Tahun 1985,
warga Jakarta pernah dikejutkan oleh penemuan mayat potong 13 yang terbungkus
dalam dua kardus di Jalan Sudirman. Sampai kini kasus tersebut masih tetap
misteri.
Boleh jadi,
itulah kasus pertama mutilasi korban pembunuhan yang sempat menyedot perhatian
khlayak ramai di Indonesia. Baru akhir 1990-an lalu masuk tahun 2000-an sampai
kini, kasus-kasus mutilitasi terus muncul. Bahkan, dalam dua pekan terakhir
muncul dua kasus mutilasi di Ciracas (Jakarta Timur) dan Ancol (Jakarta Utara).
Mutilasi Ciracas berlatar-belakang cinta segi empat, sedangkan kasus mutilasi
Ancol karena utang judi bola.
Kasus mayat
terpotong 13 di Jalan Sudirman, Jakarta, tahun 1985 barangkali menginspirasi
pada pelaku mutilasi masa kini karena aparat kepolisian kedodoran menelisik
siapa korban dan pelaku. Banyak orang mengira bahwa dengan memotong-motong
tubuh korban maka jejak kasus akan berhenti. Terlebih bila jejak sidik jari dan
raut wajah si mayat dilenyapkan.
Perkiraan banyak
orang itu meleset. Teknologi maju mulai dari reka wajah, sidik jari
(daktiloskopi), identifikasi DNA, sampai pemindaian tempurung lutut telah mampu
melengkapi peralatan identifikasi korban-korban pembunuhan –terutama korban
yang dimutilasi. Spesifikasi yang melekat pada tubuh manusia mampu ‘mengungkap’
siapa sosok yang hanya ditemukan potongan kaki atau potongan kepalanya. Pelaku
mutiltasi kini harus berpikir ulang bahwa modus ini semakin mudah terendus.
Tuhan
menganugerahi akal pikiran pada umat manusia. Berkat penggunaan akal itulah teknologi
–salah satunya teknologi identifikasi manusia—berkembang pesat. Sesuatu yang
mustahil beberapa dekade lalu kini menjadi sesuatu yang begitu mudah
diselesaikan.
Di Amerika
Serikat kini, sidik jari digital, iris mata dan identifikasi suara mulai
ditinggalkan. Para ilmuwan setempat mengklaim bahwa mereka telah menemukan
jejak biometrik pada tonjolan lutut manusia.
Menurut ilmuwan
Amerika Serikat, tempurung lutut tiap orang adalah unik. Maka bagian tubuh ini
bisa memberikan cara yang sangat mudah untuk mengidentifikasi seseorang di bandara
maupun pos pemeriksaan keamanan lainnya.
Tim mengklaim
bahwa tes awal dari sistem keamanan yang mengambil scan MRI tempurung lutut adalah 93 persen akurat. Komputer ilmuwan
Lior Shamir dari Universitas Teknologi Lawrence, Southfield, mengatakan bahwa
sistem bisa menjadi sempurna untuk cepat mendaftar dan mengidentifikasi
orang-orang dalam antrean bergerak manakala mereka mendekati pemeriksaan paspor
di bandara atau melalui pintu masuk kantor.
Tim percaya
bahwa sistem mereka jauh lebih sulit untuk menipu tanpa operasi besar pada
lutut. "Usaha menipu memerlukan prosedur medis invasif dan rumit. Karena
itulah, lebih tahan terhadap penipuan dibandingkan metode wajah, sidik jari
atau iris mata," kata Shamir. Tim bahkan percaya bahwa hukuman umum di
dunia kriminal yang sampai menyebabkan lutut hancur, masih akan mungkin membuat
lutut korban tetap unik.
Menurut para
peneliti, ada masalah keterbatasan dengan pemindaian MRI. Scanner MRI adalah mesin yang sangat besar dan membutuhkan waktu
lama untuk memperoleh gambar bahkan bagian tubuh yang kecil seperti tempurung
lutut. Namun, perkembangan MRI akan bergerak dengan cepat. Kemungkinan dalam
jangka menengah, peralatan yang lebih portabel dan lebih cepat akan segera diciptakan
untuk memenuhi kepentingan keamanan.
Terlepas dari
masalah keterbatasan pemindaian MRI, temuan sangat menarik untuk melengkapi
peralatan identifikasi manusia. Selama ini kita sudah akrab dengan pemindaian
sidik jari ketika membuat e-KTP. Ke depan, bisa saja lebih disempurnakan dengan
pemindaian tempurung lutut. Dengan pendataan jejak biometrik tonjolan lutut
manusia, kasus-kasus pembunuhan akan semakin cepat terungkap dan calon-calon
pelaku tidak seenaknya saja menghabisi nyawa sesamanya.
Teknologi ciptaan
manusia semakin berkembang maju mendekati kesempurnaan. Hal ini sejalan dengan
firman Allah SWT dalam Al Quran Surah Al Qiyaamah ayat 2-3 bahwa “Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak
akan mengumpulkan kembali tulang-belulangnya?” Yaitu, pada hari kiamat
nanti, apakan manusia mengira bahwa Kami tidak mampu mengumpulkan
tulang-belulangnya dari tempat-tempat yang bertebaran. “Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali)
jari-jemarinya dengan sempurna.” Yaitu, apakah ada manusia yang mengira
bahwa Kami tidak mampu mengumpulkan kembali tulang-belulangnya? Justru Kami
akan mengumpulkannya, dan juga mampu untuk menyusun kembali jari-jemarinya.
Artinya, mampu untuk memngumpulkan kembali semua itu.
Memang kejahatan
pun ikut tambah berkembang. Terlebih manusia kini dapat dikatakan semakin jauh
dari kehidupan ruhaniah, manusia semakin hedonis, mengukur segala sesuatunya
dengan syahwat duniawi. Mudah-mudahan teknologi yang semakin mendekati
kesempurnaan mampu mengerem keberanian dan tekad pelaku kriminal yang sudah di
luar batas akal manusia. (Budi Nugroho,
kriminolog yang kini bertekun dalam dunia sufi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar