Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Abdul Hari Semendawai, dalam konferensi pers usai Deklarasi Kuta Bali, di Kuta, Bali, Rabu (13/8).
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Abdul Hari Semendawai, dalam konferensi pers usai Deklarasi Kuta Bali, di Kuta, Bali, Rabu (13/8). (sumber: PR)
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memperluas objek saksi dan korban yang berhak mendapat pelayanan perlindungan. Hal itu dilakukan untuk mendorong proses penegakan hukum yang selama ini masih terhalang oleh kurangnya kesaksian di pengadilan akibat ancaman terhadap saksi.
Penguatan tersebut ditegaskan dalam UU No.31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Ini merupakan revisi dari UU No.13/2006 yang dinilai cukup penting Keberadaannya dalam mengatasi kejahatan terorganisasi.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai, menjelaskan, dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana, aparat penegak hukum seringkali mengalami kesulitan. Termasuk kesulitan dalam menghadirkan saksi dan atau korban yang disebabkan ancaman, baik fisik maupun psikis, dari pihak tertentu.
"UU sudah menugaskan dan memberikan LPSK wewenang untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban dalam rangka proses peradilan pidana," kata Semendawai dalam diskusi bertema "Membangun kepedulian publik terhadap Perlindungan Saksi dan Korban", Kamis (30/10).
Menurutnya, objek perlindungan dalam UU yang baru telah diperluas menjadi enam objek. Yakni perlindungan bagi saksi, korban, pelapor, justice collaborator (saksi pelaku), saksi ahli, dan seseorang yang dimintai keterangan karena memiliki informasi meski dia tidak mendengar, tidak melihat, atau tidak mengetahui peristiwa secara langsung.
Dari enam objek itu, dikatakan, salah satu yang baru adalah perlindungan kepada saksi ahli. Dari keterangan saksi itulah, juga akan diputuskan apakah kasus bisa dilanjutkan atau tidak.
Perlindungan terhadap saksi ahli dilakukan karena banyak kasus yang terjadi, malah sulit memberikan kesaksian. Saksi ahli justru juga menjadi pihak yang mendapat tekanan, ancaman, sehingga perlu dilindungi.
Lebih jauh, Semendawai menuturkan, dari segi status korban yang berhak dilindungi, juga terjadi perluasan. Jika sebelumnya terfokus pada korban HAM berat, sekarang merambah pada korban terorisme, pelecehan seksual, dan human trafficking.
"Mereka berhak membantu medis dan psikologis. Ada juga hak mendapat pelayanan psikososial," ucapnya.
Pelayanan psikososial ini di antaranya adalah bantuan bagi korban yang kesulitan memenuhi kebutuhan pokok. Dalam UU yang baru ini juga menegaskan LPSK bisa melakukan langkah proaktif dalam melakukan perlindungan terhadap saksi dan korban. Sedangkan pada UU yang lama, perlidungan berdasarkan pada permohonan.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi menambahkan, perlindungan terhadap saksi dan korban di banyak negara diapresiasi karena bisa mengatasi kejahatan terorganisasi yang semakin marak di masyarakat.
Bahkan dalam banyak kasus, perlindungan dan reward diberikan kepada saksi pelaku yang telah melakukan kejahatan besar, misalnya gengster, demi mengungkap kejahatan yang lebih besar.
Disisi lain, Anggota Dewan Pers Imam Wahyudi mengatakan, saat ini media harus lebih bijaksana dalam pemberitaan sehingga dari berita yang dibuat tidak menimbulkan ancaman kepada saksi dan korban.
"Enam dari 11 pasal dalam kode etik jurnalistik itu berkaitan dengan perlindungan saksi dan korban," kata Imam. (Suara Pembaruan)