ad

Minggu, 01 Juni 2014

Advokat-Advokat Nakal di Pusaran Korupsi

PERADI segera tetapkan tata cara pemberhentian dan pencabutan lisensi advokat yang terjerat kasus korupsi.

Advokat-Advokat Nakal di Pusaran Korupsi
Foto: SGP (Ilustrasi). 
 
Profesi advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) kerap ternodai oleh ulah segelintir oknum. Keberadaan advokat nakal menjadi sesuatu hal yang tidak terbantahkan dalam praktik peradilan. Sejak KPK berdiri hingga 2014, KPK telah menangani sejumlah perkara korupsi yang melibatkan advokat.
Kasus teranyar, advokat Susi Tur Andayani yang tengah menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Susi diduga menjadi perantara suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M Akil Mochtar dalam sejumlah sengketa Pilkada. Susi dituntut tujuh tahun penjara karena dianggap terbukti turut serta melakukan suap.

Selain Susi, masih ada sejumlah advokat yang terjerat kasus korupsi. Sebut saja, Mario Cornelio Bernardo. Advokat yang juga anak buah Hotma Sitompoel ini divonis Pengadilan Tipikor Jakarta dengan pidana penjara selama empat tahun dan denda Rp200 juta karena terbukti menyuap pegawai Mahkamah Agung (MA), Djodi Supratman.

Advokat lainnya yang pernah masuk dalam bidikan KPK adalah Adner Sirait, Harini Wijoso, dan Tengku Syaifuddin Popon. Adner ditangkap KPK usai menyuap Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (TUN) Ibrahim untuk memuluskan perkara sengketa tanah seluas 9,9 hektar di Cengkareng, Jakarta Barat tahun 2010 lalu.

Sementara, Harini ditangkap KPK karena berupaya menyuap pegawai MA dan hakim agung terkait kasus yang melibatkan Probosutedjo pada 2005. Kemudian, Tengku yang juga pengacara mantan Gubernur Aceh, Abdullah Puteh ditangkap KPK saat memberikan suap kepada dua oknum panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Bukan hanya di KPK. Kepolisian Republik Indonesia (Polri) juga pernah menjerat para advokat-advokat nakal di pusaran kasus korupsi ini. Misalnya, kasus korupsi yang melibatkan dua advokat, Haposan Hutagalung dan Lambertus Palang Ama. Keduanya dianggap terbukti menghalang-halangi proses hukum Gayus Halomoan Tambunan dengan merekayasa penanganan perkara Gayus.

Semua kasus tersebut menjadi potret begitu rentannya profesi advokat. Salah-salah, advokat malah terperosok dalam pusaran korupsi.

Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan ada satu modus yang sering dilakukan oleh para advokat nakal ini. “Jadi, dia ikut terlibat menjadi bagian dalam penyuapan,” katanya kepada hukumonline, Selasa (20/5).

Johan melanjutkan, advokat-advokat nakal itu bukan sekedar menjadi perantara suap, tapi menjadi pelaku penyuapan. Apabila dilihat dari semua kasus yang melibatkan advokat di KPK, seluruhnya terkategori tindak pidana suap. KPK belum pernah menjadikan advokat sebagai tersangka karena menghalang-halangi penyidikan.

Walau begitu, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sempat menyatakan, perbuatan obstruction of justice atau menghalang-halangi proses penegakan hukum juga merupakan bagian dari modus operandi korupsi. Obstruction of justice tidak hanya bisa dilakukan oleh koruptor, melainkan dilakukan pihak-pihak lain, seperti advokat.

Bambang mencontohkan, dalam suatu kasus korupsi yang ditangani KPK. Lembaga anti rasuah itu menemukan indikasi perbuatan mengarahkan saksi dan meminta saksi bersembunyi agar tidak memenuhi panggilan KPK. Ia menganggap upaya demikian sebagai salah satu indikasi perbuatan obstruction of justice.

“Tidak boleh saksi disuruh bersembunyi. KPK mulai serius menangani dugaan perbuatan obstruction of justice. Beberapa waktu lalu, KPK telah menetapkan tersangka kepada seseorang yang diduga berbohong di persidangan. Karena kalau tidak begitu, kita tidak bisa bongkar secara lebih luas dan lebih tuntas,” ujarnya.

Menurut Bambang, kalangan profesional yang membantu koruptor tersebut adalah gatekeeper. KPK tidak akan pandang bulu dalam menangani perbuatan obstruction of justice. Setidaknya, KPK memiliki instrument dalam UU Tipikor, yaitu Pasal 21 dan Pasal 22 untuk menjerat pelaku obstruction of justice.

Meski KPK belum menerapkan pasal itu terhadap advokat yang diduga menghalang-halangi proses penegakan hukum, KPK mulai bertindak tegas. Dalam kasus Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah misalnya. KPK mencium adanya upaya menghalang-halangi penyidikan dengan mengarahkan saksi dan menyuruh saksi bersembunyi.

KPK bahkan harus menjemput paksa seorang saksi bernama Siti Halimah dari sebuah hotel di Bandung karena bersembunyi dari pemeriksaan KPK. Untuk mengetahui siapa pihak di balik perbuatan obstruction of justice itu, KPK telah memeriksa sejumlah pengacara Atut, Andi F Simangunsong, Nasrullah, dan TB Sukatma.

Namun, KPK masih mempelajari sejauh mana keterlibatan para pengacara Atut. KPK menyarankan agar para advokat menjalankan fungsinya sebagai penasihat hukum dengan baik. Jangan sampai para pengacara malah melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa dikategorikan sebagai obstruction of justice.

Selain pengacara Atut, KPK juga pernah menemukan indikasi mengarahkan saksi yang diduga dilakukan pengacara Djoko Susilo, Juniver Girsang. Saat bersaksi di persidangan Djoko, penyidik KPK Novel Baswedan mengungkapkan pihaknya memiliki rekaman CCTV hotel, dimana pengacara Djoko berupaya mengumpulkan sejumlah saksi.

Walau Juniver membantah pertemuan di hotel untuk mengarahkan saksi, nyatanya sejumlah saksi mencabut keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang memberatkan Djoko. Akan tetapi, KPK tidak memperpanjang dugaan tersebut. KPK hanya menyatakan siap memberikan rekaman CCTV jika diminta Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).

Kemudian, dalam perkara suap pengurusan izin kuota impor daging sapi dengan terdakwa Ahmad Fathanah, penuntut umum KPK pernah meminta pengacara Fathanah, Ahmad Rozi untuk tidak turut mendampingi Fathanah. Pasalnya, Rozi merupakan salah seorang saksi yang sempat dimintai bantuan oleh Luthfi Hasan Ishaaq.

Masih ada beberapa advokat yang disebut-sebut turut terlibat dalam kasus korupsi yang ditangani KPK. Seperti, Arbab Paproeka, Wa Ode Nur Zainab, dan Sahrin Hamid. Arbab bersama Wa Ode Nur Zainab disebut pernah menerima aliran dana dari Wa Ode Nurhayati yang diduga berasal dari hasil korupsi.

Nama Arbab kembali mengemuka dalam sidang perkara Akil. Bupati Buton Samsu Umar Abdul Samiun mengaku pernah dimintai Rp6 miliar oleh Arbab yang mengatasnamakan dirinya sebagai utusan Akil. Sementara, Sahrin selaku kuasa hukum Bupati Morotai pernah meminta seorang saksi mengupayakan dana Rp3 miliar untuk MK.

Modus Advokat Nakal
Sekretaris Dewan Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Sugeng Teguh Santoso mengakui modus penyuapan sering dilakukan advokat-advokat nakal. Ia sangat setuju dengan penangkapan-penangkapan yang dilakukan terhadap para advokat yang “menghalalkan” penyuapan dalam menjalankan profesinya.

Pada intinya, penyuapan itu dilakukan advokat nakal untuk mempengaruhi PNS, penyelenggara negara, atau penegak hukum agar berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Sugeng berpendapat, praktik seperti itu kerap membawa keuntungan tersendiri bagi para advokat nakal.

“Si advokat nakal itu bisa bermain dengan nilainya. Katakanlah dari hasil pembicaraan, baik hakim yang meminta atau advokat yang menawarkan, memberikan sesuatu. Ada kesepakatan Rp1. Nah, dia bisa menaikkan jadi Rp3 atau Rp5. Itu kan wilayah-wilayah yang tidak diketahui, kecuali mereka tertangkap tangan,” bebernya.

Namun, Sugeng membantah jika semua advokat dianggap melakukan praktik kotor. Ada advokat yang memang tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan korupsi karena menangani perkara-perkara orang miskin. Ada juga advokat yang menjaga integritas dan takut dengan ketanya pemantauan aparat penegak hukum.

Terkait dengan tindakan menghalang-halangi proses penegakan hukum, Sugeng memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, makna menghalang-halangi harus dibicarakan secara komperhensif dan mendalam. Ada ketidaksepahaman mengenai tindakan mana saja yang dikategorikan sebagai obstruction of justice.

Apabila seorang advokat merahasiakan keberadaan kliennya yang sedang bersembunyi, tentu tidak dapat dikategorikan sebagai upaya menghalang-halangi. Sugeng berpendapat, tindakan penegak hukum yang mengkategorikan itu sebagai tindak pidana yang diatur dalam Pasal 21 UU Tipikor sebagai upaya kriminalisasi.

“Kewajiban advokat kan merahasiakan rahasia kliennya. Kewajiban penegak hukum mengungkap kasus korupsi. Seharusnya, mereka melakukan upaya-upaya yang lebih cerdas dalam suatu proses pembuktian. Jangan mendiskreditkan atau mengkriminalisasi advokat. Itu yang saya akan tentang,” tuturnya.

Andaikata ada advokat yang diduga melakukan tindakan menghalang-halangi, seperti yang disebut Bambang dalam kasus Atut, Sugeng meminta kasus itu diserahkan ke Dewan Kehormatan PERADI. Atau kasus tersebut diserahkan ke Kepolisian agar penanganan perkara berjalan fair dan tidak berat sebelah.

Pencabutan Lisensi
Pencabutan lisensi beracara atas advokat yang terjerat tindak pidana korupsi menjadi kewenangan PERADI. KPK pernah mencoba memasukan pencabutan hak praktik beracara dalam tuntutan perkara Mario Cornelio Bernardo. Namun, tuntutan itu tidak dikabulkan majelis karena pencabutan lisensi beracara merupakan kewenangan PERADI.

Sugeng mengatakan, dalam catatan PERADI, belum ada advokat yang diberhentikan karena melakukan korupsi. Padahal, berdasarkan Pasal 9 UU Advokat, PERADI dapat memberhentikan atau mencabut lisensi advokat yang telah divonis bersalah berdasarkan putusan berkekuatan hukum tetap dengan ancaman pidana minimal empat tahun.

Dengan belum adanya tindakan tegas dari Dewan Pimpinan Nasional (DPN) PERADI, Sugeng sangat menyayangkan. Ia menyatakan, keputusan pemberhentian untuk advokat-advokat yang terkena pidana bukan di Dewan Kehormatan, melainkan di DPN PERADI. Domain Dewan Kehormatan sebatas pada pelanggaran kode etik profesi.

Walau begitu, Sugeng menjelaskan, tidak tertutup kemungkinan proses kode etik berjalan bersamaan dengan proses pidana. Namun, proses di Dewan Kehormatan dilakukan berdasarkan laporan pelanggaran kode etik. Sugeng mencontohkan, dalam kasus Probosutedjo, ada seorang advokat yang hampir diproses di Dewan Kehormatan.

Advokat itu akhirnya mengundurkan sebelum disidangkan di Dewan Kehormatan. Contoh lain, ada advokat yang dilaporkan kliennya ke Dewan Kehormatan, tapi dilaporkan pula ke Kepolisian karena diduga melakukan penipuan. Setelah menempuh proses sidang kode etik, Dewan Kehormatan mengeluarkan putusan pemberhentian.

Permasalahannya, keputusan pemberhentian itu tidak otomatis dilaksanakan dengan pencabutan lisensi beracara. Pelaksanaan putusan ada di DPN PERADI. Sama halnya pemberhentian untuk advokat-advokat yang terjerat korupsi. Keputusan pemberhentian dan pencabutan lisensi ada di tangan DPN PERADI.

“Ini sebetulnya satu kritik bagi kami, PERADI. Saya setuju segera dilaksanakan. Supaya keputusan itu bewibawa, harus ada pelimpahan kewenangan ke Dewan Kehormatan, sehingga kami akan laksanakan eksekusinya. Tapi, pelimpahan kewenangan itu bisa saja digugat, karena dalam UU Advokat pelaksanaan putusan oleh DPN,” katanya.

Selaku advokat yang aktif di Dewan Kehormatan, Sugeng merasa hal itu menjadi masukan penting bagi DPN PERADI. Sugeng juga mendorong agar DPN PERADI segera menindak advokat-advokat yang terkena tindak pidana. Ia khawatir advokat-advokat yang telah terkena pidana tersebut bisa kembali beracara setelah bebas dari penjara.

Sebenarnya, Pasal 11 UU Advokat telah mengatur bahwa terhadap advokat yang dijatuhi pidana dengan putusan berkekuatan hukum tetap, panitera pengadilan negeri menyampaikan salinan putusan kepada organisasi advokat. Namun, bukan berarti jika tidak diberikan salinan putusan, DPN PERADI tidak dapat mengeluarkan pemberhentian.

Sugeng menganggap, DPN PERADI bisa melakukan pemantauan terhadap perkara-perkara pidana yang melibatkan advokat. PERADI juga tidak perlu membuat nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) dengan MA. “PERADI kan tidak bergantung dengan MA. Sebetulnya tinggal political will dari PERADI saja,” ujarnya.

Tata Cara
Ketua Umum DPN PERADI Otto Hasibuan membenarkan PERADI belum pernah mengeluarkan keputusan pemberhentian atau pencabutan lisensi terhadap para advokat terpidana kasus korupsi. Namun, pembahasan mengenai itu sudah dibicarakan dalam rapat PERADI, mengingat banyak advokat yang terkena korupsi.

Otto menjelaskan, sesuai UU Advokat, pemberhentian dan pencabutan lisensi merupakan kewenangan PERADI. Ia beralasan, selama ini, PERADI belum pernah memberhentikan advokat-advokat yang terkena kasus korupsi karena terbentur dengan mekanisme. PERADI juga baru membentuk Komisi Pengawas selaku eksekutor putusan.

“Jadi, sekarang ini kami sedang buat mekanisme, tata cara pemberhentian advokat yang dipenjara. Rabu ini (21/5) akan kami tetapkan tata cara pencabutan izin mereka itu. Bagaimanapun mereka harus diberi tahu. Ada dua persoalan di sini. Satu mengenai kode etik dan satu lagi melanggar ketentuan undang-undang,” katanya.

Otto mengungkapkan, dahulu PERADI belum merumuskan tata cara pemberhentian dan pencabutan lisensi untuk advokat-advokat yang terjerat pidana. Apakah harus melalui Dewan Kehormatan atau langsung dicabut oleh DPN PERADI. Jika melalui Dewan Kehormatan, advokat tersebut harus disidangkan kode etik terlebih dahulu.

“Nah, sekarang setelah kami bentuk Komisi Pengawas, kami nanti mau menyerahkan ke Komisi Pengawas untuk melakukan eksekusinya. Komisi Pengawasan ini kan perpanjangan tangan dari DPN PERADI. Tinggal kami atur tata caranya. Itulah yang kami laksanakan nanti. Setelah ditetapkan tata caranya, kami akan eksekusi semua,” tandasnya. (www.hukumonline.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar