ad

Jumat, 30 Mei 2014

Pemilihan Ketua RT



Saban kali masa jabatan ketua Rukun Tetangga (RT) di lingkungan tempat tinggal berakhir, kami saling dorong siapa yang mau dicalonkan sebagai ketua RT periode berikutnya. Nyaris tak ada warga yang bersedia, apalagi proaktif, mencalonkan diri di laga berdurasi tiga tahunan itu.

Sampai kemudian muncul semacam ‘konsensus’ penggiliran warga yang maju ke pencalonan. Ilustrasi sederhananya, di tempat tinggal kami terdapat empat blok rumah, maka periode 2005-2008 jatah warga Blok A, lalu periode 2008-2011 giliran warga Blok B, 2011-2014 warga Blok C yang kebagian kursi ketua RT, dan seterusnya. Kendati sekarang ada insentif sebesar Rp300 ribu per bulan, tetap saja tak ada warga yang bersedia dicalonkan dan mencalonkan diri. Sampai-sampai warga mau mengangkat dan memperpanjang masa bakti Pak RT yang sekarang. Hanya sebuah pengabdian saja bagi siapa yang bersedia duduk di kursi Ketua RT. Begitu yang menancap kuat di benak warga.

Bila di perumahan kami di pinggiran Kota Bekasi, warga enggan maju ke arena pemilihan ketua RT, maka tidak demikian dengan warga kampung di sebelah perumahan tempat kami tinggal. Ketika pemilihan dihelat beberapa waktu lalu, kampung itu sempat dipenuhi spanduk calon-calon ketua RT. Terlihat ada empat calon yang maju dalam pesta demokrasi tingkat komunitas masyarakat paling dasar itu. Ada calon incumbent yang telah 20 tahun menjabat, ada seorang kepala keamanan cluster yang mengusung modal sekitar Rp20 juta, ada seorang pengojek yang mengaku cuma ingin meramaikan, dan seorang calon lagi yang juga sekadar memecah suara agar tidak mengumpul di calon petahana. Benar-benar marak.

Tibalah hari H pencoblosan. Warga kampung pun ramai-ramai menuju tempat pemungutan suara yang didirikan di taman kuburan wakaf. Setelah dilakukan penghitungan, kemenangan berpihak ke calon seorang kepala keamanan cluster yang telah susah-payah mengeluarkan ongkos politik. Warga merasa lega, ketua RT yang telah 20 tahun memimpin mereka berhasil dilengserkan.

Mengapa warga lega? Kabar burung yang beredar, ketua RT incumbent sudah terlalu lama duduk di kursi nyaman dan menikmati tip-tip warga yang ada urusan dengan surat pengantar dan tanda tangan ketua RT. Dari kabar burung pula, majunya beberapa orang pengojek mencalonkan diri tidak lain agar calon incumbent tidak mudah melakukan penekanan ke warga. Dan, seorang pemodal berani memberikan ongkos politik agar suara lari calon-calon non-incumbent. Dengan demikian, walau calon incumbent juga mengeluarkan ongkos politik namun kalah besar dibandingkan ongkos politik hasil ‘sinergi’ tiga calon lain. Tampaknya sudah ada adu strategi di sini.

Betul-betul marak pencalonan ketua RT di kampung itu. Rupanya banyak warga kampung ingin menjadi ketua RT. Karena, selain ada insentif Rp300 ribu per bulan tadi, warga yang jadi ketua RT bebas-bebas saja menyorongkan kotak tip setiap kali ada warga yang mengurus surat perpanjangan KTP. Bahkan, tidak jarang mereka meminta fee setiap kali ada transaksi jual-beli tanah di kampung. Tidaklah mengherankan bila kemudian ada seorang kepala keamanan ‘rela’ mengeluarkan Rp20 juta untuk memenangi kursi ketua RT. Dana politik sebesar itu, antara lain, digunakan untuk membayar calon-calon boneka dan membeli suara. Benarkah? Hanya warga kampung itu yang tahu persis. (BN)


       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar