasi pengangguran dengan pengorbanan berpisah dengan sanak keluarga, anak, suami atau isteri,” jelas Yunus.

Dia mengungkapkan beberapa kasus di mana ketika Perusahaan Jasa TKI (PJTKI) menyampaikan masalah yang dihadapi TKI-nya, tetapi malah diberi sanksi tidak mendapatkan pelayanan administrasi hingga PJTKI tersebut menyelesaikan masalah TKI tersebut. Yunus juga mengungkapkan bahwa banyak kasus TKI yang kadang berujung pada kematian karena tidak diselesaikan dengan cepat, mengingat keterbatasan sumber daya manusia dan minimnya kantor perwakilan Indonesia.

Dia mencontohkan kasus Nurhafifah yang meninggal terbunuh sekitar satu tahun lalu, kasusnya baru diselesaikan saat ini dengan memberikan diat (uang duka cita) sebesar SR60.000 atau sekitar Rp150 juta. “Himsataki berupaya menyelesaikan pembayaran diat dari majikan TKI itu, karena kasus ini terkatung-katung hampir setahun, sedangkan majikan yang bersalah dihukum penjara saat ini,” kata Yunus.

Dana tersebut diserahkan Yunus kepada Marullah (kakak kandung almarhumah) dalam sebuah acara sederhana di Kantor Himsataki di Condet. Nurhafifah binti Sukari Sarbibni asal Malang dan meninggal dunia di Abha, Arab Saudi. Saat ini Himsataki juga sudah mengurus uang diat atas nama TKI Muhsinin Bin Amaq Masei Sirma yang meninggal karena kecelakaan kerja tahun lalu di Makkah.

(Sumber: Situs Kampung TKI)

Dijanjikan kerja di Amerika, 85 Pencari Kerja Tertipu

Untung tak bisa diraih malang tak bisa ditolak. Maksud hati ingin bekerja dan mendapatkan gaji besar di Amerika,  85 calon TKI (Tenaga Kerja Indonesia) dari berbagai daerah malah tertipu mentah-mentah sebuah perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) PT BBM yang berkantor di Gedung Dwima Plaza, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. 

Saat ditemui di Kantor Polsek Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Selasa, (29/9), puluhan calon TKI itu terlihat lesu karena mereka mengaku telah menyetor uang puluhan juta rupiah kepada PT Berjaya Bintang Mandiri (BBM)  yang berkantor di Gedung Dwima Plaza, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. 

Para calon TKI itu dijanjikan akan bekerja di Amerika Serikat dengan kontrak kerja dua tahun. Menurut surat perjanjian kerja, mereka akan dibagi di dua tempat. Ada yang bekerja di Galangan Kapal di Oakland dan di pabrik elektronik di San Francisco.

"Saya sudah bayar Rp19.5000.000, katanya akan dipekerjakan di pabrik elektronik di San Francisco, tapi sejak saya setor uang Juli lalu, keberangkatannya diundur-undur terus." kata Sugito salah satu korban penipuan asal Cilacap, Jawa Tengah.

Pemilik PT BBM, Hardi, diduga melarikan uang para calon TKI, karena sejak tanggal 25 September tidak diketahui keberadaannya.

Menurut Fredo, karyawan PT BBM yang baru bekerja satu bulan, telepon selular bosnya sulit dihubungi. Hubungan kerja pun dilakukan hanya lewat telepon saja. "Bos yang telepon kantor, kita sendiri enggak bisa hubungi dia," kata Fredo, yang mengaku satu bulan ini dirinya belum digaji.

Atas perintah Hardi, karyawan PT BBM diminta menghubungi para calon TKI yang umumnya dari daerah untuk datang ke kantor.

"Saya diminta datang tanggal 25 September ke kantor BBM di sini, katanya tanggal 28 September kita mau berangkat ke Amerika," ujar Dadang, calon TKI asal Pengandaran, Jawa Barat, yang mengaku telah menyetor Rp24 juta untuk biaya sertifikat dan administrasi.

Menurut pengakuan Dadang, setelah tiba di Jakarta mereka akan diinapkan di salah satu hotel di daerah Cempaka selama dua hari. Di hotel tersebut rencananya mereka akan diberikan pembekalan atau pelatihan singkat sebelum bertolak ke Bandara Soekarno Hatta menuju Amerika via Singapura.

Namun, sejak tiba pukul enam pagi di kantor PT BBM hingga jam enam sore, Sugito dan puluhan calon TKI yang jumlahnya mencapai 85 orang terpaksa menelan kekecewaan lantaran jadwal keberangkatan tak kunjung jelas. 

"Malah saya diminta menunggu dan menginap di hotel dengan biaya sendiri, padahal menurut perjanjian, perusahaan yang akan membayari hotel kami," kata Sugito.

Keresahan pun menggelayuti puluhan calon TKI itu, apalagi sebagian besar berasal dari  daerah yang sudah keluar uang banyak untuk bolak-balik dan tinggal selama di Jakarta. Mereka ada yang berasal dari Bali, Lampung, Pangkal Pinang, Tasikmalaya, Surabaya dan berbagai daerah lainnya.

Sampai tanggal 26 September atau sehari setelah mereka diminta datang ke kantor PT BBM, mereka belum mau melapor polisi karena masih berharap pimpinan PT BBM muncul dan memberikan penjelasan.

Namun hingga Selasa (29/9), Hardi tak kunjung kelihatan batang hidungnya. Mereka pun habis kesabaran dan melaporkan Hardi ke polisi.

Dari informasi yang dihimpun, rata-rata para calon TKI telah menyetor uang Rp20 juta. Dari catatan kuitansi dan tanda terima, KabariNews.com menemukan sedikitnya ada 85 orang calon TKI yang sudah menyetor uang rata-rata Rp20 juta.  Saat ini Polisi masih melakukan penyelidikan atas kasus penipuan ini.

(Sumber: KabariNews.com, 29 September 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar