ad

Sabtu, 22 Desember 2012

OLO PANGGABEAN, The Real Medan Godfather




Olo Panggabean lahir di Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara, pada 24 Mei 1941. Nama lengkapnya adalah Sahara Oloan Panggabean, tapi lebih suka dipanggil OLO, yang dalam bahasa Tapanuli artinya YA atau OK.

Pada masa hidupnya, untuk menemui atau hanya melihat sosok “Ketua” itu bukanlah perkara gampang. Hanya orang-orang tertentu yang tahu keberadaannya di suatu tempat, itupun dengan pengawalan berlapis-lapis yang selalu mengitari ke mana saja dia pergi. Sang “Ketua” itu pun selalu menghindari wartawan. Dia bahkan pernah memberikan uang kepada wartawan untuk tidak mewawancarai atau mengabadikan dirinya melalui foto.

Sosoknya sangat bertolak belakang dari sebutannya yang dikenal sebagai “Kepala Preman”. Perawakannya sebagaimana orang biasa dengan penampilan yang cukup sederhana. Dia hanya mengenakan sebuah jam tangan emas tanpa satupun cincin yang menempel di jarinya. Sorot matanya terlihat berair seperti mengeluarkan air mata, namun memiliki lirikan yang sangat tajam. “Jangan panggil saya Pak. Panggil saja Bang, soalnya saya kan sampai sekarang masih lajang,”ujar Olo sambil tertawa suatu waktu. Meski begitu, pengawalnya rata-rata bertubuh besar berkumis tebal dengan kepalan rata-rata sebesar buah kelapa.
Olo Panggabean menjadi sosok yang diperhitungkan setelah dia keluar dari organisasi Pemuda Pancasila --saat itu di bawah naungan Effendi Nasution alias Pendi Keling, salah seorang tokoh Eksponen ’66. Tanggal 28 Agustus 1969, Olo Panggabean bersama sahabat dekatnya, Syamsul Samah, mendirikan IPK. Di masa mudanya itu, dia dikenal sebagai preman besar.

Wilayah kekuasannya di kawasan bisnis di Petisah. Dia juga sering dipergunakan oleh pihak tertentu sebagai debt collector. Sementara organisasi yang didirikan terus berkembang, sebagai bagian dari lanjutan Sentral Organisasi Buruh Pancasila (SOB Pancasila), di bawah naungan dari Koordinasi Ikatan – Ikatan Pancasila (KODI), dan pendukung Penegak Amanat Rakyat Indonesia (Gakari).
Melalui IPK, Olo kemudian membangun “kerajaannya” yang sempat malang melintang di berbagai aspek kehidupan di Sumut dan mengantarkannya dengan julukan “Ketua”. Selain kerap disebut “Kepala Preman”, yang dikaitkan dari nomor seri plat kendaraannya yang seluruhnya berujung “KP”, Olo juga dikenal orang sebagai “Raja Judi” yang mengelola perjudian di Sumut. Namun segala hal tersebut, belum pernah tersentuh atau dibuktikan oleh pihak yang berwajib. Terasa, tapi tidak teraba.

Olo Panggabean pernah dituding sebagai pengelola sebuah perjudian besar di Medan. Semasa Brigjen Pol Sutiono menjabat sebagai Kapolda Sumut (1999), IPK pernah diminta untuk menghentikan praktik kegiatan judi. Tudingan itu membuat Moses Tambunan marah besar. Sebagai anak buah Olo Panggabean, Moses menantang Sutiono untuk dapat membuktikan ucapannya tersebut.

Persoalan ini diduga sebagai penyulut insiden di kawasan Petisah. Anggota Brigade Mobile (Brimob) terluka akibat penganiayaan sekelompok orang. Merasa tidak senang, korban yang terluka itu melaporkan kepada rekan-rekannya. Insiden ini menjadi penyebab persoalan, sekelompok oknum itu memberondong tempat kediamana Olo “Gedung Putih” dengan senjata api.

Pada pertengahan tahun 2000, dia menerima perintah panggilan dari Sutanto (saat itu menjabat sebagai Kapolda Sumut) terkait masalah perjudian namun panggilan tersebut ditolaknya dengan hanya mengirimkan seorang wakil sebagai penyampai pesan.

Sejak jabatan Kapolri disandang Sutanto pada tahun 2005, kegiatan perjudian yang dikaitkan dengan Olo telah sedikit banyak mengalami penurunan. Semasa Sutanto menjadi Kapolri, bisnis judi Olo diberantas habis sampai ke akar-akarnya. Sutanto berhasil memberantas judi di Sumatera Utara kurang dari tiga tahun, suatu hal yang tidak dapat dilakukan oleh Kapolri sebelumnya. Sejak itu, Olo dikabarkan memfokuskan diri pada bisnis legal, seperti POM Bensin, Perusahaan Otobus (PO) dan sebagainya.

Pada akhir 2008, Olo Panggabean kembali harus berurusan pihak polisi. Namun kali ini, kasusnya berbeda, yakni untuk melaporkan kasus penipuan terhadap dirinya oleh sejumlah rekannya dalam kasus jual-beli tanah sebesar Rp20 miliar di kawasan Titi Kuning, Medan Johor.
Peduli kasih
Namun terlepas dari apa kata orang terhadap Olo Panggabean, sejumlah langkah positif dalam perjalanan hidupnya pantas dicatat dengan tinta emas. Terutama sikap kedermawanannya dan kepeduliannya kepada rakyat tidak berkemampuan.

Kisah sedih bayi kembar siam Angi-Anjeli anak dari pasangan Subari dan Neng Harmaini yang kesulitan membiayai dana operasi pemisahan di Singapura, tahun 2004, adalah satu contoh kedermawanan Olo paling mendebarkan.

Ibu sang bayi, Neng Harmaini, melahirkan mereka di RS Vita Insani, Pematang Siantar, Rabu, 11 Februari 2004 pukul 08.00 WIB, melalui operasi caesar. Bayi kembar siam ini harus diselamatkan dengan operasi cesar, tapi orang-tuanya tidak mampu. Di tengah pejabat Pemprovsu dan Pemko Siantar masih saling lempar wacana untuk membantu biaya operasi, Olo Panggabean langsung bertindak cepat menanggung semua biaya yang diperlukan.

Bahkan, saat bayi bernasib sial itu tiba di Bandara Polonia Medan dengan pesawat Garuda Indonesia GIA 839 pada Senin 18 Juli 2004 sekitar pukul 11.30, Olo Panggabean menyempatkan diri menyambut dan menggendongnya.

Saat itu Angi dan Anjeli terseyum manis, mereka mudah akrab dengan orang yang berjasa untuk mengoperasi mereka. Banyak orang terenyuh pada orang tua Angi dan Anjeli nyaris rubuh pingsan lantaran terharu. Maklum, setelah membiayai semua pengobatan di rumah sakit, Olo masih bersedia menyambutnya di Bandara.

Kisah kedermawanan Ketua sudah banyak dirasakan masyarakat kurang mampu di Sumatera Utara.Tidak sekadar membiayai pengobatan orang sakit, tapi juga dalam bentuk lain berupa biaya pendidikan dan modal kerja untuk menghidupi keluarga.
Olo telah meninggal dunia Kamis, 30 April 2009 jam 14.00 di Rumah Sakit Glenegles Medan, Sumatera Utara. Olo meninggal pada usia 67 Tahun.

(sumber: Beritaunik.net) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar