Olo Panggabean lahir di Tarutung, Kabupaten
Tapanuli Utara, Sumatera Utara, pada 24 Mei 1941. Nama lengkapnya adalah Sahara
Oloan Panggabean, tapi lebih suka dipanggil OLO, yang dalam bahasa Tapanuli
artinya YA atau OK.
Pada masa hidupnya, untuk menemui atau hanya
melihat sosok “Ketua” itu bukanlah perkara gampang. Hanya orang-orang tertentu
yang tahu keberadaannya di suatu tempat, itupun dengan pengawalan
berlapis-lapis yang selalu mengitari ke mana saja dia pergi. Sang “Ketua” itu
pun selalu menghindari wartawan. Dia bahkan pernah memberikan uang kepada
wartawan untuk tidak mewawancarai atau mengabadikan dirinya melalui foto.
Sosoknya sangat bertolak belakang dari sebutannya
yang dikenal sebagai “Kepala Preman”. Perawakannya sebagaimana orang biasa
dengan penampilan yang cukup sederhana. Dia hanya mengenakan sebuah jam tangan
emas tanpa satupun cincin yang menempel di jarinya. Sorot matanya terlihat
berair seperti mengeluarkan air mata, namun memiliki lirikan yang sangat tajam.
“Jangan panggil saya Pak. Panggil saja Bang, soalnya saya kan sampai sekarang
masih lajang,”ujar Olo sambil tertawa suatu waktu. Meski begitu, pengawalnya
rata-rata bertubuh besar berkumis tebal dengan kepalan rata-rata sebesar buah
kelapa.
Olo Panggabean menjadi sosok yang diperhitungkan
setelah dia keluar dari organisasi Pemuda Pancasila --saat itu di bawah naungan
Effendi Nasution alias Pendi Keling, salah seorang tokoh Eksponen ’66. Tanggal
28 Agustus 1969, Olo Panggabean bersama sahabat dekatnya, Syamsul Samah,
mendirikan IPK. Di masa mudanya itu, dia dikenal sebagai preman besar.
Wilayah kekuasannya di kawasan bisnis di Petisah.
Dia juga sering dipergunakan oleh pihak tertentu sebagai debt collector. Sementara organisasi yang didirikan terus
berkembang, sebagai bagian dari lanjutan Sentral Organisasi Buruh Pancasila (SOB
Pancasila), di bawah naungan dari Koordinasi Ikatan – Ikatan Pancasila (KODI),
dan pendukung Penegak Amanat Rakyat Indonesia (Gakari).
Melalui IPK, Olo kemudian membangun “kerajaannya”
yang sempat malang melintang di berbagai aspek kehidupan di Sumut dan mengantarkannya
dengan julukan “Ketua”. Selain kerap disebut “Kepala Preman”, yang dikaitkan
dari nomor seri plat kendaraannya yang seluruhnya berujung “KP”, Olo juga
dikenal orang sebagai “Raja Judi” yang mengelola perjudian di Sumut. Namun
segala hal tersebut, belum pernah tersentuh atau dibuktikan oleh pihak yang
berwajib. Terasa, tapi tidak teraba.
Olo Panggabean pernah dituding sebagai pengelola
sebuah perjudian besar di Medan. Semasa Brigjen Pol Sutiono menjabat sebagai
Kapolda Sumut (1999), IPK pernah diminta untuk menghentikan praktik kegiatan
judi. Tudingan itu membuat Moses Tambunan marah besar. Sebagai anak buah Olo
Panggabean, Moses menantang Sutiono untuk dapat membuktikan ucapannya tersebut.
Persoalan ini diduga sebagai penyulut insiden di
kawasan Petisah. Anggota Brigade Mobile (Brimob) terluka akibat penganiayaan
sekelompok orang. Merasa tidak senang, korban yang terluka itu melaporkan
kepada rekan-rekannya. Insiden ini menjadi penyebab persoalan, sekelompok oknum
itu memberondong tempat kediamana Olo “Gedung Putih” dengan senjata api.
Pada pertengahan tahun 2000, dia menerima perintah
panggilan dari Sutanto (saat itu menjabat sebagai Kapolda Sumut) terkait
masalah perjudian namun panggilan tersebut ditolaknya dengan hanya mengirimkan
seorang wakil sebagai penyampai pesan.
Sejak jabatan Kapolri disandang Sutanto pada tahun
2005, kegiatan perjudian yang dikaitkan dengan Olo telah sedikit banyak
mengalami penurunan. Semasa Sutanto menjadi Kapolri, bisnis judi Olo diberantas
habis sampai ke akar-akarnya. Sutanto berhasil memberantas judi di Sumatera
Utara kurang dari tiga tahun, suatu hal yang tidak dapat dilakukan oleh Kapolri
sebelumnya. Sejak itu, Olo dikabarkan memfokuskan diri pada bisnis legal,
seperti POM Bensin, Perusahaan Otobus (PO) dan sebagainya.
Pada akhir 2008, Olo Panggabean kembali harus
berurusan pihak polisi. Namun kali ini, kasusnya berbeda, yakni untuk
melaporkan kasus penipuan terhadap dirinya oleh sejumlah rekannya dalam kasus
jual-beli tanah sebesar Rp20 miliar di kawasan Titi Kuning, Medan Johor.
Peduli
kasih
Namun terlepas dari apa kata orang terhadap Olo
Panggabean, sejumlah langkah positif dalam perjalanan hidupnya pantas dicatat
dengan tinta emas. Terutama sikap kedermawanannya dan kepeduliannya kepada
rakyat tidak berkemampuan.
Kisah sedih bayi kembar siam Angi-Anjeli anak dari
pasangan Subari dan Neng Harmaini yang kesulitan membiayai dana operasi
pemisahan di Singapura, tahun 2004, adalah satu contoh kedermawanan Olo paling
mendebarkan.
Ibu sang bayi, Neng Harmaini, melahirkan mereka di
RS Vita Insani, Pematang Siantar, Rabu, 11 Februari 2004 pukul 08.00 WIB,
melalui operasi caesar. Bayi kembar siam ini harus diselamatkan dengan operasi
cesar, tapi orang-tuanya tidak mampu. Di tengah pejabat Pemprovsu dan Pemko
Siantar masih saling lempar wacana untuk membantu biaya operasi, Olo Panggabean
langsung bertindak cepat menanggung semua biaya yang diperlukan.
Bahkan, saat bayi bernasib sial itu tiba di
Bandara Polonia Medan dengan pesawat Garuda Indonesia GIA 839 pada Senin 18
Juli 2004 sekitar pukul 11.30, Olo Panggabean menyempatkan diri menyambut dan
menggendongnya.
Saat itu Angi dan Anjeli terseyum manis, mereka
mudah akrab dengan orang yang berjasa untuk mengoperasi mereka. Banyak orang
terenyuh pada orang tua Angi dan Anjeli nyaris rubuh pingsan lantaran terharu.
Maklum, setelah membiayai semua pengobatan di rumah sakit, Olo masih bersedia
menyambutnya di Bandara.
Kisah kedermawanan Ketua sudah banyak dirasakan
masyarakat kurang mampu di Sumatera Utara.Tidak sekadar membiayai pengobatan
orang sakit, tapi juga dalam bentuk lain berupa biaya pendidikan dan modal
kerja untuk menghidupi keluarga.
Olo telah meninggal dunia Kamis, 30 April 2009 jam
14.00 di Rumah Sakit Glenegles Medan, Sumatera Utara. Olo meninggal pada usia
67 Tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar